(duabelas)Dehidrasi Love

Prilly Pov

Aku benar - benar seperti kehilangan semangat hidupku. Terbayang senyum dan tawanya yang menawan. Terbayang seorang adam yang tadinya judes, jutek tak bersahabat tetapi dalam sekejab berubah sebaliknya menjadi orang yang paling perhatian yang pernah ada didalam hidupku.

Apakah adamku sedang ingat padaku seperti aku memgingatnya saat ini? Apakah dia sedang merindu seperti aku yang merindunya saat ini? Apakah justru sebaliknya dia sudah melupakan semua cerita tentang kami yang singkat.

Ali baik - baik aja, Prilly jangan kuatir

Sebuah sms dengan nomer tak dikenal memberikan secercah harapan padaku. Aku mencoba menelpon tetapi tidak bisa tersambung. Aku semakin penasaran walaupun sedikit terhibur dengan sms yang masuk.

Prilly jangan menelpon, Ini Umi, Umi smsnya diam - diam

Umi?
Aku semakin penasaran. Ada apa dengan Ali sebenarnya?

Apa yang terjadi, Umi?
Prilly mengirimkan smsnya.

Ali sedang mendapat masalah, Pril, tapi kamu jangan kuatir semua akan baik-baik saja.

Rasanya aku ingin memaksa Umi untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin menelpon tapi dilarang.

Akhirnya aku putuskan sekarang untuk melakukan perjalanan menemui sahabat hidupku.

"Kamu perlu ditemanin, Ly?
Mama berkata sebelum aku pergi dijemput travel.

" Gak papa aku sendirian Ma, kesian Ayra ditinggal lagi!"
Ayra adalah adik tiriku yang berumur dua tahun, kalau Mama menemaniku dia harus dititipkan ketempat neneknya, sedangkan sepertinya Ayra itu agak susah makannya, dia pilih pilih, tak suka ayam goreng, sukanya nasi yang digoreng dan telur mata sapi. Mama tiap hari membuat khusus untuknya sendiri, kalau yang lain tak mungkin makan itu itu lagi tiap hari.

"Hati - hati ya Ly, jangan lupa kabarin Mama selalu!"

Akhirnya disinilah aku, didalam mobil travel yang membawaku menuju pada Ali. Rasanya aku yang ingin membawa mobil dan menginjak gasnya agar dalam waktu kurang dari empat jam sudah sampai ketempat tujuan.

#########

Ali Pov

Menutup akses dari dunia luar termasuk dari Hawaku adalah siksaan terberat dalam hidupku. Aku tak bisa menggunakan alat komunikasiku sampai suasana kembali normal. Aku mendapat masalah dari seorang pasien yang menuduhku melakukan dugaan malpraktek pada anaknya hingga meninggal dunia.

"Li, bersabar ya, Nak!"
Umi mengusap bahuku. Hanya Umi yang bisa menemuiku sekarang dimana aku diasingkan dari dunia luar. Managemen rumah sakit yang memintaku begitu agar aku tak dikenali dan tidak merusak karir dokterku. Aku pikir bukan hanya soal karirku, tapi lebih kepada nama baik rumah sakit. Aku dipindahkan sementara dari rumah kesebuah rumah dinas milik rumah sakit tanpa sepengetahuan orang umum. Masalah malpraktek ini sudah sampai keluar tapi tidak membesar karna managemen rumah sakit langsung dengan segera menangani dan mengajak bicara keluarga pasien.

"Anak itu datang sudah dalam kondisi yang lemah Umi, yang bisa Ali lakukan hanya memberi oksigen dan menekan dadanya, kami sudah segera membawanya keruang ICU dan menyiapkan alat defibriator tapi anak itu sudah gak ada!"
Aku menatap Umi sendu. Mengingat kejadian sepuluh hari yang lalu, saat seorang ibu dengan panik membawa anak perempuan yang sudah melemah. Saat tiba di IGD kondisi anak itu sudah lunglai dengan wajah pucat, aku sudah memerintahkan memberi oksigen, dan ketika anak itu dibawa ke ICU dan dari monitor EKG jantungnya melemah aku sudah perintahkan menyiapkan alat difibriator atau alat kejut jantung. Sebelum siap aku sudah mencoba menekan dadanya memberi pertolongan pertama, tapi monitor EKG terlanjur menunjukkan garis lurus setelahnya.

Kronologis cerita dari kejadian dihari itu sudah berulang kali aku ulang ketika managemen mengintrogasi untuk melakukan konfrensi pers melalui kuasa hukum dan Humas sebagai juru bicara Farma Hospital. Pada Umi pun aku sudah menceritakannya berulang kali.

"Mereka hanya gak bisa nerima kenyataan kehilangan anak 5tahun yang sedang lucu dan menggemaskan, Li, semoga suatu saat mereka menyadari Anak adalah titipan jika yang khalik ingin mengambilnya kembali kita hanya harus bisa percaya itulah yang terbaik!"
Umi menatap Ali dan berkata dengan nada menenangkan.

Saat kejadian itu orang tuanya sama sekali tak ada tanda - tanda akan menggugat rumah sakit dan menuduh malpraktek, tapi setelah tiga hari kemudian barulah mereka datang lagi untuk menggugat. Entah apa yang terjadi setelah mereka membawa jenazah anak mereka pulang kerumah? Mereka bilang anak mereka sebelum sampai dirumah sakit tidak terlalu lemah hanya mengeluh pusing dan ketika ditangani kenapa justru melemah? Dan aku dinilai lambat memutuskan untuk menggunakan alat defribiator.
Benar - benar tak masuk akal gugatannya.

"Prilly, Li, sudah sekian hari kamu gak kabarin dia?!"
Umi mengingatkan aku pada Prilly yang pasti sekarang sedang cemas. Sudah sepuluh hari aku tanpa kabar.

"Menurut managemen rumah sakit jangan dulu Umi, mereka begitu takut kasus ini sampai beredar, kita gak bisa menghubungi siapa - siapa, lagipula Ali gak mau dia ikut kepikiran, Umi!"

"Sebelum tidak diaktifkan harusnya Abang kirimkan pesan dulu agar dia tidak cemas!"
Umi berkata sedikit menyesalkan tapi juga aku yakin Umi tau posisiku.

"Ali sudah gak bisa mikir lagi kemarin Umi, sebenarnya kalau dirumah sakit ada pasien meninggal itu sudah biasa, tapi kalau sampai karna kita yang lalai itu jadi berbeda kan Umi rasanya!"
Aku memang tidak mengaktifkan lagi handphone karna tiba-tiba saja selalu ada yang menelpon, baik wartawan maupun pihak keluarga yang merasa jadi korban. Sekarang hapenya justru lowbatt dan tak pernah dicharger.
Anehnya handphone Umipun jadi banyak yang tau, entah darimana orang - orang itu mendapatkannya.

Aku diinterogasi berhari - hari dengan pertanyaan yang sama dan itu menghabiskan waktu, pikiran dan tenagaku. Aku tak pernah ingin membuat Prilly cemas dengan hilang komunikasinya kami. Tapi ini harus kulakukan karna aku tak ingin dia ikut memikirkan dan ikut terbawa dalam masalahku walaupun aku tau aku membutuhkan senyumnya. Dan aku berharap Televisi juga tak terlalu menghebohkan berita ini, walaupun sejak kasus ini bergulir, beritanya sudah pernah ada ditelevisi dan media cetak, semoga saja Prilly tak menonton atau membaca beritanya.

"Yakin bukan karna kamu, Li, tapi karna sudah janji diri anak itu sampai waktunya diambil Allah kembali!"
Aku hanya menatap Umi
Ya, Umi benar. Setiap manusia punya janji, jika semua orang bisa percaya pada takdir dan percaya sebelum dilahirkan kita sudah yakin dengan tulisan takdir Allah sehingga mau dilahirkan kedunia, tentu takkan ada yang menyesali yang sudah terjadi. Tentu semua akan menjadi orang yang tabah dan tawakal menjalani hidup.

"Ali...!"
Aku menoleh kearah suara.

"Prilly?"
Aku lirih menyebut namanya ketika melihat sosoknya berdiri tak jauh dari tempatku duduk.

########

Author Pov

Prilly ingin menangis rasanya melihat keadaan Ali yang terlihat kacau. Tubuhnya kurus dn wajahnya menirus. Menurut Umi sudah seminggu setelah digugat orang tua dari pasien yang menuduh Ali melakukan dugaan malpraktek, Ali tak bisa makan dan tidur teratur. Rumah sakit dan pihak yang merasa dirinya korban menekan Ali.

Sesungguhnya Prilly ingin marah kenapa Ali sama sekali tak mengabari dan menceritakan hal sepenting ini padanya? Bahkan dia merasa sebenarnya tak berarti bagi Ali hingga tak diikutkan mendengar dan merasakan dukanya walaupun Umi bilang Ali tak ingin dirinya kepikiran dan ikut menanggung beban. Tetapi melihat keadaan Ali, Prilly mengurungkan niatnya untuk marah.
Prilly mendekat menatap orang yang sangat dirindukannya, orang yang sepuluh hari terakhir ini mengambil waktu tidurnya karna tiba - tiba dia menjadi insomnia dibuatnya.
Sekarang dia sudah tau dari Umi kasus yang menimpa Ali. Umi sebenarnya sudah berpesan jangan menekan Ali lagi karna mereka harus mendukung Ali bukan untuk membuatnya tambah terpuruk dengan menyalahkan sikapnya yang tak mau Prilly ikut terseret dalam masalahnya.

Tak ada kata yang terucap ketika Prilly mendekati Ali yang duduk diSofa dan mendekapnya erat memberi kekuatan padanya sambil masih tetap berdiri dan mengelus kepala adamnya yang tersandar pasrah didadanya.

"Kenapa tak menghubungi aku? Kamu gak percaya kekuatanku ini seperti kekuatan seribu orang?"
Prilly melepas pelukannya dan duduk disamping Ali. Menatap mata Ali yang kelihatan kelam, mata Prilly berkaca.

"Kenapa kesini, berbahaya, nanti kamu dikejar wartawan dan di teror orang!"
Ali terbayang wartawan yang berada disekitar rumahnya, rumahnya sekarang tak bisa diterobos dengan mudah, dan disana sekarang tak ada siapa - siapa kecuali Mbak Sumi, asisten rumah tangga dirumah Ali.

"Aku gak peduli wartawan, gak peduli diteror, aku hanya peduli padamu!"
Prilly menyentuh wajah Ali.

"Udah ya kamu gak usah mikirin gimana aku, aku gak papa, aku disini buat dukung kamu!"
Prilly mengusap bahu Ali yang menyandarkan tubuhnya ke Sofa sambil memegang kepalanya.

"Kamu udah makan? Ini aku bawain makanan sebelum sampai kesini tadi aku sengaja mampir, aku tau pasti kamu susah makan!"
Prilly meraih makanan yang tadi ditaruhnya diatas meja didekat mereka.

"Ayo, ini ayam goreng kesukaan kamu sayang, makan ya, tar kamu sakit, masa dokter sakit?!"
Prilly membujuk Ali yang sekarang menekan perutnya yang kempes.

"Dokternya sedang dehidrasi ya sekarang, apa mau aku infus dulu sebelum makan supaya nafsu?!"
Prilly mencoba tersenyum menggoda Ali. Ali jadi ikut tersenyum melirik Prilly dengan kepala masih menyandar di Sofa.

"Ini bahu aku kalau mau senderan!"
Prilly ikut memyender di Sofa dan menarik bahu Ali setelah itu menarik kepala Ali agar bersandar dibahunya.
Prilly menoleh pada Ali dan mencium dahi yang ada bekas kerutan karna terlalu banyak berpikir itu. Dia tau pasti Ali sangat lelah.

"Makan ya, aku suapin!"
Prilly melingkarkan tangan dibawah dagu Ali dan mengusap pipinya yang sekarang menirus.

Prilly membuka dus berisi nasi dan ayam goreng yang tadi dibelinya. Menyuapkan nasinya pada Ali dan menggigitkan ayamnya. Biarlah adamnya kelihatan seperti pria yang manja. Ali sendiripun bukannya menjadi pria yang lemah walaupun memang dia lelah, tapi bermanja pada Prilly membuatnya lebih tenang.

"Alinya tidur?"
Umi bicara dengan nada berbisik melihat Ali terpejam dipangkuan Prilly dengan lengan menutup wajahnya.

"Iya, Umi!"
Prily mengangguk ikut berbisik sambil mengelus dahi Ali yang berkeringat. Setelah menghabiskan makanannya berdua, Prilly menyuruh Ali tidur.

"Pril, kamu tadi kesini diikutin orang ya??"
Umi tiba - tiba berseru kaget mendengar suara ribut diluar rumah.
Umi dengan cepat menuju gorden dan mengintip dibaliknya. Mata Umi melebar ketika dilihatnya segerombolan seperti wartawan berdiri didepan pintu pagar dan berkasak kusuk disana membicarakan kemungkinan ada Ali disana.

"Banyak wartawan diluar!"
Umi berbisik dengan wajah tegang.

Prilly menatap Umi dan Ali yang membuka mata dipangkuannya bergantian dengan perasaan bersalah. Rasanya dia tadi tak diikuti siapa - siapa. Diapun turun dari mobil yang membawanya didepan komplek rumah dinas jauh dari rumah yang ditempati Ali sekarang.

"Maaf Umi, aku benar - benar gak nyangka!"
Prilly berkata tak enak dengan tatapan Umi dan Ali.

"Itulah sebabnya aku gak menghubungi kamu, situasi aku lagi kacau, aku gak ingin menambah persoalan baru yang akan membuat situasi ini menjadi sulit!"
Ali menyentuh kepala Prilly, sebenarnya tak menyalahkan tetapi ingin menenangkan hati mereka sekarang. Ali ingin semuanya cepat berlalu. Ali bangun dari pangkuan Prilly.

"Jadi sekarang gimana, Li? Apa kita siap - siap aja pergi dari sini....?!"
Prilly sedikit panik.

"Kesalahan apa lagi yang Dokter Ali lakukan sampai membuat wartawan bisa mencium keberadaannya disini??"

Suara seseorang yang datang dari pintu belakang membuat mereka kaget. Mata Ali dan Prilly melebar. Hanya Umi yang menatap orang itu dengan tatapan tak berarti.

"Kenapa dia ada disini?"

##############

Haiiii....
Maaf ya telat nih!
Makasih telah menunggu imajinasiku yang gak jelas ini dan memberi vote juga komennya yang menghibur...

Ketjup love,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: