(empat) Dehidrasi Love

Prilly Pov

"Aku rasa Hawa disebelahku ini berbakat untuk menjadi penyejuk hati Adam yang berdiri disebelahnya!!"

Kalimat Ali mencekat tenggorokanku. Sama sekali tak ada niat membuat responnya menjadi seperti memancing diair keruh begini.

"Hawa yang disebelah Adam ini juga sedang Dehidrasi jadi gak punya banyak air untuk menyejukkannya!"

"Dehidrasi itu terjadi karna kurangnya cairan, ada dehidrasi ringan, sedang, dan berat. Lo sekarang sedang dehidrasi dalam tahap apa? Kalau hanya ringan bisa minum banyak air putih, mau gw jadi air putihnya???"

Oh my god. Pipiku menghangat. Oh no, ember mana ember??? Mau nutup kepala nih biar wajah kemerahan aku gak kelihatan.

Tit.tit.tit.tit.
Bunyi handphone Ali menyelamatkan wajahku sesaat karna dia meraih handphonenya dan melihat layarnya dengan mata melebar.

"Astaga, gw kena giliran tugas jam 1 hari ini, untung ada alarm, gw hampir aja lupa!"
Ali melesat pergi dari sampingku. Aku memandang punggungnya yang berlalu dengan sedikit menarik sudut bibirku, tersenyum kecil. Adam yang sedang patah hati itu telah berlalu.

Drrttt...drrtt...drrtt...
Getaran dan bunyi handphoneku diatas meja membuat aku meraihnya dan duduk ditepi tempat tidur.

Windy Calling

"Iya, Win?"

"Lo dimana? Lo gak masuk kenapa gak kasih kabar?"

"Sorry gw gak sempet kasih kabar!"

"Bos mencak - mencak nyari lo, gw gak bisa jawab kecuali bilang lo lg sakit!"

"Emang gw sakit...!"

"Sampai kapan lo ijin?"

"Sampai udah gak sakit.."

"Sakit apa sih lo...?"

"Engggg.....!"

"Sejak kapan lo tertutup sama gw?"

"Gw..."

"Byan lagi?"

"Gw sekarang gak tinggal disitu lagi"

"Baguslah, dari dulu gw suruh lo ngekos berdua sama gw, lo nya aja yg ngeyel, dimana lo sekarang...?"

"Prill...!"
Aku menoleh kearah Umi Salma yang berdiri didepan pintu.

"Win, sori tutup dulu ya tar gw telpon lo...."

Tanpa menunggu jawaban Windy aku menutup telpon dan menoleh kearah Umi.

"Makan siang, Yuk!"

"Iya, Mi.."
Aku menghampiri Umi dan menggandeng tangannya keluar kamar menuju ruang makan. Dimeja makan sudah ada Ali yang sepertinya sedang makan dan berdiri segera ketika kami baru sampai.

"Mi, Ali berangkat dulu ya!"

"Buru - buru banget Bang...?"

"Iya Mi, setengah jam lagi jam satu...!"

"Hati - hati ya Bang, setengah jam kurang pasti udah nyampe..!"

"Iya Mi berangkat dulu, Assalamualaikum!"
Ali mencium tangan Uminya dan sama sekali tak melirik kearahku. Sepertinya kalimatnya tadi hanya gombalan sesaat yang membuat melayang dan terhempas. Aku tersenyum getir. No Problem. Aku sudah biasa menerima kalimat yang manisnya hanya dibibir saja tapi tidak dari hati.

"Umi...!"

"Iya?

"Prilly masih boleh kerja kan ya?"
Aku menatap ragu pada Umi Salma.

"Kerja saja seperti biasa Pril, tapi sekarang sembuhin dulu dahinya, masih kelihatan memar, bukan lagi biru tapi udah keunguan, lututnya juga...!"

"Iya Umi...makasih ya Umi udah ijinin aku masih kerja!"
Umi Salma mengelus pipiku sambil mengangguk dan tersenyum.

"Yuk, habisin makanannya Pril!"
Umi menyuap nasinya sambil menyuruhku menghabiskan makanan yang ada didepanku. Keluarga yang tenang. Damai sekali melihat Umi. Kerinduanku pada keluargaku rasanya semakin semakin menyesakkan dadaku.

Mama dan Papa. Mereka sekarang pasti bahagia dengan keluarga barunya. Sejak aku kelas satu SMA mereka memutuskan berpisah dan meninggalkan aku sendiri pada om dan tante. Aku benar - benar merasa tak punya siapa - siapa dalam hidup. Sahabat meninggalkan ketika tau aku sudah tak bisa hidup senyaman dulu ketika masih ada papa dan mama. Aku yang salah menganggapnya sahabat. Sahabat takkan pergi kala susah, sahabat akan selalu ada saat susah maupun senang. Tapi itulah hidup, kita akan tau siapa saja teman kita kala kita susah. Punya sahabat pria juga begitu, saat punya kekasih, dia lebih memilih kekasihnya dibandingkan tetap dekat berbagi suka dan duka dengan kita. Bahkan punya kekasihpun aku tak bisa mempertahankannya.

"Sayang, happy new year ya, sekaligus happymonthsary kita yang ketiga juga...i love you!"
Rasya memelukku dengan hangat dengan membisikkan kata cintanya.
Dia melepaskan pelukan dan mencium keningku. Aku merasa seperti wanita paling beruntung yang dicintai pria sebaik dan setampan dia, apalagi dia anak seorang pejabat dikota ini.

"Apa kamu mencintaiku?"
Dia berbisik pelan dengan suara lembut yang menyapu wajahku.

"Tentu aku cinta sama kamu!"

"Bisakah kamu buktikan kamu cinta sama aku?"

"Dengan cara apa aku harus membuktikannya?"

Rasya tidak menjawab, tetapi menarik pinggangku merapat padanya, mencium bibirku lembut hingga rasanya aku terlena, tetapi keterlenaan ini dikejutkan dengan tangannya yang menggerayangi punggung dan dadaku dengan menyusupkan tangannya kebalik kaosku.

Oh Tuhan, haruskah dengan cara seperti ini aku membuktikan cintaku padanya?

"Ra...Rasya, ja...jangan kaya gini!"
Aku menarik tangannya yang sudah menyusup hampir menyentuh dadaku.

"Kenapa? Bukankah katanya kamu cinta sama aku?"

"Aku buktikan cintaku dengan cara lain Sya, aku rela berkorban apa saja tapi jangan yang kaya gini, suatu saat jika kita menikah pasti akan aku serahkan, maafin aku!"
Aku menangkup wajahnya tapi dia menurunkan tanganku dari wajahnya.

"Buatku itulah satu - satunya cara membuktikan cinta, kenapa kamu gak bisa? Kamu takut aku tak mau bertanggung jawab?"

"Bukan begitu...!"

"Pasti begitu...!"
Aku menunduk dalam.

"Keluar dari sini!!"
Aku terpana mendengar ucapannya. Aku diusir dari kamarnya? Ya, kami berada dikamarnya, yaitu sebuah ruangan yang dibangun tepat didepan rumah megahnya. Sementara diluar sana suara teman - temannya yang berkumpul dengan pasangannya masing - masing dimalam Tahun baru beradu dengan suara kembang api tanda tahun berganti.

"Kita putus!!"
Airmataku mengalir seketika mendengar ucapannya. Apakah hanya karna tidak bisa membuktikan cinta dengan caranya dia dengan gampang mengatakan putus?

"Rasya???"
Aku memanggil namanya dengan suara bergetar tapi dijawab dengan ayunan tangan keudara.

Aku keluar dari tempat itu, dengan pandangan curiga dan senyuman penuh arti dari teman - temannya karna setelahnya Rasya keluar dari kamar dengan rambut yang basah dan berganti pakaian lalu mengantarku pulang.

Saat itu aku baru kelas dua SMA dan Rasya sudah kuliah semester kedua disebuah kampus mengambil jurusan Hukum. Aku mengenalnya dari Lia teman sekelasku, Rasya berteman dengan pacarnya. Saat pertama kami bertemu kami double date, setelah itu urusanku dan Rasya hanya berdua saja. Hingga malam tahun baru, sebenarnya ada Lia dan Doni ikut bergabung dengan teman - teman Rasya lainnya, tapi dini hari itu aku tak sempat bicara apa - apa padanya.

Kurasa hidupku lebih kering dan gersang lagi daripada Ali. Tapi aku merasa sudah biasa hidup seperti ini.
Aku tak pernah memiliki orang yang mencintai dan menyayangiku sepenuh hatinya. Orang tuaku bercerai dan mereka meninggalkanku pada Om dan Tante yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku merasa hidupku kering dan hampa tanpa kata 'Love' yang menjadi kata menyejukkan bagi segenap manusia didunia. Sahabat meninggalkan, bahkan pacar yang katanya mencintaipun memutuskan untuk berpisah saat aku tak bisa membuktikan cinta dengan cara yang dikehendakinya. Semua meninggalkanku karna tak pernah tulus menyayangiku. Tapi dengan begitu aku menjadi kuat menghadapi hidup.

"Letakkanlah tanganmu diatas bahukuu...biar terbagi, beban itu dan tegar dirimu, didepan sana cahya kecil tuk memandu, tak hilang arah kita berjalan, menghadapinya....!"

Aku mengakhiri nyanyianku usah kau lara sendiri -nya Katon bagaskara dan Ruth Sahanaya yang aku nyanyikan dengan memetik gitar milik Ali yang kulihat teronggok di Sofa ruang tengah. Ya, aku bisa memetik gitar sejak masih duduk di kelas tiga SMP, diajarkan Papa saat Papa masih bersama-sama aku dan Mama.

"Lo bisa mainin gitar? Suara lo bagus, lo penyanyi?"
Aku dikagetkan suara Ali yang tiba - tiba sudah ada diruang tengah, saking menghayatinya main gitar dan bernyanyi aku tak menyadari Mbak Nana asisten rumah tangga dirumah Ali membukakan pintu buat Ali.

"Sori, gw lancang ya pinjam gak ijin dulu sama lo, tadi ada disini jadi aku mainin aja!"
Aku masih mendekap gitar Ali.

"Sini gitar gw, jangan lo kekep diketek gitu ntar bau asem!!"

"Enak aja!!"
Aku mencium ketiakku sendiri.

"Wangi kok!"
Aku memasang wajah masam kearahnya.

"Mana sini, dites wangi apa enggak?"
Ali menarik gitarnya sambil mendekatkan wajah kearah lenganku.

"E-eh, awas lo ya!!"
Aku memundurkan wajahku dengan mata melotot dan berwajah judes kurasa. Ali malah tertawa sambil meraih gitarnya. Tumben, ketemu siapa dia dirumah sakit sehingga wajahnya sedikit cerah walaupun kelihatan cape juga.

"Kuncinya gimana lagu itu, kayaknya untuk pasien cocok dinyanyikan sebagai penyemangat!"

"Iyalah lagu itu kan diciptakan waktu itu untuk orang yang tertular virus Hiv, tapi buat pasien penyakit apapun sebenarnya cocok kok...!"

"Ayo ajarin gw!!"

"Gw yang mainin dulu baru lo, sini!"
Aku mengambil gitarnya lagi.

Kunci Gitar Usah Kau Lara Sendiri
Katon Bagaskara & Ruth Sahanaya

Intro :Am G F Em Am G F Em
Am G F Em Dm C Bm E

Am G F C
Kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu
Dm Em F G Am
Tak terbiasa kudapati terdiam mendura
Am G F C
Apa gerangan bergemuruh di ruang benakmu
Dm Em F G Am
Sekilas galau mata ingin berbagi cerita

(*) 
Em F
Ku datang sahabat, bagi jiwa saat batin merintih
Em D E
Usah kau lara sendiri, masih ada asa tersisa

Rwff I:
Am G F C
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku
Dm G C F G E
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu... oh
Am G F C
Di depan sana cah'ya kecil tuk memandu
Dm G C F Dm E Am
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

Musik: Am G F F-G

Am G F C
Sekali sempat kau mengeluh, kuatkah bertahan?
Dm Em F G Am
Satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh

Kembali ke: (*), Reff I

Musik: Am C Am C
Am Bm C A D Am Bm B

Reff II:
Em D C G
Letakkanlah tanganmu di atas bahuku
Am D G C D B
Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu... oh
Em D C G
Di depan sana cah'ya kecil tuk memandu
Am D G C Am B Em
Tak hilang arah kita berjalan menghadapinya

Am D G C Am B Em
Tak hilang arah kita berjalan meng - hadapi - nya
D C Em Am-G B Em
Usah kau simpan lara sendiri...

Aku bernyanyi sambil menyebutkan kuncinya dan sesekali menatap Ali yang memandang kearah petikan gitarku dan menyelesaikan lagunya. Ketika aku mengangkat wajahku menatap Ali yang harusnya melihat kearah tanganku, aku terpaku tatapan matanya yang memandangku dengan tatapan menghipnotis kurasa.

"Kenapa?"

"Lo, Hawa yang hebat, Gw gak nyangka dibalik fisik lo yang kelihatan lemah, kecil pula ternyata tersembunyi kelebihan...!"

Damn. Aku dipuji sekaligus dijatuhkan.

"Lo kok ngomongnya main fisik sama gw??"

"Ya emang lo kecil mau gimana?"

"Jangan sombong lo karna ngerasa sempurna!!"
Aku jengkel sekali mendengar hinaannya. Aku berdiri dan melempar gitarnya ke Sofa.

"Eii, gitar gw jangan dilempar sembarangan!!"

"Bodo!"
Aku meninggalkannya yang tersungut memungut gitarnya. Ingin aku banting pintu kamarku. Tapi apa daya aku masih sadar aku ini berada dimana? Lama - lama kaum Adam yang satu itu semakin menjengkelkan kurasa. Pantas saja ditinggal oleh pacarnya. Ups!!!

#########

Ali Pov

Aku membuat Hawa itu kembali terlihat jengkel. Entah kenapa aku senang melihat wajahnya yang terlihat dongkol. Menggemaskan. Lagipula tadi siang sepertinya aku salah bicara.

"Dehidrasi itu terjadi karna kurangnya cairan, ada dehidrasi ringan, sedang, dan berat. Lo sekarang sedang dehidrasi dalam tahap apa? Kalau hanya ringan bisa minum banyak air putih, mau gw jadi air putihnya???"

Aku teringat kalimatku. Untung Alarm kerjaku berbunyi jadi bisa mengalihkan perhatianku dan perhatiannya. Kalimatku terkesan modus. Mulutku benar - benar tak bisa direm bila didekatnya. Aku tak mau dianggap pria labil. Baru putus cinta dan patah hati dalam waktu sehari semalam sudah bisa mengeluarkan kalimat modus seperti itu pada seorang Hawa yang kelihatannya polos.

Apa katanya? Dia juga pernah merasakan hal yang sama? Bagaimana cara dia move on? Apakah harus ada kaum Adam yang lain seperti dia sebagai penyejukku saat ini?

Aku tak tau hidupnya dimasa lalu, yang kulihat dimatanya hanya kelam dibalik binarnya. Tapi dia kelihatan tak lemah, walaupun bertubuh mungil tetapi itu bukan kekurangan. Karna banyak kelebihan dibalik itu. Aku hanya sedang menutupi jantungku yang berdebar saat ada didekatnya. Aku merasa tak pantas merasakan itu karna aku baru saja dikecewakan. Disakiti.

"Kenapa, bang??"
Umi mendekatiku yang masih terpaku menaruh daguku diujung gitar sambil menatap televisi didepanku.

"Gak papa, Umi!"

"Abang gak mau cerita sama Umi ya, Kenapa abang muntah dan tertidur dikamar Salwa disamping Prilly?"

Mataku melebar menatap Umi. Umi tau aku tertidur disamping Prilly? Apakah Prilly bercerita pada Umi?

"Subuh itu Umi berniat menengok Prilly, Umi kaget melihat Abang tidur disampingnya, sebenarnya awalnya Umi cemas, tapi setelah Umi perhatikan walaupun baju Prilly ganti tapi Abang masih berpakaian utuh, Umi periksa kamar mandi ada baju bekas muntahan, Umi memyimpulkan abang muntah dibaju Prilly, benarkah Abang minum? Abang setengah mabuk? Kenapa?"
Panjang kali lebar Umi menjelaskan kenapa bisa beliau tau aku berada disamping Prilly semalaman.

"Apakah ini ada hubungannya dengan Devia?"
Umi menatapku bertanya lembut.

"Devia dan Ello, Umi! Devia lebih memilih Ello, ini bukan berpaling biasa bagi Ali, syok mendengar mereka ternyata dekat ketika Ali sibuk, Ali tak sangka Ello yang sudah kita anggap bagian dari keluarga mampu menyakiti Ali!"
Aku menatap Umi dengan mata menyala. Entah kenapa jika diingatkan dengan kenyataan dua mahluk itu bersenang - senang dibelakangku aku rasanya begitu murka.

"Ini hanya masalah jodoh Bang, berarti Devia bukan jodohnya abang, beruntung abang mengetahui awal Devia bukan wanita yang setia, apa jadinya setelah dinikahi ternyata kejadiannya seperti ini?"
Umi mengusap bahuku. Tenang rasanya. Umi memang seorang Hawa yang menyejukkan bagiku. Umi benar.

"Rasanya luka, Umi'..! Ini bukan hanya soal cinta dan kesetiaan seorang kekasih tetapi juga sahabat!"

"Dia akan menyesal meninggalkan dokter ganteng seperti Abang, Abang sering bercermin? Lihat diri abang? Abang pantes diidolakan banyak kaum Hawa....!"
Kalimat penyejuk Umi mirip kalimat yang dikeluarkan Prilly. Bayangan mata berbinar seorang Hawa melintas.

"Prilly juga mengatakan hal yang sama, Umi!"

"Prilly??"
Umi melebarkan matanya.

"Hati kalian sedang sama - sama Dehidrasi sekarang, kekurangan cairan penyejuk, tapi abang lebih beruntung daripada dia, kenalilah dia, pasti abang akan banyak bersyukur jika tau apa yang sudah dialaminya!"
Aku terdiam. Apakah lebih tragis dari apa yang aku alami?

"Belum siap masuk terlalu jauh dalam masa lalu seorang Hawa lain, Umi!"
Aku menatap Umi menepis bahwa Hawa yang satu itu sudah sedikit memberi kesejukan dalam hati.

"Walaupun mahluk ini sebenarnya telah menyentuh hati Abang????"

###########

Semoga bisa dilanjutkan segera ya..

Terima Kasih apresiasi readers yang memberi vote dan komennya..

Ketjup love :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: