25 : Bertahan :

25

: b e r t a h a n :


2018



Aksel ingat, orang-orang yang mengetahui kelakuan busuknya kepada perempuan sering berkata bahwa suatu saat, Aksel akan bertemu perempuan baik yang bisa membuat dia jatuh cinta mati-matian dan mau berubah untuk perempuan itu.

Aksel tertawa jika mengingat ucapan orang-orang tersebut. Dia sudah menemukan perempuan yang tepat, bahkan sebelum dia dinasihati seperti demikian. Aksel jatuh cinta mati-matian kepada Virga, tetapi pada akhirnya, dia tetap enggan berubah demi gadis itu. Buat apa? batin Aksel. Buat apa berubah cuma demi cewek? Cuma demi manusia? Cuma demi sesuatu yang fana?

Dia melihat sendiri bagaimana transformasi temannya, Nolan, yang dulunya perokok berat, bertato, sering mengingkari keberadaan Tuhan, sekarang sudah berubah menjadi seorang suami baik-baik penyayang keluarga yang taat agama. Ketika Aksel bertanya, alasan Nolan berubah bukanlah untuk istrinya, untuk adiknya, atau untuk orang lain. Nolan berubah untuk kebaikan dirinya sendiri. Berubah untuk mendapat ampunan Tuhan. Hal itu jelas bukan berubah demi sesuatu yang fana.

Lantas, kapan Aksel berubah? begitu mungkin pertanyaan orang-orang yang tahu tentang pertemanannya dengan Nolan. Lagi-lagi, Aksel ingin tertawa. Untuk apa dia berubah? Dia melakukan hal ini bukan hanya untuk kesenangan pribadi. Jadi playboy, mengerjai para perempuan bodoh yang mau-mau saja terjebak pesonanya, hal itu dilakukan untuk sesuatu yang menurut Aksel mulia; menyadarkan para perempuan bodoh itu. Lantas kenapa orang-orang begitu merisaukan hidupnya? Dia masih mampu bekerja secara profesional meski dia selalu menjalani 'hobi sampingan' untuk mengerjai pacar-pacarnya.

"Passion itu adalah sesuatu yang bikin kalian semangat dan tertarik. Passion ini beda sama hobi," ujar Virga di depan kelas pada pukul sepuluh. Tadi setelah mengobrol sebentar dengan Virga di ruang kerja, Aksel mengikuti Virga untuk masuk ke sesi penggalian minat dan bakat dari anak-anak yang diasuh di Rumah Bivalvia. Aksel segera duduk paling belakang.

Rumah Bivalvia memiliki beberapa kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, perpustakaan kecil, serta beberapa ruang belajar untuk sesi-sesi seperti ini. Ruang belajar ini terlihat seperti ruang kelas pada umumnya, tetapi lebih kecil, hanya bisa memuat dua puluh orang dalam satu kelas. Rumah Bivalvia pun juga masih tergolong baru, jadi belum terlalu ramai peminat.

"Sesuatu hal yang kita suka belum tentu jadi passion kita," lanjut Virga di depan kelas. "Sebagai contoh, ada orang hobi gambar. Tapi, dia cuma hobi aja. Jadi dia latihan menggambar itu nggak tekun, cuma suka-suka aja kapan pun dia mau. Beda kalau udah passionate. Kalau ada orang passionate sama menggambar, maka dia akan latihan gambar terus tiap hari. Dia pasti selalu menyempatkan diri buat menggambar di sela-sela kesibukan dan mau mengalahkan rasa malas karena dia mau menguasai skill menggambar itu. Passion itu kalau kita selalu merasa penasaran dan mau berusaha menguasai suatu bidang yang bikin kita passionate. Kalau udah passion, mau dapat masalah dan rintangan kayak gimanapun juga, kita pasti selalu berusaha menyelesaikan rintangan itu. Beda sama hal yang cuma kita suka. Begitu ketemu rintangan, bisa jadi kita mudah nyerah, dan nggak terlalu dianggap serius karena sedari awal, kita nggak menganggap itu adalah sesuatu yang harus diseriusi."

Kemudian, ada seorang anak yang mengangkat tangan untuk bertanya. Virga mempersilakan. Anak itu bertanya, "Tapi, Kak, cara biar kita bisa tahu bahwa suatu bidang itu adalah passion kita, dari mana?"

"Dari nyoba-nyoba aja," jawab Virga. "Bahasa kerennya itu, lewat trials and errors. Jadi, kita nyoba-nyoba berbagai bidang. Misal, nyoba ngerjain soal hitung-hitungan. Kita suka nih, penasaran terus dan nggak mau berhenti kalau belum nemu jawabannya. Sementara pas belajar biologi, merasa kurang tertarik. Terus pas belajar Sejarah juga kurang tertarik. Terus belajar bidang lain lagi, ada yang bikin tertarik dan ada yang enggak, dan seterusnya. Itu yang kumaksud nyoba-nyoba dulu."

Salah satu anak mengangkat tangan lagi. "Tapi, Kak, kalau kita sukanya lebih dari satu bidang, gimana?"

"Nggak masalah, dong." Virga tersenyum. "Kuasai aja yang kalian suka. Belajar banyak hal itu nggak ada salahnya, kok. Dan nggak ada juga yang ngasih batasan kalian mau belajar bidang apa."

Aksel tersenyum sambil mendengarkan. Anak-anak di ruangan masih aktif untuk bertanya ke Virga masalah penggalian minat belajar. Anak-anak dalam ruangan ini adalah anak-anak yang baru masuk Rumah Bivalvia. Anak-anak yang sudah lama masuk telah mendapatkan sesi sharing penggalian minat dan bakat beberapa bulan lalu. Kini, anak-anak senior sudah pada tahap merancang suatu produk berdasarkan minat dan bakat mereka. Aksel-lah yang melatih mereka mengembangkan produk yang mereka ciptakan lewat sesi Diversifikasi dan Pengembangan Produk tiap hari Sabtu. Sesi ini sebenarnya mirip-mirip dengan pelajaran kewirausahaan di sekolah.

Aksel suka bagaimana Virga membuat kurikulum sendiri untuk pengembangan sumberdaya manusia dari anak-anak difabel. Dan, Aksel juga suka Virga yang menanamkan motivasi kepada anak-anak ini untuk bisa berkembang menjadi manusia yang lebih baik.

Virga, Virga, batin Aksel seraya menghela napas, both of us would be so perfect together. Gue jadi pemimpin perusahaan, lo jadi istri gue yang bergerak aktif di bidang sosial begini. Kita bareng-bareng memberdayakan orang-orang sekitar. Tiap pulang kantor gue bisa ketemu lo. Tiap mau tidur dan bangun tidur, adalah lo yang pertama dan terakhir gue lihat. Just think about that. My life would be so perfect.

"Bang Aksel, mau ikutan bikin, nggak?"

Aksel mengerjap. Kembali pada dunia ketika Toni bertanya di sampingnya, meleburkan lamunan siang bolong Aksel. Aksel pun menatap Toni, lalu melihat anak-anak yang sedang bekerja sama membantu beberapa orang dewasa—para konselor dan pengurus Rumah Bivalvia—dalam membuat bangku lingkar yang mengelilingi pohon-pohon besar di halaman.

Aksel berdeham. "Iya, nanti aja gue ke sana," jawabnya atas pertanyaan Toni.

Toni mengangguk, lalu berjalan ke arah salah satu pohon sambil membawa alat-alat mekanik.

Dari balik orang-orang dewasa yang sedang berkerumun membuat bangku lingkar, Virga keluar dan berjalan ke arah rumah. Dia tersenyum kepada Aksel yang dibalas dengan senyum juga.

"Do you hear that sound?" tanya Virga sambil tersenyum ketika dia sudah dekat dengan Aksel, membuat jantung Aksel mendadak berisik. Aksel pun menelan ludah. Dia turut menajamkan telinga untuk mendengarkan sekaligus mengalihkan fokus.

Virga menunggu respons Aksel dengan sabar. Kemudian, Aksel hanya mendengarkan suara tertawa anak-anak di halaman. Beberapa dari mereka sekarang sedang melarikan diri dari anak-anak yang iseng mengejar dengan tangan yang sudah tercelup cat. Kendati demikian, meskipun ada anak yang terkejar dan terkena cat, mereka semua sama-sama tertawa. Aksel pun berkata, "What sound? Gue cuma dengar anak-anak yang lagi berisik."

"Yes," ujar Virga seraya tersenyum girang. "That is the sound of happiness."

Aksel terdiam. Kembali melihat anak-anak yang kejar-kejaran sambil tertawa. Kemudian, dia memandangi Virga yang menatap anak-anak itu dengan tatapan lembut. Senyum Virga terasa menentramkan saat melihat ada anak yang membantu anak lainnya yang berada di kursi roda untuk mengecat bagian bangku yang sulit digapainya. Lembut, Virga pun berkata, "Humanity is beautiful, isn't it?"

Aksel mengangguk, menatap ke arah anak-anak yang sedang bekerja sama untuk membuat sebuah bangku yang mengelilingi pohon, kemudian kembali menatap Virga. Aksel pun tersenyum sambil memandangi wajah gadis di sampingnya dengan hangat. "Yeah, beautiful indeed."

Angin berembus di Rumah Bivalvia yang teduh karena dikelilingi pepohonan tinggi.

Melihat anak-anak yang mulai bermain di halaman, Virga pun teringat dengan kenangan masa lampau waktu dia masih suka bermain. Masa saat dia masih kecil.

Masa ketika dia dan Aksel kali pertama bertemu.

Kadang dia berpikir, bagaimana jika dia dan Aksel tak bertemu saat dulu? Sebab, dia merasa mereka berdua adalah dua individu dengan dunia berbeda yang memang tak seharusnya dipertemukan. Dia bahkan juga tak paham kenapa dia masih bisa berteman dengan Aksel hingga sekarang. Karena toleransikah? Atau karena terbiasa? tanya Virga dalam hati.

Apa pun itu, sampai sekarang Virga tak tahu apa yang sebenarnya Aksel inginkan dari dirinya. Kebutuhan untuk berbagi masalahkah? Kebutuhan untuk berbagi mimpi? Kebutuhan untuk berteman? Tapi, itu aneh. Agak kurang masuk akal, pikir Virga. Dengan kepribadiannya, Virga yakin Aksel bisa berteman dengan hampir siapa pun. Namun, kenapa manusia seperti Aksel malah mempertahankan pertemanan dengan dirinya? Sebab sungguh, memasuki dunia Aksel yang cenderung glamor bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Virga. Dia merasa sangat asing jika sudah berkenalan dengan dunia lelaki itu—terlepas dari sudah bertahun-tahun mereka kenal satu sama lain—dan dunia Aksel jelas bukan suatu dunia yang ingin Virga masuki.

Karena itulah seringkali Virga bertanya-tanya.

Apa yang Aksel pertahankan dari hubungan pertemanan dengan dirinya?

[ ].



A/N

3 chapter lagi tamat. Nggak kaget kan ya?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top