13 : Cantik :
13
: c a n t i k :
2006
"Kenapa senyum-senyum sendiri?"
Virga tertegun. Matanya memandang Varsha yang tersenyum-senyum sambil duduk di depannya. Varsha meletakkan nampan berisi makanan pesanan mereka selepas berbelanja di hipermarket tadi.
Virga mengambil piring berisi burger dan minumnya. Dia tersenyum menanggapi. "Nggak kenapa-kenapa, Tan."
"Ah, masa? Mikirin apa, hayo?" goda Varsha sambil tersenyum jenaka. Dia membuka bungkus burger ikannya, lalu membuka buns untuk memberikan saus sambal ke daging burgernya. "Mikirin cowok, ya?"
Pipi Virga spontan memanas diikuti mengalihkan wajah. Sudut-sudut bibirnya ingin tersenyum, tetapi segera dia tahan. Menelan ludah, Virga pun memilih tak menjawab. Berbohong kepada tantenya memang bukan pilihan. Namun, kalau jujur pun, dia malu sekali rasanya.
"Seusia kamu emang biasanya udah mulai mikirin cowok, Vir. Itu normal, kok," ujar tantenya kalem, kemudian memakan burgernya.
Virga mengernyit, memerhatikan Varsha lamat-lamat. Dia masih tak habis pikir bagaimana cara Varsha masih bisa terlihat elegan ketika memakan burger. "Ehm, Tante dulu juga sering mikirin cowok?"
Varsha menelan kunyahannya dahulu, meletakkan burger sejenak, mengelap mulutnya, kemudian berkata, "Iya, Tante juga dulu kayak gitu. Tante kan, juga pernah seusia kamu, Vir."
"Hm... terus?" Virga bertanya. "Tante ngapain?"
"Enggak ngapa-ngapain." Varsha tersenyum. "Biasanya, usia segitu pasti maunya dekat terus, ketemu terus. Jadi, orang-orang pasti selalu berusaha buat ketemu sama orang yang disuka. Kamu juga gitu?'
Dengan pipi memerah, Virga menunduk. "Aku baru ketemu hari ini, sih."
"Oh, ya? Kapan?" Varsha menaikkan alis. "Tadi pagi?"
"Enggak. Tadi... ketemu di dalam hipermarket. Terus, dia duluan pulang."
"Ohh," Varsha manggut-manggut. "Dia teman sekolahmu, Vir? Atau, kakak kelasmu?"
Virga membisu. Dia tidak bisa menebak apa yang akan Varsha pikirkan jika dia memberi tahu usia Aksel. Akhirnya, Virga hanya berkata, "Iya, dia lebih tua dariku."
"Anak OSIS? Biasanya, anak baru pada suka sama anak kakak-kakak OSIS."
Virga mengernyit. Dia tidak tahu apakah dulu saat sekolah Aksel masuk OSIS. "Nggak tahu, Tan."
"Anak basket atau olahraga lainnya gitu?"
"Eung, nggak tahu."
"Ah, pasti cowoknya ganteng, makanya kamu sampai tahu tentang kakak kelasmu ini. Ganteng ya, anaknya?"
Virga mengalihkan pandangan ke pangkuannya. "Iya, Tan."
"Wah, harus hati-hati." Varsha menyedot minumnya dahulu. "Biasanya cowok ganteng playboy, Vir. Walau belum tentu. Siapa tahu aja, kakak kelasmu ini aslinya baik."
Virga mengerjap. "Playboy itu apa, Tante?"
"Playboy itu player, Vir. Dia orang yang suka mempermainkan perempuan. Pacarnya ada banyak. Atau, pacarnya cuma satu, tapi perempuan-perempuan lain tetap didekati sama dia, nggak bisa setia."
"Oh, kayak yang di FTV gitu, ya?"
"Ah, sinetron zaman sekarang yang bikin kamu udah tahu hal ini, ya?" Varsha mendesah. "Iya, Vir. Kayak yang di FTV itu."
Virga terdiam. Memikirkan baik-baik ucapan Varsha. Dia tidak tahu tentang sepak terjang Aksel. Bisa saja, Aksel memang playboy. Hal itu sangat memungkinkan dengan wajah Aksel yang jelas-jelas atraktif. Tapi, kalau di FTV atau sinetron, cowok-cowok yang playboy gitu biasanya pada berhenti kalau udah menemukan perempuan yang tepat, kok, pikir Virga.
Ketika Virga sedang melanjutkan makan, ponselnya bergetar. Spontan, jantungnya berdegup. Ada harap muncul bahwa yang membuat ponselnya bergetar itu adalah Aksel. Dan setelah dia merogoh ponsel dari dalam tas, bibirnya spontan tersenyum lebar.
Kuah Muncrat
Cil.
Nama kontak gue jgn 'sutet'.
>:(
Virga terkekeh. Lalu mengetikkan balasannya.
Virga Adi Pertiwi
Udh diganti kok, Kak :)
Kuah Muncrat
Pasti jd 'kak aksel ganteng max'
Ok sip.
Lo skrg tinggal dmn, sih?
Virga baru selesai mengirim alamat tempat tinggalnya ketika Varsha berdeham keras, membuat Virga mendengak dari layar ponselnya.
"Dari kakak kelasmu itu?" tanya Varsha dengan nada jenaka.
Virga pun tertawa canggung. "Iya, Tan."
"Anak zaman sekarang cepat ya, perkembangannya. Tante aja dulu SMP masih main karet sama congklak. Atau main lompat ular tangga kalau lagi istirahat sekolah."
"Tapi, Tante dulu pernah suka sama cowok, kan?" tanya Virga. "Walau masih main. Aku juga masih suka main."
"Iya." Varsha tersenyum, kemudian melanjutkan makannya dengan cara yang menurut Virga terlihat elegan.
Yang kayak Tante Varsha aja masih lajang sampai sekarang. Aku harus jadi kayak gimana biar ada yang mau sama aku? Virga pun melirik gerombolan perempuan yang agak berisik dari meja seberang, terlihat cantik dengan pakaian modis dan make up yang cocok di wajahnya. Beberapa laki-laki memerhatikan gerombolan perempuan cantik itu, terlihat tertarik. Aku harus jadi kayak perempuan-perempuan itu dulukah, biar ada yang mau sama aku?
"Vir, kamu yakin nggak mau beli baju tadi?" tanya Varsha. "Banyak yang bagus-bagus padahal."
Virga menggeleng. "Bajunya nggak cocok sama aku."
"Nggak cocok gimana? Bahannya bikin nggak nyaman? Nggak suka modelnya?"
"Ehm, bukan. Modelnya aku suka, tapi nggak cocok buat aku."
"Terus, nggak cocok di mananya?"
"Hm...." Virga menunduk, berusaha santai ketika berkata, "Nggak cocok aja. Kayak, kebagusan gitu baju-bajunya buatku. Aku merasa dekil sendiri."
Alis Varsha terangkat. Dia menurunkan burgernya. "Kenapa bisa mikir gitu?" tanya Varsha lembut.
Virga mengalihkan pandangan. Mengangkat bahu. Berusaha menyingkirkan rasa tidak nyaman. Dia tahu dia bisa jujur kepada tantenya. "Habisnya, aku nggak cantik, Tan. Jadi kayak nggak cocok gitu baju-bajunya buat aku pakai."
Ada jeda beberapa saat. Virga sudah kembali memakan burgernya, sementara sang tante meletakkan makanannya di piring dulu. Varsha lalu mengenggam tangan Virga dengan tangannya yang bersih. "Vir," panggilnya lembut seraya tersenyum. "Virga nggak jelek, kok. Jadi, kenapa kamu malu sama fisik kamu sendiri?"
Virga melirik ke arah lain sambil menarik napas. "Kan, aku nggak putih, Tan. Nggak langsing kurus gitu."
"Tapi, kamu nggak gendut loh," ujar Varsha. "Kalah kamu sama teman Tante. Ada teman Tante, perempuan, badannya besar dan kulitnya nggak putih, tapi dia pede-pede aja sama fisik dia. Dia pakai rok selutut, dan walau dia tahu betisnya kelihatan besar, dia tetap pede. Tahu apa yang dia bilang pas ada yang nanya kenapa dia pede sama fisiknya?" Varsha menantang dengan mengangkat alis. "Dia bilang, 'Fisik ini adalah hadiah dari Tuhan, dan ciptaan Tuhan itu nggak pernah ada celanya. Apa yang orang-orang di sekitar gue anggap jelek, belum tentu dianggap jelek juga sama Tuhan. Tuhan adalah seadil-adilnya hakim, dan gue lebih percaya penilaian Tuhan daripada penilaian manusia untuk fisik gue.'"
Virga membisu. Dia menatap Varsha yang memandangnya dengan tatapan meyakinkan. Ada rasa ganjil memasuki hatinya. Namun, dia tak bisa menampik kebenaran dalam ucapan Varsha. Apa pula yang bisa ditampik?
"Jadi, maksud Tante ngomong gini itu biar kamu lebih pede sama fisik kamu," ujar Varsha, tersenyum. "Kalau kamu suka sama baju yang menurut kamu bagus dan nyaman dipakai, pakai aja. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Karena di dunia ini, akan selalu ada yang menganggap kita jelek, Vir. Makanya, kamu jangan coba-coba berharap orang lain memuji kamu cantik di saat kamu sendiri aja nggak mau menganggap diri kamu cantik. Kalau kamu menggantungkan penilaian terhadap kecantikanmu sendiri ke orang lain, kamu pasti bakal ngerasa down dan sakit hati kalau ada orang yang menghina-hina kamu. Jangan pernah biarin orang lain bikin kamu down, Vir. Makanya, kamu harus pede sama fisikmu sendiri, ya."
Sudut-sudut bibir Virga tertarik ke atas dengan sendirinya. Dia manggut-manggut dengan sendirinya. "Iya, Tan. Aku coba."
"Iya, harus dibiasakan." Varsha tersenyum lagi. Kemudian, mereka kembali memakan makanan pesanan mereka.
Ketika sudah selesai makan, Virga merasakan getaran dari dalam tas selempangnya. Dia merogoh isi tas, meraih ponsel, lalu membuka pesan dari Aksel yang baru muncul.
Kuah Muncrat
Cil, Sabtu dpn mau ikut
makan bareng gak?
Tmptnya ga jauh dr rumah
lo kok. Gue traktir juga nih.
[ ].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top