31 : Kesempatan : [end]


Deklasifikasi tamat di sini. Selanjutnya, sudah siap dengan perselingkuhan Hizraka Bayuaji di "Rekonstruksi" tahun depan? :)

Prakata Arkais disertai aesthetic pic-nya udah di-post! Jadi gue editing Arkais dulu sebelum nulis Rekonstruksi.

-;-

31

: k e s e m p a t a n :


2018



Mata Aksel memandangi lelaki dengan rahang dan dan ujung bibir yang terlihat habis diobati.

Detik selanjutnya, lelaki itu menoleh ke arah suara pintu kamar mandi yang baru ditutup. "Sel," ujar Mahesa, tetap terlihat tenang. Matanya mengerling ke arah makanan yang masih belum tersentuh. "Belum makan kau?"

Berusaha santai, Aksel berjalan ke ranjangnya lagi. "Ini baru mau makan."

Melihat ada respons dari Aksel, Mahesa merasa ini adalah tanda positif bahwa Aksel kini sudah berada dalam keadaan lebih tenang daripada saat tadi di resepsi. Mahesa pun menduduki kursi kosong di sebelah ranjang Aksel, mengamati lelaki itu membuka plastic wrapper makanannya. "Masih nyeri luka bakarmu, Sel?"

Aksel mengangguk. Mengambil sendok dan garpu untuk mulai makan.

"Ada salep pereda nyeri kalau kau mau," ujar Mahesa. Memandang ke arah nakas yang terdapat tas berisi baju untuk Aksel. "Nanti kupanggilkan suster kalau kau butuh."

"Nanti aja." Aksel menyuap makanannya. Setelah makan, dia baru sadar betapa laparnya dia. Kemudian dia teringat bahwa dia baru makan pudding saat resepsi tadi. Dia menelan makanannya. Melirik ke arah Mahesa yang tengah memandangi langit malam dari jendela kamar. Luka bekas tinjunya di bibir dan rahang lelaki itu masih sedikit terlihat. Berdeham, Aksel pun menawarkan, "Sa, mau?" tanyanya sambil mengerling ke arah buah jeruk di mejanya.

Mahesa mengangguk. Mengenal Aksel lebih dari sepuluh tahun cukup baginya untuk tahu bahwa Aksel tak suka buah-buahan citrus, contohnya seperti lemon dan jeruk. Aksel hanya mau mengonsumsi perasan jeruk nipis untuk jadi bahan tambahan dalam menyantap soto.

Mahesa mengambil jeruk itu, mengelupas kulitnya. Dia makan jeruk sambil menunggu Aksel selesai makan. Ketika makanan Aksel hampir selesai, lelaki itu teringat sesuatu. "Sa," panggilnya tanpa melirik. "Virga gimana?"

Mengerjap, Mahesa mengeluarkan biji jeruk dari mulutnya dahulu. "Lagi sama Tante Varsha tadi."

Aksel terdiam agak lama. "Is it really that bad?"

"Apanya?"

"How much I hurted her."

Mahesa memberi jeda. "Lumayan. Kau bawa-bawa topik sensitif soalnya."

Aksel teringat lagi dengan kejadian tadi siang. Mendadak, seisi dadanya terasa berat, digelayuti sesal. "I don't mean it, really."

"Aku tahu," Mahesa berkata. "Tapi, aku tak paham dengan perangaimu tadi, Sel. Kau ini macam bukan kau yang biasanya. Aku bisa paham kalau kau marah. Tapi, apa iya harus sekasar itu ke Virga?"

Aksel terdiam. "Gue cuma... nggak mau kehilangan dia."

Mata Mahesa terpejam seiring dia menarik dan mengembuskan napas. "Inilah kenapa aku juga tak mau Virga jatuh ke tangan kau, Sel," aku Mahesa, membuat Aksel seketika tersedot perhatiannya. "Kau belum mampu kendalikan emosimu sendiri. Kau menjadi seperti itu karena kalap, dikuasai ego dan emosi, dan akhirnya kau malah menyakiti orang lain. Bagaimana bisa aku membiarkan Virga kau miliki, tetapi dia akan ketakutan menghadapimu yang lagi kalap?"

Aksel berhenti sejenak dari makannya, kemudian lanjut mengunyah suapan terakhir, menelannya lalu merespons, "Iya, gue tahu gue belum layak bersanding sama Virga."

"Kau bisa layak, Sel," ujar Mahesa. "Bertahun-tahun kau bilang kau cinta. Tapi, kau masih saja pacaran dengan entah berapa perempuan di saat Virga sedang lajang. Kau padahal bisa menggunakan waktumu untuk lebih serius dengan Virga. Kenapa malah menggunakannya untuk 'hobi sampingan'mu itu, Sel?"

Terdiam lagi, Aksel kini merasa sudah bisa berpikir lebih jernih untuk menjawab pertanyaan seperti itu. "Gue adiktif sama perasaan ketika gue nyakitin cewek-cewek itu. Waktu gue bilang ke mereka kalau mereka itu bego dan gue jabarin apa aja kebegoan mereka, lalu mereka merasa tertampar dan merasa rendah, it feels really good. It feels right and it feels good." Aksel menelan ludah. "It was sick."

"It was," Mahesa menyetujui. "Kau bisa berhenti sekarang."

"Virga tetap nggak akan mau sama gue kalaupun gue berhenti."

"Lantas kenapa?" Alis tebal Mahesa menyatu. "Kenapa kau berubah harus karena orang lain, Sel? Berubahlah untuk jadi versi dirimu yang lebih baik, untuk dirimu sendiri, bukan untuk Virga."

Lagi-lagi, Aksel membisu. Hanya bisa membenarkan dalam hati. Rasanya seolah dia habis menjilat ludah sendiri. Dia sudah berkali-kali mengatakan hal serupa untuk berubah demi dirinya sendiri, tetapi justru lupa apa yang dia katakan. Dia juga berkali-kali mengatakan kepada pacar-pacarnya untuk tidak banyak berkhayal, tetapi dia sendiri....

Dia pun meminum airnya. Berharap otaknya dapat berpikir lebih jernih.

"Sel, aku mau tanya," ujar Mahesa, memandangi gedung-gedung kota beserta cahayanya yang menerangi gelap malam. "Kenapa kau yakin sekali kalau kau ini cinta sama Virga?"

Aksel meletakkan gelas airnya. "Because it's always been like that," jawabnya. "Gue dulu mikir nggak mungkin gue naksir Virga yang masih bocah, jadinya gue pacaran sama cewek seumuran gue. Makin Virga dewasa, makin gue sadar kalau sah-sah aja buat gue suka sama dia. She's lovely. Dia baik, dan dia tumbuh jadi makin berkembang, makin cerdas, makin dewasa, makin cantik. Adalah hal yang wajar kalau gue naksir berat sama dia."

"Wajar," ulang Mahesa. "Apa alasanmu mencintai Virga?"

Aksel tersenyum. Begitu mudah baginya untuk menjawab pertanyaan itu. "Dia baik. Dia misterius. Dia walau sering ngobrol sama gue, tetap aja dia nggak pernah benar-benar nunjukkin siap diri dia sebenarnya. Dia juga nggak pernah kepengaruh sama rayuan gue. Untuk hubungan jangka panjang, gue tahu gue nggak boleh cari cewek yang membosankan. Dan, selama sepuluh tahun lebih gue sama Virga, gue nggak pernah bosan sama dia, Sa. Nggak pernah. Cuma dia satu-satunya cewek yang bikin gue nggak bosan sampai selama itu. Jadi jelas, cuma Virga satu-satunya cewek yang bisa gue jadiin istri."

Di bibir Mahesa, spontan terulas senyum kecil. "Aksel, aku pernah dengar nasihat dari salah satu penyair dalam negeri," ujarnya, membuat Aksel kembali memberi perhatian. "Katanya, kalau kau masih mampu menjawab alasanmu jatuh cinta kepada seseorang, itu namanya bukan cinta, tapi kalkulasi. Cinta itu tidak ada karena-karena."

Aksel bergeming. Lama. "Siapa yang bilang?"

"Sujiwo Tejo," jawab Mahesa. "Barangkali, kau pernah mencintai Virga secara tulus. Barangkali, perasaan itu berubah seiring waktu berjalan dan pergaulan kalian meluas. Tak ada yang salah dengan mencintai Virga, sama halnya seperti tak ada yang salah untuk menyayangi Virga seperti rasa sayang kakak ke adiknya. Sementara rasa ingin memiliki itu bukan cinta, Sel. Itu ego. Cinta tidak harus memiliki. Itulah kenapa ada orang yang masih mencintai pasangannya meski pasangannya sudah dipanggil Tuhan. Sebab dia sadar, meski punya kepemilikan dan mendapat hak serta kewajiban atas pasangannya, pada akhirnya, dia dan pasangannya adalah milik Tuhan. Mereka sadar akan kembali kepada-Nya suatu saat nanti."

Kali ini, lebih lama dari biasanya, Aksel terdiam mencerna ucapan Mahesa. Otaknya berkontemplasi. Memeriksa kembali hatinya, perasaannya kepada Virga.

Dia sadar dia pernah mencintai gadis itu, tulus, seperti cinta seorang lelaki kepada seorang wanita, serta juga pernah menyayangi dia seperti seorang kakak kepada adiknya. Namun seiring berjalannya waktu, Virga menjadi agak berbeda. Tidak bisa dikatakan dalam artian baik atau buruk, tetapi berbeda. Seolah dia memiliki dunia sendiri dan Aksel tak mampu memasukinya karena dianggap 'tidak paham'. Dan semakin Aksel mencoba memasukinya, semakin Aksel sadar betapa berbedanya mereka. Kendati demikian, Aksel memilih mengabaikan hal itu dan fokus pada hal-hal yang dimiliki Virga, tetapi tak dimiliki perempuan yang selama ini jadi pacarnya; kedewasaan, kebaikan tulus, empati yang besar, kecerdasan mental dan pikiran, sekaligus juga persona misterius. Mungkin gue masih merasa dia misterius karena ada dunia Virga yang nggak bisa gue masuki dan pahami, pikir Aksel. Dan mungkin, sebenarnya, Virga nggak sebegitu paham diri gue kayak yang selama ini gue pikir. Dia nggak paham kenapa gue mau nyadarin cewek-cewek itu. Malah Tante Varsha yang lebih paham detailnya tanpa gue harus cerita panjang lebar. Dan karena Tante Varsha adalah satu-satunya perempuan yang paham... nggak mungkinlah, ya, gue nikahin dia? Dia kan, bini orang. Salah-salah, gue bisa dibantai Om Re yang ada. Aksel pun bertanya balik, "Dan, lo pikir lo cinta sama Virga, Sa?"

"Ya," jawab Mahesa sambil tersenyum. Dan, Aksel bisa melihat senyum lelaki itu sampai ke mata, memang terlihat berbinar seperti orang jatuh cinta. "Macam manalah, Sel. Aku pun tak paham kenapa bisa begitu."

Aksel mengangguk. Dia sudah cukup tahu bahwa Mahesa memang mencintai Virga. Jeez, he even named her 'goddess' on his phone, batin Aksel. Menarik napas, Aksel pun berusaha memberanikan diri untuk berkata, "Maaf, Sa, buat semua kebegoan yang gue lakuin hari ini."

Mahesa mendengus tertawa. "Dimaafkan." Dia tersenyum. "Tapi, aku tak mau minta maaf karena sudah bilang ke Virga bahwa dia layak mendapat yang lebih baik daripada kau yang dulu."

"Yang dulu," ulang Aksel. "Jadi, gue yang sekarang layak, nih?"

"Masih belum," ujar Mahesa jujur. "Tapi, bisa diusahakan. Kalau mau fair play denganku, tak masalah. Asal bisa menerima kalau ditolak Virga"

"Kalau lo yang ditolak?"

"Ya sudah. Ikhlaskan. Mungkin aku butuh waktu untuk sendirian."

Kini, giliran Aksel yang tersenyum. "Nggaklah. Nggak perlu. I'm done with that."

Mahesa terkekeh. Dia mengangkat kepalan tangannya ke arah Aksel. "Aku tak menikungmu, ya. Sejak awal pun kau tak pernah benar-benar serius kepada Virga."

"Iya, iya," ujar Aksel, menepuk kepalan tangan Mahesa dengan kepalan tangan kanannya yang tak diperban. "Thanks, Sa."

Sontak, terdengar ada bunyi dari arah pintu ruangannya. Kepala Aksel pun tertoleh ke sumber suara. Ketika ada wajah yang menempel ke kaca pintu ruang rawatnya, dia seketika terkesiap. "Ebujut," ucapnya spontan. Dia mengerjap beberapa kali sebelum meyakinkan diri. "Itu.... Nolan? Tuh orang ngapain ada di situ?"

Seolah tahu namanya dipanggil, Nolan membuka pintu, lalu masuk dengan wajah semringah. Dia berjalan ke arah Mahesa dan Aksel. Mendadak, perasaan Aksel tidak enak. Dia melirik ke arah pintu yang sempat terbuka dan tak ada tanda-tanda bahwa istri Nolan ada di sini.

Nolan tersenyum seperti hendak menangis. Aksel tak tahu ini sungguhan atau hanya akting. "Alhamdulillah ya akhi, kalian sudah baikan...." Nolan pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia mengambil posisi di depan ranjang Aksel. Tangannya bergerak seolah ingin mengatur posisi dari objek yang difoto. "Ayo, Nak, merapat, terus jabat tangan lagi. Biar Abah foto. Abah bangga sama kalian."

Aksel sempat bengong sejenak, kemudian berkata, "Ogah gue punya Abah kayak lo."

Tanpa memedulikan ucapan Aksel, Nolan tetap mengambil foto Aksel dengan Mahesa yang heran melihat kelakuan temannya itu.

Nolan tersenyum najis dan mendekati Aksel.

Aksel yang didekati pun mengkerut, menjauh. "Senyum lo nakutin, Lan."

Nolan tetap tersenyum, mengelus pundak Aksel. "Nak Sutetku sudah dewasa, ya... Abah bangga. Sini, Abah peluk."

"NGGAK! NGGAK! KELUAR LO DARI RUANGAN GUE, LAN!"

"Oi, oi! Ada apa ribut-ribut?" tanya Bara yang memasuki ruang rawat Aksel. Hizraka mengekor di belakangnya sambil makan roti pisang.

"Mereka udah baikan," ujar Nolan dengan girang. Ketika Aksel tengah melihat abangnya masuk, kelengahan itu dimanfaatkan Nolan untuk memeluk Aksel. "Alhamdulillah sutetku sudah dewasa!"

Wajah Aksel seketika agak-agak histeris. "Najis, Nolan. Lo nggak ingat kalau gue lagi sakit?"

"Pelukan adalah obat terbaik mengurangi rasa sakit."

"Lagu dangdut dari mana, anjir!"

Bara mendesah. "Lan, itu adik gue masih sakit. Ntar kalau lo kena lukanya, takut infeksi nanti."

Nolan menoleh ke arah Bara, lalu berkedip-kedip manja. "Ini kode karena Maz Bar juga mau kupeluk?"

"Gue keluar dulu, guys. Bye." Bara segera berjalan menuju pintu keluar.

Nolan tertawa, lalu melepaskan pelukannya dari Aksel. Tadi dia memang tak memeluk membabi buta, cukup berhati-hati agar tak mengenai luka bakar Aksel. "Kalem atuh, Maz Bar. Aing cuma bercanda." Nolan pun kembali pada mode normal dan menepuk pungak Aksel. "Nih ya, Tet," ujar dia sembari mengarahkan tangannya ke arah Bara. "Lo tuh udah mengacaukan nikahan abang lo. Untung aja ijab kabul udah kelar. Kalau enggak kan, berabe. Kasihan abang lo nih."

Aksel terdiam. Mencerna kebenaran dari ucapan Nolan. Dia dari tadi memang belum sempat meminta maaf. "Maaf udah mengacaukan nikahan lo, Bang."

"Udahlah." Bara mengibaskan tangan. "Toh juga udah di penghujung acara. Nggak apa-apa."

"Still sorry, though." Aksel menunduk sejenak, kemudian seringainya muncul dan dia menatap Bara sambil berceletuk. "Tapi, benar kata si anak alay. Untung lo udah ijab kabul, ye, Bang. Jadi udah sah sama Leia buat peluk cium gemas atau bobo-bobo lucu."

Bara memutar bola mata. "Ya kali gue ngelakuin itu di saat lo sakit gini, Sel."

"Kan, gue udah sadar, Bang...." Aksel menyengir lebar. Mahesa, Nolan, dan Hizraka yang langsung paham isi otak Aksel pun ikut menyengir. Aksel pun melanjutkan, "Bisalah, nanti malam bobo-bobo lucu bikin dede balu...."

"Iya! Tambahin personil buat Laskar Perjaka season dua, Bar!" timpal Nolan, girang.

Hizraka menepuk pundak Bara. "Tekniknya selalu sama kok, Bar; rayu, basahin, sikat."

Mahesa tertawa. "Tenanglah, Bar. Tak perlu rendah diri nanti di ranjang. Bergerak sesuai insting saja."

Nolan menyengir. "Moga-moga Leia nggak kagok pas lihat badan seksi Maz Bar, ya!"

"Setan emang lo pada." Bara mendecak, sementara yang lainnya di situ tertawa.

Aksel merasa lepas dalam tawa ini. Dan, saat itu Aksel tahu bahwa hubungan pertemanannya tetap ada, tidak perlu ada baku hantam. Hanya perlu komunikasi.

Suara pintu terbuka pun terdengar, membuat kelima lelaki di kamar itu menoleh ke asal suara.

Virga.

Mahesa pun dengan tenang berkata, "Masuk saja, Vir."

Aksel terdiam mengamati Virga memasuki kamarnya. Dan sungguh, jika pikirannya sudah jernih seperti sekarang, dia bisa melihat segala sesuatunya lebih baik. Dia jelas bisa melihat bagaimana Mahesa menatap Virga. Seolah-olah Virga adalah dewi yang bisa Mahesa puja siang dan malam.

Mahesa menatapnya lembut. "Kau mau bicara empat mata dengan Aksel?"

Menatap Mahesa, Virga tersenyum dan mengangguk. Lalu menatap ke teman-teman Aksel yang lainnya. "Kalau kalian nggak keberatan."

"Nggak, kok," ujar Bara, kemudian mengajak teman-temannya keluar, meninggalkan Virga dan Aksel berdua di dalam kamar rawat.

Setelah pintu tertutup, keduanya terdiam.

Virga duduk di kursi yang tadi ditempati Mahesa. Dia dan Aksel sama-sama menarik napas, serta sama-sama berkata:

"I'm sorry."

"Aku minta maaf."

Mereka terdiam. Lalu terkekeh bersama.

"Kak Aksel duluan aja," ujar Virga, tersenyum.

Aksel membalas senyum itu. Dia pun berkata, "Gue minta maaf, Vir, buat semuanya. Maaf udah bikin lo ketakutan. Maaf udah mengingatkan lo sama bokap lo. Maaf banget udah menghina ibu lo, gue benar-benar nggak maksud. Gue juga nggak ngerti kenapa gue segoblok itu. I'm sorry, really."

Terdiam, bibir Virga mengembangkan senyum. "Iya, Kak. Dimaafkan. Jangan diulangi, ya."

Ada rasa lega yang dirasakan Aksel. Seolah-olah beban tak kasatmata yang membebani hatinya terangkat setengah. "Makasih, Vir."

Virga pun berdeham. "Iya. Tapi... Kak Aksel... benaran udah nggak apa-apa?"

"Lukanya masih nyeri. But, it will be fine. Dua minggu lagi palingan yang di tangan nih udah sembuh."

Sudut-sudut bibir Virga tertarik ke atas. Wajahnya terlihat lega. "Syukurlah."

Sunyi lagi. Rasanya menenangkan. Tersenyum, Aksel pun bertanya lagi. "Pacil," panggil Aksel, membuat Virga menoleh karena sudah lama Aksel tak memanggilnya seperti itu. "Pacil suka sama Mahesa?"

Mengerjap, pipi Virga sontak merona. Matanya dia alihkan ke arah selain Aksel. "Kenapa nanya gitu, Kak?"

"Penasaran aja," jawab Aksel santai. Dia terkekeh melihat Virga yang terlihat defensif. "Cie si Pacil grogi."

"Apa sih, Kak. Enggak."

"Cie ngambek."

"Kak Aksel...." Virga mendesah, terlihat gemas, membuat Aksel tertawa lalu mengacak rambut gadis itu.

"Lucu banget sih, Ciiil!" seru Aksel sambil mengacak-acak rambut Virga.

Virga terpekik dan berusaha menghentikan tangan lelaki itu. "Kak, nanti rambutku kusut."

"Kalau kusut tinggal disisir aja, Shay!" Aksel terkekeh-kekeh melihat wajah Virga yang cemberut. "Udah, ah. Gitu doang ngambek."

Virga menarik napas panjang. Namun kemudian, dia tertawa. "It's good to see you back like this."

Aksel tersenyum. "It's good to see us back like this." Dia meraih tangan Virga. "Pacil," panggil Aksel, tersenyum tulus, lalu menatapnya hangat. Kini, dia paham apa yang dia rasakan. Semua terasa lebih jernih dan lebih jelas. "I love you."

Virga terdiam, agak tertegun. Dia menatap mata Aksel yang terlihat tulus, tetapi rasa-rasanya, ini berbeda dari pernyataan cinta Aksel siang tadi. Virga bisa merasakannya. "Ya, aku juga." Virga mengembangkan senyum. "Aku sayang sama Kak Aksel sebagai kakakku yang peduli sama aku dari aku kecil. Family isn't always about blood, right?"

Aksel mengangguk, lalu mengelus puncak kepala Virga lagi. Rasanya benar-benar lega. Tak ada lagi rasa mengganjal. Tak ada lagi yang tersembunyi. Semua sudah tersingkap dalam deklasifikasi hati.

Beranjak dewasa, Aksel sadar bahwa seperti penjabaran Varsha, barangkali dirinya juga merupakan korban atas sugesti masyarakat sekitarnya. Sugesti bahwa tak ada pertemanan di antara lelaki dan perempuan, yang ada hanyalah keduanya diam-diam suka atau salah satunya mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. Sugesti lain dari masyarakat mengatakan bahwa tak ada hubungan abang-adik antara lelaki dan perempuan yang tak sedarah, yang ada hanya berujung pada cinta. Semua sugesti itu tidak sepenuhnya benar. Sebab kini, dengan Virga dan dia yang sudah mengungkapkan perasaannya, Aksel makin sadar bahwa cinta asmara bukanlah apa yang dia rasakan kepada Virga.

Aksel sadar bahwa masyarakat terlalu sering meromantisasi segala hal. Seolah semua hubungan non-darah di dunia ini akan dan selalu berujung pada cinta asmara. Ini aneh bagi Aksel, di saat yang dia tahu, cinta ada berbagai macam bentuknya. Bahkan cinta platonis yang merupakan cinta non-asmara memiliki cakupan yang lebih luas.

Barangkali karena media massa begitu menggembar-gemborkan mengenai cinta romansa, masyarakat sering meremehkan bentuk cinta yang lain. Seolah-olah bentuk cinta platonis seperti cinta adik kepada kakaknya, cinta anak kepada orangtuanya, dan segala bentuk cinta non-asmara itu tidak sekuat cinta asmara. Seolah-olah cinta asmara adalah bentuk cinta terkuat di dunia ini.

Namun kini, melihat Virga di sampingnya, Aksel merasakan rasa sayang dan peduli yang begitu kuat kepada gadis itu. Rasa sayang untuk melindungi. Rasa sayang tanpa menginginkan hal-hal romantis terjadi kepada mereka.

Lagian, sekarang gue kalau bayangin mau cium Virga aja rasanya jijik gila, pikir Aksel. Berasa kayak kakak mau cium adiknya and that's just EW UGH HELL NO.

Jika dipikir lagi, Mahesa benar. Dia tidak mencintai Virga sebagaimana cinta asmara seorang lelaki kepada perempuan. Ada sekat yang membuatnya tak mau menginginkan lebih. Tidak. Lebih tepatnya, bukan karena dia tak mau, tetapi memang ada sekat yang membatasinya untuk menginginkan hal itu. Sebab Virga memiliki dunia yang tak Aksel pahami dan tak bisa dimasukinya, dan Aksel juga memiliki dunia yang tak bisa dipahami dan dimasuki Virga.

"Semoga kecelakaan ini nggak bikin semangat Kak Aksel surut," ujar Virga, membangunkan Aksel dari lamunan singkatnya. "Kak Aksel kan, punya banyak ide buat Bentala. Kakak pasti bisa mewujudkan itu, kok."

Sudut-sudut bibir Aksel tertarik dengan sendirinya. "Iya, Cil. Doain gue biar cepat sembuh, ya."

"Siap, Kak." Virga tersenyum lebih lebar. "Nggak usah takut sama perubahan fisik yang terjadi di muka Kak Aksel. Nggak apa-apa. Yang penting Kak Aksel sehat. Tante Rima, Om Hardana, Kak Bara sama yang lain masih sayang sama Kak Aksel, kok. We all know that some people deserve a second chance."

Aksel tersenyum lembut. Mungkin, memang itu yang diperlukan. Sebuah kesempatan.

Bukan kesempatan dari orang lain, melainkan dari dirinya sendiri.

Aksel akan memberi kesempatan bagi dirinya sendiri untuk berubah jadi lebih baik.


***



"We're in Changi Airport!"

Aksel tersenyum saat berjalan melewati beberapa anak remaja yang sedang merekam video di luar bandara. Aksel pikir, barangkali anak-anak remaja itu baru pertama kali ke Singapura, jadi terlihat heboh ketika sampai di bandara Changi.

Di sebelahnya, Hardana Hadiwijaya menggeret koper menuju pintu keluar. Kini, tiga minggu pasca kecelakaan, Aksel sudah sembuh dari luka bakarnya. Dia juga sudah menjalani sesi konsultasi dengan terapis dan sudah dinyatakan lebih stabil emosinya. Namun berada di rumah, mengunjungi rumah temannya, atau saat ke terapis, rasanya begitu berbeda jika dibandingkan ketika dia kembali ke kantor.

Bersama teman-teman dan keluarganya, Aksel tak merasa aneh karena tak ada yang melihatnya demikian. Mereka melihat dan memperlakukannya seperti biasa. Seolah tak ada yang berubah dari fisiknya. Namun di kantor, dengan membuat wajah dengan luka bakarnya terpapar mata, Aksel bisa merasakan orang-orang menatapnya dengan begitu berbeda. Dan bukannya Aksel ingin terlalu peduli, tetapi rasanya sungguh tidak nyaman. Orang-orang menatapnya seolah dia memiliki dua kepala. Tak ada lagi yang menatapnya dengan binar kagum. Para perempuan yang biasanya menoleh kepadanya dua kali pun kini menatapnya dengan ngeri. Dan tatapan ganjil mereka terasa begitu berat meskipun Aksel tak menatap balik.

Aksel memutuskan untuk pindah kerja ke Singapura beberapa hari setelah resmi kembali ke kantor. Sebenarnya kerja di Singapura sudah direncanakan dari beberapa tahun lalu, tetapi baru dilaksanakan hari ini. Aksel juga sadar bahwa dia butuh suasana baru dan orang-orang baru. Namun, dia jelas harus bersiap dengan pandangan ganjil orang melihat luka bakar di wajahnya. Oleh karena itulah dia menggunakan syal dan topi untuk menutupi luka bakarnya.

Aksel hendak berjalan untuk meminta taksi, tetapi Hardana segera memanggilnya untuk berjalan ke arah lain. "Kita udah ada yang jemput, Sel," ujar ayahnya.

Mengangguk, Aksel pun berjalan mengekori sang ayah. Setelah berjalan kaki beberapa saat, ayahnya pun memelankan langkah ketika melihat Pajero Sport hitam mengilat di sisi jalan.

Menoleh ke arah Aksel, Hardana berkata, "Nih, Papa mau kenalin kamu sama seseorang." Hardana tersenyum lebar. Setelah itu, pintu mobil pun terbuka dari arah pintu kemudi.

Di luar dugaan Aksel, ternyata sopir mereka adalah perempuan. Terlihat dari balik pintu kemudi yang terbuka, ada high heels boots kulit dan kaki jenjang berlekuk yang dibalut jeans hitam. Jantung Aksel berdebar, mulai berspekulasi macam-macam. Nggak, nggak, nggak mungkin Papa selingkuh terus tiba-tiba minta aku ketemu selingkuhannya, kan? Enggak, kan? Plis Tuhan, dari segala hukuman jangan hukum saya seperti ini kasihanilah ibu saya.

Aksel menelan ludah. Pintu kemudi tertutup, menampilkan sosok perempuan tinggi dengan kulit cokelat zaitun yang tersenyum sopan ke arahnya dan ke ayahnya. Spontan, Aksel menelan ludah.

Damn, she's hot.

Kemudian, Aksel menggeleng-geleng. Plis, ini cewek masih muda. Masa iya dia mau jadi selingkuhan Papa? Iya sih, Papa kaya raya. Tapi, Papa nggak mungkin selingkuh, kan? Tapi kenapa Papa mengizinkan bawahannya pakai kaus sama jaket kulit gitu? Kenapa bukan pakaian yang lebih formal? Mana itu jeans-nya ketat jadi kakinya kelihatan bagus banget lekukannya woi!

"Nah, Aksel, kenalin," ujar Hardana, membuat Aksel waswas ketika didekati perempuan itu. Aksel bisa merasakan ada aura percaya diri menguar dari perempuan itu ketika sedang berjalan ke arahnya. Ketika berada setengah meter di sampingnya, Aksel menyadari bahwa perempuan itu tinggi sekali, nyaris mencapai kupingnya dengan menggunakan high heels. Tingginya bahkan melebihi Leia yang notabene keturunan Eropa.

Hardana melanjutkan, "Papa sadar, Sel. Mungkin setelah kecelakaan, kamu jadi agak minder sama mukamu. Makanya, Papa mau kenalin kamu sama salah satu karyawan Bentala yang mungkin bisa bantu meningkatkan kepercayaan diri kamu seperti semula. Nah, silakan memperkenalkan diri."

Aksel seketika menghela napas lega. Bersyukur perempuan itu bukan selingkuhan ayahnya. Dia pun menoleh lagi ke arah perempuan itu, mulai merasa rileks karena tak ada pretensi buruk.

Perempuan berjaket kulit itu tersenyum sampai mata. Matanya jernih seperti bayi. "Perkenalkan, saya Kintan Malika Soerjo, Vice President satu divisi Pak Aksel di Bentala cabang Singapura. Selamat datang. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."

Aksel membalas senyum itu, lalu berjabat tangan dengan khidmat. "Aksel Hadiraja. Head dari Departemen Ristek Bentala."

"Nah, Sel," ujar Hardana, menepuk bahu Kintan, "Si Kintan ini di waktu senggang jadi aktivis buat kampanye body-positivity sekaligus aktivis sosial buat remaja yang suka membenci tubuhnya sendiri. Kintan juga aktif di dunia maya untuk kampanye biar orang-orang mau menerima dan menyayangi tubuh sendiri apa pun bentuknya. Jadi Papa harap, kamu bisa kembali pede dengan sering-sering ngobrol sama Kintan. Siapa tahu, Kintan bisa bantu ya, Kin?"

"Iya, Pak." Kintan mengangguk. "Nanti kalau butuh konseling, tinggal kontak aja."

"Eh, bentar, saya angkat telepon dulu. Ibumu ini, Sel. Paling tanya kabar," ujar Hardana, terkekeh, lalu menyingkir sejenak untuk mengangkat telepon dari Rima.

Aksel pun menghela napas mengetahui asumsi bodohnya tidak jadi kenyataan. Untunglah, pikirnya.

"Pak Aksel," sapa Kintan, membuat Aksel menoleh. "Panas-panas begini kenapa pakai syal? Sakit, kah?"

"Eung...." Aksel seketika menarik syalnya ke atas, ingin menutupi lukanya yang sampai atas pipi. "Nggak sakit. Lagi mau pakai aja."

Kintan mengernyit, tetapi masih tersenyum. "Pak Aksel nggak pede sama luka bakarnya?"

Aksel mengangkat bahu. "This is not something pretty to see."

"I've seen worse," ujar Kintan. "And I always think that it can be something pretty to see."

Aksel memutar bola mata. "Mana ada luka bakar yang cantik, Neng."

"Pangeran Zuko di cerita Avatar Aang punya luka bakar. Tetap ganteng, kok."

Aksel terdiam. Menyipitkan mata. "Lo barusan bilang gue ganteng?"

Kintan tersenyum tulus dan mengangguk. "Iya."

Ebuset, pikir Aksel. Meragukan. Dia jelas masih ingat bagaimana rupa wajahnya di kaca tadi pagi. "Bohong, ah."

Kintan tertawa. "Ya udah kalau nggak mau percaya. Sesuatu yang saya anggap keren belum tentu orang lain angap keren juga, sih." Dia mengangkat bahu. Ketika melihat Hardana sudah selesai dengan teleponnya, Kintan menoleh ke arah Aksel dan tersenyum. "Ayo naik, Pangeran Zuko."

Mau tak mau, Aksel tersenyum mendengarnya. Dia menatap Kintan, merasa lebih diterima dengan tatapan dan senyuman perempuan itu.

Kelak beberapa bulan kemudian, Aksel pada akhirnya memahami makna pertemuannya dengan Kintan.

Because she was like a sudden clarity amidst all of the chaos.



TAMAT



-;-

Shout out dulu ke @napasbayi yang bisa nebak ending cerita ini gimana hahaha. Gue gatau lo pake intuisi apa logika apa gimana sampe bisa nebak kalo ntar Aksel sama Kintan. Bravo my sistah, bravo!



QnA

Q: LAH, ini cerita kok gantung. Lanjutannya ga ada?

Di sekuelnya, "Aklimatisasi"

Q: kapan publish?

Hanya di-publish cetak, tapi nanti dikasih teaser beberapa chapternya di sini. Aklimatisasi nanti dicetaknya gue barengin sama Deklasifikasi. Jadi nanti bundle dua buku gitu. Ya gimana akhirnya kalian follow up aja cerita ini, jangan dihapus dari library. 

Q: Lah, ceritanya Mahesa yang Retrogradasi?

Bakal jadi buku terakhir, makanya nggak diprioritaskan dulu. Btw judulnya udah diganti jadi "Egalisasi" biar lebih nyambung ke inti cerita.

Q: Jadi urutan pengerjaan cerita lo gimana?

Rekonstruksi baru Egalisasi. Egalisasi itu artinya penyelesaian, makanya kuganti judulnya jadi itu. Karena cerita Mahesa bakal jadi penyelesaian, penutup dari Seri Disiden.

Q: Jadi nanti di "Aklimatisasi" si Sutet sama Kintan?

Yap. Soalnya dipikir-pikir mereka itu asyik buat temenan. Aklimatisasi bakal asik banget (buat gue) karena you know, Sutet as Sutet bakal jadi manusia zuper-annoying yang menilai sesuatu dari materi banget, ngelihat cantiknya cewek itu cuma dari badan ramping kulit putih rambut lurus panjang dsb. Sementara Kintan versi dewasa (9 tahun setelah Substansi tamat) itu seorang aktivis sosial buat remaja yang suka membenci tubuhnya sendiri, jadi dia itu seleb dunia maya yang kampanye body positivity buat mencintai dan menyayangi tubuh sendiri apa pun bentuknya. Dan karena si Sutet wajahnya kebakar gitu, otomatis doi jadi down banget karena temen-temen cewek dia jadi ngejauhin dia. Di situlah gue bikin Kintan beraksi #tsah

Penjelasan lebih lanjut akan ada di part selanjutnya. Kalau sekarang, silakan kalian kasih tahu tentang:

1. Apa kesan kalian membaca ceritanya Sutet?

2. Adegan favorit?

3. Yang kamu dapat setelah baca cerita ini?

4. Saran perbaikan ke depannya selain EBI dan typo?

Buat pembaca Aberasi:

1. Saran perbaikan buat Aberasi (cerita Nolan) selain EBI dan typo?

2. Saran buat bonus PO Aberasi kalau misal dicetak?

Buat pembaca Afirmasi:

1. Saran perbaikan buat Afirmasi (cerita Bara-Leia) selain EBI dan typo?

2. Saran buat bonus PO Afirmasi kalau misal dicetak?


DEKLASIFIKASI

Semenjak menulis NTdTK, Virgaksel selalu jadi sorotan meski cuma sedikit adegannya. Banyak yang mau baca cerita mereka sendiri, tapi gue tahu gue nggak bisa nulis cerita mereka kayak bayangan banyak pembaca; cerita romansa cantik-cantik lucu tentang Aksel si player yang slebor ngejar Virga yang nggak peka. Gue selalu mikir mereka itu lebih dari sekadar cerita romance cantik lucu-lucu kayak gitu. Karena ada kemungkinan bahwa mereka nggak bersatu. Dan karena adanya kemungkinan itu, gue tahu gue harus gali karakter mereka dulu untuk paham apa yang sebenarnya terjadi. Karena gue sadar memang pembaca romansa kebanyakan itu pada nggak suka ending di mana dua tokoh utamanya nggak bersatu (efek media massa, biasalah). Tantangan gue adalah bagaimana gue bisa membuat pembaca (minimal 80%) yakin bahwa emang Aksel harusnya nggak dipasangin dengan Virga.

And I did it. Walau memang akan ada aja pembaca yang masih baper dan ingin Virgaksel bersatu, I still did it. Karena 80% (bahkan lebih) respons pada nggak mau Virgaksel bersatu wkwkwk.


TIM #VIRGAKSELHARUSBERSATU

Tenang aja. Gue paham kok kenapa kalian begitu ingin Virgaksel ingin bersatu.

Alasannya tuh simpel banget:

"Virgaksel itu chemistry-nya kuat, dan kuyakin Virga itu aslinya cinta sama Aksel tapi dia nggak mau baper aja makanya gamau peka sama setiap rayuan Aksel. Tapi aku yakin dia sebenernya masih cinta. Dan Aksel cinta dia dengan tulus. Aku bingung dan kesel kenapa orang-orang malah benci gitu sama Aksel. Padahal Aksel itu aslinya baik, tapi caranya aja yang salah."

Izinkan gue menarik napas panjang.

Begini penjelasan gue. Mohon disimak baik-baik demi kemaslahatan umat manusia.

1. Virga emang baik, tapi dia nggak bego.

2. Karena Virga nggak bego, dia sadar Aksel playboy, dan karenanya sengaja menamengi diri dengan pikiran-pikiran realistis biar dia nggak baper lebih lanjut trus ngarep Aksel suatu saat akan berubah buat diri Aksel sendiri.

3. Menamengi diri dengan pikiran realistis itu nggak ada salahnya. Justru bagus. Virga sadar kalau dia ngarep, maka selama-lamanya dia akan ngarepin sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi.

4. Ketika beranjak makin dewasa, Virga sadar bahwa dia dan Aksel udah berbeda pandangan dan tujuan. Ini terkait dengan pertanyaan Virga pas dia nonton ke bioskop bareng Aksel (di situ ketemu Virgo). Dia sebenernya lagi bertanya apa tanggapan Aksel mengenai makna hidupnya di dunia ini dengan nanya apa artinya bagi Aksel kerja di Bentala. Dan, jawaban Aksel nggak memuaskan Virga, karena Virga cari lelaki yang memiliki makna hidup di dunia ini, dan sadar bahwa there's more to life than to be happy. Kriteria calon suami buat Virga itu udah berubah seiring Virga tambah dewasa, sementara kriteria Aksel ya stuck di situ-situ aja karena dia nggak upgrade diri secara mental. Ini sebenernya logika simpel. Ketika kamu (kalau kamu cewek) masih awal-awal puber, kamu pasti tertarik sama cowok yang ganteng. Makin dewasa, kamu sadar behaviour sama attitude itu penting, makanya kamu lebih naksir cowok yang attitude dan behaviour-nya oke. Kriteria kita akan berubah seiring kita dewasa dan sering upgrade diri. Sayangnya, ketika Virga sering upgrade diri, Aksel justru stuck di situ-situ aja karena dia udah merasa dirinya sempurna tanpa cela, dan orang-orang selalu memuja dia, seolah seluruh dunia ada di bawah kakinya. Sehingga ketika Aksel melakukan sesuatu dengan cara yang salah (kayak dia yang main hakim buat pacar-pacarnya) orang-orang tetap nganggep dia hebat karena segudang kelebihan Aksel. Dan karena 'diwajari' begitu, Aksel merasa dialah yang benar, yang lain salah. Coba deh. Shipper Virgaksel yang masih bertahan pada membutakan diri sama sifat kekanakan Aksel kah? Itu antara kalian nggak mau menyadari atau kalian begitu terpesona sama Aksel.

5. Kalau kamu masih berpikir Virga masih cinta sama Aksel, yha... ya siapala saya. Memang banyak hal di dunia ini yang tak bisa saya kontrol.

Gue paham kenapa kalian begitu ingin Virgaksel bersatu. Kalian baper, ngarep Aksel dan Virga hubungannya bisa sehangat dan seunyu pas mereka masih kecil, di mana Aksel kelihatan peduli dan sayang banget sama si Pacil, dan interaksi mereka unyu-unyu abis.

Sebenernya dari sini, gue tarik asumsi kampret bahwa kalian itu orangnya susah move on dan kemakan romantisasi dari media massa.

Tapi, itu masih asumsi kampret sih.

You see, banyak orang gabisa move on karena mereka terlalu sering melihat memori, melihat ke belakang, ngarep yang dulu pernah terjadi masih bisa terjadi lagi. Same thing happen to Virgaksel's shipper. Banyak yang ngarep sisi Virgaksel yang pas mereka masih muda, yang pas awal-awal kenal itu bisa terulang lagi kalau Virga bersatu sama Aksel.

LOL.

Romatisasi dari media massa itu emang taik sih hahaha. Segala hal diromantisasi. Padahal cinta itu luas, nggak cuma cinta asmara. Itulah kenapa banyak kids jaman now begitu menghamba cinta. Orang media massa juga menggembar-gemborkan itu seolah-olah cinta asmara adalah bentuk cinta paling kuat di muka bumi. Jadinya tuh orang-orang (barangkali kalian juga) pada sangsi atau susah meyakini bahwa cinta platonis (cinta non-asmara) itu bisa sama kuat atau bahkan lebih kuat daripada cinta asmara. Kayak Virga dan Aksel. Mereka saling sayang tapi bukan dalam bentuk cinta romansa. Family isn't always about blood, darling. Cuma karena mereka nggak sedarah, bukan berarti mereka nggak bisa merasakan cinta platonis. Mungkin lo mikirnya chemistry mereka kuat dan mereka cocok jadi pasangan, padahal bukan gitu. Chemistry kuat itu bisa jadi cocok untuk macam-macam, entah itu sahabat, saudara, atau kayak orangtua dan anak seperti Regen dan Awan (nanti dibaca di Arkais aja haha).

Makanya kalau punya chemistry kuat sama orang, nggak usah kebanyakan ngarep jadi pasangan haha. Sebab siapa tahu cocoknya jadi sahabat atau kakak-adikan.

Masih nggak percaya kalau cinta platonis bisa kuat? Wah, selamat! Anda terkena sugesti tingkat dewa dari media massa!

Apa yang udah terjadi seringkali nggak bisa terulang. Manusia berubah, termasuk Aksel dan Virga. Aksel yang dulunya kocak dan hangat malah jadi obsesif atas pilihannya untuk jadi player. Lo nggak bisa mengubah itu karena itu pilihan Aksel. Orang yang menantang diri sendiri untuk melakukan tindakan destruktif itu lama-lama bisa kecanduan, sebab kegiatan yang berdosa itu biasanya rasanya nikmat, makanya bikin ketagihan. Intinya dia melakukan kesalahan dan menikmati masa-masa ketika dia berhasil menyakiti orang. Gue kasih tahu: ITU SAKIT NAMANYA. Masa kagak ada yang sadar Aksel rada sakit dari part dia mau jadi polisi moral sampai berkorban segitunya (nyiapin duit buat dinner mahal, beli kado, jemput pakai Lamborghini) hanya demi menyadarkan cewek bego? Lo nggak perlu jadi player untuk paham bahwa mutusin orang dan melihat orang itu tersakiti atas ulah lo itu bukanlah hal yang perlu dinikmati. Ya kalau misal lo punya pacar yang nyebelin dan lo putusin, palingan lo merasa lega, bukan merasa nikmat karena berhasil menyakiti pacar lo ini.


TIM #MAHESAJAHAT

Gue paham, sebab lo baru ngelihat masalah ini dari sisi Aksel.

Kalau kata gue sih dia nggak jahat, dia nggak bajingan, tapi dia egois, dan situasinya emang sulit buat dia ngungkapin ke Aksel. Secara kode etik pertemanan yang tak tertulis, harusnya dia ngomong dulu ke Aksel kalau dia naksir Virga, bikin kesepakatan enaknya gimana buat bersaing sehat, baru dia deketin Virga. Tapi ya itu sih. Ada 'situasi sulit' yang gabisa gue jabarin di sini, tapi bakal gue jabarin di ceritanya Mahesa. Cuma yah, kalau lo maunya menilai kebajingan Mahesa hanya dari sisi Aksel ya terserah lo sih.

Padahal kalau dipikir-pikir sih emang Mahesa aja yang egois karena dia nggak mau Virga jatuh ke tangan Aksel yang playboy dan kekanakan. Dia mending Virga jadian sama cowok lain yang lebih beres daripada jadian sama Aksel. Parah sih emang egois banget ini cowok ckckck.


TIM #SAGA COUPLE

They aren't perfect, and both Virga and Mahesa understand that.

I somewhat think that they were like living on another dimension. Dalam arti, gue tuh ngerasa mereka udah melewati sisi manusia yang masih mementingkan duniawi gitu. Makanya mereka lebih ke hidup yang bermakna, minimal bisa bermanfaat bagi sesama. I mean, sure, mereka masih punya kekurangan. But seriously tho, mana ada sih, manusia yang bener-bener sempurna?

Setelah gue kenalin karakterisasi mereka lebih dalam, gue sadar alasan mereka bisa attracted terhadap satu sama lain adalah karena mereka punya tujuan yang sama. Dan tujuan itu gaada hubungannya dengan hal-hal keduniawian kayak pernikahan dan semacamnya. That's why I think they were living on another dimension than most humans.

Sejak awal pun, ini kan sebuah seri. Hint dan clues itu tersebar bagi kalian yang baca seri lainnya. Kalau kalian baca Aberasi chapter "Arus" kalian mungkin nyadar kalau Mahesa itu bukan cari kebahagiaan atau dongeng dunia, sebab dia lebih fokus membantu sesama. Dan, cowok kayak itu yang dicari Virga (berdasarkan dua chapter, yakni chapter "Pergi" dan chapter "Datang"). Gue merasa mereka bakal paham struggle masing-masing dalam hal kemanusiawian, makanya mereka cocok. Sementara di sisi lain, Aksel itu walau di awal udah nemenin Virga, dia jarang berusaha memahami, maunya dimengerti mulu. Bahkan walau Aksel bukan playboy pun, menurut gue, dia tetap nggak cocok bersanding dengan Virga karena Aksel kekanakan. Walau seiring berjalannya waktu, Aksel bakal jadi lebih dewasa. Tapi ya kayak yang Aksel pikirkan, sih. Ada sekat antara mereka yang membatasi Aksel dari menginginkan lebih. Sekat ini adalah sisi-sisi dunia mereka yang emang beda. Bahasanya mudahnya itu, beda visi-misi hidup.


Tim #VirVirCouple

Virgo udah punya pacar beberapa tahun setelah kenal Virga. Maaf ya.


Tim Tapi kenapa harus Mahesa? Kenapa nggak Virgo?

Soalnya gue mau ngancurin Republik Jomblo Raos LOL.

Nggak, canda. Tapi karena emang Mahesa lebih cocok secara kepribadian sama si Virga. Gue susah sih jelasinnya karena kalian kan belum baca Egalisasi, dan Egalisasi itu buku terakhir jadi yha kalian harus menunggu Rekonstruksi dulu.

Trus emang sengaja Mahesa, karena pertemanan tuh ya begitu. Ada aja masalahnya. Ya gak tikung menikung juga, sih (lagian nikung dari mana dah? Orang sejak awal pun Virga bukan pacarnya Aksel). Ini semua bisa kacau kan karena karakternya. Kalau misal yang naksir Virga itu Bara sama Mahesa, gue yakin pasti mereka nggak akan ribut, karena mereka sama-sama dewasa dan bisa menyikapi penolakan. Nggak ada cerita mereka mikir satu sama lain nikung. Cuma kan masalahnya... ini Aksel, makanya semua jadi kacau. Lagi pula itu salah satu cara Tuhan membalas apa yang udah Aksel perbuat. Makanya jadi manusia jangan sombong wkwk.

Dan lagian, serius lo nggak bosan sama cerita playboy or bad boy yang naksir-naksiran sama good girl, trus ada tokoh good guy yang selalu nemenin si good girl, etapi pembaca pada tergila-gilanya sama si playboy/bad boy yang akhirnya jadian atau nikah sama si good girl-nya? Serius nggak bosan?

Ya maksud gue, kalau lo nggak bosen, harusnya lo baca cerita lain. Bukan malah salah alamat baca cerita gue. Masalahnya kan, gue bosan sama cerita begitu. Maksudnya, ngayal amat gitu, playboy atau bad boy malah dibikin tobat karena ketemu cewek yang tepat. Terus yang gue kesel, ini tokoh good guy-nya kenapa ngebosenin sih? Emangnya tokoh cowok baik ngebosenin? Emangnya nggak bisa gitu, bikin tokoh cowok baik yang badass, yang passionate sama bidangnya, yang tulus, ya pokoknya yang menarik gitu nggak bisa, ya? Kenapa cowok baik sering dibikin bosenin dibanding tokoh player atau bad boy-nya gitu, sih? Heran gue.

Ya karena itulah gue bikin saingannya si Aksel adalah Mahesa. Karena karakter Mahesa menurut gue udah cukup kuat.

Ya udah, itu A/N gue paling panjang WOW saya takjub kalian masih baca sampai akhir.

Sampai jumpa di Arkais dan Rekonstruksi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top