11 : Doa :
11
: d o a :
2006
Kejadian berulang dengan bukti yang lebih nyata dari sebelumnya.
Beberapa minggu setelah Virga membaca SMS aneh di ponsel sang ayah, Wirga mengajak anaknya itu pergi ketika ibunya sedang kerja. Virga pikir, ayahnya akan mengajak ke tempat makan berhubung dia diajak pada waktu makan siang. Namun, ayahnya justru mendatangi sebuah rumah asing yang belum pernah Virga datangi.
Ketika ayahnya izin sebentar untuk memasuki rumah itu, Virga pikir, ayahnya hanya akan pergi selama lima menit. Namun, Virga menunggu hampir setengah jam di mobil sampai bosan bermain Bounce di ponsel barunya. Ketika ayahnya kembali, ayahnya itu datang bersama seorang wanita dengan rok mini dan rambut dicat pirang. Virga agak ngeri melihat wajah sang wanita karena make-up wanita itu terlalu tebal. Wirga membuka pintu mobil sebelah jok yang ditempati anaknya. Kemudian, dia berkata, "Anak Papa yang cantik, sini, kenalan dulu sama teman Papa."
"Halo," sapa si wanita, terlihat ramah.
Virga mengerjap, merasa bingung. "Uhm, halo," ujar Virga dengan senyum kikuk. "Tante siapa?"
"Nama Tante, Diana," ujar perempuan itu sambil menjabat tangan mungil Virga. "Ini Virga, kan?"
"Iya, Tante." Virga menelan ludah, mengangguk.
"Vir, nanti Tante Diana ikut kita makan siang, ya," ujar Wirga.
Virga hanya mengangguk. Sesuai permintaan sang ayah, dia pun duduk di belakang mobil, sementara Diana duduk di jok samping kemudi ayahnya. Sepanjang perjalanan, Diana selalu mengajak Virga mengobrol. Bertanya kabarnya, sekolahnya, cita-citanya, memujinya. Virga merasa ganjil dengan perempuan ini. Namun, bukankah perempuan ini adalah teman ayahnya? Virga harusnya bisa percaya dan berbaik sangka bahwa teman ayahnya adalah orang baik.
Ketika sudah sampai resto tujuan, Virga turun dari mobil, kemudian berjalan di belakang ayahnya yang berjalan dengan menyelipkan tangannya di pinggang Diana. Virga menelan ludah, tak henti-hentinya merasa bingung. Kenapa ayahnya melakukan ini? Dia bahkan tak pernah melihat ayahnya berdekatan dengan ibunya sampai seperti ini. Kenapa daripada terlihat seperti berteman, ayahnya dan Diana justru lebih terlihat seperti orang pacaran?
Virga menelan kebingungannya ini rapat-rapat. Dia hanya berusaha menjadi anak yang baik dan sopan sepanjang makan siang.
Berhari-hari bingung menafsirkan sendiri keganjilan yang dialaminya, Virga akhirnya memutuskan untuk menceritakannya kepada Varsha. Virga tak mampu membicarakan ini dengan ibunya, entah mengapa. Barangkali karena Virga takut menyakiti ibunya, takut asumsinya benar. Sehingga Varsha lebih dia percaya untuk menjaga rahasia – seperti yang selama ini selalu tantenya lakukan.
Selepas ekstrakurikuler di hari Sabtu siang, Virga pulang dijemput oleh Varsha. Tantenya itu tersenyum setelah Virga memasuki mobilnya. "Mau makan di mana?" tanya Varsha. Dia mulai mengemudikan mobil menjauh dari sekolah Virga. "Atau, tentuin dulu aja kamu mau makan apa."
"Aku mau piza, hehe." Virga menyengir.
Varsha pun mendengus terkekeh. "Dasar ya, anak muda." Kemudian, Varsha melajukan mobil ke arah tempat makan pizza yang terdekat dari sekolah.
Tempat piza itu tak terlalu ramai. Mereka segera menempati meja kosong yang bersebelahan dengan jendela. Varsha pergi dan kembali ke mejanya tak lama kemudian sambil membawa semangkuk salad. Virga pun bertanya, "Tante nggak pesan piza?"
Varsha menggeleng. "Tante nggak doyan, Vir."
"Kenapa?"
"Nggak tahu. Buat Tante, rasanya aneh."
"Ih, malah anehan rasa salad kali, Tan. Sayur semua. Hoek." Virga memberi ekspresi mau muntah.
Terkekeh, Varsha berkata, "Nanti akan ada masanya kamu bosan sama piza, fried chicken, dan semacamnya. Kalau sekarang, kamu mungkin lagi suka-sukanya karena makanan ini jarang kamu makan."
Virga bergumam. Dia masih tak yakin dengan perkataan tantenya. Namun, dia memilih mengabaikannya. Kemudian, Varsha bertanya apa yang terjadi hingga Virga berkata ingin menemuinya untuk bercerita. Sambil menunggu pizanya jadi, Virga pun bercerita tentang SMS di ponsel ayahnya serta tentang seorang wanita bernama Diana yang diajak ayahnya makan bersama Virga.
Varsha menyimak dengan sekelibat emosi di matanya yang tak bisa Virga terka. Wanita itu menarik napasnya sebelum memberi respons, "Mungkin memang sudah saatnya kamu tahu, Vir." Varsha menarik napas lagi. "Papamu memang... dia... punya perempuan lain selain ibumu di kehidupannya."
Alis Virga menyatu. "Maksudnya?"
Varsha tersenyum tipis. Dia merasa hatinya agak tercubit harus menjelaskan kelakuan bejat kakaknya kepada ponakannya, anak dari kakaknya sendiri. Dia merasa seperti melihat dirinya di masa kecil ketika tahu ayahnya selingkuh. Dan kini, kejadian itu kembali terulang dengan Virga sebagai korban. "Ayahmu selingkuh," ujar Varsha pelan. Membuat mata Virga membeliak. Varsha tahu, Virga mungkin terlalu kecil untuk memahami bahwa rumah tangga orangtuanya tidak seperti rumah tangga keluarga normal pada umumnya. Virga akan paham, batin Varsha, sebagaimana kamu juga pada akhirnya paham, Sha. Kecil kemungkinan Virga tarik konklusi sembarangan kalau kamu kasih penjelasan baik-baik. Jaga dia, jangan sampai dia melakukan tindakan menyimpang yang justru merugikan dirinya sendiri.
Wajah Virga terlihat merasakan emosi campur aduk. Virga sendiri sampai bingung harus merasakan apa. Antara sakit hati, bingung, heran, kaget, marah, sedih, semua bercampur pada detik yang sama dan membuat dia justru tak bisa merasakan apa-apa. Dia masih sangsi. Bagaimana mungkin ayahnya tega selingkuh? Tidak mungkin, kan? Ayahnya selama ini begitu baik. Begitu pengertian dan selalu memenuhi kebutuhan Virga. Namun, Virga sadar. Hal itu adalah perlakuan sang ayah kepadanya. Bukan kepada sang ibu. Dan semakin ingin dia tampik, Virga sadar bahwa kenyataan yang dia lihat justru menunjukkan kebalikan dari harapannya.
Seisi dada Virga terasa karut-marut. Dia bingung. Dia harus bagaimana?
"Tante paham, ini mungkin berat buat kamu," ujar Varsha, masih dengan suara pelan. Aura mereka terasa begitu kelabu di balik cerahnya warna-warna dinding dan interior lain tempat makan yang mereka singgahi. Varsha pun mengganti posisi duduknya bersebelahan dengan Virga. Dia merangkul pundak mungil ponakannya, mengelus-elusnya sambil menarik napas. "Mungkin kamu bingung dan kaget. Sama, Tante pun juga waktu pertama kali dengar kabar ini."
Mata Virga mengerjap. Masih tak percaya. "Kok... bisa?"
Varsha menggigit bibir. Merasa hatinya meringis. "Tante pun juga nggak tahu." Dia berusaha menarik napasa agar rongga dadanya tak terlalu tercekat. "Tante nggak pernah paham. Tante juga masih heran kenapa ada orang yang mau selingkuh di saat mereka sudah punya pasangan yang sempurna. Mungkin karena manusia nggak pernah puas dengan apa yang dia miliki."
Virga terdiam. Perlahan, rasa kaget yang mulanya mendominasi mulai berganti rasa sakit. "Kenapa?" tanyanya, pelan. Dia menatap tantenya yang terlihat ikut sedih. "Kenapa gitu, Tan?"
Varsha merasa tenggorokannya tercekik dan matanya berkaca-kaca. Selalu berat mencerna hal ini. Sedari awal dia mengetahui perselingkuhan kakaknya pun, dia sudah berpikir bagaimana dia harus menjelaskan ini kepada anak-anak Wirga. Bagaimana dia harus menjelaskannya jika Virga pulang nanti? Bagaimana dia harus menjelaskannya kepada Erga jika adik lelaki Virga itu sudah mulai dewasa? Bagaimana dia harus membuat mereka percaya bahwa meski keluarga mereka tidak seperti keluarga teman-teman mereka pada umumnya, mereka tetaplah normal, tetaplah sama dan tak selayaknya diperlakukan berbeda dari anak lainnya?
Dan, Varsha pun menjawab dengan konklusi yang selama ini sudah dia tarik dari segala perselingkuhan dalam keluarganya, "Karena ada sebagian manusia di dunia ini sering lupa untuk bersyukur, Vir," ujarnya sendu, menatapi langit dari balik jendela sambil mengeratkan rangkulannya. "Karena mereka nggak bersyukur, jadinya mereka nggak pernah puas dengan apa yang mereka miliki, sehingga mereka selalu menginginkan lebih. Menginginkan sesuatu itu wajar, berambisi itu juga wajar. Tapi seringkali, ambisi berlebih dan keinginan yang terlalu besar bisa membutakan kamu. Pada dasarnya segala hal yang 'terlalu banyak' atau 'berlebih' memang nggak baik buat manusia."
Virga terdiam. Masih merasa dadanya sesak. "Itu karena kita nggak bersyukur, Tan?"
Varsha menatap mata ponakannya dan mengangguk. "Iya."
Terdiam, pertanyaan selanjutnya pun muncul di otak Virga. "Sejak kapan Tante tahu tentang Papa?"
Kini, giliran Varsha yang terdiam. Dia merasa serbasalah. Sebab gimanapun juga, Virga adalah bagian dari keluarga, anak Wirga dan Erika yang sudah sepatutnya tahu tentang masalah keluarganya sendiri, pikir Varsha. Akhirnya dia menjawab, "Tante udah tahu dari lama. Tapi, Tante nggak mau kasih tahu kamu tentang ini karena Tante nggak mau bikin kamu kepikiran. Kamu juga masih SD waktu itu, Vir. Nggak seharusnya anak SD dibebani dengan pikiran bahwa ayahnya... punya perempuan lain."
Virga mengerjap. Dia menelan ludah, bingung kenapa rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang. "Sejak kapan, Tan?"
"Dua tahun lalu," jawab Varsha. Lagi-lagi merasa pahit di tenggorokannya. Memang sulit mengungkapkan kebenaran, sebab kebenaran seringkali pahit dan buruk rupa. Dan, dia tahu apa yang akan selanjutnya ditanyakan keponakannya itu.
Asumsinya benar, sebab kemudian Virga bertanya, "Mama tahu tentang ini, nggak?"
Sejenak, Varsha menguatkan hati untuk menjawab, "Iya, mamamu tahu."
Ada jeda agak lama. Virga mengernyit heran. "Tapi, kenapa Mama diam aja?"
Lagi, Varsha tersenyum tipis. Senyum miris. "Ibumu cuma yakin bahwa suatu saat, ayahmu bisa berubah."
Kernyitan Virga makin dalam. "Apa Papa memang bakal berubah?"
Varsha merasa hatinya tertusuk. "Enggak, Vir," ujar Varsha, pahit. Bukan karena ingin mematahkan harapan, bukan karena dia tak percaya keajaiban, tetapi karena pada kenyataannya, orang-orang yang sudah sangat terjerumus bahkan cenderung adiksi dengan membohongi dan memanipulasi pasangan seperti Wirga memang takkan berubah. Menarik napas, Varsha melanjutkan, "Ayahmu nggak akan berubah, Vir. Sampai kapan pun, nggak akan. Ketika dia kelihatan udah berubah, dia sebenarnya bukan berubah untuk selamanya, tapi cuma berubah buat sementara biar orang-orang bisa empatik sama dia. Biar orang-orang kasihan, dan pada akhirnya bisa dimanipulasi lagi."
Virga menelan ludah. "Kenapa nggak bisa berubah?"
Varsha mengelus rambut ponakannya. "Kadang, nggak semua hal yang ada di dunia ini bisa kamu ubah, termasuk kepribadian manusia, walau manusia ini adalah keluargamu sendiri."
"Tapi, kenapa Mama percaya kalau Papa bakal berubah?"
"Karena mamamu percaya sama papamu."
"Kenapa percaya? Kan, Papa selingkuhin Mama."
"Karena apa pun masalahnya, papamu selalu bisa bikin mamamu percaya sama dia."
Virga terdiam, lama sekali. Perlahan, matanya berkaca, kemudian dia mengalihkan pandangan ke lantai sambil menunduk. Pelan, dia berbisik lirih, "Terus, aku harus gimana, Tan?"
Menggigit bibir, Varsha berusaha agar tidak menangis saat itu. Dia tak bisa melihat ponakannya seperti, sungguh, dia tidak bisa. "Adakalanya walau menyakitkan, kamu harus menghormati keputusan ibumu," ujar Varsha, memeluk Virga dan meletakkan dagunya di atas kepala mungil gadis kecil itu. "Berdoalah, Vir," ujar Varsha, merasa matanya menghangat. "Karena ketika kamu sudah merasa nggak berdaya untuk mengusahakan apa-apa, doa adalah langkah terakhir kita sebelum kita menyerahkan segala keputusan kepada Tuhan."
Di pelukannya, Varsha bisa merasa bajunya sedikit basah. Dia tahu bahwa Virga tengah menangis bisu. Dengan lembut, dia pun berbisik, "Kalau ada apa-apa, bilang ke Tante, ya. Jangan dipendam sendirian. Si Erga juga bilangin begitu. Kalau ada apa-apa, bilang aja ke Tante. Tante siap dengerin kalian, kok." Varsha mengelus-elus rambut Virga, mengecup keningnya. Membiarkan Virga menangis sampai selesai.
Setelah Virga merasa lebih lega, Virga mengelap bekas tangisnya dengan tisu. Menangis nggak akan menyelesaikan masalah, pikir Virga, tapi seengaknya, aku jadi lebih lega.
Virga pun memilik untuk makan sambil membicarakan topik lain. Dia memulai obrolan-obrolan ringan dengan tantenya yang membuat Virga lebih bisa menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Mereka menghabiskan waktu selanjutnya dengan nonton film. Ketika sudah selesai menonton dan hendak pulang, sebuah suara yang memanggil nama Varsha menarik perhatian mereka. Ketika berbalik, Varsha tertawa menemukan temannya di bioskop.
"Eh, Sha! Gimana kabarnya?" tanya wanita itu.
"Alhamdulillah baik, Dav." Varsha memeluk temannya sejenak, lalu beralih ke arah Virga. "Vir, ini kenalin teman Tante, namanya Tante Daviya. Ayo, salim dulu."
Menurut, Virga salim tangan dengan Daviya. Daviya tersenyum sambil mengelus kepala Virga. "Gue pikir, ini anak lo."
Varsha tertawa. "Bukan, ini anak kakakku yang paling tua. Lo ke sini sendiri?"
"Enggak, kok. Sama suami. Tapi, sekarang dia lagi ke ATM." Dia melirik Virga lagi yang kini mengenggam tangan Varsha. "Lo udah punya anak, Sha?"
"Belum."
"Bentar, lo tuh sebenarnya udah nikah apa belum, sih?"
Lagi, Varsha tertawa. "Belum, nih. Doain, dong."
Daviya tertawa, tetapi kemudian berkata, "Duh, Sha, gue bukannya mau nakut-nakutin, ya. Tapi sepengamatan gue, nih, cowok itu biasanya takut sama cewek pintar. Elo kan, pintarnya emang udah dari dulu. Ditambah lagi, kerjaan lo bagus. Di mata cowok-cowok, lo pasti dianggap seram, susah dijangkau. Saran gue, ya, mending lo turunin dikit standarnya, biar seengaknya lo berasa lebih 'terjangkau' gitu."
Varsha kembali tertawa. Dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan seperti ini. "Gue antar ponakan gue pulang, ya. Udah mulai sore juga sekarang. Bye, Daviya. Have a nice day."
Daviya hendak mengeluarkan kata-kata, tetapi tertahan karena Varsha sudah membawa ponakannya pergi sambil tersenyum santai dan melambai kepada Daviya.
Tak lama kemudian, mereka pun memasuki mobil. Dan, Virga tak kuasa ingin bertanya, "Tadi itu siapa, Tan?"
"Teman SMA Tante. Beberapa kali ketemu pas lagi reuni," jawab Varsha. "Jangan lupa sabuk pengamannya."
Virga memakai sabuk pengamannya. Namun, pertanyaan kembali muncul, "Tante tadi kenapa nanya Tante belum nikah?"
Varsha menarik sabuk pengamannya. "Entah."
Virga mengernyit. Merasa tidak puas dengan jawaban Varsha. "Emangnya, Tante kenapa belum nikah?" tanya Virga lagi.
Varsha mengunci pintu mobilnya, lalu menoleh kepada Virga, lantas tersenyum dan mengacak rambut gadis itu. "Tante belum ketemu jodoh. Doain yang terbaik aja, ya."
Virga tersenyum, mengangguk antusias. Dan, memang ucapan Varsha itulah yang Virga lakukan. Berdoa. Setahun, dua tahun, tiga tahun, bahkan ketika enam tahun doanya masih belum terkabul, bahkan ketika dia sempat menyerah, pada akhirnya dia kembali berdoa, kembali meyakini apa yang tantenya pernah katakan.
Sebab doa adalah langkah terakhir yang bisa manusia lakukan setelah usahanya sudah dikerahkan semaksimal mungkin.
[ ].
A/N
So far, gimana cerita cinta calon CEO dan rakyat jelata versi aing? Hahaha.
Virga itu rakyat jelata, soalnya pengertian rakyat jelata sendiri di KBBI adalah orang yang bukan hartawan. Dan dia emang bukan orang kaya raya macam Dd Acel, kan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top