5

Wulan membuka mata perlahan. Dia terbaring di atas ranjang. Igo yang duduk di sampingnya tersenyum semringah.

"Kamu sudah sadar? Kamu baik-baik saja?" tanya pemuda itu khawatir.

Wulan mengernyit dan memandangi sekeliling. Dia berada di ruangan serba putih dengan bau antiseptik yang pekat. "Ini di mana?" tanyanya kebingungan.

"Klinik stasiun, tadi kamu tiba-tiba pingsan. Apa kamu punya anemia?"

Wulan memegangi kepalanya yang masih agak pusing. Dia tidak ingat apa-apa sama sekali. Kenapa dia tiba-tiba pingsan?

"Ng ... Ngomong-ngomong kopermu dicuri orang," kata Igo.

Wulan membeliak kaget. "Hah? Kok bisa?"

"Iya ... itu tadi, tiba-tiba ada yang mengambilnya. Karena kamu pingsan jadi aku membawamu dulu ke sini. Niatku, kalau kamu sudah sadar baru kucari. Tenang aja, aku ahli dalam kasus-kasus kehilangan barang seperti ini."

Wulan menghela napas. Iya sih, dia sudah pernah melihat sendiri bagaimana Igo bekerja sebagai informan. Bahkan data yang hilang dari flashdisk saja bisa dia temukan. Sepertinya dia bisa percaya kalau Igo akan menemukan kembali kopernya.

"Tolong ya, karena di dalam koper itu ada banyak barang penting," pinta Wulan.

Wulan meraba saku bajunya. Beruntung karena dia tidak menyimpan banyak uang didalam koper itu. Tapi ponselnya ada di sana.

"Kita makan saja dulu ya, supaya tenagamu cepat pulih. Apa kamu mau makan bakso? Di Malang ini baksonya paling enak," tawar Igo.

Wulan mengangguk saja. Badannya memang terasa lemas. Sepertinya perutnya memang perlu diisi. "Aku pinjam uangmu dulu," katanya.

"Aku yang traktir," senyum Igo.

Setelah berpamitan pada dokter yang menjaga klinik. Mereka pun hendak keluar dari stasiun. Di depan pintu gerbang, pintu gerbang ponsel Igi berdering. Cowok itu tertegun karena melihat nama Wulan yang tertera di layar HP-nya.

"HP-mu kamu masukkan di kopermu yang hilang itu, kan?" tegur Igo.

"Iya, benar. Kenapa?"

"Ini ada yang telepon aku dengan nomormu."

"Sini-sini! Biar aku yang jawab!" seru Wulan antusias. Dia merebut ponsel Igi dan langsung menerima panggilan itu.

"Halo, selamat siang. Maaf menganggu sebelumnya, apa Anda teman dari pemilik ponsel ini? Saya menemukan ponsel ini dan kopernya."

"Oh, iya benar. Itu koper milik saya. Saya Wulan Prasasti. Bisa Anda cek identitas saya di kartu pelajar saya yang ada di koper itu," jawab Wulan.

"Oke, posisi di mana sekarang?"

"Saya di stasiun."

"Oh, saya juga masih di sekitar stasiun. Saya tunggu di Warung X ya. Sebelah kiri Stasiun."

"Baik! Saya segera ke sana. Terima kasih, Pak."

Wulan mengakhiri pembicaraan di telepon dengan raut riang. "Koperku ketemu. Semoga isinya masih utuh ya," ucapnya.

Igo mengerutkan kening. Jarang-jarang ada kejadian macam ini. Koper sudah dicuri tapi bisa balik lagi. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik ya? Entah mengapa Igo justru merasa curiga. Namun pemuda itu mengikuti Wulan begitu saja ke Warung X yang berada di sebelah kiri stasiun.

Seorang pria duduk di salah satu bangku. Pria itu adalah penumpang yang duduk di depan mereka saat di kereta tadi. Di sampingnya, ada kopor yang mirip sekali dengan milik Wulan.

"Ini milikmu kan, Dik?" sapa pria itu saat melihat Wulan dan Igo.

"Bagaimana bisa ada pada Anda?" tanya Wulan takjub.

"Aku lihat waktu pencuri tadi mengambil koper ini dari kalian. Aku berhasil merebutnya, tapi dia kabur. Aku jamin isinya aman."

"Terima kasih, Om," Wulan mengangguk dengan gembira. Beruntung sekali kopernya itu bisa kembali padanya dengan selamat.

Igo memandangi orang berambut gondrong itu dalam diam. Ekspresi cowok itu cukup aneh. Kenapa Igo bersikap tidak sopan begitu pada penolongnya?

"Kalian sebenarnya mau pergi ke mana? Kenapa bawa koper sebesar ini? Kalian mau kawin lari?" tuduh bapak gondrong itu.

"Nggak! Sama sekali nggak! Kami bahkan nggak pacaran!" elak Wulan dengan keras. Si bapak gondrong itu tertawa dengan keras. Sementara Igo hanya diam saja. Entah ada apa dengan makhluk itu.

"Ini belum musim liburan lho. Kalian masih sekolah, kan? Aku lihat kartu pelajarmu. Apa boleh bolos begini?" tegur si bapak itu masih saja kepo.

Wulan tertawa kering. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang tidak pandai berbohong.

"Kami sedang karya wisata," dusta Igo, akhirnya buka mulut juga. Wulan mengelus dadanya karena merasa terselamatkan.

"Oh, karya wisata di mana? Masa berdua saja?"

"Karena kami terlambat, jadi kami ditinggal rombongan."

Wulan sangat takjub pasa kemampuan berbohong Igo yang tingkat tinggi dan begitu meyakinkan. Dia bahkan tidak berkedip.

"Oh begitu," senyum bapak berambut gondrong itu. "Kalian mau makan dulu? Pesan saja, biar aku yang traktir."

"Terima kasih, tapi kamu sudah ditunggu oleh rombongan. Kami permisi dulu," pamit Igo. Dia menggeret koper Wulan dan segera pergi.

Wulan tercengung. Baru kali ini dia melihat Igo menolak makanan gratis. Apa cowok itu sehat? Namun Wulan tak punya pilihan lain selain mengikuti cowok itu.

"Kami permisi dulu, Om, terima kasih banyak."

Setelah berpamitan pada si bapak. Wulan berlari-lari kecil mengejar Igo yang jalannya cepat.

"Igo, tumben sih kamu nolak barang gratisan?" tegur Wulan.

Igi berhenti melangkah. Dia menoleh ke belakang dan melirik si bapak yang melambaikan tangan pada mereka ketika mata mereka bertemu.

"Jangan dekati Bapak itu. Dia ... bukan orang baik," lirih Igo.

***

Vote dan komen ya guys...


Yang kepo sama cerita ini buruan klaim vouchernya ya. Klaim bisa baca semua cerita anak-cucu Prof Sumarto mulai dari Gama, Cinta, Reno, Sasa, Arlan dan Arkan sampai yang terbaru Aina dan Bela. Atau bisa baca ulang cerita wish series sampai tamat lho buat yang kangen sama Igo dan Haru. Maaf nggak aku upload lagi di si Wattpad soalnya kesel kalau harus upload ulang semua yang sudah aku unpub.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top