Bab 18 -Pengakuan-
Aku akan melindungi kamu.
“Aku akan selalu ada hingga akhir, aku akan selalu bersamamu, aku berjanji!”
Janji itu diucapkan oleh dua lelaki berbeda. Salah satunya sudah ingkar serta menghancurkan semua yang masih tersisa, akankah harus jua mencoba menyimpan janji lelaki lainnya?
Kepalanya masih terasa berat juga berdenyut hebat saat Astrid bangkit dari tempat tidur. Ia meraba netra yang bengkak lalu meremas perut. Stres ditambah belum terisi apa pun merupakan paduan pas untuk memancing kembali penyakit mag. Suka atau tidak, ia lebih memilih mengisi perut dengan secuil nasi daripada harus tidur di ranjang rumah sakit.
Langkahnya ketika keluar dari kamar sempat teehenti karena mendengar alunan ayat suci dari arah belakang panti. Ditatapnya anak-anak termasuk Yuli yang sedang mendengarkan Bagas mengaji.
Dari balik jendela, pantulan sinar matahari senja menerpa wajah Bagas. Hati Astrid mendadak teduh
Bagas menutup Al-Qur'an ketika azan Magrib berkumandang. Sejenak ia memejamkan mata lalu menoleh dan tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Astrid.
Yuli mulai memerintahkan anak-anak untuk pergi berwudu dan tak lama mereka berbaris rapi di musala. Hati Bagas berdentum-dentum ketika menatap seseorang yang berdiri di baris belakang.
Selepas menunaikan kewajiban, Bagas memberanikan diri menghampiri Astrid. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Astrid tidak langsung menjawab. Ia belum mau membahas perkara tentang Christian. “Astrid?”
“Ah, iya,”
Bagas tersenyum kemudian melangkah keluar musala, menuntun Astrid untuk pergi ke bangku dekat ayunan halaman belakang panti.
“Kamu sudah lebih baik?” tanya Bagas saat Astrid sudah duduk di sampingnya. Astrid diam, tangannya tiba-tiba bergerak menyentuh pipi Bagas. “Ada apa?” tanya Bagas pelan kemudian meraih tangan Astrid, membiarkannya tetap berada di pipi.
Sesungguhnya Bagas tidak sabar untuk bertanya akan hubungan antara dia dengan Christian. Hingga akhirnya mereka berdua.
“Seharusnya, bila Tian memang tidak bisa melepaskanmu, maka jangan pernah lepaskan,” lanjut Bagas.
Astrid melepaskan tangkupan tangannya di pipi Bagas kemudian menunduk. Saat nama Christian disebut, hatinya kembali nyeri dan pembicaraan mereka kembali canggung.
“Bunda ... sudah mengatakan semuanya?” tebak Astrid.
“Aku enggak tahu, bagian yang diceritakan masih memiliki rahasia si Pemilik Kisah atau enggak. Kamu tetap ingin menyembunyikan masalah ini dari bunda, ‘kan?” sindir Bagas.
“Bagas, ini enggak semudah itu. Aku enggak mau menyakiti hati bunda, lalu soal ruko—”
“Takut menyakiti hati bunda atau Tian? Apa kamu pernah berpikir kalau perbuatannya enggak bisa ditoleransi lagi? Kamu selalu membahas ruko, ada apa?” lanjut Bagas.
“Ya, tentu saja aku sadar akan hal itu. Hubunganku dengan Tian, hubungan bunda dengan Tian ... Bagas, ada hal yang sulit untuk dijelaskan!”
“Termasuk ruko? Terserah kamu saja! Sebenarnya aku enggak mau ikut campur, tapi rasanya kali ini aku akan ikut campur. Bagaimanapun, dia yang memintaku secara enggak langsung untuk mendekatimu,” Astrid tercekat mendengar pengakuan Bagas.
Sejenak mereka kembali terdiam. Keduanya enggan untuk bertanya hal yang terlalu sensitif. Bila sudah melibatkan hati, maka setiap kalimat yang salah akan terasa menyiksa.
Astrid menatap langit, pendar bintang membuatnya tenang. Pernyataan Bagas seakan terngiang-ngiang di kepalanya. Jadi, selama ini lelaki itu mendekatinya karena Christian. Apa hanya alasan itu saja?
“Kalau kamu enggak mau cerita atau berkomentar apa pun lebih baik, aku pulang saja,” tutur Bagas sembari bangkit dan menepuk pelan celananya.
Astrid menarik tangan Bagas. “Tunggu,” pintanya ragu. Tanpa melepaskan tangannya dari lengan Bagas, ia bertanya, “kenapa kamu mau deketin? Apa kamu suka aku?”
Segaris senyum puas tercipta di bibir Bagas. “Aku kira kamu enggak akan pernah tanya. Awalnya, Tian mengatakan aku bisa mendapatkan gadis yang sesuai dengan tipeku,”
“Aku?”
Tawa Bagas lepas hingga terpingkal juga sedikit membungkuk. “Percaya diri amat, Mbak!”
Seketika Astrid menekuk wajahnya yang sudah merah. “Lupakan pembicaraan ini!”
Bagas memegang kedua tangan Astrid. “Itu sebabnya aku membuntuti kamu dan tentu saja, aku sudah mendapatkan gadis yang akan menjadi istriku kelak.” Astrid memalingkan wajah, tetapi dengan lembut Bagas menuntun ujung dagu Astrid dengan jarinya agar kembali menatap ke dalam netra. “Lupakan pertanyaan itu karena kamu sudah tahu jawabannya. Hanya saja, apa waktu itu kamu menciumku karena suka aku atau ingin membuat Tian cemburu saja?” cecarnya.
Astrid memutar bola netra. Sungguh, sebenarnya ia juga tidak tahu mengapa ciuman itu bisa terjadi dan sepertinya pilihan jawaban yang diberikan Bagas semuanya benar. Ya karena cemburu dan ya karena suka Bagas.
Bagas melepas dagu Astrid lalu menelusupkan tangan kanannya ke bawah telinga Astrid, diusap dengan lembut pipi Astrid dengan ibu jarinya. Jantung kedua insan itu berdegup kencang, sayap kupu-kupu menggelitik dengan sensasi menyenangkan. Malam itu, keduanya mengakui bahwa hati mereka mulai bertaut.
***
Pagi itu, setelah Bagas mengantarkan anak-anak ke sekolah dan Astrid ke ruko, ia kembali melanjutkan perannya sebagai seorang manajer pemasaran di perusahaan Winoto Grup.
Jean telah memberikan beberapa lembar amplop berisi dokumen untuk ditinjau ulang. Ada satu dokumen yang menarik perhatiannya, yaitu kolom harga beberapa ruko di sekitar jalan Kapitan, Pasar Agung.
Bagas terdiam menatap angka dalam kolom itu. Bila dugaannya benar, tentu sulit mencairkan uang dalam nominal begitu besar dalam waktu singkat. Astrid adalah gadis yang pintar, tidak akan menerima sesuatu tanpa pertimbangan dan Christian, dia tidak mungkin memberikan uang sebanyak itu tanpa maksud tertentu.
Ketukan pintu, membuyarkan lamunan Bagas. Jean masuk dengan sedikit cemas lalu mengatakan bahwa Direktur dari Jaya Konstruksi datang. Bagas menarik sedikit ujung bibirnya.
Akhirnya, dia menyerahkan diri, pikir Bagas.
***
Mereka sudah saling berhadapan. Pipi kanan Christian masih sedikit lebam. Mereka dulu berusaha berkawan baik. Namun, kini tatapan keduanya mirip seperti tentara yang siap berperang.
“Lepaskan dia!” Christian membuka pembicaraan langsung pada inti masalah.
Bagas memang lebih muda darinya, tetapi bukan berarti ia tidak bisa menjadi singa dominan. “Kamu cemburu? Padaku yang kamu jodohkan dengan Astrid? What a pity,” cibir Bagas. Rahang Christian mengeras, tangannya ikut terkepal kencang. Namun, Bagas sudah mengeluarkan taringnya dan tidak ada celah untuk mundur. “Kamu yang membuatnya begitu terluka. Soal ruko itu, apa yang telah kalian sepakati? Aku enggak terlibat dalam kemarahan Astrid juga sikap bodohmu,” cecar Bagas.
Seketika pandangan tajam Christian menghilang dan Bagas sudah mendapatkan poin kemenangan.
“Aku enggak bermaksud melukainya, soal ruko, itu bukan urusanmu!” sergah Christian.
“Aku memang enggak bisa memberikan uang itu dalam waktu singkat,” tambah Bagas.
“Kamu enggak bisa mencampuri urusan ruko! Astrid hanya mencintaiku! Aku mengenal dia selama hampir empat belas tahun! Kami berpacaran selama sembilan tahun dan—”
“Itu sudah berakhir. Kamu yang mengakhiri sekaligus menghancurkan hubungan empat belas tahun itu, bukan aku,” potong Bagas. Tanpa sadar Christian menggebrak meja dan bersiap menerkam Bagas. “Aku enggak mau membuat kita malu dengan berkelahi di sini. Kita selesaikan ini di luar, tetapi sebelumnya, lusa aku mengundangmu untuk makan siang di Royal Garden Cafe. Ajaklah Grace, aku akan mengajak Astrid, seenggaknya kamu punya alasan untuk bertemu dan meminta maaf padanya,” Christian kembali menunduk. Bagas berhasil menggigit leher lelaki itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top