22 : Sidang :




22

: s i d a n g :


2018



Pukul setengah sembilan pagi seusai sarapan dan mandi di hari Sabtu, Aksel dipanggil oleh ayahnya ke ruang tamu.

Di sana, sudah ada sosok ibu dan Bara-abangnya-yang duduk sambil menonton TV. Saluran TV prabayar menampilkan sosok Emily Thorne dalam serial Revenge yang kini ditonton sang ibu. Aksel duduk di sofa tunggal sebelah Bara. Sementara kedua orangtuanya duduk di sofa ganda.

Aksel pun mengangkat alis, menatap ayahnya. "Kenapa, Pa?"

"Mau ngomong bentar aja," ujar Hardana. Mendengar ini, Aksel seketika mengingat-ingat di mana dia meletakkan rancangan industri yang pernah diminta ayahnya. Siapa tahu sang ayah ingin membicarakan hal itu.

Setelah tayangan Revenge di TV sudah berakhir, Rima mematikan TV, lalu mengangguk kepada suaminya.

Hardana pun menarik napas. "Jadi begini, Sel," mulai Hardana. "Kamu tahu kan, kalau Papa bentar lagi harus pensiun?"

Aksel terdiam. Spontan melirik ke arah Bara yang kini juga melirik ke arahnya. Melihat tatapan abangnya yang bingung, Aksel menarik kesimpulan bahwa kakaknya juga tak mengerti apa yang ingin dibicarakan orangtua mereka. "Iya, Pa," jawab Aksel. Spekulasi bermunculan di otaknya. Ini bukan preambule Papa untuk minta cucu ye, kan? Tapi kalau minta cucu mah, harusnya ke Abang aja. Kalau Abang kan, emang udah punya calon istri, pikir Aksel.

"Karena Papa mau pensiun, otomatis harus ada yang bisa menggantikan Papa," ujar Hardana. "Berdasarkan beberapa pertimbangan, Papa yakin kamu bisa menggantikan Papa beberapa tahun lagi. Tapi, kamu memang harus belajar menangani emosi dan nggak terpengaruh sama tekanan dari luar, Sel. Pengendalian diri itu penting."

Aksel mengangguk. Dia sadar bahwa dirinya kadang suka lepas kendali. Kadang jika sesuatu tak sesuai rencana, emosinya bisa meledak dan berefek kepada karyawan lain di sekitarnya.

"Itu pertimbangan pertama. Tapi, Papa yakin kamu bisa menguasai diri kamu seiring berjalannya waktu," lanjut Hardana. "Dan, ada satu lagi pertimbangan sebelum Papa menyerahkan jabatan kepada kamu. Yakni, track record kamu di luar pekerjaan, Sel."

Alis Aksel bertaut. "Maksudnya?"

Rima, ibu Aksel, menimbrungi, "Maksud papamu itu, track record kamu yang suka pacarin banyak perempuan, Sel." Rima menghela napas, agak jengkel. "Kamu udah 28 tahun loh, Sel. Mau sampai kapan mainan Barbie mulu?"

Ebujut, nyokap gue. "Ma, itu kan, urusan aku. Lagian, aku pacaran sama siapa pun juga nggak memengaruhi pekerjaanku. Selama aku profesional, kenapa orang lain harus ikut campur?" tanya Aksel.

"Ya jelas dong, ikut campur!" seru Rima. "Kamu itu mainan Barbie dari zaman SMA sampai sekarang nggak puas-puas! Malah makin parah. Berapa coba, mantan kamu dari dulu sampai sekarang? Udah ratusan? Merasa bangga kamu, punya mantan ratusan gitu?"

Aksel mendesah. "Ya udah sih, Ma. Emang kenapa kalau mantanku ratusan? Orang-orang pada akhirnya menilai dari pekerjaan aku, bukan track record."

"Ya Mama tuh nggak paham kenapa kamu masih mainan perempuan sampai sekarang," keluh Rima. "Kamu mainannya sejauh, apa, coba? Main ke club malam? Ke tempat prostitusi? Sampai Mama tahu kamu udah nggak perjaka, Mama potong burung kamu sekarang juga."

Aksel menelan ludah. Mendadak ngeri. "Demi Tuhan, Ma, aku masih perjaka."

"Buktinya apa?" tantang Rima. "Toh kalau kamu masih perjaka, udah ciuman berapa kali kamu? Sadar nggak, kalau ciuman itu bisa menularkan penyakit seksual juga? Mau kamu kalau burung kamu kutilan? Mau kena HIV/AIDS? Emangnya siapa yang bisa menjamin mantan-mantan kamu itu 'bersih'?"

"Astaga, Ma, jangan nakutin," ujar Aksel, mendadak merinding. Dia pernah ditunjukkan abangnya gambar-gambar penyakit kelamin dengan genital pria yang kutilan, terlihat seperti brokoli dalam keadaan agak busuk. Bedanya, bentuk 'brokoli' ini sesungguhnya berasal dari kutil-kutil genital pria. Menjijikan sekali. Aksel bersumpah dia takkan melakukan seks sembarangan karena foto-foto sialan itu.

"Mama itu bukan nakutin. Mama cuma bicara fakta aja," ujar Rima. "Kamu itu slebor banget masalah perempuan, Aksel. Coba pikir lagi. Seandainya kamu punya pemimpin yang sukanya mainan perempuan, menurut kamu, gimana orang-orang lain bisa respek sama dia?"

Aksel menghela napas. "Ma, kalau Mama lupa, Presiden pertama kita juga 'perempuan'nya banyak. Dan orang-orang masih respek banget sama dia."

"Nggak usah banyak ngeles, Aksel. Nurut aja kamu jadi anak."

Aksel tutup mulut. Dia melirik Bara yang mendengus untuk menahan tawa keluar.

"Aksel," ujar Hardana dengan tenang. "Papa sama Mama sebenarnya bukan cuma membicarakan hal ini karena khawatir dengan dampaknya ke perusahaan, tapi juga dampak ke kamu ke depannya. Kami cuma mau yang terbaik buat kamu. "

Membisu, Aksel pun menimang apa dia sebaiknya mengatakan alasannya memacari banyak perempuan. Aksel yakin tak semua orang bisa paham. Dari semua orang, Aksel merasa hanya Virga yang bisa memahami alasannya. Virga memang tak membenarkan ataupun menyalahkan. Namun, setidaknya gadis itu paham.

"Begini aja," Bara kini angkat bicara. Aksel tak menyangka Bara akan turut menyidangnya. "Sel, sebelum semua hal ini dibahas, kita mulai dulu dari substansi awal lo sampai pacarin lebih dari satu cewek dalam satu waktu. Kenapa lo melakukan itu? Karena menyenangkan? Karena lo gampang bosan kalau cuma pacarin satu cewek?"

Lagi, Aksel membisu. Bertahun-tahun dia berkelit tiap kali Bara mempertanyakan hal yang sama. Tiap ditanya, jawaban Aksel hanya, "Karena itu menyenangkan buat gue." Dia tak pernah menjawab yang sejujurnya. Dalam benak Aksel, dia yakin Bara bisa menghentikan apa yang ingin Aksel lakukan dengan ucapan logis Bara. Namun, Aksel tak ingin dihentikan. Dia merasa apa yang dia lakukan kepada mantan pacarnya adalah sesuatu yang benar. Sehingga jika Bara mengetahui alasan Aksel mengerjai semua pacarnya adalah agar pacarnya itu sadar, Bara pasti bisa mematahkan alasan Aksel dengan logis. Aksel tak mau itu terjadi.

Namun, dengan kehadiran kedua orangtuanya di sini ikut menyidangnya, Aksel merasa ini bukanlah masalah enteng. Mungkin masalah dia yang mempermainkan perempuan sudah dianggap dapat berdampak serius oleh orangtuanya. Jadi akhirnya, Aksel memilih jujur, "Iya. But, in my defense, gue nggak sekadar pacarin mereka buat senang-senang. Gue pacarin mereka biar mereka sadar bahwa cinta asmara itu bukan segala-galanya, dan dunia ini nggak selalu berputar mengikuti khayalan babu mereka."

"Dengan berakhir menyakiti mereka?" tanya Bara.

"Iya." Aksel mengangguk. "They can make me the villain inside their head for all I care. Nggak masalah buat gue selama mereka bisa sadar dari kebegoan mereka."

"Sel, pernah mikir, nggak," ujar Bara, "seandainya lo punya anak perempuan, terus dia udah beranjak dewasa dan disakitin cowok karena cowok ini nganggep anak perempuan lo bego, terus anak lo jadi nangis berhari-hari sampai parah-parahnya mau bunuh diri karena dia desperate, lo sebagai bapak bakal merasa gimana? Bakal bertindak apa?"

Aksel menelan ludah. Merasa tertohok.

Sial. Dia tahu Bara pasti bisa membuatnya berpikir dengan perspektif yang lebih luas dan Aksel tak menginginkannya. Dia ingin terus melanjutkan apa selama ini dia lakukan. Barangkali ini adiksi. Entahlah. Aksel hanya merasa tak ingin berhenti. Sebab dengan melihat perempuan bodoh merasa tertampar atas ucapannya. Aksel bisa merasa puas.

"Benar kata abangmu," ujar Hardana. Dan, Aksel mendadak merasa seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue yang tak boleh dimakan. Dia menundukkan kepala. Padahal, Aksel tak ingin merasa seperti ini. Dia tak ingin merasa bersalah. Kenapa pula dia harus merasa bersalah? "Aksel, coba dipikir lagi dampak kamu ke perempuan-perempuan itu bakal seperti apa. Papa pikir, hati seseorang, apalagi perempuan, bukanlah sesuatu yang layak untuk dipermainkan."

Aksel membuka mulut, "Masalahnya, banyak perempuan-perempuan bego, Pa. Dan, kebanyakan manusia itu nggak bakal sadar kalau cuma dinasihati aja. Ditampar sama pengalaman bakal lebih ngena buat mereka."

Rima mengembuskan napas. "Ini nih, Sel, yang justru bikin Mama nggak mau kamu deketin Virga," ujar Rima. "Iya, Mama tahu ada banyak perempuan-perempuan seperti yang kamu bilang itu. Sama aja kayak masih banyak juga laki-laki yang pikirannya masih kekanakan. Tapi, itu nggak bisa jadi alasan bagi kamu untuk menyakiti orang, Sel. Mama memang minta kamu dan Bara buat cari perempuan yang nggak bodoh buat jadi pendamping hidup kalian, tapi, Mama nggak pernah ngajarin kalian buat menyakiti perasaan mereka."

"Aku cuma mau mereka sadar, Ma," bela Aksel. "Kalau mereka merasa tersakiti, itu mah, urusan mereka yang dari ucapanku aja diambil hati. Niatku itu buat bikin mereka sadar, bukan buat menyakiti mereka."

"Kenapa lo merasa perlu banget bikin mereka sadar?" tanya Bara. "Apa pentingnya buat lo?"

"Penting, Bang," ujar Aksel. "Seengaknya walaupun gue cuma nyadarin sebagian dari mereka, mereka bisa jadi lebih baik, lebih siap menghadapi realita. Mungkin gue bakal dinilai jahat, terserah. Mending begitu asal mereka sadar kesalahan mereka."

Bara mengernyit. Tatapannya tak terlihat menuduh, melainkan penasaran. "Tapi, kalau lo nikah, lo nggak bisa kayak gini terus kan, Sel?"

Aksel terdiam, lalu mengangguk. "Mungkin akan ada waktunya gue berubah, Bang. Yang jelas, gue nggak niat nikah dalam waktu dekat."

"Nikah sama siapa?" tanya Rima, menyelidik. "Mau sama Virga?"

Spontan, bayangan Virga melintas di benak Aksel. Begitu jelas. Kadang pun, dia suka membayangkan masa depan dengan dia dan Virga ada di dalamnya.

Namun, jika dia mau jujur dari lubuk hatinya, jika dia berani menyuarakan, Aksel ingin mengatakan bahwa sesungguhnya, dia tak yakin dia bisa bertahan dengan Virga.

Gimana kalau suatu saat, gue malah bosan sama Virga? pikir Aksel.

Tapi pada akhirnya, Aksel justru menjawab, "Ma, kalau iya, kenapa? Dan kalau enggak, kenapa?"

Rima menghela napas. "Kalau iya, Mama kasihan sama Virga," ujar sang ibu. "Memang kamu pikir, selama ini setelah Mama tahu kelakuan kamu sama perempuan, apa alasan Mama nggak mau kamu deketin Virga?" tantang ibunya. "Karena Mama merasa Virga terlalu baik buat kamu, Sel. Sama aja kayak Mama yang minta kamu dan Bara buat cari pendamping perempuan yang nggak bodoh, seandainya Mama punya anak perempuan kayak Virga, Mama bakal minta dia buat cari cowok yang bisa mikir jauh ke depan, bukan yang kekanakan. Dan, Mama masih belum yakin kamu udah cukup dewasa dan cukup layak buat bersanding sama Virga."

Aksel merasa ditonjok.

Dia bukan hanya merasa dihantam fakta bahwa dia pernah mengatakan hal serupa kepada banyak perempuan-mantan-mantan pacarnya, terutama. Namun, dia juga dihantam fakta bahwa bahkan ibunya sendiri pun sadar betapa dia masih belum layak bersanding dengan Virga.

Menelan ludah, Aksel pun memberanikan diri membalas, "Aku bakal berubah kalau aku udah nikah, Ma. Toh, aku pun nggak mainin perempuan cuma buat manfaatin tubuh mereka atau cuma buat senang-senang."

"Ya tapi, emang kamu bisa berhenti?" tanya sang ibu. "Apa yang bisa kamu kasih buat menjamin bahwa setelah nikah, kamu nggak akan balik mainin perempuan lagi? Cium-ciuman sama mereka lagi? Walaupun kamu dalihnya adalah untuk alasan mulia semacam mau menyadarkan perempuan, tetap aja, Sel. Kalau kamu udah addicted, bakal susah nanti lepasnya. Bayangin gimana nanti perasaan istri kamu kalau kamu sampai mainan perempuan di belakang dia. Kamu nggak akan ada bedanya sama playboy-playboy lain yang begitu bangganya memamerkan ke-playboy-an mereka. Dan Mama juga nggak merasa bangga kalau punya anak seperti itu. Mama nggak bisa senang punya anak yang sepanjang hidupnya malah menyakiti orang lain."

Lagi, Aksel merasa ditampar.

Ya, Aksel sadar bahwa menyakiti orang lain itu salah. Namun, dia tak bisa hanya diam setelah tahu isi kepala kebanyakan perempuan yang ternyata sering tak tahu diri. Aksel paling tidak bisa hanya duduk diam saat ada sesuatu yang membuatnya resah-seperti kebodohan perempuan. Dia lebih baik bertindak walau kata-katanya menyakitkan. Kejujuran memang seperti itu. Sepanjang dia hidup dan berpacaran dengan ratusan perempuan, dia sudah tahu bahwa kebohongan memang manis dan dapat menerbangkan orang-orang ke langit dan menjadi sulit untuk berpijak ke bumi. Media massa juga turut membentuk pikiran banyak orang untuk menciptakan dongeng di dunia ini. Aksel menyadarinya dan tak bisa tinggal diam. Barangkali orang-orang menganggapnya salah. Namun, Aksel tak tahu tindakan riil macam apa lagi yang bisa dia lakukan dengan kondisinya sekarang untuk mengubah paradigma masyarakat. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa, meskipun terkesan melanggar aturan, meskipun dinilai salah, meskipun membuat orang-orang menganggapnya sebagai penjahat, Aksel yakin apa yang dia lakukan ini benar. Sebab, dia bukanlah pemerintah dan politikus yang punya wewenang untuk mengubah sistem masyarakat. Sehingga dia hanya melakukan apa yang bisa dia lakukan.

"Aku belum bisa berhenti, Ma," ujar Aksel, lalu menarik napas. "Kalau Papa mau cari kandidat selain aku buat gantiin posisi Papa, aku nggak masalah. Tapi untuk sekarang ini, aku masih belum mau berhenti. Karena aku yakin apa yang aku lakuin ini benar."

Baik Hardana dan Rima pun terdiam, tetapi tidak dengan Bara. "Terus, lo mau kayak gini sampai kapan?" tanya Bara. "Mama benar, Sel. Lo nggak bisa kasih jaminan bahwa lo bakal berhenti main perempuan nanti setelah nikah. Atau, apa lo emang berniat jadi lajang senang-senang seumur hidup? Kalau lo mau kayak gitu ya go ahead. Jangan labil."

Aksel membisu. Ucapan semua anggota keluarganya hari ini sungguh menusuk. Kemudian, Aksel menggeleng atas pertanyaan Bara. "Gue belum mikirin sampai situ. Gue bahkan nggak tahu gue mau nikah kapan. Yang gue tahu, dalam waktu dekat, gue nggak ada niat nikah."

"Ya udah," ujar Rima, pasrah. "Mama nggak membenarkan ataupun menyalahkan pilihan kamu. Mama cuma bisa minta kamu buat tanggung jawab. Setidaknya, jangan dekatin Virga lagi, Sel."

Aksel mengernyit, merasa tak terima. "Kenapa, Ma? Aku dekat sama Virga juga dia cuma nganggep aku teman. Nggak lebih. Aku juga nggak ada niat buat nyakitin dia."

"Yakin?" tanya Rima. "Kamu pernah mikir, nggak? Sekali aja mikir. Seandainya selama ini kamu dekat sama Virga, dan diam-diam Virga naksir kamu, gimana? Virga udah tahu kelakuan kamu kayak gimana. Dia mungkin udah ngelihat kamu ciuman sama entah berapa perempuan yang jadi mantan kamu itu. Pernah mikir nggak, kalau kamu barangkali pernah menyakiti dia tanpa kamu sadari?"

Kini, Aksel merasa habis dihantam petir.

Bara yang duduk di sebelahnya ikut terperanjat, melebarkan mata. Tak menyangka ataupun terpikirkan akan kemungkinan itu.

Kemudian, Rima beranjak dan pergi meninggalkan ruang keluarga. Hardana segera menyusul Rima ke kamar pribadi mereka. Membiarkan dua anak mereka di ruang keluarga terdiam dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

Akhirnya, Aksel beranjak. Dia mengganti pakaiannya, meraih kunci mobil, kemudian pergi menuju tempat gadis yang mengisi pikirannya sedari tadi.

Ke tempat di mana Virga berada.

[ ].





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top