30 : Luka :
Chapter 31 itu chapter terakhir.
Dari semua komen, yang bisa nebak akhir cerita ini cuma satu orang. Gue sampe kaget hahaha.
EH BTW, buat yang penasaran kelanjutan kisah Tante Varsha sama Om Regen, jangan lupa masukkin "Arkais" ke library ya.
-;-
30
: l u k a :
2018
Mereka duduk bersebelahan. Sama-sama menatap lantai.
Mendesah, Bara mengenggam kedua tangannya. Menunduk, memejamkan mata. Di sampingnya, Leia mengelus punggungnya. Ingin membuatnya lebih tenang.
Sudah empat jam berlalu dari dia menginjakkan rumah sakit. Beberapa jam lalu, masih di pelaminan dan menyalami kolega ayahnya, mendadak ada keributan di luar ballroom dan kabar bahwa adiknya pingsan tertabrak troli. Troli tersebut jatuh, menumpahkan minyak yang kemudian menjadi penyulut ketika ada lilin menyala yang jatuh. Sang pelayan dikatakan sebagai karyawan baru. Pelayan yang mendorong troli berkata bahwa saat awal pengecekkan, lilin aromaterapi yang dibawa memiliki api lebih besar dari biasanya. Sehingga dengan asumsi bahwa besar apinya dapat menjadi normal seperti besar api lilin aromaterapi yang biasa dipakai, lilin tersebut sengaja dinyalakan ketika dibawa menuju salah satu kamar tujuan, dan yang membawa jelas sudah berjalan dengan hati-hati. Tak ada yang menyangka bahwa ada pria yang berlari tanpa tedeng aling-aling lihat kanan-kiri, menyebabkan troli itu tertabrak, terjatuh dan apinya menyebar. Beruntung penyelamatan cepat dilakukan, sehingga api itu tak menyebar ke tempat-tempat lain. Setelah diselidiki, ada kemungkinan cacat produksi dari lilin itu. Pernikahan yang dilaksanakan pun bubar karena ternyata yang pria yang mengalami kejadian itu adalah adik dari sang mempelai pria.
Usai mendapat kabar duka itu, Bara, Leia, serta yang lain pun ikut mengantar Aksel ke rumah sakit. Sudah beberapa jam terlewati. Kedua mempelai kini sudah berganti baju dan menunggu Aksel sadar di dalam kamar rawat inap.
Bara menghembuskan napas kasar, memijat pangkal hidungnya. Dia meraih tangan Leia yang mengelusnya, lantas menatap istrinya itu. "Maaf karena nikahan kita malah jadi kacau, Lei."
Leia tersenyum, mengelus tangan Bara. "Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga kecelakaan, nggak ada yang bisa prediksi."
Bara menarik napas lagi. Sungguh, dia merasa bersalah. Satu hal yang dia syukuri adalah beruntung dia sudah menjalani ijab kabul tadi pagi dan acara resepsi pun sudah hampir di penghujung acara.
Bara menatap ibunya yang duduk di samping ranjang Aksel. Ayahnya berdiri di samping ibunya sambil mengelus-elus pundak istrinya itu. Bara menarik napas lagi. Dari semua hal, dia paling tidak tega melihat orangtuanya terlihat sedih seperti ini. Dia sudah pernah melihat Aksel sehabis baku hantam entah dengan siapa dan meninggalkan luka atau bengkak di wajah. Rima sebagai ibu mereka jelas berlaku sebagai sosok ibu yang akan ada ketika anaknya butuh. Wajah yang ditampakkan Rima kini lebih terlihat tertekan dibanding saat dulu mengetahui kelakuan Aksel kepada banyak perempuan.
Pandangan Bara turun ke lantai. Tangan istrinya pun dia elus lagi untuk mencari ketenangan.
Bara teringat lagi dengan satu jam sebelum ini, waktu setelah dokter menyatakan Aksel sudah berada dalam kondisi aman. Saat itu, Virga datang dan meminta maaf kepada Rima dan yang lain atas kondisi Aksel. Gadis itu menangis, benar-benar tidak menyangka bahwa kejadiannya akan berakhir seperti ini. Rima memeluknya dan setelah dibujuk beberapa kali, Virga pun menceritakan kronologis kejadian hingga Aksel mengalami kecelakaan ini.
Saat semua mendengarkan, tidak ada yang tidak kaget. Virga bukanlah orang asing bagi keluarganya. Ibunya bahkan sudah kenal Virga sejak gadis itu masih SMP. Sehingga jelas, setelah Virga mengatakan semua isi pembicaraannya dengan Aksel, perkataannya dipercaya oleh satu keluarga.
Dan tentu, Bara tak menyangka bahwa adiknya akan... seobsesif itu.
Kadang, Bara melihat ke memori masa lampau dan menyesali tindakannya yang tak berusaha menghentikan Aksel. Dia dan teman-temannya hanya memperingati Aksel, dan yang Bara yakini adalah Aksel sudah cukup dewasa untuk tahu konsekuensi. Hanya saja, apa yang dipaparkan Virga sungguh membuat satu keluarga terkejut. Meski Virga berkata dia memaafkan Aksel, Bara tahu bahwa orangtuanya berpikir lebih jauh dari ini.
Sekarang, menunggu Aksel sadar, mereka tengah berdiam setelah mendiskusikan tindakan selanjutnya untuk Aksel. Tadi, Regen juga sempat ikut untuk diskusi. Dan hasilnya, mereka sepakat untuk memberi tahu Aksel konsekuensi atas kelakuannya selama ini setelah lelaki itu sadar dan stabil secara emosi.
Bakal kayak gimana reaksi Aksel nanti begitu tahu tentang luka bakar di muka dia? batin Bara, merasa kasihan, tetapi dia tahu inilah konsekuensi atas apa yang Aksel lakukan. Dan bakal kayak gimana reaksi dia kalau tahu dia diberhentikan sementara di Bentala sama Papa untuk diterapi?
Sambil memikirkan itu, tak lama ada pergerakkan dari lelaki di atas ranjang. Keempat orang selain pasien di ruangan itu mendekat. Dan perlahan, kelopak mata Aksel terbuka.
Beberapa saat, Aksel membuka lalu mengatupkan mulut. Alisnya pun bertaut. Tangannya segera terangkat ke arah bagian kiri kepalanya. Matanya sontak membeliak dengan mulutnya terkesiap. Aksel mendadak teriak agak histeris.
Semua mendekat, berusaha menenangkan. Rima memeluk anaknya yang histeris menendang-nendang. Aksel terlihat ingin bicara, tetapi tak mampu. Hingga akhirnya, lelaki itu pun menangis.
Bara memerhatikan dalam diam. Dia melirik Leia di belakangnya, kemudian dengan pelan, dia berbisik meminta perempuan itu untuk keluar dulu memanggil suster dan dokter. Leia pun mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan. Tersisa empat orang termasuk Aksel di dalam ruangan.
Setelah emosi Aksel mereda, Rima pun sigap mengambil air putih. Dia duduk di pinggir ranjang Aksel. Usai minum, Aksel menatap anggota keluarganya satu per satu, lalu mulai melihat tangan kirinya yang dibalut perban. Bagian kaki hanya terlihat memerah dan terasa nyeri. Berdasarkan pemeriksaan, Aksel memiliki luka bakar derajat I di wajah dan kakinya, yakni terbakar hingga lapisan epidermis, membuat kulitnya memerah tanpa pelepuhan. Akan tetapi luka bakar di tangannya membutuhkan perawatan lebih sebab masuk dalam derajat II superfisial. Bara yakin luka ini akan sembuh meski tak sempurna. Hanya saja bekas luka itulah yang dia tahu akan dipermasalahkan oleh orang seperti Aksel. Adiknya yang begitu bangga akan wajah tampannya pasti akan terpukul dengan kejadian ini.
"Sel...," panggil Rima lembut. Dia mengelus rambut anaknya, ikut terpukul melihat betapa tertekan wajah Aksel mengetahui luka bakar di tubuhnya. "Aksel, jangan dilihat dari sisi negatif aja, ya, Nak. Mama bersyukur seenggaknya badan kamu masih sehat. Kamu masih bisa beraktivitas kayak biasa kalau udah sembuh."
"'Biasa' apanya, Ma?" bisik Aksel tajam. Dia terlihat begitu ngeri melihat bekas luka bakar di tangannya. "Apanya yang 'biasa' dari ini semua? Mukaku kebakar, Ma!"
"Iya, Nak...." Rima berusaha menenangkan. "Iya, Mama paham ini pasti bikin kamu tertekan."
"Nggak akan ada yang mau dekat sama aku kalau kayak gini, Ma! Karyawan juga pasti pada takut!"
Rima menarik napas. Aksel terlihat frustrasi sekali. Kemudian, pintu terbuka dan menampilkan seorang dokter beserta suster yang hendak memeriksa Aksel. Aksel mempertanyakan mengenai luka-lukanya, dan dokter berkata bahwa lukanya akan sembuh dalam beberapa minggu.
Usai suster dan dokter keluar, sambil memejamkan mata, Rima pun berkata, "Sel, kenapa kamu cuma melihat dari sisi negatif, Nak?" Rima mengelus pundak anaknya. "Coba kamu lihat dari sisi lain. Sisi positif yang juga membuat Mama bersyukur. Tanganmu masih bisa bergerak kalau nanti udah sembuh. Mata kamu nggak kenapa-kenapa. Mulutmu juga nggak robek. Telingamu juga nggak kenapa-kenapa, Sel. Masih ada hal-hal positif yang bisa kita syukuri."
Aksel terdiam. Dilihat dari wajahnya, dia hanya sedang serius berpikir sambil mengernyit dalam. Rima tahu saat ini Aksel sudah lebih mau mendengarkan orang lain.
"Ya udah, kamu makan dulu ya, Nak. Malam ini kan, perutmu belum keisi. Biar Mama minta bawakan makanan buatmu," ujar Rima, kemudian berdiri untuk meninggalkan ruangan.
Setelah Rima keluar, Hardana mendekatkan kursi ke sisi ranjang Aksel. Dia mengamati tubuh Aksel. Ada jeda beberapa detik sebelum dia bertanya, "Gimana keadaanmu sekarang?"
Aksel menelan ludah. Dia merasa seisi hati dan otaknya benar-benar berantakan. Dia tidak paham kenapa ini semua terjadi kepadanya. "Kacau, Pa."
Hardana merilekskan tubuh, menarik oksigen ke paru-paru. "Sebelum kecelakaan, kamu ketemu Virga, Sel?" tanyanya, meski dia sudah tahu jawabannya. "Tadi Virga cerita. Dia merasa bersalah karena bikin kamu kayak begini. Tapi, kami semua di sini tahu bahwa itu bukan salah Virga. Ini memang murni kecelakaan yang terjadi karena keteledoran."
"Keteledoran," ulang Aksel, kemudian teringat sesuatu. "Pelayan yang bikin aku begini ada di mana?"
"Di hotel, mungkin lagi dievaluasi sama atasannya." Hardana mengamati tangan Aksel, kemudian menatap anaknya dengan tenang. "Papa, Mama, sama abangmu sudah memaafkan dia. Papa harap kamu juga bisa memaafkan pelayan itu."
"Gimana bisa?" Mata Aksel menyipit. "Dia yang bikin aku jadi kayak gini, Pa. Kalau bukan karena keteledoran dia, aku nggak bakal jadi kacau begini!"
Hardana terdiam, masih tenang. Dia mengamati anaknya dengan saksama. Mengerjap dua kali, Hardana pun membalas, "Sekarang Papa paham." Hardana menatap Aksel dengan serius. "Aksel, berdasarkan cerita Virga dan pelayan itu, mereka sama-sama berkata bahwa kamu berlari-lari tanpa lihat kanan-kiri. Kamu mungkin nggak suka ditunjukkan kesalahannya seperti ini, tetapi nyatanya ada andilmu juga hingga kamu kecelakaan." Hardana memberi jeda untuk memberi Aksel waktu berpikir. "Dan, dengan kamu yang justru menyalah-nyalahkan orang lain dalam keadaan tertekan seperti ini, Papa anggap kamu memang jauh dari kata siap menggantikan Papa di kantor."
Aksel terperanjat.
Setelah kejutan bagai petir mengenai pekerjaannya. Aksel membuka mulut. "Maksud Papa?"
"Papa sudah pikirkan," ujar Hardana. "Kamu akan Papa berhentikan untuk sementara. Kamu tidak bisa bekerja di Bentala Indonesia maupun di kantor cabang Singapura kecuali Papa sudah mengizinkan. Papa, Mama, sama Regen udah bicara dan kami sepakat untuk memberi kamu waktu buat konsultasi dan terapi sifat obsesif kamu. Dengan emosi kamu yang seperti ini, Papa nggak mau melepas kamu bekerja lagi sebelum emosimu stabil."
Ini bagai petir kedua untuk Aksel.
Aksel membuka mulut. "Terapi?" tanyanya, tak terima. "Pa! Papa pikir aku sakit jiwa?"
"Bukan. Tapi, kamu emotionally unstable dan obsesif ke Virga. Itu adalah sesuatu yang perlu diterapi. Papa nggak mau suatu saat kamu melakukan hal-hal yang merugikan karena obsesi kamu itu."
Aksel terdiam. Pikirannya mulai beranjak ke masa-masa bersama Virga; apa yang mereka lakukan, apa yang dia ucapkan. Dan rasa-rasanya, dia tertohok oleh kenyataan atas apa yang sudah dia ucapkan kepada Virga.
Ngapain lo ngehina ibunya, Sel?
Aksel mengerjap, benar-benar merasa berantakan. Dia tidak tahu, sungguh. Dia tidak paham kenapa dia mengucapkan hal itu. Dia sadar sekaligus tak sadar. Kenapa? Ada apa dengannya?
Dia bahkan bingung apa yang harus dia rasakan. Sebab yang dia rasa hanya perasaan kacau, berantakan, seperti benang kusut yang tak bisa dia temukan ujungnya. Dia kembali teringat dengan setiap ucapannya kepada Virga, bagaimana gadis itu menamparnya, menangis di depannya dan dia sadar sekaligus tak sadar bahwa dialah yang menyebabkan tangis itu keluar.
Dia hanya merasa kacau.
Aksel menenggelamkan wajah pada kedua tangannya. Dia menggeleng. Ini aneh sekali. Harusnya dia merasa bersalah – Aksel tahu harusnya dia merasa demikian. Namun, dia tak merasakannya. Dia tahu itu salah, dia tahu harusnya dia merasa tersakiti karena melihat Virga menangis karenanya, tetapi dia tak bisa merasa. Dia hanya tahu bahwa normalnya, dia harus merasa ikut sedih karena perempuan yang dia cintai menangis, serta merasa bersalah karena Virga menangis karena dirinya.
Tak ada satu hal pun yang masuk akal baginya. Ini mengerikan. Dan pada akhirnya, dia justru takut dengan dia yang tak bisa merasa.
Pintu terbuka, lalu Rima masuk dengan Regen mengikuti di belakangnya. Ketika mendengar suara Regen menyapa yang lain, kepala Aksel sontak mendengak dan memanggil Regen.
Regen mendekat, seketika lengannya disambar oleh Aksel, sedikit membuatnya kaget. Aksel merasa kehilangan napas. "Om," napas Aksel terengah, dia merasa ketakutan dan agak gemetar ketika meraih lengan Regen. "Om, why can't I feel sorry or regret?"
Alis Regen yang mengernyit seketika terangkat. Dia memandangi Aksel, lalu memandang Bara dan yang lain. Dia pun berkata, "Mohon maaf, bisa tolong tinggalkan saya sebentar buat bicara sama Aksel empat mata?"
Mengangguk, anggota inti keluarga Aksel pun meninggalkan ruangan. Rima menitipkan makanan untuk dimakan Aksel. Regen mendekatkan meja makan dorong yang sudah diletakkan nampan berisi makanan ke arah Aksel. Namun, Aksel hanya mengambil air putih untuk dia minum sejenak.
Regen pun duduk di kursi samping ranjang lelaki itu. Sejurus kemudian, dia bertanya, "Apa yang kamu rasakan sekarang, Sel?"
Aksel hanya menggeleng. Dan, kenyataan inilah yang membuat dia dan Regen takut. "Kacau. Nggak merasa bersalah padahal harusnya merasa bersalah."
Regen mengangguk. "Seenggaknya kamu masih ada sisa kewarasan."
"Gue harus apa?" tanya Aksel. "This is wrong, I know. I don't feel like I'm a human. I know what I should feel but I don't feel it. Why?"
Dengan tenang, Regen membalas, "Saya juga nggak paham. Barangkali empatimu nggak aktif. Tapi, empati manusia nggak mungkin non-aktif dalam sekejap." Dia terdiam ketika berpikir. "Om udah dengar tentang semuanya. Termasuk sepak terjang kamu dengan pacar-pacarmu. Apa yang kamu lakukan selama ini, Sel? Saya curiga ada sesuatu dari pengalamanmu sama pacar-pacarmu."
Aksel dengan tegas menggeleng. "Gue nggak pernah ML sama mereka. Mentok-mentok kissing."
"Bukan itu." Regen mengernyit. "Begini. Kamu pacaran dengan banyak perempuan dan kamu merasa nggak bersalah menyakiti mereka?"
"Ya enggaklah," ujar Aksel, heran. "Ngapain merasa bersalah, Om? Yang salah itu mereka. Udah tahu gue player, malah naksir, malah menantang-nantang diri buat naklukkin player. Padahal jelas-jelas gue nggak akan berubah demi cewek bego kayak gitu."
Regen masih menatapnya dengan serius. Tatapannya penuh kalkulasi. "Sebentar," ujarnya, lalu membuka ponsel untuk memanggil seseorang datang ke ruangan Aksel.
Tak lama, muncullah sosok Varsha yang sudah berganti baju dari pakaiannya saat di resepsi. Dia mendekati Regen, menarik kursi untuk duduk di sebelahnya, lalu berbincang sejenak bertanya keadaan Aksel. Dia lalu menatap Regen. "Tadi kenapa manggil, Mas?"
"Ini," Regen mengedik ke arah Aksel. "Kamu udah dengar tentang Aksel, kan?"
Ada jeda beberapa saat ketika Varsha menarik napas, memejam sejenak, lalu menatap Aksel dengan tajam. "Iya," ujarnya, menambah pandangan serius. "Aksel, jujur saya kecewa sama kamu," lanjutnya dengan nada formal. Seketika membuat Aksel tertegun, dan dia kembali teringat masa-masa ketika Varsha adalah atasannya saat perempuan itu masih bekerja di kantor. "Saya pikir kamu bisa lebih baik dari ini. Kenapa kamu malah membebani perlakuanmu ke Virga? Kamu pacarin ratusan perempuan dan lantas bilang itu semua demi Virga? Biar berkurang perempuan-perempuan bodoh seperti ibunya Virga, kamu bilang? Ada apa dengan kamu?"
Aksel membisu. Mendadak merasa seolah dirinya habis tertangkap basah mencuri. Dia menunduk dengan perasaan bersalah menggelayut di dalam dadanya.
"Saya berusaha untuk menyikapi ini dengan kepala dingin," lanjut Varsha. "Tapi, saya memang masih nggak bisa terima kamu malah menyalahkan keponakan saya dan menghina ibunya seperti itu. Kamu sudah 28 tahun, Aksel. Bagian mana dari ucapanmu ke Virga tadi siang yang menunjukkan kamu adalah pria dewasa berusia lebih dari seperempat abad? Hektor yang masih SMA saja tahu bahwa dia nggak boleh menghina orangtua teman-temannya."
Aksel merasa makin menciut. Dia menunduk kian dalam dan merasakan beban di hatinya makin berat.
Varsha menutup kelopak mata, lalu berhitung dari satu sampai lima belas dalam hati. Regen mengelus pundaknya untuk menenangkan istrinya.
Usai membuka mata, Varsha pun melanjutkan, "Seharusnya saya nggak menghakimi kamu seperti itu. Tapi, sepertinya nggak ada orang yang benar-benar menunjukkan di mana sebenarnya letak kesalahanmu." Dia memegangi tangan Regen, mengenggamnya selagi melanjutkan, "Kenapa kamu melakukan itu, Sel? Dengan melihat pacarmu yang tersakiti di akhir masa pacaranmu, apa kamu merasa bersalah?"
Aksel terdiam. Namun, dia tahu Varsha meminta jawaban jujur. "Enggak, Tan."
Giliran Varsha yang terdiam untuk berpikir. "Apa orang-orang selama ini memaklumi tindakan kamu?"
Aksel mengernyit sejenak. "Iya. Lagian, gue juga niatnya baik, Tan. Mungkin emang caranya aja yang konyol. Tapi, orang-orang dan cewek-cewek juga pada sadar kalau niat gue baik. Soalnya gue pikir... kenapa juga harus disalahin? Karena efek dari apa yang gue lakuin pun ada dengan bikin perempuan jera."
Varsha memandangi Aksel datar dengan penuh kalkulasi. Aksel memandag Varsha sejenak sebelum menunduk lagi karena tatapan Varsha terasa berat. Terkadang, hal ini membuat Aksel berpikir bahwa Varsha adalah Regen versi perempuan, tetapi dalam versi yang lebih luwes, lebih keibuan, lebih mau basa-basi demi kesopanan. "Ini cuma asumsi," ujarnya tenang. Dan Aksel bersyukur nada yang digunakan Varsha kini sudah lebih lunak. "Mungkin, kamu jadi korban atas sugesti yang kamu pikirkan, Sel. Kamu menyakiti mereka atas nama kebaikan, tapi kamu nggak mau empati sama pacar-pacar kamu. Coba bayangkan, Sel. Seandainya perempuan itu memang, katakanlah, 'pengkhayal babu' seperti istilahmu. Dia ingin punya pacar atau suami sempurna yang tampan, kaya, cerdas, dan membanggakan. Tapi di saat yang sama, sebenarnya itu adalah pelarian dia karena dia punya masalah lain. Bisa jadi dia di-bully, atau punya keluarga yang disfungsional, atau pernah mengalami pelecehan seksual. Kita nggak pernah tahu. Satu hal yang saya yakini benar adalah kita nggak boleh menyakiti perasaan orang lain, Sel, apa pun alasannya. Sebab bisa jadi dia punya masalah lain yang benar-benar serius, yang udah bikin dia lelah jiwa dan raga. Dan kalau kamu menyakiti mereka dan merendahkan mereka, itu hanya akan menambah beban mereka. Bisa jadi mereka merasa bersalah dan ikut merasa bahwa dirinya rendah, bisa jadi sampai merasa hidupnya nggak berguna saking rendahnya diri dia. Dan hal selanjutnya yang dia lakukan adalah menghilangkan eksistensinya di dunia ini."
Aksel terdiam. Kembali menunduk dan merasa bersalah.
Dia... sungguh tak pernah terpikirkan sampai situ.
"Begini, Sel," ujar Varsha, tegas sekaligus lembut. "Media massa kita sering menunjukkan gambaran-gambaran yang kamu anggap 'khayalan babu' itu dari film, novel, majalah, dan yang lainnya. Dari hal kecil seperti animasi di mana perempuan hanya perlu menunggu pangeran tampan datang untuk menyelamatkannya dari masalah, kemudian berkembang menjadi tanpa laki-laki, perempuan nggak akan bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Sehingga dalam masalah seberat apa pun, entah itu masalah keluarga, di-bully, dilecehkan, banyak perempuan berpikir kalau mereka butuh sosok pangeran berkuda putih untuk menyelamatkan mereka dari masalah-masalah itu. Hal ini terjadi karena media massa, Sel. Kalau kamu mau menyadarkan mereka, harusnya kamu langsung terjun di media massa, bukan dengan cara menyakiti mereka dengan jadi playboy yang merendahkan perempuan.
"Bahkan Virga pun dulu juga begitu, Sel. Dia pernah jadi korban media massa, menganggap bahwa cantik itu harus sesuai dengan apa yang ditampilkan di media, yakni kulit putih dan tubuh ramping. Ketika dia jatuh cinta untuk pertama kalinya, dia juga sama seperti banyak perempuan yang kamu pacari; menganggap laki-laki ini suatu saat bisa menyelamatkannya dari masalah. Tapi, saya kasih pengertian ke Virga bahwa itu adalah anggapan keliru. Jadi yang membedakan Virga dengan perempuan lain adalah, Virga sadar lebih awal bahwa apa yang ditampilkan oleh media adalah omong kosong."
Aksel terdiam, masih ingin menyimak.
"Maksud saya, menyadarkan orang nggak harus dengan menyakiti orang itu," ujar Varsha. "Saya nggak ada niat untuk menyakiti Virga saat memberi tahu bagaimana realita berjalan. Saya hanya memberi pengertian dan berusaha ada di saat dia butuh. Memang nggak semua perempuan bisa menyayangi diri mereka sendiri dari kecil. Kalau mereka menyayangi, mereka nggak akan membiarkan diri mereka tetap berhubungan dengan playboy yang hanya mempermainkan perempuan, dan berharap bahwa dengan perasaan cinta mereka, lantas mereka bisa mengubah lelaki jahat menjadi baik. Pada dasarnya banyak orang yang tersakiti oleh harapan mereka sendiri. Banyak juga yang nggak menyadari bahwa sebenarnya, mereka bukan jatuh cinta kepada si lelaki, melainkan jatuh cinta pada harapannya tentang lelaki itu. Harapan bahwa si lelaki akan berubah jadi seperti keinginannya, harapan bahwa lelaki itu hanya akan mencintainya dan nggak main perempuan lagi, harapan bahwa lelaki itu nggak akan melakukan kekerasan lagi, harapan bahwa lelaki itu nggak akan selingkuh lagi, dan semacamnya. Kadang kita suka menutup mata akan realita karena terlalu berkubang pada harapan."
Sunyi. Kemudian, Aksel merespons, "Jadi, konklusi Tante buat gue...."
"Kamu tersugesti atas pemakluman orang-orang terhadap kelakuanmu," ujar Varsha. "Orang-orang memaklumi, jadinya kamu turut menganggap bahwa apa yang kamu lakukan itu benar walau caranya salah. Jadinya... kamu nggak pernah merasa bersalah saat menyakiti pacar-pacarmu. Karena orang-orang pada maklum."
Ada jeda lama. Namun kini, Aksel merasa otaknya lebih tercerahkan.
Dia menatap Varsha yang mulai beranjak, ingin keluar untuk makan. Sebelum perempuan itu keluar, Aksel tulus berkata, "Makasih banyak, Tante Varsha."
Varsha berbalik, tersenyum. "Iya." Dia mengangguk. "Saya yakin kamu bisa lebih baik dari ini. Cepat sembuh, Sel."
Aksel mengangguk dengan senyuman. Kemudian, Regen mengikuti Varsha keluar dan pintu tertutup. Meninggalkan Aksel sendirian dalam kamar.
Aksel menatapi piring makanan yang masih terbungkus plastic wrapper di meja dorongnya. Dia pun membuka pembungkus itu. Matanya sontak melihat tangan kirinya yang diperban.
Dia berhenti membuka plastic wrapper. Membisu sejenak. Berpikir.
Tangan kanannya mengelus luka bakar yang sudah kering di kaki kirinya, kemudian mengelus bagian kiri kepalanya. Dia meraba belakang telinganya yang seharusnya tumbuh rambut. Namun, tekstur kulit di sana sudah tak lagi sama seperti dulu.
Mendorong meja makanannya menjauh, Aksel pun turun dari ranjang untuk ke kamar mandi. Pelan, Aksel berjalan menuju kaca. Dia menelan ludah, memejamkan mata ketika mendekat ke arah kaca itu. Ketika tangannya sudah meraba meja wastafel depan kaca, Aksel perlahan membuka kelopak matanya, kemudian terkesiap melihat pantulan dirinya sendiri.
Area kecil di belakang telinganya sudah tak ada rambut. Luka bakarnya terdapat di wajah dan bagian belakang telinga. Pada wajah, lukanya memanjang dari tulang pipi kiri hingga dagu kiri. Warna kulitnya sudah berbeda. Hati-hati, dia meraba pipinya yang terdapat bekas luka bakar, lalu meraba area rambutnya yang mendadak botak dengan luka bakar. Aksel menelan ludah. Wajahnya sudah tak sama seperti dulu. Yang sekarang terlihat agak mengerikan. Hatinya terasa sesak seketika.
Apa yang udah gue lakukan?
Aksel menurunkan tangannya. Dia menelan ludah lagi, terasa berat. Segera, dia berhenti melihat pantulannya yang mengerikan di kaca. Rasanya sakit melihat wajahnya sekarang.
Ketika dia membuka pintu kamar mandi, Aksel terdiam mendapati sosok lelaki yang memasuki kamar rawatnya, tengah menatap ke arah makanan pasien yang masih belum tersentuh. Lelaki itu melirik ke sumber suara pintu kamar mandi yang terbuka dan menemukan Aksel. Dan rasa-rasanya, Aksel ingin menciut saat itu juga.
Dia benar-benar merasa kalah.
Namun dalam lubuk hatinya, ada yang mengatakan bahwa masih ada urusan yang belum tuntas, bahwa dia masih bisa menyelesaikannya sekarang, bahwa ada penjelasan-penjelasan yang belum sempat dicerna dengan baik olehnya.
Mungkin memang inilah saat yang tepat untuk mereka berbicara.
[ ].
A/N
INSIGHT
"Emg orang beda-beda sih. Ada pembaca yg nganggep Aksel itu spesial, keren dan wow dsb. Ada juga yang benci dia. Anak-anak Raos itu betah karena Aksel anaknya setia kawan, trus emang anaknya asik kan bisa diajak koplak bareng-bareng. Tapi mereka emang gabisa paham sama sisi aksel yang suka mainin cewek. Semuanya itu baik-baik aja seandainya Mahesa ga naksir virga. Tapi yah. Di sinilah karakter aksel keliatan. Keliatan kalo selama ini dia obsesi ke virga, bukan cinta. Dulu dia cinta, tapi sekarang obsesi karena dia pikir virga itu hidup cuma untuk jadi pendamping dia yang sempurna. Ini tuh... gimana ya. Karena pilihan aksel buat menyakiti orang (pacar-pacar dia), jadinya bumerang ke dia sendiri. Sementara kita tau kan bahwa dalam hidup gak sebaiknya kita menyakiti org lain (kecuali buat kasus tertentu, kayak buat pertahanan diri dr penculik misalnya).
Aksel itu hidup di atas angin krn orang-orang memuja dia, membutakan mata atas kelakuan dia terhadap perempuan dan tetap memuji-muji dia. Jadinya aksel ga pernah merasa bersalah walau dia nyakitin cewek-cewek itu. Padahal masih ada cara lain untuk menyadarkan cewe-cewe halu.
Aksel itu emang aslinya playboy dan dia menikmati perannya sebagai player. Tapi dia rada 'sakit' karena dia menikmati cewe-cewe yang tersakiti dan merasa tertampar di akhir masa pacarannya. Padahal... untuk menyadarkan cewek halu itu ga harus dengan cara aksel. Bisa kayak Varsha kan yg akhirnya menyelamatkan Virga dari kehaluan. Bisa lewat bilangin baik2 tanpa harus menerbangkan mereka dan kemudian menjatuhkan dan merendahkan mereka.
Aksel tuh suka lupa bahwa tiap manusia punya masalah selain cinta. Kayak si Virga. Coba aja bayangin Virga yang punya masalah keluarga trus Aksel perlakukan Virga kayak pacar-pacar dia; diterbangin kemudian direndahkan dengan bilang bahwa Virga itu bego, babu, dsb? Padahal Virga masih punya masalah selain cinta-cintaan. Virga butuh disadarkan, tapi bukan butuh disakiti dg cara seperti itu. Sama aja mantan-mantannya aksel itu kan juga punya masalah selain cinta. Aksel nya aja yg cuma mikir pake "kacamata" dia sebagai pahlawan yang menyadarkan kehaluan cewek2.
Yaitu tadi sih. Aksel itu terbiasa hidup enak. Keluarga kaya, dia ganteng, pinter, dipuja-puja mulu, anaknya aktif dalam sosialisasi jd punya banyak temen, jadinya dia ga pernah bener2 ngerasain susah kayak Mahesa dan Bara yang harus susah-susah belajar lebih sering dan lebih lama biar bisa menyamai pengetahuan temen-temen mereka. Gak kayak Nolan yang harus struggle banget buat cari duit demi membiayai hidup dan kuliah adiknya. Kadang tuh orang-orang yang hidup di dunia goody-two-shoes kayak Aksel (yang ga pernah dapet masalah yang berat-berat amat) suka mengentengkan hidup orang lain yang susah karena mereka ga pernah ngerasain hidup yang susah-susah amat kayak hidup Virga atau Nolan."
PSIKOLOGIS AKSEL
Kalian yang belajar Sosiologi dan Psikologi mungkin udah nggak asing dengan istilah 'sugesti'.
Barangkali banyak dari kalian yang nggak paham kenapa Aksel tiba-tiba berubah, beda banget sama Aksel sepuluh tahun yang lalu. Yah, gimana ya. Sepuluh tahun nggak bisa dianggap 'tiba-tiba berubah' juga. It's a process. Intinya kalau kita memaklumi kesalahan terlalu sering, lama-lama pelaku kesalahan itu sudah tidak merasa bahwa apa yang dia lakukan adalah kesalahan. Hal ini ilmiah bisa terjadi.
Ini contohnya gue kaji kasus dari studi mengenai novel erotika dan korespondennya.
Ada studi yang diteliti Harris et al. (2017) yang membandingkan efek dari koresponden yang membaca beberapa jenis novel erotis. Novel erotis pertama adalah novel erotis dengan perempuan yang sexually dominant, novel erotis kedua adalah novel dengan lelaki yang sexually dominant, dan novel erotis ketiga adalah novel erotis tanpa ada yang dominan Hasil menunjukkan bahwa pria yang membaca novel erotis dengan laki-laki yang sexually dominant menunjukkan bahwa mereka lebih memaklumi pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap wanita, dengan anggapan bahwa wanita akan menyukai hal itu (kekerasan seksualnya).
Konklusi?
Sugesti itu real, efek media massa yang bisa begitu UGH itu juga real.
Hal ini juga bisa diaplikasikan ke cerita bad boy yang tobat karena cewek baik. Karena saking banyaknya media massa yang memaparkan demikian, lama-lama cowok jahat jadi dimaklumi (Aksel juga dimaklumi sama fans-fansnya kan? :]]] ). Karena dimaklumi yah... jangan heran ngelihat banyaknya perempuan yang saking sayang dan saking cintanya (baca: dungu) sama si cowok yang udah menyakiti dia, dia masih mau pacaran sama cowok itu dengan harapan suatu saat si cowok bakal berubah.
Harapan itu datang dari paparan media massa yang selama ini dia lihat. Dari sinetron, film, novel, drama, majalah, dan sebagainya.
Gue harap kalian bisa paham kenapa gue begitu kampretnya ngingetin untuk jangan ngayal babu. Termasuk nggak ngayal babu bahwa Aksel tobat segampang itu. Gak paham lagi sama cewek yang lebih kasihan sama Aksel yang bakal patah hati dan ditikung temennya (pffftt... ditikung gimana ya padahal Virga bukan pacarnya), tapi nggak kasihan sama Virga yang bapaknya kang selingkuh dan notabene sesama cewek. Sumpah gak paham.
Daftar Pustaka:
Harris EA, Thai M, Barlow FK. 2017. Fifty shades flipped: effects of reading erotica depicting a sexually dominant woman compared to a sexually dominant man. The Journal of Sex Research. 54 (3): 386-397.
p.s.
Btw, novel erotis yang cowoknya agresif, posesif dan dominan itu contohnya adalah Fifty Shades of Grey. Kalau kalian mau baca jurnal-jurnalnya, tinggal buka scholar.google.com trus pakai kata kunci 'fifty shades of grey'. Udah ada studi mengenai efek novel tersebut (yang merupakan salah satu media massa) terhadap psikologis manusia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top