15 : Sempurna :
baca pas lagi tenang ya
-;-
15
: s e m p u r n a :
2006
Satu hal yang Virga yakini setelah mengenal Aksel beberapa bulan ini adalah; dia tidak suka ditolak.
Sehingga apabila ditolak, dia akan membujuk dengan hampir segala cara untuk membuat orang mengiakan permintaannya.
Dan, hal itu terjadi kepada Virga sekarang.
Kini, di depan rumah tempat ulang tahun Aksel dihelat, Virga berdiri, menunggu Nolan selesai memarkirkan mobil. Pukul setengah tujuh tadi, atas permintaan Aksel, Nolan menjemput Virga untuk mendatangi acara ulang tahun Aksel bersama. Aksel memilih Nolan atas pertimbangan bahwa lelaki itu juga memiliki adik perempuan, sehingga lebih tahu bagaimana menghadapi Virga. Virga pun juga sudah minta izin ke orangtuanya dan diizinkan menghadiri acara ulang tahun itu sampai pukul setengah sembilan malam. Virga tak memberi tahu bahwa 'teman'nya yang berulang tahun adalah lelaki yang sudah kuliah seperti Aksel.
Ketika Nolan sudah memarkirkan mobil dan berjalan ke arahnya, Virga pun duluan berjalan menuju pintu masuk rumah Aksel. Nolan dengan cepat menyusulnya.
Aksel sudah menjelaskan kepada Virga bahwa ulang tahunnya dirayakan dua kali. Pertama, hanya dengan keluarganya secara privat. Dan kedua adalah pesta seperti ini yang dihadiri oleh teman-temannya. Namun, kali ini orangtuanya tak bisa hadir karena sedang pergi.
Rumah Aksel lebih besar dari yang Virga duga. Terlihat seperti rumah-rumah idaman yang sering muncul di acara TV. Tak ada dekorasi apa pun di bagian depan rumah yang menunjukkan bahwa pemilik rumah sedang berulang tahun. Baru setelah masuk lebih dalam, Virga mendengar musik dengan berdentum-dentum dari bagian belakang rumah.
Nolan mendahului Virga, mengajaknya ke halaman belakang rumah yang terdapat kolam renang. Di sana, banyak orang-orang seusia Aksel yang berdiri atau duduk sambil bergerombol. Terlihat seperti pesta ulang tahun yang pernah Virga lihat di film remaja Barat. Bedanya, tak ada perempuan yang mengenakan bikini di sini. Semua mengenakan pakaian semi-formal seperti dress dan kemeja atau kaus yang dibalut jaket. Spontan, Virga mengamati pakaiannya sendiri. Dia hanya mengenakan jeans dan blus putih, seperti anak-anak SMP biasa yang mau pergi ke pusat perbelanjaan. Matanya mengamati orang-orang di halaman belakang tempat acara dihelat. Pakaiannya berbeda dengan semua perempuan di sana yang rata-rata mengenakan dress cantik dan terlihat anggun.
Dia merasa salah tempat sendiri.
Menelan ludah, Virga pun berkata kepada Nolan, "Kak, aku... ke kamar mandi dulu, ya."
"Oh," Nolan mengangkat alis, lalu menunjuk suatu arah. "Kamar mandi lewat sana, ya, Dek. Jalan sampai mentok terus belok kanan."
Virga tersenyum. "Makasih, Kak."
"Perlu ditemenin, nggak?"
"Enggak, kok. Orang dekat ini," tolak Virga halus. "Nanti aku ke sini lagi kok, Kak."
"Oh, oke. Jangan nyasar, yak."
Mengangguk, Virga pun berbalik, segera pergi mengikuti arahan Nolan tadi. Virga sebenarnya hanya butuh waktu menyendiri untuk menenangkan dirinya. Dia tak biasa seperti ini. Mendatangi acara yang begitu asing dan glamor membuatnya merasa sangat salah tempat. Seolah dia hanya anak kecil bau kencur di tengah orang dewasa. Sudah beda generasi. Beda topik obrolan dan beda ilmu. Meskipun bisa jadi teman-teman Aksel ramah, Virga tak tahu harus berkata apa jika dia diajak mengobrol dan dia tidak tahu isi obrolan tersebut. Dunia anak kuliah dengan dunia anak SMP jelas sudah jauh berbeda, bukan?
Ketika sampai di kamar mandi, Virga tak langsung memasukinya karena mendengar suara obrolan dari dalam. Ada tiga suara perempuan yang berbeda. Asumsi Virga, pasti kamar mandinya besar berhubung ada beberapa orang di dalam bisa mengobrol dengan leluasa.
Virga hendak pergi ke kursi sebelah kamar mandi untuk menunggu perempuan di dalam keluar ketika dia mendengar nama Aksel disebut.
Katakan ini intuisi, tetapi rasanya pendengarannya menajam jika ada orang menyebut-nyebut nama Aksel.
Sudah tiga bulan berlalu dari hari Aksel mengetahui tentang masalah keluarganya, dan tak ada habisnya lelaki itu selalu memastikan bahwa Virga baik-baik saja. SMS darinya datang setiap hari tanpa alfa. Virga kadang suka geli sendiri jika mengingat isi SMS Aksel yang sama sekali tidak penting. Kadang isinya hanya karena sedang bosan di kelas. Kadang hanya karena ingin menganggunya. Dan pulsa Virga cepat habis karena selalu meladeni Aksel. Meski demikian, Virga tak menyesal. A ksel selalu berhasil menghiburnya. Membuatnya lupa sejenak bahwa dia memiliki ayah seperti Wirga.
"Girls, gini, ya," ujar seorang perempuan bersuara berat di dalam kamar mandi. "Cowok kayak Aksel itu cuma tertarik sama cewek yang cantik, pintar, dan high class. Sekadar cantik itu nggak cukup, sekadar pintar nggak cukup, sekadar high class juga nggak cukup. Pokoknya harus, wajib, kudu punya ketiga hal itu. Cantik, pintar, dan high class. Kalau nggak ada tiga hal itu, jangan harap deh, bakal 'dilihat' sama Aksel."
Ada suara gadis lain yang tertawa. Suara ini lebih ringan. "Maklumlah. Aksel kan, tipikal cowok yang merasa ganteng dan udah punya segalanya, jadi ya, seleranya tinggi."
"Tapi. emang kayak gitu realistis sih, ya." sahut suara lain yang terdengar cempreng. "Realitanya emang cowok ganteng pasti nyarinya cewek cantiklah. Mereka mau yang setara. Cewek-cewek biasa aja mah, pasti dilewatin."
"Ya iyalah! Cuma ya gimana. Susah sih, buat nggak ngarep punya pacar kayak Aksel. Siapa yang nggak mau, coba? Aksel ganteng, pintar, keren, kaya, dan masa depannya tuh udah jelas-jelas terjamin. Calon CEO perusahaan bok!"
Gadis lain tertawa mendengus. "Iya, sempurna. Tapi, jangan kebanyakan ngarep, Say. Cewek tukang ngarep sering nggak memperhitungkan fakta bahwa cowok kayak Aksel menuntut agar pacarnya juga pintar, rupawan, dan high class kayak dirinya."
"Itu sih, udah tahu. Mantan-mantannya Aksel aja, beuh, nggak ada yang jelek! Mulus dan high class semua! Pacarnya si Aksel sekarang juga cakepnya bukan main."
"Ya cocoklah sama Aksel. Cewek mau mukanya bitchy, kelakuan manja, kalau dia cakep juga pasti tetap aja banyak cowok ngantre. Kayak si Marissa tuh, pacarnya si Aksel yang sekarang."
Virga membisu dengan hati mencelus.
Pacar?
Sejak kapan Aksel memiliki kekasih? Kenapa dia tak pernah diberi tahu? Atau, apakah mungkin gadis-gadis di dalam kamar mandi itu hanya membual?
Ketika obrolan di dalam menyatakan mereka ingin keluar, Virga pun menjauh dari kamar mandi. Tak ingin dilihat para gadis tadi. Apa yang harus dia jelaskan jika mereka bertanya kenapa anak kecil sepertinya datang ke ulang tahun Aksel, di saat dia bahkam bukan keluarga lelaki itu? Dia harus menjelaskan dirinya sebagai apa? Teman? Mereka pasti tak percaya Aksel mau mengundang anak SMP seperti dirinya di acara ulang tahun semacam ini - yang notabene hanya dihadiri orang-orang sebaya Aksel.
Bersembunyi di balik lemari kabinet, Virga memerhatikan para gadis dari dalam kamar mandi keluar. Seperti yang sudah Virga duga, mereka semua memang cantik-cantik. Langkah para gadis pun terhenti ketika ada seorang perempuan yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu cantik dengan wajah oval dan bibir merah muda yang merekah. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya ramping dan semampai. Rambutnya hitam legam, indah sekali di mata Virga, terlihat bersinar sehat di bawah terpaan lampu. Para gadis memekik saat melihat perempuan itu. "Ya ampun, Marissa! Cantik banget, sumpah!" seru perempuan bersuara berat.
Gadis yang dipanggil Marissa itu tersenyum riang. Ada aura bersinar dari dirinya, rasanya persis seperti ketika Virga melihat perempuan-perempuan cantik di pusat perbelanjaan. Marissa pun menjawab, "Oh, iya, dong. Tapi, kalian juga pada cantik-cantik, kok. Kalian nggak ke halaman belakang?"
"Ini mau ke sana. Tadi abis re-touch make-up," balas perempuan bersuara cempreng. "Lo baru datang, Mar?"
"Iya, nih," ujar Marissa. "Macet parah tadi di jalan. Padahal niatnya pengin jadi yang pertama datang. Nggak tahunya lebih parah macetnya dari yang gue duga. Untung gue bawa sopir."
Para gadis manggut-manggut. "Oh, ya udah deh, kami ke belakang dulu, ya. Catch you later," ujar salah satu dari mereka.
Marissa melambaikan jemari rampingnya. "Iya. Have fun, ya!"
Ketika para perempuan itu sudah pergi dan Marissa memasuki kamar mandi, Virga terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Haruskah dia tetap berada di sini? Dan Marissa, siapa dia? Apa dia benar pacar Aksel? Jika iya, kenapa Aksel tak pernah cerita? Apa mungkin, Aksel menganggap itu bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan?
Sebenarnya mereka itu apa?
Setelah sepuluh menit berlalu, bahkan setelah Marissa sudah lama meninggalkan kamar mandi, Virga masih berdiam diri di kursi sebelah lemari kabinet yang tak terlalu kelihatan. Otaknya sibuk berperang batin.
Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sini. Terlalu salah tempat. Terlalu asing. Dia ingin pulang. Namun, rasanya tidak sopan jika dia langsung pulang tanpa pamit kepada Aksel. Akan tetapi, jika dia ingin pamit, bukankah dia harus melewati halaman belakang yang berisi para tamu lain dulu? Aksel berada di sana, bukan?
Virga tak mau melewati para tamu lain. Dia tak mau melihat sosok Marissa yang sempurna itu mendampingi Aksel.
Rasanya sakit membayangkan mereka berdampingan bersama. Terlalu serasi. Membuat Virga sesak.
Suara sorakan tiba-tiba muncul membelah suara musik, lalu dilanjut dengan lagu Happy Birthday diiring tepukan tangan. Di saat itulah, Virga tahu bahwa acara sudah dimulai. Penasaran, Virga berjalan setengah mengendap ke arah halaman, takut terlihat tamu lain. Para tamu sudah menyingkir ke sisi-sisi kolam renang, sehingga Virga bisa melihat sosok Aksel yang berada di tengah-tengah, seberang kolam renang. Aksel terlihat atraktif seperti biasa. Dia satu-satunya orang yang mengenakan jas dan kemeja hitam tanpa dasi di sana, paling formal jika dibandingkan yang lain. Dan itu membuatnya makin menarik mata perempuan yang melihat. Ketika menggeser pandangan sedikit, Virga melihat ada sosok perempuan cantik muncul sambil membawa kue ulang tahun: Marissa. Lagu Happy Birthday pun berganti lagu Tiup Lilinnya. Aksel tertawa, matanya terlihat berbinar melihat sosok Marissa. Barangkali karena kecantikan perempuan itu, atau karena bangga bahwa pacarnya memang secantik ini. Dia lalu merangkul Marissa setelah perempuan itu mendekat. Kemudian dia meniup lilinnya, lantas mengecup pipi Marissa yang disambut dengan sorakan dari para tamu lain.
Aksel memotong kuenya, kemudian memberikan potongan kue pertama kepada Marissa yang disambut siulan. Sorakan-sorakan yang mendukung mereka untuk melakukan yang lebih pun muncul. Jantung Virga semakin berdegup kencang. Antisipasi memenuhi otaknya. Apa yang mau Kak Aksel lakuin?
Aksel menyengir. Dia menitipkan kuenya kepada orang lain, merangkul pinggang Marissa, mengangkat tangan agar para tamu menghitung satu sampai tiga. Kemudian pada hitungan ketiga, suara kembang api bermunculan menghias langit. Kembang api itu membentuk lambang hati dan ada inisial "M" di sebelahnya. Semua orang di sana sontak bertepuk tangan dengan meriah.
Marissa memekik girang. Dan, setelah beberapa detik, Marissa menangkup pipi Aksel dan menciumnya tepat di bibir.
Aksel tidak menolaknya. Dia merangkul Marissa makin erat untuk memperdalam ciuman, membuat para tamu makin heboh.
Di saat itu, Virga tahu.
Dia seharusnya tak perlu berharap saat Aksel memberi hadiah yang menurutnya spesial, sebab Aksel pasti sering memberikan hadiah spesial kepada perempuan lain. Bukan hanya kepada dirinya.
Dia seharusnya tak perlu melambungkan harapan saat Aksel memujinya, sebab Aksel juga melakukan itu kepada perempuan lain. Bukan hanya kepada dirinya.
Dia seharusnya tak perlu membumbung angan saat Aksel sering melakukan hal manis untuknya, sebab Aksel juga melakukan itu kepada perempuan lain. Bukan hanya kepada dirinya.
Hadiah yang diberikan Aksel kepada perempuan lain itu lebih mahal daripada papan kayu berhias bunga daisy dari kulit kerang yang pernah diberikan lelaki itu ke Virga. Seperti kembang api itu. Aksel jelas tahu siapa yang lebih patut dihargai. Bukan Virga, tetapi perempuan lain.
Virga tidak mengerti kenapa dia kini merasa hatinya pedih.
Setelah ayahnya, sekarang Aksel?
Namun, kenapa dia merasa Aksel seolah mengkhianatinya? Memang janji apa yang pernah lelaki itu berikan kepadanya? Tidak ada. Kenapa pula dia merasa cemburu? Dia tidak berhak merasakannya. Aksel bukan kekasihnya. Aksel pasti hanya menganggapnya seperti adik kecil yang patut dilindungi dan disayang. Dia tidak melihatnya seperti bagaimana dia melihat Marissa.
Dan, kenapa dia merasa ada sesuatu yang hilang?
Padahal, Aksel bukan miliknya sedari awal mereka bertemu.
[ ].
A/N
Banyak yang bilang Aksel manis banget ke Virga. Iya, dia emang manis kan, ya? :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top