(lima) Dehidrasi Love
ALI Pov
"Belum siap masuk terlalu jauh dalam masa lalu seorang Hawa lain, Umi!"
Aku menatap Umi menepis bahwa Hawa yang satu itu sudah sedikit memberi kesejukan dalam hati.
"Walaupun mahluk ini sebenarnya telah menyentuh hati Abang????"
Kalimat Umi membuatku menerawang. Benarkah menyentuh hatiku? Umi seperti paranormal saja. Terlalu cepat jika aku merasakan hal yang seperti itu setelah ditinggalkan Devia.
Dua kali gagal mencinta membuat aku tak lagi berhasrat mencari cinta.
Aku, kata orang Dokter ganteng yang ramah dan selalu memberikan semangat hidup pada pasienku, tapi kenapa dengan pasienku yang satu itu aku tak bisa ramah dan ikhlas menghadapinya? Terpaksa merawatnya karna profesiku tadinya membuat aku terganggu dengan hadirnya. Tetapi ketika pada akhirnya hadirnya menjadi laksana air yang menyirami padang yang gersang, apakah aku bisa mengelak?
"Prilly melalui banyak cobaan bang, bukan hanya soal cinta, tapi Orang tuanya meninggalkannya itu lebih sakit!"
"Kalau ditinggalkan pasangan masih bisa diganti bang, tapi kalau ditinggalkan orang tua, bagaimanapun orang tua takkan terganti...!"
Aku menghela nafas mencerna kalimat Umi. Saat ini aku merebahkan tubuhku diranjang tidurku. Rasanya susah sekali tidur. Aku keluar dari kamarku ingin mengambil minuman karna tenggorokanku terasa kering. Walaupun aku rasanya malas sekali beranjak dari tempat tidurku.
"Kubuka album biru, penuh debu dan usang...kupandangi semua gambar diri...kecil bersih belum ternoda..."
Aku mengeryitkan alis ketika mendengar suara nyanyian diiringi suara petikan gitar ketika aku membuka kulkas dan meraih sebotol air dan meneguknya tanpa gelas. Kalau Umi melihat bisa ribut. Menurut Umi kena bibir atau enggak harus memakai gelas, tapi aku bandel, lebih puas kalau minum dari botolnya. Tapi setelah teringat Umi aku segera mengambil gelas dilemari dan berjalan menuju pintu yang menghubungkan dengan belakang rumah.
"Pikirku pun melayang dahulu penuh kasih...teringat semua cerita orang, tentang riwayatkuuuu..."
Suaranya merdu. Apakah dia penyanyi? Sama sekali aku belum tau bagaimana masa lalunya. Tapi dari cerita Umi, sepertinya kehilangan orang tua membuat dia begitu menghayati lagunya saat ini. Bunda. Apakah dia merindukan Ibunya? Pasti.
"Kata mereka diriku slalu dimanja, kata mereka diriku slalu ditimang.."
Aku membuka pintu belakang. Didepan kolam renang terdapat sebuah bangku panjang. Disitulah sekarang dia diduduk dengan mendekap gitarku. Suaranya bergetar ketika sampai pada syair lagu yang kurasa menyesakkan dadanya.
"Oh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada didalam hatikuuu!"
Kulihat dia menyusut airmatanya. Sepahit apakah hidupnya? Apakah beberapa hari dia disini aku telah banyak menyakiti hatinya?
"Udah malam, kenapa lo belum tidur?"
Hampir sampai dibelakangnya, aku sudah bersuara membuat dia kaget menoleh kebelakang kearahku.
"Nih minum, suara lo habiskan, tenggorokan pasti kering soalnya tadi terdengar bergetar!"
Aku menuangkan air kedalam gelas, menambahi isinya yang masih ada sisa bekas minumku. Dan aku duduk disampingnya.
Dia menatapku heran. Tapi tetap meminum air digelas yang aku berikan padanya.
"Eh, tapi itu bekas mulut gw, maaf ya, gw gak penyakitan kok...!"
Prilly tersedak dan air didalam mulutnya tersembur kewajahku. Mataku terpejam seketika saat terpercik air dingin dari mulutnya.
"Eh, aduh, maaf - maaf...!"
Tangannya menyapu air bekas semburannya diwajahku dengan telapak tangan, setelah itu punggung tangannya. Mengusap dahiku dengan ibu jarinya yang lembut. Hanya gitar yang menghalangi kami. Aku diam terpaku merasakan jantungku berdebar merasakan wajahku tersentuh tangannya.
"Udah, makasih....!"
Aku memegang dua tangannya yang bekerja diwajahku. Tapi dia masih saja melirik kearah leherku dimana airnya mengalir sampai kesana. Tangannya bergerak menyapu air dileherku. Aku yang hanya mengenakan baju singlet merasa darah rasanya berhenti mengalir.
"Udah Pril, jangan bikin gw khilaf!"
Prilly kaget mendengar ucapanku dan menarik tangannya segera.
"Lo kangen sama orang tua lo?"
Aku mengambil gitar yang ada diantara kami dan memainkannya dengan nada-nada tanpa lagu sambil memandang kearahnya.
"Orang tua gw ninggalin gw begitu saja, gw gak ngerti kenapa sepertinya orang tua gw gak pernah menganggap gw berarti dimata mereka, bahkan gak pernah berarti dimata sahabat dan gak pernah ada artinya dimata kaum adam padahal bibirnya mengatakan cinta sama gw!"
Prilly mengalihkan pandangannya kearah lain. Dan aku tahu matanya pasti berkaca. Seketika perasaan iba menjalar dihatiku. Dia lebih menderita daripada aku. Dan dia kaum Hawa, harusnya lebih rapuh daripada kaum Adam sepertiku.
"Lo mau pinjem bahu gw?"
Aku menggeser dudukku dan dia menoleh bingung. Aku mengangguk menatapnya dan melirik bahuku. Aku sedikit memiringkan badan sambil tetap mendekap gitarku. Ragu dia meletakkan kepalanya dibahuku.
"Letakkanlah tanganmu diatas bahuku, biar terbagi beban itu dan tegar dirimu, didepan sana cahya kecil tuk memandu, tak hilang arah kita berjalan, menghadapinya...!"
Aku mencoba memainkan lagu usah kau lara sendiri yang diajarkannya padaku.
"Mulai saat ini lo gak sendirian...gw mencoba menempatkan lo disamping Salwa dihati gw, karna gw gak bisa mengganti adik gw, Salwa adik gw satu - satunya, gw merasa bersalah karna belum bisa menolongnya dari penyakit yang merenggut jiwanya...!"
Aku menolehnya yang memejamkan mata dibahuku.
"Rezeki, jodoh, maut itu semua atas kuasa Allah, Li, jangan lo merasa bersalah terus menerus kaya gitu, mau sampai kapan?"
Prilly membuka mata dan mengangkat arah bola matanya menatapku yang masih menatapnya. Melihat keteduhannya aku tersenyum getir sambil mengelus wajahnya dengan telapak tanganku dengan lengan melingkar dibawah dagunya.
"Iya, gw dengerin sahabat gw ini..!"
Aku meliriknya yang tersenyum manis sekali. Senang bisa membuat mata kelam itu bersinar bahagia. Mataku terarah pada keningnya yang memar.
"Ini dikasih gel anti memar terus ya jangan lupa, biar cepet hilang memarnya..!"
Aku menyentuh dahinya.
"Ishhh sakittt...!"
Prilly memegang tanganku yang menyentuh dahinya.
"Ishhh Manjaa..."
Kami sama - sama tertawa kecil.
#########
Prilly Pov
Aku bersandar dibahu kokoh dan lengan kekarnya. Damai kurasa.
"Iya, gw dengerin sahabat gw ini..!"
Kalimatnya sekarang sudah mulai menyejukkan hati. Kata adik dan sahabat tak pernah mengusikku. Adik atau sahabat sama saja kurasa. Yang jelas aku memiliki seseorang yang meminjamkan bahunya untuk aku sandari.
"Memangnya ini Cafe punya nenek moyang lo??!!"
Aku bergidik melihat orang yang sedang mengamuk didepanku.
"Maaf Pak, saya sakit .... !!"
Aku memberanikan diri menatap wajahnya.
"Seminggu lebih mengacaukan jadwal dicafe ini lalu dengan mudah datang kembali dengan alasan sakit....??"
Manager Cafe tempatku bekerja ini kelihatannya benar - benar marah.
"Maaf Pak!"
Akhirnya aku menunduk.
"Kamu dipecat!!!"
Perkataannya mengejutkanku.
"Pak???"
Aku melebarkan mata menatapnya.
"Kamu sudah dengar, kamu dipecat!! Ini gajih terakhir kamu!"
Aku berdiri meninggalkan ruangan itu dengan langkah gontai. Tak ada duka. Biarlah.
"Pril? Kamu diomeli Pak Jay?"
Windy menyongsongku diarea tempat masuk cafe. Dia sedang greeting disana.
"Bukan hanya diomeli tapi dipecat, Win..!"
"Apa?? Trus lo gimana?"
"Ya, gak gimana - gimana, cari kerjaan lain, dia pikir Cafe cuman tempat ini aja, yah walaupun belum tentu langsung dapet sih!"
"Windy!! Apa kamu minta dipecat juga??"
Suara Pak Jay mengagetkan kami.
"Gw duluan, kalau ada info kerjaan bagi sama gw ya!"
"Iya Pril, hati- hati!"
"Thanks Win, bye....!"
Aku melangkahkan kakiku dijalanan yang terik. Kemana lagi ya? Pulang kerumah nanti ditanya kenapa pulangnya cepat bukannya tadi pamit kerja. Menyebrang disebuah lampu merah tak disangka ada motor yang melaju kearahku dan menarik tas yang ada dipundakku. Aku menjerit. Tas ku, hanya semua yang ada didalam tas itu yang aku miliki. Penjambretnya nekat, padahal ada polisi lalu lintas berdiri dijalanan tapi tak dapat berbuat apa - apa sementara seseorang dari arah pos polantas dipinggir jalan mencoba mengejar dan aku tak tau lagi apakah tasku akan selamat, karna aku sendiripun sekarang tersungkur dijalan. Lututku yang masih menyisakan luka sekarang bertambah parah karna kembali tergesek aspal karna aku menggunakan rok sepanjang lutut.
"Hati - hati Mbak!"
Seorang polisi lalu lintas membantuku berdiri. Aku meringis perih. Polisi itu membantu membawa ke pos nya.
"Kelihatannya lututnya banyak mengeluarkan darah, Mbak, lebih baik kerumah sakit, itu lengannya lecet juga...!"
Aku menggeleng. Meringis menahan sakit. Tasku raib. Didalam dompet hanya ada dua lembar seratusan dan selembar dua puluh ribuan dan amplop berisi gaji terakhirku. Tapi lumayanlah buatku. Handphoneku, Hartaku satu - satunya. Entah kapankah aku bisa membeli handphone lagi.
"Nih, tas lo!!"
Aku mendongak memandang seseorang yang mengangsurkan tasku. Aku mengambilnya dan mendekap tasku. Ternyata polisi itu berhasil mengejar penjambretnya dan mengambil tasku kembali.
"Penjambretnya kabur, jadi lo gak bisa balas dendam karna luka lo!"
Kutatap Polisi bernama dada Marcello Damian didepanku.
"Makasih ya, saya gak perlu balas dendam karna tas saya kembali itu sudah cukup!"
"Lo harus kerumah sakit, darah dilutut lo gak berhenti keluar!"
Si Marcello Damian itu menatap lurus kearahku. Kuakui, seorang polisi lalu lintas itu gagah. Berdiri dijalanan dengan badan tegap. Walaupun berpanas - panasan kulitnya yang kemerahan dan menjadi agak gelap menjadikan mereka kelihatan kuat.
"Ello, lo Anterin, dia gak bisa jalan, lo kan udah lepas dinas!"
Temannya sesama polisi yang tadi membantuku ke pos menyeletuk. Dia sepertinya ragu.
"Kerumah sakit lain aja ya, jangan di Farma!"
"Kenapa? Bukankah itu yang paling dekat dengan jalan ini, lututnya gak berhenti ngeluarin darah, ayo buruan!"
Dia sepertinya dengan terpaksa bersiap mengantarku.
"Gak usah mas, biar saya bersihkan dirumah saja!"
"Eh, jangan, gak papa Ello yang anterin, kami ini pelayan masyarakat yang membutuhkan, gak bisa gak peduli sama orang yang memerlukan bantuan apalagi didepan mata!"
Polisi yang satunya bernama Dada Mursyid Rasyidi itu yang kelihatannya lebih tua dan dewasa daripada yang lainnya ngotot menyuruh polisi yang disebutnya Ello itu.
"Iya, biar gw anter lo, Pak Mursyid emang gitu, dia pasti bayangin gimana kalau puterinya yang butuh bantuan seperti ini, ayo!"
Aku berdiri terpincang dibantunya.
"Bisa jalan?"
Aku hanya mengangguk sambil meringis.
"Gendong Lo, nggak bisa itu!"
Aku memang gak bisa jalan. Lututku dua - duanya berdarah. Aku terpaksa digendongnya menggunakan mobil patwal.
"Siapa nama lo?"
Didalam mobil dia bertanya menolehku.
"Prilly, Pak!"
"Jangan Pak, panggil gw Ello!"
"Iyaa!"
Sesampai dirumah sakit juga begitu. Dia segera menggendongku masuk kedalam IGD.
"Tolong bantuin, kecelakaan lalu lintas nih!!"
Perawat yang ada disana sibuk membantu menyiapkan tempat.
"Kenapa??"
"Kecelakaan Lalu Lintas, Dokter Ali."
Ketika aku masih digendongan Ello dan akan diletakkan diranjang sebuah suara mengagetkan aku.
Dokter Ali? Ali? Oh my god. Kenapa aku sampai lupa? Ali berdinas di Farma Hospital. Dan pikiranku melayang pada polisi lalu lintas yang menggendongku dengan wajah tegang ini sekarang. Ada apa dengannya?? Dan kenapa wajah Ali juga tegang melihatku digendongannya.
"Tolong siapkan alat -alatnya, saya periksa dulu lukanya apa perlu dijahit atau gak?"
Ali berkata pada perawat disampingnya. Hah. Dijahit? Aduh tiba - tiba aku takut.
"Turunkan dia!!"
Ali memerintahkan Ello dengan dingin. Aku bingung. Bukannya Ali dokter yang ramah. Kenapa dengan seorang polisi lalu lintas dia dingin begitu? Harusnya dia menghormati seperti dokter muda dan perawat perawat yang berkeliaran di ruang Instalasi Gawat Darurat ini. Ello membantuku harusnya Ali menghargainya.
Aku melihat keanehan dari tatapan mereka berdua. Ali memberi tindakan padaku tanpa bicara. Tatapannya pun tak seteduh biasanya sejak kami mengikrarkan diri sebagai sahabat. Tak sedikitpun kata bertanya apa yang terjadi? Tak ada perhatiannya sama sekali kurasa. Entah kenapa aku jadi sedih rasanya. Aku merasa kehilangan walaupun dia didekatku. Aku harap ini hanya perasaanku saja. Aku sedang gundah. Aku perlu bahunya.
"Li, gw minta maaf sama lo!"
Aku melebarkan mata melihat dua orang didepanku ini. Minta maaf soal apa orang ini? Aku penasaran sekali. Seperti ada apa - apanya. Mereka pasti saling mengenal. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka.
"Ini rumah sakit, saya sedang tugas, kalau mau bicara soal pribadi diluar saja, Pak!"
Ali menyahut dengan nada dingin. Ali mengelus lenganku yang lecet karna tadi beradu dengan aspal yang panas karna terik matahari.
"Dia tadi dijambret, gw hanya nolongin aja!"
Ello mengalihkan perhatiannya padaku.
"Shhhh aduhhh...!"
Aku memegang tangan Ali yang mengusap lukaku dengan alkohol.
"Tahan ya!"
Ali menatap mataku lembut dan tatapannya itu mengalihkan rasa sakitku karna dadaku terasa bergemuruh. Gemuruh didadaku berlanjut ketika setelahnya tangannya mengusap kepalaku.
"Udah, gak apa - apa.."
Aku hanya terdiam membalas tatapannya yang meneduh setelah dia selesai membersihkan dan mengobati kedua lututku sekaligus lenganku yang bergesekan dengan aspal saat terjatuh tadi.
"Melly, tolong lututnya dikasih perban ya, pelan - pelan, anaknya cengeng!"
Ali mengelus wajahku sebelum memerintahkan pada perawat yang sedari tadi mendampinginya. Aku melotot dikatakannya cengeng tapi darahku berdesir merasakan elusannya.
"Dia saya yang urus Pak, silahkan ditinggal saja...!"
Ali berkata pada Ello sambil berjalan menuju keluar ruangan tempatku diberi tindakan.
"Formal sangat bro. Santai aja kali!"
Ello berjalan mengikuti Ali. Dengan tergesa mensejajarkan langkahnya.
Aku sungguh penasaran dengan mereka berdua. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kemana mereka???
#########
Walaupun tak panjang sangat yang penting double update ya :)
Makasih semua udah vote dan komen..
Ketjup love :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top