16 : Patah :
16
: p a t a h :
2006
Aksel menyadari ada sesuatu yang ganjil di pesta ulang tahunnya.
Dia memindai sekitar beberapa kali, dan ketika menemukan sosok Nolan yang bersandar sambil mengobrol dengan Hizraka, dia baru menyadari apa yang ganjil.
Segera, Aksel mendatangi Nolan yang sedang makan sate sambil duduk di kursi panjang untuk sunbath bersama Hizraka. Dengan suara agak keras untuk membelah suara musik, Aksel bertanya, "Lan! Si Pacil nggak sama lo?"
"Lah?" Nolan membeliak, tak jadi memakan satenya. "Tadi dia ke kamar mandi! Gue kira dari tadi dia udah balik dari kamar mandi buat ketemu lo."
"Kagak! Dari tadi gue nggak ketemu dia!" seru Aksel. Matanya segera mencari-cari sosok Virga di antara para tamunya. Dia berjalan ke sekeliling kolam renang, mencari di balik sela-sela manusia. Setelah satu putaran dan kembali ke tempat Nolan, Aksel bergegas menuju kamar mandi rumahnya.
Karena tak menemukan Virga di sana, Aksel akhirnya membuka ponsel, menelepon gadis kecil itu. Dia menunggu panggilannya diangkat sambil duduk di ruang tamu. Setelah beberapa saat, panggilannya justru ditolak.
What the hell? Pikir Aksel heran. Dia mencoba menelepon lagi. Ketika akhirnya panggilan yang dia tuju sedang sibuk, Aksel kembali ke halaman dan mengulurkan tangan ke arah Hizraka.
Hizraka hanya mengangkat alis sebagai gestur bertanya. Mulutnya sibuk mengunyah lasagna dari piringnya.
Aksel pun berkata, "Gue minta pulsa lo buat telepon orang. Nanti gue ganti."
Dengan gerakan santai, Hizraka mengambil ponsel di sakunya dan menyerahkannya kepada Aksel. Dia pun kembali menyuap makanan ketika Aksel menelepon Virga dari ponsel Hizraka. Setelah dering ketiga, Aksel pun mendengar suara Virga yang mengucap kata, "Halo? Dari siapa, ya?"
Rasa lega seketika mengaliri diri Aksel. "Hai, Vir. Ini gue."
Panggilan pun segera ditutup.
Aksel bengong.
Dia menatapi ponsel Hizraka. Ketika dia menelepon Virga lagi, nomor yang dia tuju sedang tidak aktif.
Menarik napas, Aksel akhirnya memilih untuk mengirim SMS kepada gadis itu. Puluhan SMS akan dia berikan. Sebab sungguh, ini membuatnya khawatir. Di mana Virga sekarang?
Pada kali keempat dia mengetik SMS, Aksel akhirnya mendapat balasan.
Pacil
Kak Aksel, aku agak
nggak enak badan. Maaf ya tadi
aku balik duluan.
Selamat ulang tahun :)
Aksel masih tak bisa menarik napas lega. Namun, dia sedikit bersyukur karena dia tahu keadaan Virga.
Aksel Hadiraja
Lo naik apa tadi?
Pacil
Taksi.
Aksel Hadiraja
Skrg udh sampai rmh?
Pacil
Udh.
Aksel Hadiraja
Ya udh. Istirahat ya, Cil.
Jgn lupa makan.
Minum obat juga.
Pacil
Iya.
Aksel mengembalikan ponsel Hizraka. Usai memasukkan ponsel ke saku jasnya, dia kembali berjalan ke arah Marissa. Bersiap pasang senyum dan bersenang-senang kembali dengan pacar dan teman-temannya.
***
Virga menangis dalam diam ketika sudah sampai rumah.
Virga jelas langsung berbalik setelah tadi melihat Aksel mencium Marissa. Tidakkah Aksel tahu bahwa dia ada di sana? Tidakkah Aksel sadar bahwa dia sendirilah yang mengundang Virga ke pestanya? Apa Aksel tidak menganggapnya penting? Siapa dia sebenarnya di mata Aksel? Apa Aksel memang hanya menganggapnya seperti adik?
Segera pergi dari situ, Virga setengah berlari menuju gerbang kompleks untuk mencari taksi. Beruntung rumah Aksel dekat dengan gerbang masuk kompleknya. Setelah keluar komplek dan mendapat taksi, Virga langsung masuk, menyebutkan tujuan untuk pulang ke rumah.
Katakan dia pengecut. Namun, dia hanya tak yakin bisa kuat berhadapan dengan Aksel dan pacarnya yang sempurna. Dia tak yakin bisa cukup kuat untuk berpura-pura bahwa dia baik-baik saja saat Aksel merangkul pacarnya mesra. Dia belum cukup kuat. Sehingga dia tak bisa kembali ke meja makan sekarang. Tidak sekarang. Tidak hari ini.
Sesampainya di rumah, ayahnya sempat bertanya kenapa dia pulang lebih awal, dan Virga berkata bahwa acaranya memang hanya sebentar. Setelah memasuki kamar, emosi Virga terasa meledak. Dia menangis sambil menyembunyikan tangisnya dengan bantal. Yang dia rasakan hanya sakit. Seisi perutnya seperti dililit dan dadanya dicengkeram. Tenggorokannya terasa sempit dan matanya terus-terusan mengeluarkan air. Dia sakit, tetapi dia tidak tahu harus merasa seperti apa. Dia ingin marah, tetapi tidak berhak marah. Dia merasa kecewa, tetapi tidak berhak juga. Memang siapa dirinya?
Bukankah Aksel hanya menganggap dia layaknya adik?
Sehingga, tidak seharusnya dia merasa melayang karena perlakuan manis Aksel, dan tidak seharusnya pula dia merasa cemburu.
Virga merasa dia tak bisa menyimpan rasa sesak ini sendirian. Rasanya begitu pedih, membuatnya sulit mengambil napas. Dia pun merogoh ponsel dari tas selempangnya dan mengontak sosok yang sudah sering dia hubungi untuk berkeluh kesah.
Ketika panggilannya diangkat, suara tenang Varsha di seberang sambungan menyambutnya, "Halo, Vir?"
"Halo, Tante." Sedikit, sudut bibir Virga naik mendengar suara tantenya itu. "Tante lagi sibuk, nggak?"
"Enggak, kok. Ada apa?"
"Eung...." Virga melirik ke arah lain sambil menarik napas. Dia sebenarnya malu. Rasa-rasanya, permasalahan yang dia alami ini receh sekali jika dibandingkan permasalahan keluarganya yang rumit. Meski demikian, bukankah Varsha sudah membuatnya percaya sedari awal? Selalu ada di saat dia butuh? Bahkan juga sendirinya menawarkan untuk jadi tempat bercerita jika Virga merasakan sesuatu yang mengganjal? Keputusan Virga pun jelas bisa ditebak. "Ini, Tan. Tadi... aku habis datangi acara ulang tahun kakak kelasku yang pernah kuceritain itu...."
Terdengar gumaman dari seberang telepon. "Oh, iya, Tante ingat. Terus, gimana pestanya? Kamu senang-senang di sana?"
Virga terdiam beberapa detik. "Enggak, Tan." Dan, suara Virga pecah. Dia merasa dadanya sesak lagi. Lehernya terasa dicekat. "Aku nggak senang ada di sana."
"Loh, kenapa?" Nada khawatir dapat Virga rasakan dari ucapan Varsha. Memang hanya kepada Varsha-lah dia bisa bercerita hal ini. Bukan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya, bukan kepada teman-teman sebayanya. Sebab ibunya lelah sepulang kerja, teman-temannya tak akan ada yang mengerti, sementara dia tak bisa lagi memercayai ayahnya seperti biasa. "Vir, kenapa? Cerita aja ke Tante."
Virga kembali sesak. Kini, bukan karena rasa sakit hatinya atas Aksel. Melainkan karena rasa haru sebab masih ada orang yang tulus peduli kepadanya, mau mendengarkan di saat dia butuh didengarkan. "Kakak kelasku itu ternyata udah punya pacar, Tan. Pacarnya cantik banget. Kelihatan pintar dan hebat gitu. Mereka kelihatan serasi, dan aku bukan apa-apa."
Ada jeda di seberang. "Vir...," panggil Varsha halus. "Virga Sayang, kenapa kamu mikir kamu itu bukan apa-apa?"
Virga terdiam. "Soalnya, aku nggak secantik dan sepintar pacarnya kakak kelasku ini, Tan."
"Ah, kata siapa?" tanya Varsha. "Belum tentu, Vir. Tiap manusia itu punya kecerdasan dan kecantikannya masing-masing. Hayo, Tante kan, udah bilang. Jangan menggantungkan penilaian cantik atau tidaknya kamu ke orang lain, karena nggak akan ada habisnya, sebab orang-orang punya penilaian yang beda-beda."
"Tapi, kan, banyak yang nganggep cewek cantik itu yang kulitnya putih dan langsing semampai, Tan."
"Terus, kenapa?" tanya Varsha. "Memangnya penilaian kita terhadap kecantikan nggak boleh beda sama penilaian kebanyakan orang? Boleh dong, Vir. Tante suka ngelihatin model-model yang berkulit hitam di fashion show, atau orang-orang kulit hitam di suatu film. Tante nggak peduli walau banyak masyarakat di sekitar kita nganggep bahwa kulit hitam itu jelek. I think they are beautiful."
Virga terdiam, lama sekali merenungi dan meresapi ucapan Varsha. "Kenapa Tante bisa mikir mereka itu cantik?"
"Kenapa enggak?" Virga bisa membayangkan tantenya sedang tersenyum di seberang telepon. Varsha pun melanjutkan, "Menurut Tante, segala macam fisik yang udah Tuhan kasih kepada manusia itu indah. Nggak ada yang jelek. Tante memilih untuk punya standar kecantikan yang beda dari sebagian orang. Dan standar kecantikan buat Tante ya, itu tadi, bahwa segala macam fisik yang diberikan Tuhan itu indah. Yang indah bukan cuma yang berkulit putih atau yang ramping. Semua warna kulit dan bentuk tubuh itu bisa dipandang indah."
Lagi, Virga terdiam agak lama untuk meresapi. Ucapan Varsha menyejukkan hatinya, membuat percikan semangat muncul dari dirinya. "Makasih, Tante," ucap Virga tulus. Dalam hati, dia bersyukur memiliki tante seperti Varsha. Kemudian, dia teringat permasalahan yang dia bawa di awal perbincangan ini. "Tante... pernah ngerasain yang kuceritain tadi di awal, nggak?"
"Apa? Merasa diri kita bukan apa-apa?"
"Bukan, yang sebelumnya." Virga merasa pipinya memerah. "Yang... aku suka sama kakak kelasku, tapi dia udah punya pacar yang... mmm, menurutku cantik banget, nggak tahu gimana menurut orang lain."
Varsha terkekeh. "Pernah, Sayang," jawabnya lembut. "Itu normal, kok. Pasti banyak juga teman-temanmu yang ngerasain hal yang sama."
"Terus... Tante ngapain habis tahu kalau dia udah punya pacar?"
"Hm... Tante nangis." Varsha tertawa lepas, seketika membuat Virga turut tertawa mengingat dia juga habis menangis. "Habis itu ya... Tante curhat ke eyang-putrimu, karena dia ibu Tante. Terus, Tante diajak main ke wahana gitu. Tante diajak senang-senang terus. Dan menurut Tante, intinya adalah, kamu jangan berusaha melupakan orang yang lagi kamu suka, Sayang. Karena nanti pasti malah ingat terus. Usaha yang perlu kamu lakuin itu ya senang-senang. Cari kebahagiaan lain tanpa harus ada dia di dalamnya. Kadang, masalah itu bisa selesai cukup dengan mengganti perspektif, kok."
Virga mengernyit. "Maksudnya perspektif, Tan?"
"Iya, kan, selama ini orang mikir dengan cinta, kamu akan bahagia. Padahal tanpa cinta asmara kayak begini pun, kamu juga masih bisa bahagia. Coba, kamu sebelum ketemu sama si kakak kelasmu ini, bisa bahagia, nggak? Atau jangan-jangan, hidupmu sebelum ketemu si kakak kelas ternyata sedih melulu?"
Virga tegas menjawab, "Bisa senang, kok."
"Nah, kan, berarti tanpa dia pun, kamu juga bisa bahagia, Vir, nggak sedih-sedihan kayak gini," ujar Varsha. "Semua cuma masalah perspektif. Kamu pas suka dia, perspektif kamu menganggap dia sumber kebahagiaanmu. Padahal, kamu bisa mengganti perspektif itu dengan menganggap dia bukan satu-satunya sumber kebahagiaanmu, karena kamu punya sumber kebahagiaan lain. Kayak misal, pas makan es krim, pas jalan-jalan, pas ketemu teman dekat, dan semacamnya. Jadi kalaupun 'sumber kebahagiaan' kamu yang berupa si kakak kelasmu ini bikin kamu sedih, kamu masih punya sejuta sumber kebahagiaan lain yang bikin kamu bahagia."
Virga membisu, kemudian merasa tercerahkan. Paham, dia manggut-manggut. "Ngerti, Tante," ujarnya, merasakan ada semangat baru dalam dirinya. Dia pun mulai memutar otak untuk mengingat hal-hal yang membuatnya senang. "Eh, iya. Tante masih punya referensi buat belajar ujian bahasa Inggris gitu, nggak?
"Hmm, masih. Kenapa, Vir?"
"Aku mau kuliah neuroscience," ujar Virga senang. "Aku mau belajar dulu, tapi. Soalnya, jurusan neuroscience cuma ada di luar negeri. Otomatis aku harus belajar bahasa Inggris juga."
"Betul," Varsha mengangguk dari seberang panggilan. "Tante ada buku-buku panduan buat tes-tesnya. Sabtu depan Tante ke rumahmu, ya, buat kasih buku-bukunya."
"Iya, Tante!" ujar Virga riang. Mendadak, dia melupakan sejenak bahwa dia dari tadi sakit hati karena Aksel. Virga mulai memikirkan hal-hal lain yang bisa membuat dia senang. "Makasih, Tante, buat sarannya."
"Nggak masalah, Sayang," balas Varsha. "Kalau ada apa-apa, kalau kamu mau cerita kayak gini pun, nggak apa-apa cerita aja ke Tante. Mungkin kadang Tante nggak bisa bantu banyak. Tapi, kalau kita cerita, seengaknya kita bakal merasa lebih lega walau cuma sedikit."
Virga tersenyum lebar. Membenarkan ucapan tantenya dan berterima kasih lagi. Setelah berbincang beberapa saat, mereka akhirnya memutuskan panggilan.
Mata Virga masih memandangi layar ponsel yang menunjukkan teleponnya sudah berakhir. Dalam hati, dia merasa lebih lega. Kemudian dia mengucap rasa syukur. Tantenya pernah berkata bahwa orang seperti ayahnya melakukan perselingkuhan karena dia tidak puas, dan orang yang tidak puas itu adalah orang yang kurang bersyukur. Virga tidak mau jadi seperti ayahnya.
Kemudian, dia kembali memikirkan Aksel.
Betapa Aksel sangat baik dan memperlakukannya begitu spesial. Mulai dari saat mereka di Lombok, Aksel yang memberi kejutan ulang tahun dengan lampion warna-warni, Aksel yang memeluknya di saat dia menangis, Aksel yang bisa dia percaya untuk menjaga rahasia-rahasia keluarganya, Aksel yang sering menganggunya dari SMS tiap hari tanpa henti, Aksel yang membuatnya merasa begitu spesial.
Dan karenanya, Aksel pun memiliki posisi spesial juga di hatinya.
Namun kelak di masa depan, Virga sadar bahwa Aksel Hadiraja adalah lelaki pertama yang memberinya pelajaran hidup tentang asmara. Bahwa hidup perempuan tak bisa seperti hidup Cinderella yang cukup berlaku sebagai upik abu baik hati, lantas bisa mendapatkan pangeran tampan dambaan perempuan seantero negeri.
Memang takkan ada habisnya jika dia hanya memikirkan betapa dia merasa kehilangan Aksel, meski Aksel bukanlah miliknya sedari awal.
Memejamkan mata, Virga memilih untuk mengingat-ingat hal selain Aksel: ibunya, tantenya, keluarganya, sekolahnya, apa yang sedang dia kerjakan.
Virga lalu menatap tempelan di dinding atas mejanya yang berisi mimpi-mimpinya. Salah satu dari kertas-kertas bertuliskan mimpinya itu adalah kuliah jurusan neuroscience.
Seketika muncul sebuah ide. Virga segera menuliskan hal-hal yang bisa membuatnya bahagia selain Aksel. Dan, tantenya benar.
Semua adalah masalah perspektif.
Perspektifnya dulu menganggap bahwa Aksel itu penting. Sehingga tiap kali muncul SMS, Virga selalu berharap bahwa SMS itu adalah dari Aksel. Tiap ada SMS dari lelaki itu, Virga menganggapnya penting dan akan segera membalasnya tiap waktu. Terkadang meski SMS itu membuatnya tidur hampir tengah malam, Virga tak masalah sebab dia merasa bahagia. SMS dari Aksel memang selalu membuatnya senang.
Namun, apa rasa senang hanya bisa didapat dari Aksel?
Lagi-lagi, tantenya benar. Sumber kebahagiaan tak melulu dari seseorang yang disukai.
Virga merasakan senang dengan mempelajari sesuatu yang dia sukai: neuroscience. Ilmu tentang bagaimana otak bekerja. Area apa yang aktif ketika manusia merasakan atau melakukan sesuatu. Bagaimana itu sebuah emosi atau perlakuan manusia bisa memiliki benang merah dengan perasaan atau perlakuan manusia yang lainnya. Semua ilmu-ilmu tentang hal itu membuatnya merasa excited.
Sehingga dia tahu, bahwa tak harus dari Aksel dia bisa mendapat kebahagiaan.
Semua hanya masalah perspektif.
Maka, Virga menguatkan hati untuk mengubah perspektifnya kepada Aksel.
Aksel tidak akan jadi orang yang penting dalam hidupnya.
Aksel hanya seorang lelaki yang cukup dianggap seperti kakak.
Dan hari ini, Virga memilih memakai perspektif bahwa SMS dari Aksel tidaklah penting dan genting. Bahwa dia masih bisa bahagia meski dia tak membaca dan membalas SMS lelaki itu dengan cepat. Sebab, dia memilih untuk berpikir bahwa SMS Aksel memang tidak sepenting itu.
Mematikan ponselnya, Virga lalu meletakannya di kasur. Sambil membawa beberapa ensiklopedia, catatan dan buku tulis, dia pun pergi ke tempat komputer keluarga untuk mencari tahu lebih lanjut tentang neuroscience di internet. Sebab, itu membuatnya bahagia.
Dan, tanpa Virga sadari, dalam waktu sebulan nama Aksel sudah tak lagi spesial di hatinya.
[ ].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top