Bab 15. -Penjelasan Berakhir Pernyataan-
Mencintailah karena aku adalah aku.
Bagas dan Astrid sama-sama menghunjam Anindita dengan tatapan nyalang. Mendadak rasa itu meremas perut Astrid, merasa sudah dipermainkan dengan sempurna oleh si Bocah Konyol itu!
Astrid menarik tangan Bagas, ditaruhnya buku yang berada di genggaman pada telapak tangan Bagas lalu pergi tanpa memedulikan teriakan Bagas.
Langkahnya berderap seirama dengan dentum jantung yang makin cepat. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, tetapi sosok Bagas tidak juga kunjung terlihat. Entah mengapa Astrid perlu berdiam sejenak untuk menertawakan dirinya sendiri lalu dengan tergesa kembali ke toko buku.
Di sana ia melihat mereka yang sedang beradu argumen. Astrid merasa wajib untuk mendekati Bagas sampai seketika ada yang menarik tangannya. Orang itu tersenyum kecut lalu bertanya, “Kenapa marah?”
“Mas Tian?”
Ada binar benci dalam sorot netra Christian. Hal yang selama ini tidak pernah Astrid lihat dari sosok yang amat dicintai.
“Ayo, pulang!” Christian mempererat genggamannya.
Astrid berusaha menepis tangan Christian. Ia perlu meluruskan beberapa hal dengan Bagas. “Mas! Lepasin! Sakit!” protesnya.
“Enggak! Kamu pulang sama aku!” sentak Christian tidak mau kalah. Niatnya merelakan gadis itu untuk memilih jalan bersama lelaki lain luruh. Hasrat ingin memilikinya kembali kuat saat melihat pandangan gadis itu mulai berubah.
Cukup cepat bagi mereka menjadi pusat perhatian. Para pengunjung toko buku termasuk Bagas mendekati sumber kegaduhan dengan rasa penasaran.
Anindita menahan jerit hati ketika Bagas menarik paksa tangan gadis yang digenggam oleh sosok lelaki rambut cepak. Ia memberanikan diri untuk berada di belakang Bagas. Hatinya mulai bertanya mengapa Bagas mempertahankan gadis itu layaknya seorang singa mencengkeram buruan.
“Dia akan tetap bersamaku!” tegas Bagas.
Hati Christian seakan lebur ketika Astrid menepis tangan gadis yang sedikit menarik kaos Bagas. Batinnya menggumam, ya, ia memang bodoh.
“Kita perlu bicara!” Bagi Astrid, kali ini ucapan juga tatapan Bagas terasa begitu tegas.
“Mas, mereka siapa?” tanya Anindita dengan takut.
Bagas melirik Anindita akhirnya memutuskan tidak mau libatkan gadis itu lagi dalam hidupnya. “Dia pacar aku!” tegas Bahas sembari menunjuk Astrid.
Lagi-lagi Christian harus menelan pil pahit ketika belahan jiwanya melengkungkan senyum puas juga jemari lentiknya merambat di lengan Bagas. Dinding kaca di belakangnya membuat tubuh Christian tetap bisa berdiri tegak.
Tangan Bagas dan Astrid terjalin menjadi satu genggaman. Mereka melenggang pergi meninggalkan dua insan yang terluka. Hati yang menjerit, tetapi tidak cukup kuat untuk berkata.
***
Di antara para burung yang bercinta, tampak mereka sedang melebarkan sayap asmara dengan kepak paling kuat. Walau bibir terkunci, tetapi hati mereka terus berbicara. Sesaat percikan itu mulai menyulut hati yang sudah tersiram bensin.
“Lain kali jangan langsung pergi seperti tadi,” keluh Bagas.
Akal sehat Astrid kembali, ditepisnya tangan Bagas. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mengartikan debar jantung karena menatap sosok Bagas. Bagaimana bisa ia menyongsong lengan pemuda itu tanpa merasa risi juga bersalah di hadapan Christian. Ah, ya, Christian, lelaki yang masih ia cintai, benarkah?
“Kalau cemberut kaya gitu, kamu makin cantik,” rayu Bagas.
Senyum itu baru menemani selama hampir dua bulan, waktu yang tidak mungkin menggantikan rasa yang terjaga selama bertahun-tahun. Astrid genggam erat tangannya sendiri. Memalingkan wajah dari senyuman itu karena mengingat gadis yang mengaku sebagai tunangan si Pemilik Senyum.
“Cih! Urus saja tunanganmu sana! Mana tunanganmu?” pekik Astrid.
“Kamu cemburu?”
“CEMBURU?” jerit Astrid.
Bagas tertawa. “Tunggu di sini, jangan ke mana-mana! Aku beli minum dulu,” pintanya lalu berlari pergi.
“Cemburu? Sudah gila apa? Sinting! Mana mungkin aku cemburu!” seru Astrid. Berkali-kali ia menolak apa yang sedang bergejolak dalam hati. Berharap bisa mengingkari degupan organ dalam dada atau sayap kupu-kupu yang menggelitik perut. Rasa aneh saat pemuda itu mendekat sembari mengguratkan senyum.
“Nih,” Astrid meraih kaleng minuman itu. Rasanya Bagas ingin sekali mencubit pipi Astrid yang tampak menggelembung karena menahan emosi. “Gadis yang tadi namanya Anindita, dia adalah gadis yang dijodohkan oleh salah satu keluargaku,” ungkap Bagas.
Rasa amis—asin menyeruak di rongga mulut ketika tanpa sengaja Astrid menggigit bibir. Ia menanti kalimat selanjutnya dari Bagas. Napasnya putus-putus saat bibir itu bergerak.
“Sudah, hanya itu saja. Sungguh,” tutur Bagas, “dia bukan tunanganku. Aku akan segera meluruskan masalahku dengan dia,” lanjutnya sembari menarik kait penarik tutup kaleng lalu meneguk air soda dingin yang menyegarkan.
Astrid berdeham juga menghela napas, khawatir kalau Bagas menganggap ia setuju akan ikrar diri sebagai kekasih hati. “Kenapa kamu menjelaskan ini padaku? Ini enggak penting dan aku enggak peduli!” ujar Astrid menggebu-gebu.
Bagas menatap Astrid lalu menaikkan ujung bibirnya. “Serius?” tanyanya.
Sejenak Astrid terdiam. Menurut Bagas, sikap gadis itu sangat menggemaskan sekali. Diraihnya tangan kanan Astrid lalu memasukkan jari manis Astrid ke dalam lubang yang ada di penarik tutup kaleng.
Bagas mendekatkan wajahnya pada wajah Astrid lalu berbisik, “Sekarang, katakanlah siapa tunanganku?”
Astrid tertegun, wajahnya bersemu kemerahan. Tangan Bagas merambati jemari Astrid yang sudah dilingkari pengait tutup kaleng dan anehnya ia juga membiarkan hal itu dilakukan Bagas.
***
Sembari menggigit-gigit bibir, Astrid menatap lekat-lekat jari manis kemudian mencopot pengait itu serta menaruhnya ke laci. Sekali lagi ia tersenyum semringah, hatinya seakan ingin melompat kegirangan.
Sekarang pandangannya terpaku pada beberapa lembar kertas di meja. Kolom-kolom yang tercetak di kertas itu harus segera diisi. Bila semuanya sesuai dengan rencana, maka sebelum akhir tahun ia sudah bisa melanjutkan kuliah di London.
Impian terbesarnya sudah ada di hadapan mata, menanti sekian lama untuk bisa pergi menjauh dan melupakan Christian. Hanya saja, sekarang merasa ada sesuatu yang kembali mengusik keputusannya.
Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Perasaan bimbang, takut yang terbalut rasa ambisi untuk merengkuh impian. Pergi menuntut ilmu di London merupakan satu keharusan yang ditanam sejak lama dalam benak Astrid. Salah satu cara terbaik melarikan diri dari Christian.
Setelah bertahun menjadi bayang Christian, kini pintu menuju lembaran baru terbuka lebar. Hanya saja, entah mengapa ada bayang baru yang menutupi. Sekarang, apa yang harus ia lakukan sebelum pergi ke London? Apa harus pergi ke sana?
Astrid meraih lembaran kertas itu. Semua sudah dipersiapkan dari setahun lalu. Proses panjang nan melelahkan. Proses seleksi, termasuk wawancara di kedutaan Inggris. Semua dapat dilewati. Pilihan untuk melepaskan pekerjaan yang cukup potensial pun direlakan Astrid. Hanya tinggal selangkah lagi.
Namun, wajah Bagas yang sekali lagi datang membuatnya harus memasukkan kertas-kertas itu ke dalam map transparan. Ia menghela napasnya yang terasa berat. Bagas belum tahu soal ini.
“Lagi pula, kenapa aku harus menjelaskan semuanya pada Bagas?” tanyanya pada diri sendiri, “ah, terserahlah!” lanjutnya sembari menghempaskan tubuhnya ke pembaringan.
Matanya terpaku menatap langit-langit kamar. Ia kembali tersenyum saat bayang wajah Bagas ada di hadapannya. Tidak menyadari bahwa hatinya sudah beralih pemilik. Bagas berhasil membuat Astrid membuka hatinya.
***
“Yang ini saja, Jeng. Modelnya klasik, jumlahnya juga terbatas. Ini yang sering dicari kolektor. Saya kasih murah, Jeng, beneran, deh,” rayu salah satu wanita yang duduk berhadapan dengan Roro.
Roro meraih tas tangan Chanel di meja. Seminggu yang lalu ia baru saja membeli berlian, tidak yakin bila suaminya akan mengizinkan.
“Bagus buat investasi, suami pasti kasih izin,” tambahnya lagi.
Roro tersenyum, meletakkan kembali tas itu lalu mengisapi wajahnya. “Duh, suami saya sih, pasti kasih izin aja. Cuma, enggak enak, 'kan? Duh, padahal bagus sekali tasnya,” tutur Roro.
“Ambil aja, Jeng, anggap saja hadiah dari saya,” Wanita berjilbab biru itu menaruh tas itu di pangkuan Roro. “Alhamdulillah, Dita kayaknya senang sekali, waktu itu bisa jalan sama Bagas,” tambahnya.
Roro sedikit membusungkan dada ketika semua mulai membicarakan betapa serasinya pasangan Bagas dan Anindita. Hingga tiba-tiba saja Anindita menerobos pintu, menangis tersedu-sedu sembari memeluk wanita berjilbab biru.
Dadanya naik turun. Roro menahan diri. Wajahnya sudah semerah tomat ketika Anindita selesai bercerita. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan. Tatapan nyalang ibunda Anindita terpaksa ditelannya bulat-bulat. Hari ini, tas itu belum bisa dimiliki.
***
Astrid membasahi lap lalu menyeka permukaan kaca yang berdebu, sedikit mundur lalu mengamati setiap bagian jendela. Ia harus segera bertemu dengan Christian, menyelesaikan masalah ruko termasuk membicarakan hal lainnya.
Honda hitam baru saja memasuki areal parkir ruko. Dari jendela lantai dua Astrid menatap si Empunya mobil kemudian membuka daun jendela. “Bagas!” panggilnya. Bagas mendongak, membalas senyuman lalu memperlihatkan plastik berlogo toko buku merah. Astrid tergopoh-gopoh menuruni anak tangga. Menyambut dia di lantai satu.
“Kamu nunggu aku?” tanya Bagas yang di jawab anggukan kepala.
Astrid menarik kursi plastik di sampingnya, membiarkan Bagas duduk lalu tersenyum lebar. Dengan penuh semangat mulailah ia mencetuskan ide brilian pada Bagas.
“Bagas, dengar ide aku, rencananya lantai satu tetap aku gunakan untuk berjualan. Nanti di lantai dua buat gudang, baru di lantai tiga bisa dipakai untuk perpustakaan juga dapur kecil, gitu, bagaimana?” tanya Astrid bersemangat.
Bagas mengangguk-angguk mendengarkan. Tidak ada yang salah, juga semua perencanaan itu terdengar sempurna. “Lalu, untuk biaya sewa bulanan bagaimana? Biasanya bisnis akan terasa sulit di bulan-bulan awal. Kalau semua modal dihabiskan untuk membangun Taman Baca, kamu pasti bakal kesulitan di setiap akhir bulan, belum lagi biaya operasional ruko, seperti air, listrik, keamanan,” lanjut Bagas.
“Aku akan memikirkan itu, nanti,” jawab Astrid.
“Toko sembako di depan panti untuk membiayai anak-anak sekolah sebelum mereka mendapatkan orang tua asuh, kamu juga belum bekerja lagi, ‘kan? Lalu apa rencanamu?” cecar Bagas.
“Kamu hanya perlu mendukungku dengan semangat,” debat Astrid.
Bagas menautkan kedua alisnya. “Ide ini terdengar hebat, tetapi tanpa ada rencana untuk jangka panjang, itu terdengar seperti buang-buang uang saja, 'kan?” Ia menatap ke sekeliling ruangan kosong ruko.
“Lalu, bagaimana menurutmu?”
“Kamu harus memikirkan hal kecil, Astrid,”
“Baiklah, Tuan Sok Pintar. Lagian, Winoto Grup adalah perusahaan properti terbesar di Indonesia. Pasti mudah untukmu menyelipkan nama Taman Baca, melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Itu perusahaan milik kamu, ‘kan? Pasti bisa sedikit membantu, ‘kan?” Senyum Bagas hilang dari wajahnya. Tangannya gemetar. Ia tidak pernah membicarakan hal ini pada Astrid, pun perihal Winoto Grup.
“Kamu tahu soal perusahaanku dari mana?” tanya Bagas pelan.
“Ada apa? Tentu saja Mas Tian sudah cerita semua tentangmu,” jawabnya. Bagas tertegun. Tentu saja, Christian sudah menceritakan semua tentangnya pada Astrid. “Memangnya ada apa? Bagas?” Astrid mengguncang-guncangkan pundak Bagas.
Bagas terpaksa harus tersenyum lalu bertanya, “Kamu ... mau bersamaku karena nama belakangku?”
Astrid malah tertawa lalu meraih bungkusan plastik berisi buku lantas melenggang pergi menuju lampu merah. Bagas menatap Astrid yang tersenyum lebar mendekati para pengamen cilik. Ada hal yang kemudian menurunkan rasa kagumnya pada gadis itu termasuk pertanyaan apakah selama ini dia hanya dimanfaatkan karena nama besar Hadinata Winoto.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top