10 : Prasangka :
10
: p r a s a n g k a :
2006
Virga tak menampik bahwa dia bahagia bisa tinggal kembali bersama keluarga kandungnya di Jakarta.
Selama di Lombok, dia sering berangan jika suatu saat kembali tinggal bersama keluarganya. Barangkali, dia bisa sarapan bersama dengan kedua orangtuanya dan adiknya sebelum dia dan adiknya sekolah. Pulang sekolah, dia bisa menghabiskan sore atau habis Mahgrib dengan mengobrol-ngobrol bersama keluarganya di ruang tengah. Malamnya, sebelum tidur, dia bisa didatangi kedua orangtuanya untuk mengucapkan selamat malam dan mengecup keningnya seperti yang pernah Virga lihat di film animasi keluarga. Saat akhir pekan, dia dan keluarganya bisa jalan bersama ke mana saja. Menonton film, makan di tempat makan yang menunya unik, mendatangi acara pernikahan saudara atau teman orangtuanya, atau rekreasi ke arena bermain seperti Dufan.
Hanya saja selama hampir setahun ini, tak ada satu pun keinginannya yang terwujud.
Erika, ibunya, masih bisa menemani Virga saat sarapan, tetapi harus terburu mengejar kereta untuk ke kantor, dan karena itulah Virga berkata ibunya lebih baik berangkat lebih awal daripada harus terburu-buru mengejar kereta. Sementara itu, ayahnya selalu bangun siang, sehingga dia tidak pernah menemani Virga dan adiknya sarapan. Saat pulang sekolah jam dua belas, Erika masih belum pulang kantor, sementara ayahnya sudah atau hendak pergi entah ke mana. Erika biasa pulang jam tujuh malam, sedangkan Wirga – ayahnya – baru kembali tengah malam. Sulit untuk kumpul bersama keluarga untuk diskusi dan semacamnya mengingat orangtuanya jarang punya waktu. Virga juga merasa tak enak jika menganggu orangtuanya yang baru pulang kerja dan terlihat lelah, terutama ibunya. Dia hanya mengobrol dan makan bersama adiknya, Erga. Virga pikir, keluarganya normal meski sibuk. Varsha sudah pernah berkata dan memberi pengertian bahwa ibunya sedang bekerja keras agar bisa menghidupi mereka tanpa harus menitipkan anaknya kepada orang lain. Virga memercayai itu. Ayahnya juga pasti sibuk kerja demi kebaikan dirinya dan adiknya.
Namun, kenyataan kadang tak senaif prasangka.
Empat bulan tinggal di rumah lamanya, Virga akhirnya menemukan ponsel ayahnya bergetar oleh telepon masuk. Saat itu, Wirga sedang berada di kamar mandi. Ketika Virga ingin mengangkat teleponnya dan berkata bahwa ayahnya masih di kamar mandi, ponsel itu berhenti berdering. Virga pun membuka ponsel itu, tetapi dia justru masuk ke SMS ayahnya. Ada satu SMS yang memicu perhatiannya. Ketika dia buka, isinya membuatnya mengernyit.
Mas, aq udh di dpn
mall.
Aq udh pk dress
yg mas bilang sexy itu.
Mas rmhku kosong sabtu ini.
Dtng ya. Love u.
Mks buat dress sama lingerienya.
Bagus bgt aq suka.
Mas kpn dtng lg?
Mas ini udh seminggu.
Kernyitan Virga makin mendalam. Dia sungguh bingung. Kenapa ada kata-kata 'love u'? Padahal tadi Virga lihat, nama kontak ini adalah nama lelaki. Namun, kenapa juga ada indikasi bahwa 'lelaki' ini memakai dress? Bukankah itu baju perempuan? Dan, lingerie itu apa?
Ayahnya... sebenarnya kenapa?
Masih berpikir, tiba-tiba ada bunyi pintu terbuka dari belakang Virga, membuat gadis itu sedikit terkejut. Namun, dia tak berusaha mengembalikan ponsel ayahnya ke meja. Ketika Wirga melihat anak gadis itu mengenggam ponselnya, Wirga ikut duduk di sofa ruang tamu dan berkata, "Kenapa sama handphone Papa, Sayang?"
Virga terdiam. Agak ragu ingin bertanya. "Tadi, ada telepon masuk. Aku mau angkat, terus langsung mati."
"Handphone-nya mati? Sini, sini, Papa charge dulu. Kamu mau main game pakai handphone Papa?"
Virga menggeleng. "Bukan mati. Panggilannya putus," ujar Virga. Dia menyerahkan ponsel ayahnya. Sambil menunduk dan mengernyit, dia terdiam, masih
"Kenapa, Nak? Kamu kelihatan ada masalah gitu," ujar Wirga lembut sambil mengelus kepala anaknya. "Anak Papa yang cantik ini ada masalah apa, coba? Cerita sini, cerita aja."
Virga terdiam, merasa lebih tenang. Dia percaya ayahnya yang selalu baik kepadanya. Tidak mungkin ayahnya bisa melakukan hal keji seperti asumsinya. Mungkin dia hanya berpikir yang tidak-tidak. Mungkin itu hanya SMS salah kirim. Meyakinkan diri, Virga pun tersenyum. "Nggak apa-apa, Pa. Aku cuma kepikiran PR tadi udah kukerjain apa belum."
"Oh, Papa kira apa." Wirga tersenyum. "Eh, kamu mau es krim? Itu Papa beliin es krim mangga, udah ditaruh di freezer. Dimakan ya, Nak."
"Siap, Pa!" Virga menyengir lebar. Dia pun segera pergi dari ruang tamu menuju kulkas dapur. Bergerak mencari-cari es krim mangga. Ayahnya memang selalu tahu apa yang dia inginkan, selalu hafal kebutuhan Virga lebih daripada yang ibunya ketahui. Jika ada pilihan antara ayah dan ibu, Virga pasti dengan yakin akan berkata dia lebih memilih ayahnya. Sebab, ayahnya selalu bisa diandalkan, selalu mau meluangkan waktu untuknya, selalu bisa menghargai segala usahanya.
Sehingga, Virga yakin, ayahnya tidak mungkin berselingkuh dengan perempuan lain.
[ ].
A/N
....gue ngerasa nulis cerita karakternya pada 'sakit' gitu gue jadi gak tenang karena gue merasa ikutan 'sakit' WTF udah Arkais 'sakit' ini pula ditambah-tambahin di Deklasifikasi. Gue butuh nulis cerita lain yang gak 'sakit' begini. Gue butuh Seri Disiden yang lain. Gue butuh yang macam Leiara atau KartiNolan atau HizraTya. Gue butuh yang waras. Atau mungkin ini waktunya membuat cerita Mahesa Silalahi.
Yasuda ini kita chilling dulu sama fanservice sketsa Mahesa di bawah yha. Ini Bang Mahesa versi rambutnya numbuh, karena biasanya dia dibotakkin ala tentara.
Kalau cari gambar Bara, follow @crowdstroia.illustration di Instagram, terus cari gambar sketsa cowok shirtless yang kotak di perutnya ada delapan. Yes, this is a shameless promotion but you can thank me later.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top