Bab 19 -Would you?

Aku bukanlah yang paling lama bersamamu, tetapi yang akan ada hingga akhir.



Setelah mengunci rolling door ruko, Astrid menyelempangkan tas di pundak kanan lalu memasuki Honda hitam Bagas, disapanya lelaki itu dengan senyuman. Bagas tampak lebih tampan dari biasanya, jas tanpa lengan warna abu tua yang dipadukan dengan kemeja putih, dasi hitam juga celana katun dengan warna yang sama dengan jasnya.

“Anak-anak dijemput sekretaris aku. Jadi, kamu enggak ada alasan buat tolak ajakan makan siangku,” Astrid memutar bola netranya pada lelaki yang sudah tersenyum puas. “Aku juga punya kejutan untukmu,” lanjutnya.

Astrid malas menanggapi pernyataan Bagas hingga memilih menurut saja sebab berdebat dengannya sama saja mencari mati, terlebih hatinya juga penasaran dengan kejutan dari lelaki itu.

Honda mereka menyusuri jalanan padat ibu kota, lalu berbelok menuju daerah Jakarta Selatan. Lurus di jalan panjang Pangeran Antasari, kembali belok menuju jalan H. Tolib lantas berhenti di salah satu restoran mewah.

“Ayo,” ajak Bagas sembari membuka seat belt lalu keluar dari mobil.

Astrid tertegun, menatap para pengunjung kafe dengan pakaian terbaik meteka. Ia menunduk, mendapati noda kecap di salah satu kerah kemeja flanelnya. Hatinya memaki Bagas berulang-ulang, seharusnya lelaki mengatakan kalau akan makan siang di tempat yang lain dari biasanya.

Bagas memutari Honda, mengancingkan satu kancing jasnya lalu membuka pintu—mempersilakan Astrid untuk turun layaknya seorang pelayan meminta permaisuri untuk turun dari kereta kencana.

“Bisa kita cari tempat lain? Pakaianku enggak ... pantas,” bisik Astrid. Bagas hanya tersenyum lalu tanpa aba-aba menarik tangan Astrid.

Sebuah bel berdenting ketika mereka memasuki restoran. Seorang pramusaji menghampiri mereka lantas Bagas memberikan sebuah kartu warna hitam dengan tulisan VIP emas di tengahnya lalu mengantarkan mereka ke lantai dua.

Bagas semakin gemas melihat Astrid gelisah sembari memilin-milin ujung kemeja.

Pramusaji itu menulis dengan teliti setiap pesanan yang diucapkan Bagas sedangkan Astrid memilih diam, daripada nantinya malu sendiri karena salah menyebut nama menu.

“Kamu cantik, pakai apa pun tetap bagus,” puji Bagas ketika sadar Astrid tampak makin gelisah.

“Gombal!” sergah Astrid.

“Sungguh, di mataku, kamu adalah yang paling cantik. Itu cukup, ‘kan?” goda Bagas.

Astrid sedikit tersenyum. “Aku ke toilet dulu,” bisik Astrid.

“Jangan berpikir untuk melarikan diri!” ancam Bagas.

Astrid mencebikkan bibir lalu pergi menuju toilet di ujung lorong.

***

Astrid sedikit memutar tubuh saat becermin. “Masa sih, cantik? Gombal.” Hari ini penampilannya begitu buruk; celana jin belel, kemeja merah bergaris cokelat bahan flanel serta rambutnya yang diikat seadanya. “Terserahlah!” umpatnya lalu keluar dari toilet.

Rasa percaya dirinya kembali runtuh ketika menatap Bagas tidak lagi sendirian. Kaki Astrid membeku, tangannya sudah sedingin es. Bahkan ketika akhirnya netra mereka kembali bertemu, seakan lebih baik Astrid mati saja.

“Astrid,” panggil Bagas sembari melambaikan tangan.

Astrid mengumpulkan tenaga untuk bisa tersenyum lalu berjalan menghampiri Bagas.
Rasa hangat menyebar di telapak tangan Astrid. Seketika ia menatap tangannya yang ternyata sudah erat-erat digenggam Bagas.

Ujung netra Bagas menunjuk kursi di sebelahnya. Astrid duduk sesuai permintaan, tangannya masih digenggam erat Bagas. Kalaupun Bagas melepaskan genggaman tangan, maka Astrid akan dengan cepat menggenggamnya kembali. Ia sungguh merasa takut.

“Biar aku urus masalahmu dengan caraku,” bisik Bagas.

Astrid coba tersenyum kemudian mengangguk pelan, matanya tanpa sadar tertuju pada gadis yang duduk di samping Christian. Wajah yang pernah diakui Christian sebagai kekasihnya, Grace.

Acara makan siang dimulai, Astrid terkesan hanya memutar-mutar potongan daging di atas piring.
Jadi, kejutan yang diberikan Bagas adalah Christian, apa tidak ada hal lain yang lebih baik? Ya, tentunya ia sangat berterima kasih pada Bagas karena akhirnya mempertemukannya dengan Christian, tetapi sungguh, Astrid belum mampu menatap wajah Christian.

Kali ini Astrid coba menegakkan kepala untuk menatap Grace lebih jelas. Dia lebih cantik, sepertinya darah British kental ada dalam Grace. Hidung bangir, wajah oval, kulit putih serta warna iris biru indahnya ... ah, entah mengapa Astrid merasa begitu jelek.

Sajian terakhir makan siang rasa fine dinner akhirnya datang. Astrid mengernyit ketika pramusaji meletakkan piring kecil di hadapannya. Bentuknya mirip potongan cokelat blok yang ditaburi gula bubuk lalu di sampingnya ada dua stroberi berlapis karamel.

“Coba, kamu pasti suka,” ujar Bagas yang mulai menyantap hidangannya.

Astrid mencoba tersenyum senatural mungkin lalu menuruti ucapan Bagas. Lelehan cokelat meluncur ketika sendok kecil memotong bagian dari cokelat blok yang ternyata adalah lava cake. Astrid memotong kue menjadi lebih kecil lalu menyantapnya. Netranya membulat saat rasa manis, legit juga sedikit pahit menyeruak di rongga mulut. Ini sungguh berbeda dan ya, ia menyukainya.

“Dari ekspresimu, aku rasa kamu menyukainya,” goda Bagas lalu menyodorkan piringnya. “Makanlah bagianku.”

Senyum Astrid akhirnya bisa terlepas tanpa satu kecanggungan. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku menyukainya?”

“Hatimu yang berbisik pada hatiku,” jawab Bagas sembari menggenggam erat tangan Astrid.
Christian berdeham kencang. Refleks Astrid menarik tangannya, tetapi Bagas bisa dengan baik mencengkeram lebih erat tangan Astrid.

“Duh, kalian sweet sekali. Aku kira gadis yang waktu itu menemanimu belanja,  pacarmu, Bagas,” celoteh Grace yang membuat Astrid menatap sinis Bagas.

“Anindita,” ucapnya yang dijawab kata 'oh' saja oleh Astrid.

Christian menyeka bibirnya dengan tisu. “Terima kasih atas undangan makan siangnya, aku harus segera kembali ke kantor,” tegasnya sembari melambaikan tangan pada pramusaji.

Tidak lama berselang pramusaji tersebut menghampiri meja sembari menyodorkan map hitam berisi bon. Bagas dengan sigap menarik amplop lalu mengeluarkan lembaran uang ratusan ribu dari dompetnya.

“Aku yang mengundang, enggak baik bila membiarkan kalian membayar,” tegasnya. Christian tersenyum kecut lalu mengangguk. “Sekali lagi terima kasih karena menerima undanganku. Sebenarnya, hari ini aku ingin kalian menjadi saksi penting karena Mas Tian adalah sahabat baik Astrid,” Christian dan Astrid tercekat mendengar ucapan Bagas. Sekali lagi Astrid mengumpat, kejutan apa lagi yang bisa lebih mengejutkan dari ini?

“Kalian bersahabat? Kenapa dari tadi diam saja?” selidik Grace sembari bergantian menatap Astrid juga Christian.

Bagas meraih dengan lembut tangan kanan Astrid lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil terbalut kain beludru warna biru tua. Jantung Astrid berdegup lebih cepat. “Butuh satu detik untukku mencintai juga ingin bersamamu selamanya. Bisakah aku meminta kamu untuk menjadi makmum yang akan aku imami setiap kita salat berjamaah? Bisakah aku meminta kamu untuk selalu berada di sampingku hingga akhirnya kembali pada Allah?” tanya Bagas sembari membuka kotak kecil itu, cincin emas dengan berlian kecil tersemat di tengahnya tampak begitu indah.

Christian tidak sanggup untuk berkata apa-apa. Seluruh tubuhnya ikut gemetaran. Bahkan dia tidak mampu untuk pergi dari tempatnya berada.
Astrid menatap Bagas lalu netranya beralih pada Christian. “Bagas, ini ....”

Bagas adalah lelaki yang baru beberapa bulan belakangan dikenalnya, bersifat lembut, urakan, keras kepala, tetapi mampu menjaga Astrid dengan caranya sendiri.

Sedangkan Christian adalah lelaki yang sudah menemaninya selama hampir empat belas tahun. Berakhir dengan kenyataan bahwa lelaki ini adalah seseorang yang bahkan tidak ia kenal lagi.

Menyandarkan hidup pada seseorang berarti memberikan semua suka duka juga pengabdian luar biasa yang akan dinikmati hingga ajal menjemput. Persis seperti yang ia lihat dari kedua orang tuanya pun orang tua barunya di panti.

“Aku tahu, kita baru beberapa bulan saling mengenal, tetapi aku rasa kamu setuju kalau ternyata kita saling mengenal lebih baik dibandingkan dengan yang sudah lama dikenal,” ucap Bagas dengan jantungnya yang berdebar kencang.

“Bagas, aku ... maksudku kita ....” Astrid kembali diam. Semuanya terasa aneh, ia kembali menatap Christian lalu mengangguk pelan.

Bagas tersenyum semringah lalu menyematkan cincin itu di jari manis Astrid. Tidak tahan untuk merengkuh gadis itu dalam pelukannya.

“Selamat, kalian sweet sekali! Sungguh!” seru Grace sembari menyeka air mata bahagia di kedua ujung netranya.

Christian menunduk sedalam yang ia bisa. Bibirnya terkatup seolah ada yang mengoleskan lem. Netranya menatap nanar kedua kakinya yang masih gemetaran.

“Aku jadi ikut terharu, mudah-mudahan kami bisa secepatnya menyusul,” seloroh Grace sembari menyenggol lengan Christian. “Duh, make up aku jadi berantakan gini, aku ke toilet dulu sebentar, ya?” Grace melenggang pergi.

Bagas menyunggingkan senyum, hatinya diliputi kegembiraan yang tidak terkira. Jadi, mari kita mulai acaranya! Pembalasan untuk si Berengsek!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top