2
Wulan memandang Igo. Pemuda itu tidur sambil ngorok dan mulut yang terbuka lebar. Manusia ini memang selalu tepar segera setelah naik kendaraan ya. Wulan ingat waktu kegiatan Persami beberapa bulan lalu, Igo juga seperti ini waktu mereka naik bus menuju bumi perkemahan.
Iseng-iseng Wulan mengambil ponselnya. Dia ingin mengabadikan wajah jelek Igo. Satu kali jepretan membuatnya tertawa kecil sembari memandangi hasil fotonya tersebut. Penumpang yang duduk di depan mereka ikut tertawa.
"Indahnya masa muda ya," komentar bapak itu membuat Wulan jadi malu karena aksinya ketahuan.
"Kalian pacaran ya?" tegur si bapak.
"Ng-nggak kok! Sama sekali nggak pacaran!" elak Wulan kelewat bersemangat.
Si bapak malah ketawa makin ngakak. Sepertinya dia tidak percaya dengan dalih Wulan. Untungnya pria itu tak menggodanya lebih jauh, dia mengeluarkan headset dari dalam tasnya dan memasangnya di telinganya. Pria itu menyandarkan kepalanya pada jendela kemudian menutup mata.
Setelah si bapak itu tertidur tahu-tahu Igo terbangun. Dia seperti orang bingung yang melihat kanan dan kiri.
"Di mana nih?" tanyanya.
"Di kereta," jawab Wulan.
"Tahulah, maksudku udah nyampe mana?"
"Kayaknya barusan lewat stasiun porong," jelas Wulan.
Igo terdiam. Dia memandangi jendela kereta yang memperlihatkan pemandangan berupa hamparan sawah yang indah. Pemuda itu menghembuskan napas berat. Entah kenapa wajahnya terlihat sedih.
"Aku benci naik kereta," keluhnya tiba-tiba. "Terutama kereta ke Malang."
"Kenapa?" tanya Wulan penasaran karena Igo tiba-tiba saja curhat.
"Aku jadi ingat ayahku."
Wulan terdiam sejenak. Ayah Igo? Baru kali ini cowok itu bercerita tentang ayahnya. Ke mana perginya ayah Igo itu? Kenapa Igo hidup sendirian dan menanggung banyak hutang? Hal itu kadang-kadang membuat Wulan penasaran.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Igo kembali menyadarkan kepalanya pada bangku dan menghirup napas panjang. Seolah dia membutuhkan energi yang besar untuk melanjutkan kalimatnya.
"Sebelas tahun yang lalu, sebelum dia meninggalkan aku dan ibuku. Kami naik kereta seperti ini ke Malang," desah Igo. "Aku nggak ingin mengingat kenangan itu. Aku nggak mau mengingat apa pun tentang dia. Bahkan sekarang aku juga sudah nggak ingat wajahnya."
"Kenapa?" tanya Wulan.
Igo mengangkat bahu. "Malam setelah ayah meninggalkan kami. Ibuku menyobek semua foto ayah sembari menangis. Nggak ada foto yang tersisa dan waktu itu aku juga masih sangat kecil. Jadi tahu-tahu aku sudah lupa bagaimana wajahnya."
Wulan tertegun mendengar cerita itu. Kenapa ibu Igo sampai menyobek foto-foto tentang suaminya? Apa karena sakinh bencinya dia pada orang itu?
"Apa mereka berpisah karena sudah tidak saling mencintai lagi?"
Igo memandang langit-langit kereta lalu menutup mata. "Aku nggak tahu. Ibuku juga nggak pernah bercerita apa pun tentang ayah sejak hari itu. Seolah dia sudah menganggap ayah mati. Tapi kadang-kadang di malam hari aku melihat dia menangis sembari memandangi cincin kawinnya. Ibuku tidak pernah melepas cincin itu sampai akhir hayatnya."
Wulan termenung. Kalau seperti itu bukankah artinya ibu Igo masih sangat mencintai suaminya ya? Lantas kenapa mereka berpisah?
Igo mengeluarkan kalung dari dalam bajunya. Sebuah cincin dari platina tergantung di kalung yang dikenakannya itu. Dia membaca ukiran nama yang tertulis di bagian dalam cincin itu.
"Zakaria, itu nama ayahku. Hanya itu yang aku tahu tentang dia," lirih Igo. "Aku menyimpan cincin ini karena benda ini menyimpan banyak kenangan tentang ibuku."
Wulan memandangi Igi dengan prihatin. "Apa kamu ingin bertemu dengan ayahmu lagi?" tanyanya.
Igo mengangkat bahu. "Aku nggak mau mengharapkan apa pun tentang dia. Tapi kalau seandainya dia masih hidup, harusnya dia melunasi hutangnya sendiri dan nggak membuat hidupku susah."
Wulan menghela napas sembari memandangi pantulan wajahnya di jendela. "Mungkin seharusnya kamu bersyukur, Igo. Seenggaknya, kamu tahu nama ayahmu."
Igo terdiam sejenak sembari memandang Wulan. "Apa kamu sama sekali nggak ingat apa-apa tentang orang tuamu?" tanya Igo.
"Aku kehilangan ingatanku sebelum umurku empat belas tahun," lirih Wulan. "Yang aku ingat hari itu, aku terbangun di ranjang rumah sakit bersama dengan Ayah dan Ibu angkatku."
Igo menghela napas. Jadi ingat tentang kasus pencurian mobil yang melibatkan ayah dan ibu angkat Wulan. Gadis itu bahkan sekarang tak bisa menemui orang tua angkatnya itu. Igo masih ingat bagaimana ibu angkat Wulan menampar Wulan dan mengusirnya di hari itu, karena Wulan telah melaporkan ayah angkatnya pada polisi.
"Wulan," panggil Igo.
Gadis itu menoleh padanya dan menatapnya dengan bingung karena Igo hanya diam saja setelah memanggil namanya cukup lama.
"Apa kamu penasaran masa lalumu itu seperti apa? Kalau kamu ingin tahu, mungkin aku bisa membantu," tawar Igo.
Wulan tak menjawab. Dia hanya diam sembari menatap nanar mata Igo. Benar, Igo bisa melihat masa lalu orang lain hanya dengan sentuhan. Itu artinya Igo mungkin juga bisa melihat masa lalu Wulan.
***
Agak siangan ya updatenya.
Vote dan komen ya Guys...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top