Bab 17 -Merahasiakan Rahasia-
Kita akan bersama-sama menjalani masa sulit dan bahagia.
“Kamu harus melaporkan ini pada pihak yang berwajib!” tegas Bagas.
Astrid melepaskan seat belt tanpa menjawab. Kejadian yang baru saja dialaminya begitu membekas dan selamanya akan teringat.
Astrid tidak lagi bisa menahan tangis ketika memasuki panti. Yuli berlari menenangkan Astrid, tetapi tidak ada penjelasan yang bisa terlontar dari bibir Astrid.
Setibanya di kamar, Astrid menatap setiap sudut lalu menurunkan salah satu pigura yang sangat dibanggakan. Tanpa keraguan, ia melemparkannya hingga hancur berkeping-keping. Sorot netranya kembali menatap nanar sebuah kardus dari atas lemari, berurai air mata dengan penuh amarah ia mulai melemparkan semua benda yang dulu disimpan rapi. Batinnya menjerit-jerit, tidak pernah terpikir kejadian sekeji itu bisa menimpanya.
Bagas berlari menuju kamar Astrid setelah mendengar jeritan. Ditatapnya Yuli yang coba menenangkan Astrid. Bila sedetik saja ia datang terlambat, entah apa yang akan menimpa Astrid. Di tahap ini, ia hanya bisa berdiam. Tangannya terkepal. Christian harus mendapatkan hukuman!
Dalam diam air mata Astrid mengalir dengan deras, seakan semua hal indah juga tahun-tahun yang sulit dilepaskan, hancur dalam sekejap.
"Kamu kenapa, Astrid? Sebentar, Bunda ambil air dulu," tutur Yuli.
Bagas memberanikan diri untuk menghampiri Astrid. Sesekali ia masih mendengar suara isak yang tertahan. Bagas coba menekan ego. Penilaiannya terhadap gadis itu akan dipikirkan lagi nanti.
Perlahan, Bagas duduk di samping Astrid, tidak ada yang bisa ia sampaikan. Bagas takut salah bicara.
“Bagas, tolong, rahasiakan ini dari bunda,” lirih Astrid.
Bagas berharap kalau gendang telinganya robek, mungkin getaran frekuensi yang ditangkap kokleanya salah, tetapi Astrid mengulang lagi kata demi kata yang sama.
“Kamu enggak berusaha membenarkan perlakuan Christian, ‘kan?” sindir Bagas.
“Bagas, aku ... enggak segila itu! Hanya saja, empat belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal dia dan ruko. Aku—takut, semuanya ... ya Allah, apa yang akan terjadi padaku bila kamu terlambat datang?” tanyanya lagi sembari menangkupkan wajah dengan kedua tangan. Isak tangisnya kembali jelas terdengar.
Bagas diam, memang bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan Astrid. Sumpah demi apa pun, Christian harus mendapatkan ganjaran yang setimpal.
“Bagas ... aku takut,” aku Astrid.
Bagas menyentuh lembut pundak Astrid. Ia memang tidak tahu bagaimana caranya menenangkan kekalutan sesorang, tetapi tepukan lembut di punggung mungkin sedikit mengangkat beban. “Aku akan selalu ada hingga akhir, aku akan selalu bersamamu, aku berjanji.” Seketika Astrid menatap Bagas yang tersenyum, tanpa bisa dijelaskan tiba-tiba ia menghambur ke dada Bagas. Astrid menyandarkan semua keresahan.
***
Hari berganti, pukul enam tepat Bagas sudah tiba di depan panti, tetapi kali ini senyum Yuli yang menyambut Bagas.
“Astrid masih tidur, semalaman dia nangis terus, ada apa, Bagas?” tanya Yuli cemas.
Bagas diam, Janjinya dengan Astrid, permintaan konyol untuk merahasiakan hal ini. “Enggak ada apa-apa, Bun. Bagas berangkat dahulu,” jawabnya lalu membuka pintu Honda serta membantu anak-anak duduk dengan teratur juga nyaman di atas jok.
Biasanya Bagas akan mengambil jalan memutari beberapa perumahan, pertokoan besar juga putaran panjang sebelum tiba di jalan Hasyim Ashari. Namun, kali ini ia akan ambil jalan pintas tercepat menuju Sekolah Dasar Negeri 01 Jakarta Selatan.
Bagas menurunkan anak-anak lalu menatap mereka hingga tidak terlihat dari gerbang sekolah. Dengan cepat kembali ke mobil. Ditekannya nomor telepon Jean, tak butuh waktu lama untuk tersambung dengannya.
Jean mendengarkan setiap perintah dari Bagas, walaupun rasanya sedikit janggal ketika mendengar atasannya itu meminta untuk mengundang Direktur dari Jaya Konstruksi yang tidak lain adalah Christian termasuk mencari tahu harga ruko di sekitar jalan Kapitan.
“Hari ini aku harus cuti, tolong bantu untuk reschedule semuanya,” tambah Bagas sebelum mengakhiri pembicaraan.
Bagas memang belum tahu apa yang harus dibicarakan dengan Christian. Hanya saja ... pasti ada sesuatu di antara mereka. Terutama soal ruko.
Dalam waktu tiga puluh menit, Bagas sudah kembali ke panti. Yuli menyediakan secangkir teh hangat, juga beberapa potong pisang goreng. Namun, rasanya Bagas menolak untuk mengisi perut, bahkan hanya seteguk air.
Rasa penasarannya akan hubungan persahabatan dalam tanda kutip antara Astrid juga Christian kembali mengusik benak Bagas. Dengan hati-hati ia menanyakan perihal ini pada Yuli.
Sebelum menjelaskan semuanya, Yuli terlebih dulu menarik napas panjang.
“Mereka ... Bagas, Bunda enggak punya hak untuk cerita soal Tian dan Astrid.”
Bagas meraih tangan Yuli. “Maaf, Bun, apa mereka pernah punya hubungan lebih dari persahabatan?”
Yuli kembali terdiam kemudian mengangguk pelan, seketika Bagas melepaskan tangan Yuli, kali ini semuanya semakin lebih jelas.
“Bagas, Bunda khawatir. Bunda tahu Tuan adalah lelaki yang baik dan mereka pernah saling menyayangi. Bagas, tidak elok bila keduanya bersatu dengan mengorbankan keyakinan masing-masing.”
Bagas hanya bisa menimpali ucapan Yuli dengan seulas senyum. Ia memang tidak ingin ikut campur dalam urusan mereka, tetapi mengingat Christian sendiri yang memulai semuanya, mau tidak mau Bagas harus turun tangan.
Setelah meminta izin dari Yuli, Bagas memberanikan diri untuk memasuki kamar Astrid. Ditatapnya wajah yang masih terlelap. Perlahan ia menyeka bulir peluh yang membasahi kening Astrid.
Bagas berharap penilaiannya pada Astrid tidak salah. Gadis itu tidak mungkin mau di dekati karena mengincar harta dan lainnya.
Bagas meletakkan kantung plastik berisi parasetamol di nakas. Laci yang sedikit terbuka, membuatnya penasaran. Perlahan, ia membuka laci itu, jantungnya berdegup kencang ketika menatap pengait tutup kaleng tersimpan di sana.
Bagas menutup pelan laci itu lalu kembali menatap Astrid yang masih terpejam. Dibelainya pelan rambut-rambut halus yang menutupi kening.
“Ibu ....” Bagas tertegun mendengar rintihan Astrid, terlebih saat melihat bulir bening di sudut netra Astrid.
Penuh kehati-hatian Bagas menyeka air mata juga keringat di dahi Astrid. Ia menarik selimut, berharap Astrid bisa tidur lebih nyaman lalu beringsut dari tepian ranjang, berjalan mengamati deretan pigura yang tergantung di dinding. Netranya terpaku pada beberapa potret lama Astrid dan Christian. Mereka yang masih mengenakan seragam abu-abu.
Bagas sedikit menggigit bibir, meraih satu potret dimana Christian merangkul pundak Astrid. Keduanya tersenyum sangat bahagia. Ia tidak pernah mengira akan terjebak dalam drama Christian. Namun, sekarang ia akan memutar balikkan keadaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top