Bab 16 -Di Antara Takhta dan Cinta-

Kamu tidak bisa menolak rayuan cinta.



Ada banyak cara bagi orang tua dalam mendidik buah mereka. Di lingkungan keluarga Winoto, kesederhanaan dijunjung setinggi langit tanpa harus merendahkan posisi mereka. Bagi anak-anak Winoto, pergaulan mereka bukan hanya berada di kalangan konglomerat dan semacamnya, tidak heran bila tenggang rasa serta toleransi tumbuh subur di benak mereka.

Itu sebabnya Bagas memiliki banyak kolega yang berasal bukan hanya dari mereka yang memiliki saku tebal saja. Koneksi kuat Bagas, mencengkeram  berbagai lapisan. Ia disegani bukan karena dirinya calon presiden direktur, melainkan sifat juga sikap rendah hati.

Dalam urusan memilih pasangan hidup, tanpa harus diajari tentu saja mereka melihat contoh bagaimana mendapatkan cinta tanpa embel-embel harta juga nama besar. Ini menjadi pertimbangan Bagas untuk tidak menerima tawaran Roro terhadap Anindita dengan nama besar Laksmono.

Kejadian tadi menjatuhkan nilai yang selama ini diraih oleh Astrid. Bagas mengira sudah mendapatkan pelabuhan terakhir, tetapi kali ini ia mendadak bimbang. Apa selama ini kedekatan mereka hanya karena nama besar Winoto? Termasuk keuntungan yang didapat sebelah pihak karena nama itu.

Bagas memasuki rumah sambil mengucapkan salam dengan lesu. Belum sempat salam itu dijawab, Roro menarik tangan Bagas—memintanya duduk sebagai seorang pesakitan, ia harus menjelaskan mengenai Anindita yang mengatakan bahwa keponakannya itu telah memiliki kekasih dan kelegaan itu berhasil didapatkan Roro saat Bagas berkata, “Dia itu bukan pacarku,”

Setelah yakin Roro menadaptkan jawaban, Bagas segera pergi menuju kamar tanpa ada seseorang lagi yang bisa mencegahnya. Ia melonggarkan tali dasi kemudian duduk di tepian kasur. Kepalanya terkulai lesu dengan netra terpejam dan bulir air mata meluncur tanpa bisa dicegah. Berbagai alasan yang sulit dijabarkan seakan membelit erat hati Bagas.

“Bagas?” Bagas dengan cepat menyeka air mata. Widyastuti duduk di samping Bagas, diusap pelan punggung anaknya.

Bagas memberanikan diri untuk menatap wajah Widyastuti. “Bu, apa salah kalau aku ingin dikenal karena aku adalah aku, bukan nama besar ayah?” lirih Bagas menahan sesak.

Widyastuti mengernyit, khawatir dengan apa yang membebani putranya. “Bagas, sedari awal, Ibu juga ayah enggak pernah dan enggak akan pernah memaksa kamu untuk mengikuti jejak kami. Hanya saja, setelah kami enggak ada, pada kamulah kami titipkan harapan untuk meneruskan nama Winoto,” ucapan Widyastuti  membuat Bagas menunduk semakin dalam. “Kamu bersihkan dirimu, lalu kita makan malam, sebentar lagi Ayah pulang,” lanjut Widyastuti.

Bagas menatap bayang Widyastuti yang menjauh. Ia menilai Astrid sebagai seorang pekerja keras, cerdas, mandiri, baik, tetapi seseorang bisa saja berubah karena melihat gunungan emas. Hatinya mendadak tertutup untuk gadis itu.

***

Astrid menarik laci meja di kamar. Meraih kepingan penarik tutup kaleng yang dulu disematkan Bagas pada jari manisnya. “Bocah itu,” bisiknya sembari tersenyum.

Yuli memasuki kamar Astrid, wajahnya mendadak cemas lalu berkata, “Barusan Bagas telepon Bunda, katanya enggak bisa lagi jadi volunter di panti, tadi pagi juga Tian ke sini, cari kamu. Ada apa, Astrid?”

Astrid kehilangan suara, pertanyaan Yuli terdengar aneh. Bagas berhenti? Mengapa? Mengapa ia tidak mengatakannya langsung? Semuanya baik-baik saja, tidak ada masalah apa pun. Tadi sore, Bagas masih menjemputnya di ruko dan Christian, Astrid memang belum meluruskan beberapa hal padanya.

“Enggak ada apa-apa, Bun, sungguh!” tutur Astrid sembari meraih ponselnya. Berulangkali Bagas tmenghubungi Bagas. Hati Astrid mendadak disergap ketakutan.

***

Berulang kali Astrid coba menghubungi Bagas walau pada akhirnya harus menelan kekecewaan. Rasa penasarannya semakin menjadi karena beberapa hari belakangan Bagas juga tidak kunjung datang ke panti, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Sejujurnya, Astrid sendiri tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu! Tidak tahu siapa temannya? Di mana rumahnya? Tidak mungkin juga ia nekat pergi ke Winoto Grup, atau bertanya pada Christian.

Astrid kembali menatap ponsel. Pesannya untuk Bagas belum ada satu pun yang dibalas. “Ah! Terserahlah!!” pekiknya sembari menjejalkan ponselnya ke tas kemudian meneruskan langkahnya di sepanjang lorong-lorong pusat perbelanjaan.

Terpaksa Astrid yang harus mempersiapkan Taman Baca seorang diri. Entah kenapa bibirnya kembali melengkung saat ingat kalau tangannya pernah digenggam Bagas. Astrid cepat-cepat mengenyahkan kepingan ingatan itu.

Langkahnya terhenti saat dia—yang dinanti terlihat di depan toko buku. Astaga, dunia sempit sekali. Hatinya menuntut penjelasan, tetapi niatnya kandas karena mendapati Bagas tidak sendirian. Senyuman yang biasa ditujukan untuknya kini beralih pemilik. Bagas tampak tidak keberatan saat lengannya dirangkul dan pundaknya ditempeli kepala gadis itu.

Astrid hendak pergi, tetapi untuk apa ia merasa kesal? Toh memang Bagas bukan siapa-siapa.
Penuh percaya diri Astrid kembali melangkah dan dengan mantap memalingkan wajah seolah tidak mengenali Bagas ketika mata mereka bertemu dan pada akhirnya Astrid semakin kecewa karena Bagas juga memperlakukan dirinya bagai orang asing.

Beberapa buku bergambar, peralatan mewarnai, juga buku tulis memenuhi kantong-kantong belanja yang berayun-ayun di lengan Astrid. Hatinya masih memaki Bagas yang sudah mengacuhkannya kemudian melambaikan tangan pada taksi yang melintas.

Sepanjang perjalanan jantungnya berdentum tak karuan. Sesekali ia menyeka air mata yang tiba-tiba menggenang, tanpa tahu mengapa harus merasa sesakit ini ketika lelaki itu acuh padanya. Apa masalah Bagas? Apa dia sudah menyerah dan menerima perjodohan itu?

Astrid menyerahkan selembar uang seratus ribuan lalu turun dari taksi, langkahnya kembali terhenti karena seseorang yang sudah menunggu di depan pintu ruko yang tertutup.

***

Astrid menggeser cangkir berisi kopi panas. “Tumben kamu mau temui aku, Mas? Maaf, merepotkan. Rencananya mau ke rumah kamu untuk membicarakan masalah ruko,” ujar Astrid setelah beberapa lama mereka hanya berdiam saling menatap.

Christian menyesap kopi itu. “Terakhir kita bertemu, kamu tinggalkan aku begitu saja. Masalah yang ingin aku bicarakan bukan tentang ruko. Kamu bisa memikirkan hal itu setelah kembali dari London.”

Astrid memutar bola netra, sungguh hari ini sudah buruk untuk bisa menjadi lebih buruk lagi. “Enggak bisa, Mas! Aku akan mengusahakan uangnya, aku harap kamu mau sabar dulu,” timpalnya.

“Bagaimana dengan Bagas?” Astrid terdiam, pembicaraan tentang Bagas membuat perutnya seakan diremas-remas. “Berikan lagi hatimu padaku, Astrid,”

“Kamu ngaco! Kamu udah punya jalan sendiri, ‘kan?” seru Astrid kemudian bangkit serta menyusun buku-buku yang tadi dibelinya dalam rak.

“Bagaimana?” tanya Christian.

“Apanya? Enggak usah aneh-aneh, Mas! Sudahlah, aku harus fokus dengan semua urusan ruko sebelum pergi ke London!”

Christian berjalan mendekati Astrid, diraihnya beberapa buku yang masih tergeletak di lantai lalu dimasukkan ke rak. “Soal kuliah di London, kamu serius? Astrid, jangan pergi, tetaplah di sini,” pinta Christian.

Lagi-lagi, Astrid enggan menanggapi ucapan Christian. Semua proses hampir rampung. Tinggal menunggu visa selesai juga tes kesehatan. Ia melangkahkan kaki menuju beberapa pensil warna yang berserakan di karpet, kini Christian pun ikut berjongkok di samping Astrid. “Kamu sudah enggak mencintai aku lagi?”

Mau tidak mau, Astrid membalas tatapan Christian. “Kamu mabuk, Mas? Ada apa? Kenapa sekarang seolah-olah kamu pertahankan aku setelah kamu sok-sokan deketin aku sama Bagas? Kenapa harus Bagas? Apa karena dia adalah seseorang yang bisa menjamin keuanganku? Atau apa? Lalu soal pacarmu? Bagaimana dengan dia? Bisa-bisanya kamu minta kembali tanpa mikirin dia!” cecar Astrid..

“Jangan jawab pertanyaanku dengan pertanyaan! Katakanlah, apa kamu masih mencintai aku?”  desak Christian.

Baru kali ini rasanya Astrid mampu menghunjam Christian dengan tatapan benci bercampur muak. Ia malas berdebat dengan lelaki itu hingga memilih bangkit, lalu meletakkan pensil dalam kotak di salah satu meja. “Bisakah kamu berjalan di jalanmu dan aku di jalanku?” cetus Astrid, “sesuai perjanjian kita dahulu,” tambahnya.

Rahang Christian mengeras, dengan cepat ia mendorong tubuh Astrid hingga berdebum menempel ke dinding gipsum. Bibir Astrid gemetar karena sorot netra Christian berubah menjadi seseorang yang tidak pernah ia kenal. “Kamu mencium dia hanya untuk membuatku cemburu, ‘kan?” sentak Christian.

Astrid melirik kedua tangannya yang di genggam erat oleh Christian, ia tidak bisa banyak bergerak ketika tubuh Christian sudah menempel padanya. “Mas! Lepas!!” jerit Astrid.

“Aku enggak akan melepaskan kamu lagi! Kamu tahu betapa aku menginginkan kamu!” pekik Christian. Pupil netra Astrid melebar. Sungguh Astrid tidak tahu siapa yang saat ini ada di hadapannya.

Bibir Christian membelai pipi Astrid, seakan telinganya tidak memedulikan jeritan Astrid, mengabaikan bulir-bulir air mata Astrid saat iblis meminta Christian merobek pakaian gadis itu. Tanpa perlawanan yang berarti Christian menghempaskan  tubuh gemetar Astrid ke lantai. Kali ini ia akan menjadikan gadis itu miliknya! Seutuhnya miliknya!

“Kamu adalah milikku!” tegas Christian.

Astrid mencoba bangkit, tetapi tenaga lelaki itu tidak akan pernah bisa ditandingi. Hatinya hancur, rasa yang pernah terjalin lebur saat bibir lelaki itu menuruni belahan dada hingga perutnya. Jerit tangisnya tidak bisa memancing iba juga belas kasih.

Astrid menatap seluruh ruangan matanya mencari cela untuk melarikan diri sembari mendorong tubuh Christian yang semakin menempel di tubuhnya.

“Ja-jangan, Mas! Jangan!” jeritnya sembari memejamkan mata erat-erat kala Christian menarik sisa kain yang menutupi tubuh Astrid.

Tubuh Christian yang menindih Astrid tiba-tiba saja terangkat. Satu pukulan dari Bagas mampu membuat Christian tersungkur.

“Bajingan!!” jeritan dari suara yang Astrid kenali membuatnya berani membuka mata. “Pergi atau aku akan panggil polisi!” ancam Bagas.

Christian menyeka darah dari ujung bibir. Sekali lagi ia menatap Astrid yang terisak lalu pergi seperti seorang pecundang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top