Bab 20 -Ketemu Calon-

Kita akan berjalan saling beriringan sembari menggenggam tangan.



Bagas menyandarkan punggung pada bantalan kursi lalu melipat kedua tangan di depan dada. Netranya masih menatap tajam Christian. “Bicaralah. Selesaikan masalah kalian. Aku enggak mungkin meninggalkan Astrid. Sekarang, dia sudah resmi menjadi calon istriku,” ucap Bagas tegas dan penuh penekanan.

Christian membalas tatapan sinis dengan rahangnya yang mengeras. Ingin menghancurkan tatapan angkuh Bagas. Ia membenci sesuatu yang ada pada lelaki itu.

Astrid bergantian menatap Christian dan Bagas. “Mas Tian,” lirih Astrid.

Otot tegang di seluruh wajah Christian seketika mengendur. Ia menatap sendu wajah Astrid, dengan cepat menggenggam erat kedua tangan Astrid. Berharap Astrid mampu menanggapi keseriusannya untuk hidup berbahagia berdua saja.

Bagas menarik tangan Christian. “Katakan yang ingin disampaikan tanpa harus menyentuh.” Bagas benar-benar sudah menandai pasangannya. Melihat sikap Bagas, Astrid malah semakin cemas, ia segera meraih tangan Bagas dan lelaki itu balas menaruh tangannya yang lain di atas genggaman erat mereka. “Aku di sini, enggak akan meninggalkan kamu.”

Astrid mengangguk, seakan mendapatkan keberanian, ia kembali menatap Christian. “Mas, aku mengatakan hal ini, demi semua hal baik yang sudah terjadi di antara kita ...,” lanjut Astrid.

“Astrid, maafkan aku. Aku tahu kamu menerima Bagas hanya untuk membuat aku cemburu! Kembalilah padaku! Bila kamu memang ingin aku menjadi imam untukmu, akan aku lakukan! Astrid, aku akan menerima semua syarat yang kamu ajukan! Kembalilah padaku! Aku tahu kamu hanya mencintai aku!” mohon Christian.

Astrid menyeka bulir air mata yang meluncur dengan cepat. Semua ucapan Christian malam membuatnya semakin jijik pada lelaki itu. Hubungannya dengan Christian sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi.

“Jika saja malam itu, Bagas ... terlambat datang. Aku ... Mas Tian, kali ini kita benar-benar harus berhenti. Benar-benar enggak perlu bertemu lagi, aku memang belum tahu apa yang harus aku lakukan. Mengenai ruko, aku akan segera menyelesaikannya. Mungkin lelaki yang akan menemaniku hingga akhir bukanlah kamu, Mas.” Kini Astrid menatap Bagas, ia menggenggam erat tangan Bagas. “Kali ini, biar aku berikan kesempatan untuk Bagas, hanya untuk Bagas saja.”

Bagas melengkungkan senyum puas. Tidak ada yang lebih telak dari ucapan Astrid. “Ayo, kita pulang,” ajak Bagas.

Astrid mengangguk pelan, lantas mengikuti langkah kaki Bagas meninggalkan sesuatu yang memang seharusnya sudah lama ditinggalkan. Ia tidak pernah mengira akan mendapatkan penghinaan itu dari Christian. Bagaimanapun, ia sangat menghargai sifat serta sikap penyayang yang dulu diperlihatkan Christian. Namun, saat ini lelaki itu berubah menjadi seseorang yang tidak dikenali lagi. Akan sangat sulit baginya bisa memaafkan Christian.

Dari balik kaca pengemudi, Bagas memperhatikan dia yang menatap keluar jendela mobil sembari memutar-mutar cincin yang ada di jari manis. Bagas menerka-nerka apa yang sedang Astrid rasakan, termasuk alasan dia menerima lamarannya.

“Apa sudah lebih baik?” Astrid hanya sebentar menatap Bagas lalu kembali menatap jalanan melalui jendela mobil. “Aku lega, kamu sudah memutuskan hubungan kalian. Jadi, kamu bisa bercerita tentang ruko itu?” tambah Bagas.

“Bisakah kamu diam? Hubunganku dengan Christian lebih dari yang kamu pikirkan,” tegas Astrid. Kini Bagas terdiam dan Astrid menyesali ucapannya. Keheningan antar keduanya membuat perasaan Astrid makin memburuk dan ia tidak tahan terlalu lama diabaikan oleh lelaki itu. Walaupun enggan membicarakan tentang Christian, rasanya Bagas berhak sedikit tahu soal masa lalunya bersama Christian. “Kami memang pernah menjalin hubungan dan soal ruko itu, dia menyewakannya tanpa sepengetahuanku,” aku Astrid.

“Hari ini hubungan kalian benar-benar sudah berakhir. Sekarang, bolehkah aku masuk ke dalam hidupmu? Bukan untuk menggantikan Christian, tetapi memulai yang baru dan soal ruko, kita akan pikirkan nanti,” tambahnya.

Astrid menghela napas, kali ini ia merasa sudah melakukan hal yang  benar. Memutuskan tali silaturahmi adalah salah, tetapi untuk kasus yang menimpanya bersama Christian, mungkin ini yang terbaik.

Sekali lagi Astrid melirik Bagas, rasanya cukup membicarakan Christian dan ia baru saja mengingat sesuatu. “Bagas, malam itu, kenapa kamu kembali ke ruko? Sebelumnya kamu acuh dan malah pergi dengan Anindita, 'kan? Ada apa?”

“Ucapanmu membuatku sakit hati,” aku Bagas. Astrid berpikir dengan keras. Ucapan mana yang membuat Bagas sakit hati. “Ucapanmu tentang Winoto Grup,” tambahnya.

Seakan dihantam palu, hati Astrid mendadak nyeri. “Kamu marah sama aku karena gurauan minta kamu mendanai Taman Baca?” selidiknya, “apa yang kamu pikirkan tentang aku? Cewek materialistis dan sebagainya bukan?” tuduh Astrid. Bagas berdeham cukup kencang karena gugup melihat tanduk Astrid. “Jawab, Bagas!!” desak Astrid.

“Mirip seperti itu,” gumam Bagas.

“Astagfirullah! Ini sebabnya aku malas berhubungan dengan anak dari keluarga konglomerat! Menepilah!” titah Astrid.

“Kamu harus dengar aku dulu. Enggak seperti itu, Astrid,” sergah Bagas.

Just stop, Bagas!” sentak Astrid. Bagas masih diam. “Or i'll jump!” ancamnya sembari memegang handle pintu mobil. Bagas mempererat  genggaman pada kemudi lalu menepi sesuai keinginan Astrid. “Seharusnya aku enggak mengikuti semua kegilaan ini! Dengar, aku bukan seperti yang kamu pikirkan! Aku enggak akan memanfaatkan hal yang seperti itu!” pekik Astrid sembari menatap Bagas, ia tahu dia lelaki yang baik. Terlihat jelas kesungguhan dalam mata Bagas.

“Aku minta maaf, hanya saja, terkadang nama belakang ayahku selalu menyulitkan. Mereka enggak pernah tulus,” aku Bagas.

“Sudah sejauh mana kamu mengenalku, Bagas? Ah, enggak, sudah sejauh mana Mas Tian menceritakan tentang aku?” tanya Astrid.

“Astrid, aku minta maaf,”

“Sedari kecil, orang-orang sudah menatapku dengan rasa kasihan, aku benci tatapan itu. Walau kedua orangtuaku pergi saat aku masih kecil, tapi aku sudah cukup mengerti bahwa duniaku hancur.”

“Maaf, aku benar-benar minta maaf!” mohon Bagas.

“Aku selalu berjuang untuk mandiri, berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dan membalas semua yang baik padaku. Sudah cukup rasanya mendapatkan belas kasihan hanya karena aku tinggal di panti asuhan. Ibuku juga Bunda Yuli selalu mengatakan hal yang sama, yaitu jangan hidup dari belas kasihan. Bunda Yuli berjuang keras membiayai anak-anak yang pada dasarnya enggak punya ikatan darah. Dia bahkan enggak pernah anggap aku sebagai keponakan serta menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku mengerti, bagaimana caranya membalas kebaikan, Bagas.” Astrid memberanikan diri menatap Bagas melalui netranya yang berkaca-kaca.

“Aku enggak bermaksud seperti itu, Astrid, sungguh!” sesal Bagas.

“Bagas, aku tahu betapa sulitnya mendapatkan uang serta menghargai tetes kerja keras orang lain. Aku enggak mungkin memanfaatkan itu demi keuntungan pribadi. Itu prinsipku,” tambah Astrid.

Bagas menyusupkan tangannya di sela rambut Astrid. Mengusap pipi dengan ibu jarinya. “Aku mencintaimu, ya, aku sangat mencintaimu,” aku Bagas, “tolong, maafkan aku.”

Astrid mengerjapkan netra lalu menunduk, berusaha menyembunyikan rasa tangis, cemas dan takut kehilangan. “Bagas, semua orang yang mengatakan cinta padaku, yang menyayangiku. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkanku. Kali ini, bisakah aku meminta, meskipun nanti kamu sudah enggak menginginkan aku, sekali saja, aku mohon jangan pernah lepaskan aku?” lirih Astrid.

Bagas hanya mampu mengangguk serta mengukir janji yang sulit untuk  dilepaskan.

***

Pukul delapan malam Bagas sudah tiba di panti, meminta izin pada Yuli untuk membawa putrinya pergi serta berjanji pulang, sebelum pukul sepuluh.

Astrid tampak anggun dengan balutan gaun motif floral warna merah muda lembut, stiletto hitam menopang tubuh Astrid dengan sempurna, juga clutch emas yang digenggamnya. Jepit rambut bertatahkan mutiara menghiasi sela rambut Astrid.

Bagas tak henti-hentinya mencuri pandang. Mengagumi hal kecil yang dilakukan Astrid. Mulai dari mengatupkan bibir, memutar-mutar cincin di jemari, juga merapikan rambut halus di dahinya.

Honda hitam kesayangan Bagas melaju dalam kecepatan sedang. Bergerak menuju daerah Permata Hijau. Hati Astrid berdebar tidak menentu saat mobilnya memasuki areal perumahan. Ia langsung mencengkeram erat lengan Bagas.

“Kita makan malam di rumah orang tuaku, enggak apa-apa,  ‘kan?” tanya Bagas.

“Bagas, apa dandananku emggak berlebihan?” cemas Astrid.

Bagas menangkup pipi Astrid, mengusapnya dengan ibu jari. “Enggak, kamu cantik, selalu cantik,” pujinya. Astrid tersenyum, pipinya bersemu kemerahan.

Yang terlintas dalam benak Astrid ketika Bagas mengatakan akan makan malam di rumah orang tuanya adalah salah satu rumah minimal tiga lantai dengan desain semi Europe, dua pilar tinggi, halaman sangat luas juga beberapa jejer mobil mewah terparkir di garasi lengkap dengan gerbang besar yang otomatis terbuka saat ada mobil yang hendak masuk.

Namun, di sinilah ia sekarang berada. Honda hitam kesayangan Bagas memasuki sebuah rumah berlantai satu dengan sebuah kolam kecil di halamannya. Ada beberapa jejer tanaman pucuk merah yang terpangkas rapi di sekitar pagar rumah. Sungguh sederhana, jauh dari bayangan rumah seorang pengusaha sukses.

Ana menyambut kedatangan mereka. Bagas tanpa ragu menggenggam erat tangan  Astrid. Hal itu malah membuat Ana tampak malu lalu berlari ke dalam rumah.

“Ini adalah pertama kalinya aku ajak gadis ke rumah, kamu jangan kaget ya, kalau keluargaku bertanya hal aneh,” bisik Bagas.

Kecemasan Astrid sampai pada puncaknya ketika kedua orang tua Bagas muncul dari dalam rumah. Mereka menatap Astrid dari ujung kepala hingga kaki. Ini jauh lebih sulit dari yang ia pikir. Bagaimanapun, Astrid berusia lebih tua dari Bagas.

Senyum lega terpancar dari wajah Widyastuti. Ia berjalan menghampiri Astrid juga Bagas. Astrid dengan cepat mencium tangan kanan Widyastuti juga Hadi.

Bagas menggaruk-garuk kepala sembari terkekeh. Widyastuti memukul pelan lengan Bagas. “Kamu! Enggak bilang sama Ibu kalau mau ajak tamu, ayo, masuk,” ucapnya sembari mengapit tangan Astrid

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top