29 : Deklasifikasi :
4k words.
Dari komen2 di chapter lalu, mari kita lihat "doa" siapa yang dikabulkan.
-;-
29
: d e k l a s i f i k a s i :
2018
Selepas merapikan diri di kamar mandi, Aksel segera mendatangi ballroom hotel tempat pernikahan digelar, kemudian matanya mencari seorang gadis yang sedari tadi - sedari dulu - membuat otaknya penuh: Virga.
Di meja VIP, gadis itu sedang asyik bercengkerama dengan Zega yang berada di pangkuan Satya. Bergegas, Aksel berjalan cepat ke sana dan menarik tangan Virga, segera menyeretnya menjauh dari ballroom, menimbulkan pekikan dan kebingungan. Virga mengaduh pun tak Aksel indahi. Hingga akhirnya tangan Aksel dilepas dari Virga secara tiba-tiba, Aksel berbalik dan menemukan Mahesa yang menatapnya dengan serius.
Aksel melotot, hendak menyalak, tetapi segera dibungkam dengan tatapan tajam Mahesa yang berwajah dingin. "Begini cara kau perlakukan perempuan, Sel?"
Bibir dan leher Aksel terasa kaku, tak bisa bersuara sesaat. Mahesa mengalihkan pandangan ke arah pergelangan tangan Virga yang memerah, lalu ke wajah Virga yang terlihat bingung sekaligus menahan sakit di tangannya.
Lembut, Mahesa menurunkan tangan gadis itu dari genggamannya, lalu mengelus pundak Virga. "Masih sakit?"
Virga mengangguk kecil. "Tapi, ini nggak terlalu sakit. Aku cuma kaget aja."
Tatapan Mahesa kembali ke arah Aksel. Dia berkata, "Kalau kau mau bicara dengan Virga, tinggal bilang. Tak perlu kau seret-seret dia macam hewan seperti tadi."
Terdiam karena tahu Mahesa benar, Aksel tak menggubris ucapan lelaki itu. Dia melirik Virga, lantas berkata, "Gue mau ngomong empat mata sama lo."
Virga mengerjap. Dia melirik Mahesa, seolah memberi konfirmasi bahwa dia akan baik-baik saja. Setelah menatap Virga dan Aksel beberapa kali dan meyakinkan diri, Mahesa pun mengangguk dan pergi.
Aksel mengajaknya pergi ke suatu bagian hotel yang agak sepi, yakni di tempat-tempat duduk dengan air mancur yang dikelilingi bangunan hotel. Ada tanaman rambat dari kanopi berongga kotak-kotak di atas air mancur. Kanopinya menghubungkan dinding-dinging gedung, menudungi para pengunjung yang ingin duduk-duduk di sana. Terdapat meja kecil dan tempat duduk berupa batu alami yang sudah dihaluskan di sekitar air mancur. Kini, hanya ada dua orang gadis yang sedang duduk di seberang Aksel. Orang yang lewat hanyalah pelayan yang lalu lalang di koridor yang mengelilingi air mancur. Menarik napas, Aksel pun meminta Virga duduk di bangku yang terbuat dari batu.
Dia duduk di seberang Virga, sengaja agar bisa melihat wajah dan ekspresi gadis itu nanti sepanjang dia bicara. Setelah melihat Virga menyilangkan kaki, menegapkan punggung dan menunggunya bicara, Aksel pun berkata, "I have something to tell you."
Mata Virga setengah terpicing, terlihat penasaran. "Apa?"
Aksel memejamkan mata. Dia berusaha menenangkan diri dengan mendengarkan suara air mancur beberapa saat. "Virga," ujarnya, lalu membuka mata, "I love you so much it hurts."
Virga membisu, merasa tubuhnya agak tegang. Kendati dia sudah diberi tahu tentang hal ini oleh Mahesa, mendengarkannya langsung tetap tak mengubah rasa kagetnya. Dia pun membalas, "Is it?"
"Iya," jawab Aksel, tersenyum, menatap Virga seolah dia adalah mataharinya. "Love," panggil Aksel sambil tersenyum, dengan nada seolah dia sedang luluh. Tatapannya terlihat seolah dia ingin meleleh oleh kehadiran Virga. Dia meraih tangan Virga, mengelusnya. "I love you all this time. Always."
Virga terdiam dengan perasaaan was-was. Dia menelan ludah. Mengantisipasi perlakuan Aksel selanjutnya.
"Selama ini, Vir," ujar Aksel. "Selama ini, dari sejak aku ketemu kamu, aku ngerasain kalau aku memang tertarik. Jelas, aku pasti menampik itu. Kamu masih terlalu kecil. Tapi pas kita ketemu lagi waktu kamu SMP, terus kita jalan bareng, aku sadar kalau aku emang udah suka sama kamu." Aksel mengelus tangan Virga, tersenyum lagi. "Dan kemudian, rasa suka itu berkembang jadi kagum, jadi cinta. I love you. I always do. And that is why I always be there for you."
Virga mengernyit, heran. "No you don't. The one that would always be there for me is Tante Varsha."
"Enggak, Vir, aku selalu ada," ujar Aksel, menatap Virga serius. "Kamunya aja yang nggak mau cerita. Padahal kalau kamu cerita, aku pun siap mendengarkan."
Terdiam, Virga mengalihkan wajah, tidak tahu harus berkata apa. Kenapa Aksel begitu... keras kepala? "Aku kalau curhat lebih nyaman ke Tante Varsha, Kak."
"Ya nggak apa-apa. Intinya aku selalu ada, Vir. Alasan aku selalu meluangkan waktu buat ketemu kamu? Itu biar kamu tahu ada yang selalu ada buatmu. Jadi kalau mau cerita, cerita aja. Kalau ternyata kamunya lebih suka curhat sama Tante Varsha, itu pilihanmu. Yang penting selama ini aku selalu ada buat kamu."
Virga terdiam, mengernyit, benar-benar merasa waspada. Dia tidak tahu apa yang ingin Aksel lakukan. Dia menatapi tangan kanannya yang masih digenggam oleh Aksel. Entah mengapa dia merasa takut. "Kak," panggilnya hati-hati. "Sejak kapan?"
"Sejak kapan aku cinta sama kamu?" Aksel bertanya dengan senyum manis dan tatapan hangat fokus ke Virga. "Love, aku nggak tahu kapan persisnya aku mulai jatuh cinta sama kamu. Mungkin pas kamu mulai masuk SMA, atau bisa jadi sebelum itu. Yang aku tahu, sejak dulu kamu berharga buat aku. Makanya aku selalu menjaga hubungan kita dengan baik. Aku nggak akan menyakiti kamu kayak ayah kamu. You are very precious for me. I never going to hurt you because I love you and I always do. I love you so much until it hurts me, Love."
Menalan ludah, dengan pelan sambil tersenyum, Virga melepaskan tangannya dari Aksel. Entah mengapa berada dalam genggaman tangan lelaki itu membuatnya takut, tidak lagi membuatnya merasa aman seperti dulu saat mereka pertama kali kenal. "Kak," panggilanya lagi. "Back then, I also loved you so much it hurted me," ujar Virga. "Pas Kakak pertam akali mengundang aku ke ultah Kakak, aku ngelihat apa yang Kak Aksel lakukan saat itu. Sakit rasanya waktu dulu ngelihat Kak Aksel mencium bibir perempuan cantik yang ternyata pacar Kakak. Kakak bahkan nggak kasih tahu aku kalau Kakak punya pacar. Tapi, aku bisa apa? Itu hak Kak Aksel. Dan hak Kak Aksel juga kalau waktu dulu cuma menganggap aku seorang adik," ujar Virga tenang. "Dan sekarang, hak aku juga untuk hanya menganggap Kak Aksel sebagai seorang kakak."
Aksel membelalak. Terkesiap. "What?" tanyanya, tak percaya. "Ya ampun, Vir. Dulu kamu masih SMP! Wajarlah aku pacarin perempuan lain. Kalaupun aku suka sama kamu pas dulu, aku pasti tetap lebih memilih pacarin perempuan seusiaku daripada pacarin anak bocah!"
Virga terdiam. Dia merasa sakit hati. Bukan karena Aksel mencintai perempuan lain, melainkan karena Aksel menganggap dia hanya anak bocah ingusan. Seolah tidak setara dengannya. "Iya, aku paham," ujar Virga, berusaha membayangkan diri di posisi Aksel. "Iya, Kak Aksel dulu pasti merasa aneh buat pacarin anak bocah kayak aku. Tapi, aku pun dulu juga nggak pernah minta dipacarin. Aku cuma kaget tiba-tiba ternyata Kak Aksel punya pacar, dan aku ngelihat Kak Aksel cium pacar Kakak di saat Kakak tahu aku diundang. Bukan salah Kak Aksel juga. Akunya aja yang malah baper sama perlakuan Kakak. Padahal Kakak ngelakuin hal-hal manis juga ke perempuan-perempuan lain, kan? Bisa membuat mereka merasa diri mereka spesial?" Virga tersenyum. "Dan karena itulah, semenjak itu, aku memilih memandang Kak Aksel sebagai kakakku. Nggak lebih, dan memang aku udah nggak bisa lagi memandang Kakak lebih dari itu."
Aksel benar-benar terhenyak.
"Kenapa kamu nggak bilang, Vir?" tanya Aksel. "You love me. Bilang aja. Kenapa malah diam?"
"I loved you back then. Dulu. Sekarang udah nggak bisa kayak gitu." Virga tersenyum. "Mungkin karena pandangan kita udah berbeda."
Aksel terdiam, memandangi Virga yang justru terlihat tenang. Jika memang Virga pernah mencintainya, dia yakin masih ada perasaan cinta Virga kepadanya meski sedikit. Dia hanya perlu membuatnya berkembang. "Vir, I love you. Apa kamu nggak sadar selama ini aku meluangkan waktu ke Rumah Bivalvia demi kamu? Aku meluangkan waktu tiap minggu, tiap saat yang aku bisa, dari sejak kamu SMP sampai sekarang itu semuanya demi kamu. Aku rela ninggalin siapa pun pacar aku saat itu demi kamu. Mau itu model sekali pun tetap aku bakal tinggal mereka demi kamu. Karena kamu memang seberharga itu buat aku."
"Aku nggak paham, Kak," ujar Virga. "Kakak selalu menganggap pacar-pacar Kak Aksel itu bodoh karena jatuh cinta sama Kakak yang notabene mengaku player. Kakak menganggap, karena mereka udah tahu Kakak player, harusnya mereka jaga jarak, bukan malah jatuh cinta atau tertantang menaklukkan Kakak. Apa Kak Aksel akan menganggap aku perempuan bodoh juga karena aku pernah suka sama Kakak? Sama perlakuan manis Kakak? Sama kebaikan dan ketulusan Kak Aksel?"
Lagi, Aksel terhenyak.
Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak tahu harus berkata apa.
"But, what's over is over though." Virga memejamkan mata dan menarik napas. Menikmati angin menjelang sore yang berembus. "Aku sadar bahwa apa yang dulu kita suka, belum tentu bisa kita sukai sekarang. Kayak mainan favorit waktu kecil. Dia akan memberikan kenangan ketika kita dewasa dan melihatnya, tapi kita nggak akan bisa melihatnya sama kayak benda-benda favorit kita yang berguna buat kita di masa ini. Fungsinya udah beda. Kita juga nggak lagi menganggap mainan itu sama nilainya dengan benda-benda kebutuhan kita di masa sekarang karena kita berubah. Kita berubah makin dewasa, makin sadar bahwa dunia ini tidak hanya sebesar kamar tidur atau ruang kelas. Kita butuh sesuatu yang lebih karena pandangan kita terhadap dunia udah berbeda." Virga pun melirik Aksel. "Dalam kasus aku sama Kak Aksel, aku sadar bahwa nilai-nilai yang kita anut serta pandangan kita terhadap hidup ini serta eksistensi kita itu udah berbeda."
Aksel masih terdiam. Berusaha memahami maksud Virga.
"Aku sebenarnya sedih dengar Kakak mau datang ke Rumah Bivalvia cuma demi aku," ujar Virga, tersenyum tipis, terlihat agak kecewa. "Kupikir Kakak beneran tulus mau bantu anak-anak di sana. They like you, you know. Maksudku, kalaupun misal awalnya Kakak datang buat aku, kupikir seiring dengan berjalannya waktu, Kakak bakal merasa terikat dan senang ketemu anak-anak di sana. Tapi... ternyata enggak, ya?" Virga menarik napas, menelan rasa kecewa.
Dan Aksel tahu dia melakukan kesalahan. Bahwa Virga tak seharusnya dia rayu dengan memberi perlakuan seolah Virga ada pusat hidupnya. Virga berbeda dengan pacar-pacarnya. Virga nggak butuh dirinya menjadi pusat hidupnya, pikir Aksel, kemudian tersenyum, dia nggak kayak pacar-pacar bego gue yang butuh di-please dengan cowok yang menjadikan mereka pusat hidupnya. Begitu menyedihkannya mereka sampai harus melihat ada cowok yang menjadikan mereka pusat hidupnya biar mereka merasa berharga. Virga emang beda. Dia selalu beda dan nggak pernah menuntut. She's the perfect woman for me, indeed she is.
Aksel kembali meraih tangan Virga untuk dia genggam. Matanya menatap intens dan serius. "Sayang, maaf kalau aku menyingung kamu. Aku nggak bermaksud," ujar Aksel dengan tatapan memelas, lalu mengelus tangan Virga, "Love, kamu memang selalu hidup dengan sederhana. Nggak pernah menuntut kayak pacar-pacarku yang bego itu. Kamu nggak akan kunilai bodoh karena pernah jatuh cinta sama aku. Kamu jatuh cinta sama aku sekarang pun tetap nggak akan kunilai bodoh. Karena kamu melihat aku apa adanya, sementara cewek-cewek bego cuma ngelihat aku sebagai lelaki yang bakal mewujudkan mimpi babu mereka. Love, kamu itu beda dari perempuan-perempuan lain. And this is why I love you." Aksel tersenyum lembut. "Tapi, kalau kamu minta aku buat kasih kamu uang banyak untuk belanja di luar negeri, buat liburan ke tempat manapun yang kamu mau, aku kasih, Sayang. Sebanyak apa pun, aku kasih. Kamu mau barang-barang mahal, kamu mau kita ntar honeymoon naik jet pribadi juga aku kasih. Semua buat kamu, Love. Buat kamu."
Virga menautkan alis. Dia sungguh bingung dan tak paham jalan pikiran Aksel. Kenapa ucapan Aksel terasa tidak konsisten. Lagi pula, untuk apa dia menginginkan hal itu? Jikalau pun dia memang ingin pergi ke luar negeri untuk berbelanja atau liburan, Virga ingin melakukannya dengan uangnya sendiri, bukan dengan cara menadahkan tangan kepada orang lain. "Kak Aksel," panggil Virga tenang. "Kakak simpan aja uang Kakak. Aku nggak mau hal itu."
Senyum Aksel melebar. "This is why I love you," ujarnya setengah berbisik. Dia mengelus tangan Virga dan membawanya ke bibirnya untuk dia kecup lama. Dia pun menatap Virga dengan penuh cinta. "Marry me, Love." Aksel tersenyum lebar. "Kamu bilang kamu mau bikin dunia ini jadi lebih baik dengan usahamu di bidang sosial kayak Rumah Bivalvia. I can help you gain more than this. Kamu kerja di bidang sosial, mengembangkan Rumah Bivalvia, jadi istri aku, dan aku bakal jadi CEO terpandang dengan istri semembanggakan kamu. Kamu itu perempuan yang tepat buat aku. Nggak ada yang lain. Cuma kamu. We are perfect for each other, Love. Stand by my side and the world couldn't be more perfect."
Virga membeliakkan mata. Benar-benar merasa terkejut sekaligus heran. Ini Kak Aksel serius ngelamar? Seingatku, Kak Aksel masih punya dua atau tiga pacar gitu, tapi baru bisa diajak kencan besok, soalnya Sabtu ini ada nikahan Kak Bara, pikir Virga, bingung. Tatapan Aksel yang penuh cinta terlihat begitu serius, dan karena itulah dia bingung sebenarnya Aksel sedang bercanda atau tidak. "Uhm... Kak," ujar Virga. Dia menarik napas. "Aku harap Kak Aksel mau... bersikap lebih... kalem," lanjut Virga, berusaha mencari padanan kata yang pas agar tidak menyinggung. "Karena, Kak, seandainya pun aku sekarang masih cinta sama Kak Aksel, mohon maaf, aku tetap menolak Kakak."
Aksel memundurkan kepala dan membeliak. Tangan Virga yang sudah dia elus-elus pun dia turunkan. "Kenapa bisa gitu?" tanya Aksel, tak terima.
Virga tersenyum, berusaha menenangkan. "Kakak pikir kita sempurna buat satu sama lain. Ini kasusnya sama kayak orangtuaku. Mereka juga dulunya seems perfect for each other, kayak saling mengisi gitu." Virga pun menatap air mancur dengan mata menerawang. "Dulu aku pernah dengar cerita tentang pertemuan ibu dan ayahku. Aku merasa mereka jodoh. Kisah mereka kayak di drama dan novel romansa banget. Mereka pernah satu SMA, dan ayahku ini kapten tim basket putra, sementara ibuku itu siswi berprestasi tapi secara penampilan biasa aja. Ibuku jelas tahu ayahku, karena dia populer banget di kalangan siswa. Yang cowok banyak yang jadi teman ayahku, sementara yang cewek banyak yang naksir dia. Dan ayahku cuma ingat ibuku sebagai siswi berprestasi yang tiap upacara ada pengumuman pemenang lomba, ibuku biasanya dipanggil. Beberapa tahun kemudian, mereka dipertemukan lagi sama orangtua mereka. Ternyata kedua kakekku - ayah dari ayah dan ibuku - itu satu almamater kampus, ketemu lagi pas reuni, terus mau jodohin anak mereka yang masih lajang. Pas ketemu, ternyata anak-anak mereka udah tahu satu sama lain. And we all would think that they are a perfect match made from heaven."
Aksel terdiam, masih menyimak.
"Aku dulu termasuk salah satu yang mikir begitu. Bayangin aja. Mereka udah tahu satu sama lain dari SMA - walau nggak dekat - tapi kemudian dipertemukan lagi dalam perjodohan. Ibuku yang pendiam dengan ayahku yang aktif banget sosialisasi. Pas dengar kisah mereka itu rasanya kayak lagi dengar kisah sebuah novel alih-alih dengar kisah nyata. Tapi, dunia memang bukan novel." Virga tersenyum memandangi air mancur. Suara gemericik airnya menenangkan pikirannya. "Dan pada akhirnya, ayahku ternyata selingkuh." Virga menatap Aksel. "Apa yang manusia anggap sempurna, ternyata belum tentu sempurna di mata Tuhan."
"Aku nggak akan jadi kayak ayahmu, Vir."
"Memang nggak akan." Virga menatapnya tenang. "Karena Kak Aksel adalah Kak Aksel, dan ayahku adalah ayahku. Tapi, jaminannya Kak Aksel nggak akan main perempuan lagi seandainya Kakak menikahi perempuan yang tepat itu apa, Kak? Nggak ada jaminan. Adanya cuma janji. Jadi persamaannya adalah, ayahku juga cuma berjanji untuk nggak selingkuh setelah ketahuan."
Aksel terdiam, merasa tertohok, tetapi tidak terima. "Vir, aku memang player. Tapi, kamu pasti tahu kan, aku melakukan itu buat apa? Buat nyadarin cewek-cewek bego itu. Aku bukan jadi player semata-mata demi kepuasan pribadi. Aku ngelakuin itu buat mereka. Biar mereka jera. Biar nggak ada cewek bego yang kemudian berakhir dibego-begoin sama cowok player lain. Di saat playboy lain manfaatin cewek-cewek bego, aku jadi player justru buat menyadarkan mereka. Kamu tahu itu. Kamu nggak bisa nganggep aku serius sama pacar-pacarku. Mereka itu ibaratnya cuma klien, Vir. Nggak lebih. Bukan pacar yang kuanggap pacar sungguhan. Aku nggak pernah serius sama mereka apalagi jatuh cinta sama mereka. Cuma kamu satu-satunya perempuan yang tepat buat aku. I've told you. I realize that you are the one for me. My life would be perfect with you by my side. Aku bakal jadi pria paling beruntung di dunia dengan memiliki kamu. Di sini ada aku, laki-laki yang mencintai kamu dan udah kenal kamu dari dulu. Aku pasti bakal putusin pacar-pacar aku dan fokus ke kamu kalau kita udah nikah, Sayang. Apa lagi yang kurang?"
Virga terdiam. Kini, dia tak lagi tersenyum. "Barangkali Kakak merasa Kakak sempurna, punya wajah tampan, pintar, kaya, punya segalanya. Dunia seolah menunduk buat Kakak. Semua orang memuja Kakak, baik itu karena prestasi dan ketampanan Kakak. Kakak berasal dari kalangan berada, dan masa depan Kakak kelihatan cerah karena Kakak menjabat posisi tinggi di perusahaan yang cukup besar. Mungkin Kakak pikir, semua perempuan menganggap Kakak sempurna: tampan, kaya, cerdas, berprestasi, masa depan cerah." Dia menatap Aksel dengan serius. "Tapi mohon maaf. Menurutku, Kakak belum selayak itu untuk aku perjuangkan."
Aksel membulatkan mata. Lagi-lagi merasa tertohok dan tak terima. "Kenapa?" Dia menelan ludah. "Apa yang kurang, Vir? Aku ngelakuin banyak hal buat kamu. Jadi playboy itu bahkan buat kamu, Vir. Memang caranya salah. Tapi jadi orang jahat kadang memang lebih efisien dibanding cuma koar-koar aja. Kamu pikir aku mau ngelihat kamu sedih kalau tahu ada perempuan yang berakhir kayak ibumu? Enggak, Vir. I've told you. Aku ngelakuin ini semua buat kam-"
Aksel berhenti sebab detik selanjutnya, pipinya kebas oleh tamparan.
Tatapan Virga kini berubah agak dingin. Aksel memegangi pipinya yang memerah. Tidak percaya Virga baru saja menamparnya. Dia melihat ke sekitar dan orang-orang di sana terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Menatap Virga, dia pun bertanya, "Apa-apaan, Vir?"
Dingin, Virga berkata, "Kak Aksel ngatain ibuku bego?"
Aksel terdiam. Kemudian, dia menjawab, "Virga, aku paham bahwa nggak ada manusia sempurna. Kalaupun memang ibumu begitu, ya udah itu pun udah jadi masa lalu. Ibumu belajar dari kesalahan, Vir. Kamu nggak perlu tersinggung gitu."
Menarik napas, Virga berusaha tetap tenang meski emosinya tersulut. Sungguh, dia tak habis pikir. Apa yang kini ada di pikiran Aksel. Sudah sejak dia SMA dan tahu tentang kelakuan Aksel yang main perempuan, dia sampai sekarang masih tak paham logika alasan lelaki itu yang ingin jadi polisi moral bagi perempuan-perempuan yang dia anggap bodoh. Dia tak paham jalan pikiran Aksel. Inilah yang membuatnya berpikir bahwa mereka memang sudah berbeda, dan karenanya Virga sudah tak mampu lagi merasakan cinta kepada lelaki ini. "Kak Aksel, kayaknya sekarang tanpa perlu jadi pacar Kakak, aku tahu gimana perasaan mereka pas Kakak bilang kalau mereka bego."
"Gue nggak bilang lo bego."
"Kakak secara nggak langsung bilang ibuku bodoh." Tatapan Virga mendingin. "Dan aku nggak terima Kakak bilang aku nggak perlu tersinggung. Aku punya segala hak untuk tersinggung karena Kakak bilang ibuku bodoh. Iya, dia melakukan kesalahan. Iya, dia pernah terlena sama cinta yang destruktif dari ayahku. Iya, dia pernah mengharapkan mendapat pernikahan seperti dongeng. Tapi, aku pun juga pernah begitu. Aku juga pernah mengharapkan kisah cinta kayak dongeng ketika aku jatuh cinta sama Kak Aksel. Kupikir waktu itu Kakak adalah pangeran berkuda putih yang datang di tengah masa kelamku mikirin masalah keluarga. Ternyata nggak ada pangeran berkuda putih. Yang ada adalah kesatria perempuan kayak Tante Varsha yang ngajarin aku buat jadi pahlawan untuk hidupku sendiri, bukan nunggu-nunggu orang lain menyelamatkan hidupku. Jadi maaf, Kak. Dengan ini aku tahu karakter Kakak aslinya gimana. Pantas aja dari tadi aku merasa takut ngobrol sama Kakak. Ternyata aku keingat cara papaku ngomong dan ingin memanipulasi orang dengan memutarbalikkan fakta."
Aksel membuka mulut. Bergeming. Tak bisa membalas.
Virga berdiri. Dia sungguh muak rasanya. Barangkali akan berbeda jika Aksel menghinanya bodoh. Hanya saja Aksel menghina ibunya. Dan meski ibunya melakukan kesalahan, kesalahan itu sudah ditebus dengan keberaniannya menghadapi perceraian. Dan, ibunya tetap ibunya yang mau bekerja susah payah dan banting tulang demi membiayai dirinya dan adiknya, ibunya tetap ibunya yang mau bertaruh nyawa demi melahirkannya. Hati Virga mendadak terasa sesak. Matanya pedih. Dia mengerjap dan menatap Aksel. "Kak, bahkan walaupun Kak Aksel berubah dengan nggak lagi main perempuan, tetap aja menurutku Kakak belum layak aku perjuangkan," ujarnya tajam. "Pada dasarnya menjalin hubungan serius buatku itu susah, karena kita pasti harus menghadapi masalah pasangan kita bersama-sama. Menurutku, masalah yang harus kuhadapi kalau aku memilih Kakak adalah Kakak bakal susah lepas dari main perempuan, Kakak terlalu kekanakan, Kakak nggak mau menerima bahwa Kakak salah, dan Kakak nggak pernah mikir kalau aku juga punya masalah pribadiku sendiri. Maaf, Kak. Aku nggak bisa membutakan diri atas kekurangan Kakak hanya karena aku sedang diperlihatkan sisi Kakak yang mencintai aku seperti ini. Sebab jujur, aku nggak bisa menerima kekurangan Kakak. Kalaupun Kak Aksel udah nggak main perempuan lagi, masih ada kekurangan-kekurangan Kakak yang lain yang nggak bisa aku terima. Mohon maaf. Silakan Kakak cari perempuan lain yang mau menerima Kakak apa adanya."
"Vir...."
"Aku harus pergi," ujar Virga dengan tergugu. Dia merasa sangat sesak sekarang. Ingin rasanya menangis. Dia masih tak terima ibunya dihina dan Aksel justru berkata bahwa dia tak perlu tersinggung. Dia ingin membentak dan menampar Aksel lagi, tetapi dia tahu itu percuma.
Akhirnya, Virga berjalan keluar dari area duduk di air mancur itu. Hendak kembali ke ballroom hotel untuk pernikahan Bara dan Leia. Dia baru berjalan menuju koridor yang mengelilingi area air mancur itu ketika tangannya lagi-lagi ditarik dari belakang.
"Vir...," panggil Aksel lembut, "Virga, Sayang, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu kayak gini. Tolong maafin aku, ya?"
Virga terdiam, kemudian menggigit bibirnya, kembali merasa sesak.
Sebab, melihat Aksel bicara seperti sungguh mengingatkannya akan cara ayahnya berbicara.
"Virga, Sayang...." Aksel berjalan hingga berhadapan dengan Virga yang enggan menatap lelaki itu. Tatapan dan nadanya memelas. "Vir... aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu...."
Virga memejamkan mata. Menggigit bagian dalam bibirnya. Dia tidak bisa melihat ini, Tuhan, dia tidak bisa. Ya Tuhan, kenapa Kak Aksel harus jadi kayak Papa begini?
"Sayang, sini," Aksel mengambil tangan Virga dan meletakkan telapak tangannya di pipinya. "Kamu mau tampar aku, tampar aja, Vir. Aku rela kamu tampar bolak-balik kalau itu bisa bikin kamu lebih lega. Aku minta maaf, Sayang. Tolong jangan kayak gini...."
Virga berusaha menahan isakan yang ingin keluar. Satu tetes air matanya jatuh. Dia ingin pergi. Sungguh tak kuasa melihat Aksel seperti ini.
"Sayang...."
"Kak," sela Virga. Berat, dia menatap Aksel yang memandangnya penuh harap. "Kak Aksel, aku maafin Kakak."
"Love," panggil Aksel dengan khawatir. Dia menatap Virga penuh rasa peduli. "Love, what is it? Kenapa kamu nangis, Sayang? Kamu bilang kamu udah maafin aku? Aku melakukan kesalahan apa lagi?"
Pundak Virga bergetar oleh isak. Dia menahan-nahan tangisnya, tetapi sulit. Betapa dia sadar akan kuatnya godaan ini. Godaan untuk merasa berkuasa atas sesuatu. Berkuasa atas Aksel.
Betapa dia sadar bahwa banyak perempuan di dunia berani membunuh untuk berada di posisinya kini; dicintai mati-matian oleh lelaki tampan yang cerdas dan mapan. Lelaki sempurna dambaan banyak perempuan di seluruh dunia. Betapa banyak perempuan yang menginginkan dicintai seperti itu, hingga digilai, hingga sang lelaki pun rela melakukan apa pun untuknya, rela hancur dan mati untuknya. Semua demi cintanya kepada sang perempuan.
Virga tak bisa menerima cinta seperti itu. Sebab baginya, dari apa yang dia selama ini pelajari dari sains otak manusia yang berkaitan dengan perilaku mereka, dia tahu bahwa itu bukan cinta.
Itu obsesi.
Dan jika cinta membawa kedamaian dan kekuatan, obsesi justru sebaliknya. Dia membuat yang merasakannya terlena, berpikir itu cinta yang membuat hidupnya sempurna, sedangkan sesungguhnya tak ada hidup sempurna di dunia ini.
Kemudian selanjutnya yang sang perasa ketahui adalah kerusakan.
Virga menggigit bibirnya lebih erat. Sungguh sakit rasanya. Siapa pun yang memiliki perangai seperti ayahnya akan membuatnya merasa sakit hati. Di saat mereka bisa melakukan hal yang lebih baik, kenapa harus jadi seperti ayahnya? "Kak, tolong," ujar Virga. Dia merasa lelah. "Aku nggak sesempurna yang Kakak pikir. Kalau Kakak pikir aku cantik, akan ada waktunya kecantikanku pudar karena usia. Kalau Kakak pikir aku cerdas, akan ada waktunya itu semua pudar karena umur. Kalau Kakak pikir aku berkelas, barangkali akan ada waktunya aku sama sekali nggak bisa terlihat berkelas karena aku terlalu tertekan. Aku juga punya masalah pribadi yang bisa bikin aku down dan depresi. Aku nggak sesempurna yang Kakak pikir."
"Enggak, Vir. Bahkan dengan masalah itu semua, kamu masih sempurna buat aku."
Virga terdiam. Sungguh, dia merasa lelah. Yang dia pikirkan adalah, Aksel tak sungguh-sungguh mencintainya. Barangkali Aksel dulu sempat pernah mencintainya sungguhan, bukan terobsesi seperti sekarang. Namun, belajar dari apa yang pernah dia pelajari semasa kuliah, dia tahu bahwa Aksel tidak benar-benar mencintainya sekarang ini. Dia hanya mencintai bayangan seandainya Virga dan dia menikah dan dianggap sebagai pasangan sempurna. Virga tahu Aksel selalu butuh approvement dari orang-orang dan selama ini, dia selalu mendapatkannya. Hanya saja, Virga tak bisa memenuhi keinginan Aksel itu. "Kak, masa depan Kak Aksel cerah," ujar Virga. "Tolong jangan jadikan sesuatu yang fana kayak aku sebagai pusat dunia Kak Aksel. Kak Aksel bisa menyibukkan diri dengan kerjaan di Bentala, nggak perlu berusaha menyadarkan perempuan-perempuan dengan memacari dan memutuskan mereka dengan menyakitkan. Aku yakin, akan ada perempuan baik buat Kakak kalau Kak Aksel mau berusaha jadi lebih baik untuk diri Kakak sendiri."
"Nggak, Vir, enggak. Cuma kamu yang cocok mendampingi aku. Nggak ada yang lain. Kenapa kamu nggak ngerti-ngerti juga, sih?"
Virga terdiam. Di saat itu, dia tahu bahwa segala macam ucapan nasihat akan terpental dari telinga Aksel.
Dan, Aksel sudah jadi seperti ayahnya.
Yang berbeda adalah Aksel terobsesi dengannya, sementara ayahnya terobsesi dengan menjalin hubungan intim dengan banyak perempuan.
Virga pun melepaskan tangannya dari tangan Aksel dengan lelah. Dia pun berkata, "Maaf, aku nggak bisa memenuhi itu. Kakak.... bisa cari perempuan lain." Sejurus kemudian, dia melanjutkan, "Aku pamit, Kak."
Aksel termangu. Kemudian, dia terdiam menatap Virga berbalik, lalu berjalan ke arah ballroom.
Sesaat kemudian, dia baru tahu apa maksud ucapan gadis itu.
Aksel membeliak, lalu segera berlari mengejar Virga. Dia berlari ke arah ballroom, tetapi tak ada tanda-tanda Virga di sana. Dia pun berlari lagi ke arah area air mancur hotel, mencari Virga. Opsi terakhirnya adalah mencari Virga ke kamar mandi. Dan ketika dia baru saja menangkap sosok Virga di kejauhan pada koridor yang tengah dia lewati, Aksel tersenyum, mempercepat larinya. Dia hendak memanggil nama gadis itu ketika suaranya dibungkam suara lain dari koridor yang ingin dia lewati.
"MAS, MAS, AWAAAS!"
Semua kejadian terjadi begitu cepat.
Hal yang Aksel tahu kemudian, tubuhnya terjungkang ditabrak sesuatu, dan matanya menangkap lidah api yang kemudian menyambarnya.
[ ].
A/N
Some people be lyke: Aksel mati? Kamu jahat banget sih jadi penulis!
Thanks. Dan lagian, masih ada chapter terakhir ini. Kita lihat selanjutnya berisi pemakaman Aksel atau ada hal lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top