19 : Datang :

19

: d a t a n g :


2016



Benar dugaan Aksel; Virga baru kembali ke Indonesia hanya ketika ada agenda penting dan genting.

Tiga tahun berlalu tanpa terasa. Tak ada Virga yang sering dia temui terasa begitu berbeda. Dia tak bisa lagi bertemu Virga, merasakan ketenangan yang memancar dari gadis itu tiap mereka bertemu. She is my inner peace and it will always stay like that forever, pikir Aksel. Karena absensi itu, Aksel justru melampiaskannya dengan bertemu lebih banyak perempuan, berpacaran dengan lebih dari satu perempuan di satu waktu. Bukan salah gue. Mereka juga yang bego. Orang udah tahu gue player, malah tetap dipacarin. Kurang bego apa, coba? Dan Aksel tak memungkiri, dia menikmati perhatian dan afeksi yang diberikan oleh pacar-pacarnya. Pacar-pacarnya datang dari berbagai latar belakang. Hal itulah yang memberi warna dalam dunia asmaranya. Ada perempuan lugu yang baik-baik - tapi bego, pikir Aksel - serta ada pula perempuan nakal yang ingin mencoba menaklukkannya - sama sih, bego juga, pikir Aksel. Dan berpacaran dengan berbagai perempuan itu membuatnya tidak terlalu memikirkan Virga.

Hanya saja, mereka bukan Virga dan selamanya takkan bisa menjadi Virga.

Akad nikah yang dilaksanakan hari ini membuat Virga kembali pulang ke Indonesia di tengah kuliahnya. Aksel tahu Virga sudah datang dari seminggu lalu. Dia pun juga sudah meminta Virga untuk bertemu. Sudah tiga tahun berlalu. Aksel tidak tahu apakah Virga rindu dengan kebersamaan mereka. Gue kangen, Vir, gue kangen parah, tapi kenapa lo nggak bisa ketemu gini? Dia ingin melihat dan mengobrol lagi dengan Virga. Sudah seperti apa gadis itu? Makin cantikkah? Apakah dia masih menggunakan potongan rambut yang sama seperti yang terakhir kali Aksel lihat? Dia hampir tidak pernah berkirim chat lagi dengan Virga sejak gadis itu kuliah. Kalaupun chat, biasanya hanya dibalas satu-dua kata. Dia pikir Virga memang lelah karena kuliah. Dan karena hal inilah dia jadi jarang berhubungan dengan Virga. Tidak tahu kabarnya juga.

Virga tak bisa memenuhi permintaan Aksel karena dia sibuk dengan persiapan pernikahan tantenya, Varsha. Pada akhirnya, di luar dugaan Aksel, adalah Varsha yang menikahi Regen. Pernikahan mereka dihelat di awal tahun. Hari ini, akad nikah dilakukan di rumah mempelai putri. Rata-rata tamu berada di dalam untuk menjadi saksi ijab kabul nanti, sehingga hanya ada beberapa orang yang kini berada di luar rumah Varsha

Dan, di hari akad nikah inilah Aksel baru bisa melihat Virga.

Seperti yang dia duga, Virga memang tumbuh menjadi gadis cantik dengan aura berkelas. Ketika dia tengah menunggu teman-temannya keluar dari mobil, Virga baru keluar dari dalam rumah untuk meletakkan boks berisi souvenir di meja pagar ayu yang terletak di depan gerbang yang terbuka.

Terpaku di posisi bersandar di tembok gerbang, Aksel tertegun melihat Virga. Gadis itu tengah mengenakan kebaya berwarna keemasan yang terlihat sangat anggun memeluk tubuhnya. Rambut Virga digelung rapi, tetapi masih menyisakan poni menutupi dahinya. Ada kepang-kepang dan hiasan bunga di gelungan rambutnya. Aksel sempat terpana sesaat, membuatnya menahan napas. Hingga akhirnya Virga juga menyadari keberadaan Aksel.

Dan, mata mereka bertemu.

Aksel tak mampu berkata-kata untuk beberapa detik. Virga is indeed beautiful. Parasnya sungguh cantik yang berkelas. Detik itu, Aksel tahu bahwa Virga adalah perempuan yang layak untuknya. Cerdas, cantik, berkelas. Betapa sempurnanya kita kalau disatukan, Vir, pikir Aksel, membayangkan dirinya dan Virga di akad nikah seperti ini untuk sesaat. Yes, yes, indeed we are perfect for each other. You fit me and I fit you. We are a perfect match made from heaven. Nggak ada yang bisa menandingi. Yang cocok, serasi, dan tepat buat gue memang Virga dan hanya Virga. Nggak ada yang lain. Gue nggak mau yang lain.

Virga mengangkat alis, lalu tersenyum santai ketika melihat Aksel. Kemudian dia mendekati Aksel sambil membawa goody bag kecil di tangannya. "Baru sampai, Kak?"

Aksel menahan napas lagi. Anjirlah Virga makin dekat makin cantik, gue harus apa? Dia pun menarik napas. Berusaha menetralkan suara jantung. "Iya, Vir. Ini gue lagi nungguin teman-teman gue."

"Oh, Kak Nolan sama Kak Hizraka, ya?" tanya Virga.

Aksel mengangguk. Senyumnya tak juga lepas. Dia merasa girang sekali hari ini. "Baju kita matching, Vir," ujarnya. "Sama-sama gold."

Alis Virga bertaut bingung. "Loh, Kak. Kan, dresscode buat keluarga mempelai itu kan, emang warna gold."

Senyum Aksel seketika luntur. "Oh iya, lupa."

Virga tersenyum. "Ya udah, aku masuk dulu, ya."

"Eh, bentar, bentar," cegah Aksel. Menahan Virga pergi. Otaknya bekerja untuk mencari bahan obrolan. "Itu, lo di sini beneran cuma seminggu?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Aku ada kerjaan di sana sebenarnya, Kak. Udah aku obrolin sama Tante Varsha. Ini kerja tim gitu sih, jadi aku nggak enak kalau ninggalin kelamaan. Tapi, aku juga nggak mau ngelewatin pernikahan Tante Varsha. Senin itu ada presentasi yang wajib dihadiri semua anggota, makanya aku ambil flight malam ini. Jadwalnya emang agak bertubrukan, sih, tapi yang penting aku bisa datang ke akad nikahnya."

Aksel mengangguk. Dia sebenarnya sudah menduga bahwa Virga di Amerika memang sibuk. "Lo... jadi nggak ada waktu habis akad ini, ya?"

"Iya. Nanti setelah acara selesai pas jam dua, aku langsung siap-siap buat pergi ke bandara. Koper-koper aku udah siap di kamar juga."

Aksel terdiam. Pergi lagi? pikir Aksel. "Lo bakalan langsung perg-"

"MAS AKSEL! Kalau berduaan doang ntar orang ketiganya setan loh, Mas!" seru seseorang dari belakang Aksel. Lelaki itu sontak menoleh dan membeliak melihat Nolan sudah cengengesan sambil berjalan ke arahnya. Di belakang Nolan, ada Hizraka dan Mahesa yang baru selesai mengunci pintu mobilnya.

Aksel mendengus jengkel. "IYA! SETANNYA ELO!"

"Woles siah, Mas. Kalem." Nolan masih tersenyum cengengesan mendekati Aksel. Melirik Virga, dia pun mengangguk. "Hai, Vir. Tambah cakep aja. Sampai pangling gue lihatnya."

Aksel melotot. Eanjir ini anak. "Kalau belum move on sama yang dulu, nggak usah gombalin cewek lain, Lan."

"Gue ngomong jujur, kok. Virga emang tambah cakep," ujar Nolan santai tanpa melihat Aksel. Matanya mengarah ke goody bag yang digenggam Virga. Sementara itu, Hizraka dan Mahesa mendekati mereka. Nolan bertanya, "Itu lo bawa apa, Vir?"

"Eh, iya," Virga mengeluarkan barang dari dalam goody bag-nya. Sebuah kotak bekal. "Ini aku bawa pie buah. Disimpan di kulkas, terus tadi kubawa. Tapi, kali aja kalian mau-"

"Mau," ujar Hizraka, lalu bergerak untuk membuka kotak bekal yang dibawa Virga, sempat membuat Virga bengong untuk sesaat.

Mahesa memukul pelan tangan Hizraka yang hendak membuka tutup bekal. "Ka, ini bukan rumah nenekmu. Sopan sikit."

Hizraka menatap Mahesa. Alisnya bertaut. "Gue mau makan, Sa."

"Macam manalah kau mau makan. Yang punya saja belum selesai menawarkan."

Hizraka terdiam, kemudian menatap Virga, lalu melirik kotak bekal yang Virga bawa. "Gue mau makan itu."

Virga mengerjap. Agak-agak takjub dengan kelakuan lelaki di depannya ini, kemudian tertawa. "Iya, iya, boleh kok dimakan." Dia pun membuka kotak bekalnya. Membiarkan Hizraka mengambil potongan pie yang tinggal beberapa. Mahesa, Nolan, dan Aksel pun ikut mengambil pie itu.

Setelah mengunyah, Nolan manggut-manggut dan berkata, "Enak banget, Vir. Segar gitu. Yang bikin elo?"

"Enggak. Ini buatan Tante Varsha." Virga tersenyum, ikut senang karena masakan tantenya dipuji. "Sebenarnya dia bikin buat aku, soalnya aku emang suka pie buah. Tapi, akunya takut nggak habis. Makanya kubawa ke sini. Keluargaku di rumah nggak suka pie soalnya."

"Enak padahal," ujar Hizraka, kemudian memejamkan mata sambil menikmati lembutnya cream pie, manis dan gurihnya , serta rasa buah yang sedikit asam dan membuat aftertaste segar di mulutnya. "Pandai sekali tantemu masak. Usianya berapa?"

"Dia udah 35 tahun. Kenapa, Kak?"

"Nggak apa-apa. Kerja bikin bisnis catering, ya?"

"Iya. Dulu sempat kerja di Bentala juga. Sekarang udah resign."

"Tantemu suka baca komik? Shingeki no Kyojin, gitu?"

Virga mengernyit, mengingat-ingat. Sementara itu, Aksel, Nolan, dan Mahesa sudah memasang tatapan waspada kepada Hizraka. Virga lalu berkata, "Oh, baru ingat. Tante kurang suka baca komik, Kak. Lebih suka baca novel."

Hizraka manggut-manggut. "I see. Tantemu sekarang ada di dalam rumah?"

"Iya."

"Boleh ketemu, nggak?"

Virga mengernyit, benar-benar bingung. "Nanti juga ngelihat kok, Kak. Tanteku kan, mempelai wanita di nikahan ini."

Hizraka membeliak, sementara Aksel dan yang lainnya sudah tertawa panjang dan puas. Aksel tertawa sambil memegangi perut. "Sabar, ye, Ka! Kenyataan emang nggak seindah harapan, Coy!"

Mahesa menatap geli. "Itu bakal istri orang, Zraka. Sadar sikit."

"Udah tahu gue manuver lo! Pasti mentok-mentok nanya Shingeki no Kyojin sama kerjaannya. Dikit lagi nanya dia punya ovarium apa enggak!" seru Nolan sambil menepuk-nepuk pundak Hizraka.

Hizraka sendiri hanya diam, lalu kembali memakan pie buahnya dan kembali khusyuk dalam flavor makanan di mulutnya.

"Tante Varsha kan, emang jago masak. Punya catering gitu," ujar Aksel usai memakan pie-nya. "Tapi ya, dia bini orang, Ka. Lo nggak bisa sembarangan ngembat!"

"Belum," ujar Hizraka. "Ijab kabul belum dilakukan. Masih jadi calon jatuhnya."

"Lo ada bau-bau mau merusak acara nikahan, Ka," ujar Nolan. "Kekepin Zraka ajalah udah. Ikat dia di mobil."

"Tante Varsha cantik, ya?" tanya Hizraka usai dia memakan pie buah. Mereka kini berjalan masuk ke dalam rumah. "Feeling aja, sih. Kayaknya cantik."

"Kalau cantik, emang mau diapain?" tanya Virga sambil tertawa. "Orang dia bakal jadi istri orang hari ini."

"Sebenarnya lebih gampang saingan sama perempuan bersuami, daripada sama cewek single gitu," ujar Hizraka santai. "Kalau perempuan bersuami, saingan gue cuma satu, yakni suaminya. Kalau ceweknya jomblo, saingan gue bisa banyak orang. Mending mana? Mending istri orang, kan."

"Berak sana, Ka, Berak," ujar Nolan seraya geleng-geleng kepala. Dia pun melirik ke arah meja dan dinding yang berisi foto-foto keluarga. "Eh, di sini ada foto Tante Varsha?"

"Ada, ini," ujar Virga, menunjuk ke salah satu foto keluarga.

Hizraka pun ikut melihat, dan lantas berkata. "Mukanya semanis pie buatan dia. Pas kena di hati."

"Mulut lo banyak sampah ye, Ka. Itu tong sampah ada di dapur," ujar Aksel, kemudian menghela napas. Kadang dia heran sendiri kenapa masih bisa mempertahankan pertemanan dengan mahkluk-mahkluk ajaib di grup Republik Jomblo Raos. "Duduk, yok. Bentar lagi akadnya mau mulai."

Mereka pun duduk bersama setelah menemukan Bara yang sudah duduk duluan. Sambil menunggu ijab kabul dimulai, Virga dan yang lain mengobrol, kebanyakan dari topik Varsha dan pernikahan. Ketika ditanya kira-kira kapan Virga ingin menikah, Virga menjawab, "Kalau aku dan pasanganku nanti udah sama-sama siap."

"Terus, kriteria suami buat lo kayak gimana, Vir?" tanya Nolan dengan nada santai, kemudian melirik Aksel dan tersenyum miring. Aksel pun membalas dengan seringaian.

Mata Virga melihat ke atas sambil mengetuk-ngetuk telunjuk di dagu, berpikir. "Aku mau... suami yang sopan, menghargai orang lain," ujarnya, "pokoknya yang baik-baik dan seiman. Dan, dia juga harus punya tujuan serta tahu makna hidupnya. Karena kalau orang udah punya makna hidup, pasti bakal lebih enggan buat hura-hura di dunia."

Aksel mengangkat alis, sementara Nolan dan yang lain berdecak kagum. Nolan bertepuk tangan, tulus berkata, "Keren, Vir. Bagus. Pertahankan idealismenya."

Termenung, Aksel pun memikirkan jawaban Virga sampai akhirnya, acara dimulai oleh Master of Ceremony. Acara terus berlanjut hingga akhirnya, Regen Argentara menjabat tangan ayah Varsha dan mengucapkan ijab kabulnya.

Usai itu, ketika ditanya penghulu mengenai kesahan pernikahan, Aksel Hadiraja ikut menyerukan kata 'sah' bersama tamu lain yang berkoor dari ujung ke ujung ruangan. Regen menoleh ke arah suara Aksel yang tadi berseru nyaring, kemudian mendengus melihat Aksel yang mengangkat dua jempolnya.

Khalayak acara seketika mulai berdiri dan berbisik-bisik. Semua mata terpusat pada tangga yang merupakan jalan menuju kamar sang mempelai wanita. Beberapa detik kemudian, ruang keluarga yang disulap untuk acara itu hening. Hanya tersisa suara jepretan kamera untuk dokumentasi sana-sini.

Selanjutnya, muncul suara langkah kaki. Konstan. Anggun. Aksel dan Virga sama-sama melongok untuk melihat lebih jelas. Mata sang pemuda melebar melihat sosok yang melenggang masuk ke ruangan ini. Langkah sang mempelai wanita tenang, tak tergesa. Ekor gaun sewarna tembaga terseret di lantai sepanjang dia berjalan. Henna berwarna merah telah dilukiskan di punggung tangannya, merambat bagai sulur-sulur tanaman dan berakhir di ujung jemarinya yang kini saling bertautan, dan ya Tuhan....

Aksel akui, Varsha cantik sekali dalam balutan baju pengantin ini.

Namun, entah apa yang dipikirkan sepupunya, sang mempelai pria yang duduk di singgasana akad nikah sekarang. Karena dari semua manusia dalam ruangan, sepertinya hanya manusia satu itu yang bahkan tak mau menoleh melihat Tante Varsha datang.

Sang mempelai wanita lalu duduk bersisian dengan suaminya. Semua hadirin pun kembali dipersilakan duduk.

"Virga," Aksel melirik gadis itu, lalu kembali menatap dua manusia yang menjadi sorotan hari ini, yang seusai diberi wejangan, berdiri untuk bertukar cincin. "Lo bilang di chat, lo yang beliin cincin kawin mereka?"

Sang pembawa cincin kawin datang mendekati sepasang pengantin itu. Virga tersenyum. "Iya." Dia mengamati pertukaran pemakaian cincin itu dalam diam. "Aku emang sengaja mau pesan cincin khusus buat mereka. Ada tulisan di bagian dalam cincinnya, makanya harus dipesan dulu."

"Tulisan apa?"

"Nyonya Teh dan Tuan Kopi," ujar Virga, lalu tersenyum lega melihat Varsha dan Regen yang kini menunjukkan jari mereka yang telah dilingkari cincin kawin ke arah perekam dokumentasi. Hatinya terasa menghangat melihat kejadian di depannya. Teringat doa yang dia panjatkan. Teringat nasihat-nasihat Varsha kepadanya selama ini. Teringat sosok tantenya yang selalu ada ketika dia disakiti, ketika dia butuh, dan membuatnya senantiasa teringat kepada Tuhan. Tuhan memang tak selalu mengabulkan doa manusia detik itu juga, untuk menguji kesabaran, untuk mengetahui sampai batas apa manusia itu mau berusaha, batin Virga, merasa matanya memanas melihat tatapan yang dilayangkan Regen kepada tantenya itu. Dia merasa terharu. Agak sesak. Butuh waktu lama hingga akhirnya Varsha menikah. Lantas kenapa orang-orang lain begitu sibuk menuntut Tuhan dalam doa untuk mempertemukannya dengan jodohnya secara cepat?

"Kenapa Nyonya Teh dan Tuan Kopi?" tanya Aksel. "Karena Om Re suka kopi dan Tante Varsha suka teh?"

"Iya." Virga masih tak bisa memalingkan matanya dari Regen dan Varsha. "Both of them is like tea and coffee. Pahit kalau diminum tanpa gula, tapi rasanya orisinal. Kebanyakan orang di dunia minum kopi dan teh dengan pemanis, entah itu gula atau susu dan semacamnya. Cuma sebagian orang yang bisa menerima kepahitan mereka apa adanya. It's just what they are. Mereka mau sama-sama menerima kepahitan satu sama lain."

Aksel melongo. Kemudian berkata, "That's quite deep."

Tepuk tangan terdengar meriah ketika MC kembali berbicara untuk menyelamati pasangan yang sudah resmi menikah itu. Virga tersenyum, mengucap syukur berulang-ulang, lalu mengerjap-ngerjap agar tidak menangis. Aksel yang melihatnya hanya mendengus.

"Baik-baik lo di sana."

Kepala sang gadis menoleh padanya. Tatapan bingung. "Eh?"

"Nanti, kalo lo balik kuliah ke Amerika sono. Jaga diri, jangan bandel. Lo perempuan. Kalau sampai kenapa-kenapa, bakal lebih repot ngurusnya daripada laki-laki."

Senyum kecil terulas di bibir Virga. "Iya, Kak."

Acara pernikahan terus berlanjut, tetapi Virga harus segera pergi. Taksi yang dipesan untuk membawanya ke bandara sudah siap. Koper-kopernya telah dikeluarkan dari dalam kamar. Setelah semua berada di luar rumah, Aksel bersender di tembok gerbang sambil mengamati perpisahan Virga dengan keluarganya. Dia pun bertanya dalam hati, kenapa sering kayak gini?

Kenapa mereka baru ada waktu di saat Virga hendak pergi? Kenapa sekarang sulit sekali mencari waktu luang untuk bertemu?

Kapan mereka akan benar-benar menetap tanpa perlu ada yang datang dan pergi?

Helaan napas Aksel keluar. Dipandanginya sosok gadis yang kini hendak memasuki mobil. Melambaikan tangan sambil tertawa ketika mengobrol dengan tantenya.

Ketika Virga sudah memasuki mobil, Aksel mendekat dan menunduk, melongokkan kepala masuk ke dalam jendela penumpang yang terbuka. Kalimat pembukanya cuma, "Cepet lulus, Vir."

Virga menatapnya aneh. "Uhm, iya, Kak."

"Jangan bikin gue nunggu kelamaan. Gue udah 26 tahun. Ya iya kali gue harus nunggu sampe tiga puluh tahun."

Tatapa Virga berubah bingung. "Maksudnya?"

"Cepet lulus aja dulu. Ntar baru gue jelasin maksudnya."

Alis Virga terangkat satu. "Uhm... oke." Dia pun menyunggingkan senyum. Dalam kebingungannya, dia berpikir, mungkin Kak Aksel mau aku jadi sarjana neuroscience yang baik, jadi bisa bantuin dia kalau dia lagi ada masalah saraf di hari tua. Mungkin Kak Aksel mau mencegah penyakit-penyakit saraf dengan konsultasi ke aku. Barangkali Kak Aksel takut encok. "Kalau gitu, aku pamit ya, Kak."

Mengangguk, Aksel kembali berdiri, lalu membuang napas ketika taksi itu melaju.

Terkadang dia berpikir, sampai pada titik apa dia dan Virga bisa bersatu?

Dan bagaimana caranya dia yakin bahwa bersatu dengan Virga takkan membuatnya bosan, seperti bagaimana dia bosan dengan pacar-pacarnya?

[ ].



A/N

Ok gais, chapter depan kita balik ke masa 2018. Kalau kalian udah baca cerita ini versi sebelum di-repost, chapter depan sampai seterusnya adalah chapter2 awal versi sebelum repost. Mungkin udah pernah kalian baca. Tapi, baca lagi aja soalnya ada chapter-chapter yang kukasih penambahan clue buat ending cerita ini :)

Menurut kalian, ending cerita ini bakal gimana? Gausah takut salah. Kalau kalian salah itu sangat wajar. Jadi nggak apa-apa, kasih tahu aja prediksi kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top