26 : Dewi :
ada yg udh baca tag di "Retrogradasi"?
-;-
26
: d e w i :
2018
Aksel pulang ke rumahnya setelah makan siang. Meninggalkan Virga di Rumah Bivalvia.
Setelah melambaikan tangan, Virga menurunkan tangannya sambil mengamati mobil Aksel yang keluar dari pekarangan Rumah Bivalvia dan akhirnya menghilang di kejauhan. Dia mendesah, mengingat ada obrolan dan ajakan Aksel untuk mendatangi pernikahan Bara minggu depan bersamanya.
Sebenarnya apa yang Kak Aksel mau dari aku?
"Baru pulang si Aksel?"
Virga tertegun mendengar suara berat di belakangnya. Pipinya sontak menghangat. Dia menoleh, berusaha menenangkan degup jantungnya, lalu mengangguk. "Tadi habis makan siang langsung mau balik. Mungkin ada acara."
Lelaki di belakangnya mengangguk. Kemudian melangkah mendekati Virga. Mata sehitam arangnya memandangi langit yang terlihat kelabu. "Tak mau masuk ke dalam, Vir? Bentar lagi hujan."
"Iya." Virga pun berbalik bersama lelaki itu. Dia menoleh ke samping. "Tadi aku udah beliin susu kotak buat Kakak. Maaf tadi harus ngeladenin Kak Aksel dulu."
"Tak apa. Dia juga tadi mendadak datang lebih awal."
Virga terdiam. Dia memasuki Rumah Bivalvia, menutup pintunya, lalu mengamati punggung Mahesa Silalahi yang berjalan ke arah ruang kerjanya.
Dalam diam, dia mengamati punggung tegap di depannya itu. Tak pernah dia sangka bahwa dia akan sedekat ini dengan Mahesa. Dan, semua bermula dari sesuatu yang sederhana dua tahun lalu di akad nikah Varsha dan Regen.
Kala itu, hujan deras turun menaungi Jakarta. Virga terjebak macet dalam mobil yang membawanya menuju bandara. Virga sudah menebak kemacetan ini. Dan karena itulah dia sengaja berangkat lebih awal.
Memejamkan mata seraya menenangkan diri, Virga pun mengeluarkan buku, ponsel dan earbuds dari dalam tas. Ketika sudah membaca sampai puluhan halaman, Virga mengistirahatkan matanya sejenak dengan memandang ke luar jendela. Saat itu sudah jam pulang kantor, kemacetan sudah berlangsung setengah jam, dan mobil-mobil di depannya tak ada pergerakkan sema sekali lebih dari lima menit lalu. Mobil Virga masih terjebak di kemacetan dekat stasiun commuter line. Hujan yang deras juga memperburuk itu semua. Ketika Virga mengistirahatkan mata dengan memandangi pohon yang ditanam di pinggir trotoar jalan, dia juga menemukan sosok yang tak asing baginya melewati trotoar.
Mahesa.
Virga mengernyit. Dia mendekat ke arah kaca untuk meyakinkan diri bahwa yang dia lihat memang benar Mahesa. Alisnya bertaut ketika dia sadar itu memang Mahesa, terbukti dari kemeja batik yang sama seperti yang dia lihat di pernikahan Varsha. Tapi, bukannya Kak Mahesa harusnya di resepsi nikah Tante Varsha sekarang? batin Virga. Dia ingin keluar mobil untuk menyapa lelaki itu, atau mengajaknya masuk ke dalam mobil jika memang tujuan mereka sama. Tak masalah jika dia terkena hujan. Virga sudah siap dengan mengambil payung lipatnya ketika dia justru menyaksikan Mahesa yang tengah terburu memasuki stasiun tiba-tiba berhenti melangkah saat melewati seorang dua wanita, yang satu masih separuh baya, satu lagi sudah nenek-nenek. Mereka terlihat sedang berbicara serius ketika Mahesa lewat. Mereka kini sedang berada di seberang stasiun. Cukup jauh jika harus menyeberang ke stasiun di seberangnya.
Virga bisa melihat gestur Mahesa yang terlihat bimbang, terlihat dari kepalanya yang beberapa kali menoleh ke arah wanita itu, ke stasiun, dan ke jam tangannya. Ketika mendekat ke arah jendela untuk lebih jelas, baru menyadari kalau wanita paruh baya itu sedang hamil dan berteduh di halte bersama si nenek.
Mahesa pun mendekati dua wanita itu, lalu mengobrol sejenak. Kemudian, dia mendekatkan payungnya untuk melindungi tubuh wanita itu. Sang wanita paruh baya itu tersenyum, mengangguk-angguk dengan bibir mengucap yang terlihat seperti ucapan terima kasih - Virga tahu, sebab dia belajar bahasa bibir. Kemudian, Mahesa menghela wanita itu ke stasiun. Memayungi wanita itu. Membiarkan dirinya lebih banyak terkena air hujan sepanjang jalan. Hal itu pun dilakukan lagi untuk nenek-nenek yang tadi menemani wanita hamil tadi. Payungnya tidak cukup untuk berdua, sehingga harus menyeberangkan dua wanita itu satu-satu.
Dan, Virga mengamati semua itu dalam diam.
Meninggalkan perasaan hangat dalam dada Virga ketika mengingat bagaimana perlakuan Mahesa tadi.
Kemanusiawian di zaman sekarang terasa begitu langka. Jika Virga menemukannya, dia tahu dia harus bersyukur, lalu mendoakan yang baik-baik terhadap orang yang berbuat baik tadi.
Namun, tak pernah dia pikir bahwa setahun kemudian, Mahesa akan mendatangi Rumah Bivalvia setelah sebulan dibangun.
Mahesa bilang, dia hanya mendengar tentang Rumah Bivalvia dari Aksel dan dia datang ke sana tanpa sepengetahuan temannya itu. Tiap datang ke sana, Mahesa selalu berkata kepadanya untuk tidak bercerita mengenai kedatangannya kepada Aksel. Virga juga tidak tahu kenapa.
Sampai akhirnya, Mahesa memutuskan tinggal di sana dua minggu yang lalu.
Lelaki itu hanya berkata, "Aku butuh ruang tenang, Vir. Ini tempat aku bisa merasa jadi manusia yang punya sisi manusiawi." Dan, Mahesa pun selalu berusaha membantu di sana.
Aksel tak pernah tahu. Mahesa tak ingin dia tahu dan karenanya, Virga menghargai keinginan Mahesa agar keberadaannya dirahasiakan.
Kini, duduk di seberang Mahesa sambil menatap Mahesa di ruang kerjanya, Virga pun kembali teringat masa awal dia melihat Mahesa mendatangi Rumah Bivalvia. Wajahnya terlihat agak dingin, tetapi menyimpan lelah, seolah enggan bicara banyak. Alisnya yang tebal memayungi sepasang mata sehitam arang. Kulitnya kecokelatan, seolah dikecup oleh mentari sendiri. Tubuhnya tegap dan dibalut setelah kemeja abu-abu. Hidungnya tidak mancung, tetapi rahangnya kokoh, terlihat tegas.
Secara fisik menurut Virga, Aksel jelas lebih tampan daripada Mahesa. Wajah Aksel terlihat atraktif dari segala sisi, membuat perempuan ingin menoleh lebih dari dua kali. Hanya saja, ada sesuatu dari sosok Mahesa yang membuatnya penasaran. Ada aura tersendiri yang mengatakan bahwa dia berbeda.
Atau, barangkali itu hanya ilusi Virga saja.
"Vir," panggil Mahesa pelan. Dia menusukkan sedotan ke susu cokelat yang sebenarnya Virga belikan untuknya sekalian membeli kebutuhan pribadi di minimarket tadi pagi. "Kau tahu kenapa aku tak mau Aksel tahu tentang aku di sini?"
Virga menggeleng. Dia selonjoran di sofanya. "Nggak tahu, Kak. Kenapa?"
Mahesa mendengus sekaligus tersenyum, lalu geleng-geleng kepala. "Awalnya aku heran. Kau ini memang terlalu polos atau pura-pura tidak tahu?"
"Hah? Pura-pura nggak tahu gimana?"
Mahesa tersenyum tipis menatapnya. "Aksel jatuh cinta sama kau, Vir," ujarnya. "Jatuh sejatuh-jatuhnya hingga bisa hancur jika kau tidak ada. Mampu kau bayangkan apa jadinya kalau dia tahu aku tinggal di sini?"
Virga tertegun. Mengerjap beberapa kali. Mengernyitkan dahi. Dia sadar dan masih ingat bahwa dirinya memang pernah menyukai Aksel Hadiraja. Aksel benar-benar bagaikan pangeran berkuda putih di negeri dongeng yang selalu ada untuknya di tengah masalah keluarganya yang pahit. Namun, kenyataan jelas bukan dongeng. Virga sadar hal itu dan mensyukurinya.
Dan hari ini, dia agak kaget karena dia memang tak merasakan pipi memanas atau jantung berdegup liar ketika Mahesa mengatakan hal tadi. Sebegitu skeptisnyakah dia terhadap Aksel?
"Dia jatuh cinta sama kau, Vir. Aku bisa lihat kalau dia memang benar cinta sama kau," ujar Mahesa. "Tapi, kau terlalu baik buat dia."
Virga mengerjap. Dengan santai, dia berkata, "Aku dulu pernah naksir Kak Aksel."
Mahesa terdiam, menatap Virga beberapa saat. Diamnya lelaki itu kadang membuat Virga agak kalut. Sebab, Virga tak tahu apa yang benar-benar Mahesa pikirkan. "Lalu? Patah hati kau sama Aksel?"
"Iya."
"Diapakan kau sama dia?"
"Nggak diapa-apain kok, Kak. Dia cuma ngelakuin hal logis buat dia. Dia pacaran sama perempuan cantik seusianya dan nganggep aku adik, tapi pas aku SMP, aku nganggep dia lebih dari itu. Salahnya di aku karena berharap ke Kak Aksel."
Mahesa terdiam lagi. Dia pun meletakkan susunya dan mengambil sebotol air mineral di meja. Mahesa kembali menatapnya, membuat Virga seketika mengalihkan wajah karena pipinya terasa panas. Kemudian dia berkata, "Tahu apa pendapatku saat tinggal di Rumah Bivalvia ini?"
Menunduk sejenak untuk menetralkan diri dari efek tatapan Mahesa, Virga baru mendengak tiga detik kemudian untuk menggeleng. "Enggak. Emang apa pendapat Kakak?"
Mahesa meliriknya, menahan tatapannya di mata Virga agak lama. "Macam dewi."
"Siapa?"
Mahesa meminum airnya sejenak tanpa memutus tatapan kepada Virga. "Kau."
Virga membisu. Irama jantungnya meliar. Ditatap Mahesa dengan tatapan tajam seperti ini pun jelas tak bisa menetralkan suara degup jantungnya yang berisik. Dia ingin berusaha rasional dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ucapan Mahesa hanya gombalan. Hanya saja setelah mengenal Mahesa setahun ini, dia cukup yakin bahwa Mahesa memang bukan tipe lelaki yang suka melempar gombalan Ya, dia sangat mudah memberi pujian dan semangat kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi tidak dengan cara seperti tadi.
"Kau itu macam dewi, Virga," ujar Mahesa tenang, tetapi serius sekaligus santai di saat yang sama. Virga tak habis pikir bagaimana Mahesa mampu melakukan itu semua dengan begitu mudah. "Dan dewi macam kau itu tak pantas bersanding dengan lelaki macam Aksel. Kau layak dapat yang lebih baik, Vir."
Virga sontak memutus tatapan, menggigit bagian dalam bibirnya untuk menahan senyum. Pipinya terasa makin panas karena dia justru membayangkan Mahesa. Sungguh, rasanya Virga ingin teriak karena ucapan Mahesa. Kenapa Kak Mahesa serius banget, sih? Kalau dia mau gombal harusnya nggak perlu seserius ini.
Virga tengah menenangkan jantungnya ketika Mahesa justru beranjak dan berlutut tepat di depannya, membuat Virga membeliak. Jantungnya kembali bertabuh. Astaga, Kak, plis, jangan bikin aku jantungan dalam satu waktu begini.
"Virga," ujar Mahesa tenang, menatap Virga dengan serius. "Aksel adores you, he really does." Dia memejamkan mata sesaat, menarik napas, kemudian berkata, "And so do I."
Virga terkesiap. Mendadak, rasanya ada ribuan kepak kupu-kupu yang menggelitik di perutnya.
Ingin Virga tersenyum lebar berseri-seri. Ya Tuhan, ini apa? Kejutan manis di siang bolong? Dia mengulum bibirnya ke dalam agar tidak tersenyum seperti orang gila. Namun, karena melihat Mahesa yang terlihat serius masih ingin mengatakan sesuatu, dia berusaha menahan euforianya.
"Aku berkawan dengan Aksel sudah dari lama, Vir," ujar Mahesa, kembali menarik napas. "Bertahun-tahun dan dia masih jadi kawanku. Aku tak mau apa yang kurasakan kepadamu ini merusak pertemanan kami." Dia menelan ludah. "Sejak awal pun, ini bukan kompetisi bagi ku, Vir. Tak ada menang atau kalah di sini. Kau bukan barang hadiah, dan ini bukan kompetisi. Kalaupun Aksel nanti menyatakan perasaannya kepadamu, mengajakmu menikah dan semacamnya lantas kau terima, aku akan berusaha untuk ikhlas. Itu pilihanmu. Barangkali masih ada sisa perasaan cintamu untuknya. Aksel pun pasti hancur jika hidup tanpa kau, Vir."
Virga membisu. Dan perlahan, beberapa pertanyaan tentang alasan Mahesa tinggal di sini dan merahasiakannya dari Aksel mulai masuk akal baginya.
"Kak," ujar Virga. Wajahnya terlihat lelah. "Udah cukup aku kenal sama lelaki yang mainin perasaan perempuan. Udah cukup dari ayahku, nggak perlu Kak Aksel menambah-nambahi. Dan, aku nggak mau membuang-buang waktuku menunggu Kak Aksel berubah."
"Perasaanku dan perasaan Aksel kepadamu sama, Vir," ujar Mahesa serius. "Tapi tanpa kau, Vir, Aksel akan hancur. Kau ini pusat hidup dia. Penyeimbang dia. Dia anggap kau adalah pengisi kekosongan dalam hidupnya. Bedanya aku sama dia cuma aku masih kuat jika kau tak ada. Aku takkan hancur jika tak ada kau di duniaku. Sebab sejak dari awal, kau bukan pusat hidupku, Vir. Kalau kau butuh lelaki yang menjadikan kau pusat dunianya, kau pilih Aksel. Jangan aku."
Ada jeda. Virga berpikir sembari menatap Mahesa. Entah mengapa, dia merasa hatinya agak dicengkeram melihat tatapan Mahesa yang setengah memohon. Lelaki itu terlihat menyimpan kelelahan yang tak bisa dia bagi sembarangan. "Kenapa harus menjadikan seorang manusia fana sebagai pusat dunia kita?" tanya Virga. "Kenapa manusia terlalu terlena sama hal-hal seperti ini? Dicintai oleh laki-laki yang begitu menggilai dan menjadikan si perempuan sebagai pusat dunianya mungkin terlihat menyenangkan. Seolah lelaki ini rela melakukan apa pun demi perempuan yang dia cintai. Tapi, aku nggak butuh itu. Dan menurutku itu bukan cinta, Kak. Itu kebodohan. Lagi pula kalau tanpa aku aja Kak Aksel hancur, lantas kepada siapa aku harus minta dukungan kalau aku lagi lemah-lemahnya? Aku butuh laki-laki yang kuat, yang nggak menganggap cinta asmara sebagai pusat dunianya. Aku butuh laki-laki yang tahu apa makna hidupnya di dunia ini. Dan laki-laki itu bukan Kak Aksel."
Mahesa terdiam. Dia merasa perutnya seolah dililit. Ini bukan masalah persaingan cinta. Mahesa tak peduli itu. Ini masalah pertemanannya dengan Aksel. Sudah bertahun-tahun mereka berteman, dan dia tak ingin pertemanannya hancur hanya karena cinta. Namun, apa iya dia harus menyerah dengan hal ini? Seterikat apa pun pertemanannya dengan Aksel, lubuk hati Mahesa tak bisa memungkiri bahwa Aksel belum layak mendapatkan gadis seperti Virga.
Mahesa pun akhirnya berdiri dari posisinya tadi. Dia menelan ludah, merasa rongga dadanya menyempit karena masalah ini. Terlalu rumit dan dia tak ingin semua jadi kacau.
Dia akhirnya memilih menenangkan diri sendirian. Sebelum keluar dari ruang kerja Virga, dia pun berkata, "Maaf harus membebanimu dengan perasaanku ini, Vir."
Pintu pun ditutup. Meninggalkan Virga dengan sejuta tanya dalam otak yang tak semua bisa ditutur lisan.
[ ].
A/N please kindly read it
Apa yang kalian pikirkan ketika kalian ingin Virga dan Aksel bersatu? Mau Aksel tobat dulu? Mau apa pun yang terjadi, mereka harus bersatu karena chemistry mereka begitu kuat? Karena mereka begitu mengisi satu sama lain?
Tbh, gue nggak paham kenapa ada dari kalian yang segitu maunya mereka bersatu. Gue harap ini hanya berlangsung di cerita gue aja, di fiksi, dan nggak kalian bawa-bawa di dunia nyata. Sebab jujur, gue punya banyak teman yang orangtuanya selingkuh (sampai yang selingkuhnya orangtuanya stres dan pernah ngancem anaknya sendiri buat mati) dan yang gue pikirin seandainya gue menyatukan Virga dengan orang semacam Aksel adalah: gue seolah lagi ngehina teman-teman gue ini.
Kenapa sebagian dari kalian begitu menutup mata sama kelakuan Aksel? Ya, Aksel emang bukan bad boy. Dia cuma suka mainin cewek aja tapi itu pun juga dia punya alasan kuat buat menampar cewek-cewek halu. Ya, Aksel sebenernya baik karena dia cuma mau jadi polisi moral aja. Dan ya, Aksel di satu sisi bisa dewasa, baik, pengertian, begitu peduli dan tulus cinta sama Virga. Tapi di sisi lain? Lebih banyak sikap kekanakan dia atau kedewasaan dia? Lebih banyak dia berusaha pengertian atau maunya dimengerti doang?
I've told you since the beginning.
Love - including strong chemistry, the oh-mereka-cocok-banget-karena-saling-mengisi-dan-melengkapi kind of reason, and many beautiful coincidences - is not and shoudn't be enough to make people like Virga wanna marry someone. And it will never be enough.
Cinta nggak melulu harus dipersatukan. Kalau perasaan cinta saling berbalas dan sudah pasti harus disatukan, perselingkuhan sudah bukan jadi dosa lagi.
Cerita kayak Virgaksel ini udah banyak banget. Percaya sama gue, karena gue sering baca, dan berakhir nggak puas karena gue nggak dapet maknanya. Iya, dua tokoh utamanya punya strong chemistry juga, berasa kayak mereka saling mengisi dan melengkapi. But, then what? The good girl always fall for the player. Player-nya tobat setelah ketemu cewek yang tepat. Mereka saling cinta banget, dan pada akhirnya mereka bersatu di cerita setipe cerita gue ini.
But that kind of story feels too unreal for me. Sebab player (kayak Aksel) dan bad boy (kayak Ramon) yang tobat setelah ketemu cewek yang tepat itu cuma bullshit yang sialnya digembar-gemborkan sama media massa.
Dan karena udah banyak cerita kayak tadi itu, gue merasa gue nggak perlu nambah-nambahin lagi. Udah cukup gue ngelihat cewek ngebego-begoin diri sendiri demi cinta kayak Nadia, dan bisa jadi berakhir kayak Erika (istri bapaknya Virga).
Mungkin banyak dari kalian nganggep gue terlalu lebay menanggapi persoalan bad boy ini. Padahal sebenernya... gue cuma nggak mau kalian berakhir kayak Nadia atau Erika. Orang-orang kayak Nadia dan Erika itu beneran ada di dunia nyata, dan mereka datang dalam bentuk cewek baik-baik, yang bisa jadi sifatnya dekat sama teman di sekitar kita sehari-hari. Tapi, media massa itu emang... emang sekuat itu efeknya. It can make girls be like Nadia and Erika.
Gue nggak mau kalian sampai jadi kayak gitu.
Mohon maaf kalau hal yang bikin gue concern menyakiti hati kalian. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top