Bab 14. -Ceritanya, kencan pertama!-

Terkadang, bukan sulit untuk mendapatkan cinta, tetapi kita yang belum siap membuka diri untuk menyambut cinta itu.




Astrid menatap lampu penerangan tepat di depan ruko. Ia harus segera meluruskan banyak hal dengan Christian juga Bagas. Setidaknya sebelum pergi ke London, semua masalah ini harus berakhir.

Semua orang yang hilir mudik, membuat Astrid semakin merasa sepi. Ditatapnya kembali beberapa anak berumur sekitar delapan sampai sembilan tahun yang sedang mengamen di simpang lampu merah tepat depan Pasar Agung lalu melirik arlojinya. Bila sesuai dengan perkiraan, maka sebentar lagi Bagas akan datang. Rasanya ada beberapa hal yang harus diluruskan, yaitu tentang pernyataan Bagas.

Dugaannya benar. Honda Bagas terlihat memasuki pelataran parkir. Astrid bergegas menekan sakelar lampu lalu menghampiri Bagas setelah mengunci pintu depan. Ia menyelempangkan tas, entah mengapa mengukir senyuman sempurna saat Bagas sudah berada di hadapannya.

"Lama?" tanya Bagas sembari melonggarkan dasi.

"Enggak, urusan aku juga baru selesai," jawab Astrid.

"Mau makan di luar atau di rumah?" tanya Bagas lagi.

Astrid menunjuk jejeran penjual makanan di seberang lampu merah. "Di sana, mau?" tanyanya ragu.

Mana mungkin seorang penerus pengusaha besar mau makan di pinggir jalan, pikir Astrid.

"Boleh, ayo," Astird terdiam mendengar jawaban Bagas, "ayo!"

Ia mengikuti langkah Bagas, sesekali mencuri pandang pada wajah tampan pemuda yang mengakui diri sebagai calon suami lalu duduk di deretan kursi pembeli. Ekor netra Astrid kembali mengikuti Bagas yang sedang memesan makanan lalu tiba-tiba saja pemuda itu berjalan mendekati kerumunan anak-anak pengamen yang sedang beristirahat dekat lampu merah.

Bagas berbincang dengan salah satu dari mereka yang kemudian terlihat kegirangan kemudian ikut tersenyum sembari mengangguk-angguk lalu kembali menghampiri penjual nasi goreng, membisikkan sesuatu dan terakhir duduk di samping Astrid.

"Kenapa?" tanya Astrid.

"Ah, enggak apa-apa," jawab Bagas sembari meraih ponsel dari saku kemeja.

"Oh, itu hubungin siapa?" tanya Astrid lagi.

"Ibuku, ngasih tau kalau enggak makan di rumah," jawab Bagas.

"Oh!" timpal Astrid lagi.

Astrid kembali menatap Bagas yang masih sibuk dengan ponselnya. Penilaiannya terhadap bocah itu sudah memasuki angka lumayan baik, tetapi bukan berarti ia menyetujui pengakuan gila Bagas. "Bagas, kita harus bicarakan soal pernyataan kamu," tegas Astrid.

"Yang mana?"

"Yang kamu bilang ke Christian!" seru Astrid.

"Yang kamu bilang kalau aku pacar kamu?" tanya Bagas.

"Pernyataan kamu! Bukan pernyataan aku!"

"Jadi, kamu suka sama aku?" tanya Bagas.

Kerongkongan Astrid mendadak kering. Napasnya tercekat. "Ap-pa?"

"Iya, kamu suka sama aku, 'kan?" tebak Bagas.

Astrid tertawa lepas. "Bagas, kamu pikir umur aku berapa?"

"Dua puluh delapan?"

Tawa Astrid hilang seketika. "Berapa umurmu?"

"Dua puluh tiga," jawab Bagas tanpa ragu.

"Lalu?"

"Lalu?"

Astrid menggigit ujung bibir. "Bagas, biarkan aku berjalan ke arahku dan kamu berjalan ke arahmu, oke? Kita sudahi permainan konyol ini! Soal Tian juga ... ciuman itu, aku minta maaf!" Bagas melipat kedua tangannya lalu mengangguk-angguk seolah mengerti semuanya. "Bagas, aku serius!" tegas Astrid.

"Soal calon istri, aku juga serius," balas Bagas, "kamu pacaran sama Mas Tian?" tebak Bagas.

"Enggak!" jawab Astrid dengan cepat.

Bagas menghela napas panjang lalu mengulurkan tangan kanannya. "Baiklah, mari kita ulangi dari awal. Sebagai seorang kenalan, teman lalu selebihnya biar takdir yang menentukan. Namaku Bagas Adisatya Winoto," ucapnya pasti.

Sejenak Astrid terdiam, tetapi tidak ada salahnya menyambut uluran tangan itu. "Astrid Kirania," jawabnya.

Bagas tersenyum puas. Setidaknya ikan itu sudah masuk ke dalam jerat jaringnya.

Setelah malam itu berlalu, hubungan pertemanan antara keduanya mulai terjalin sebagaimana yang diharapkan Bagas. Mereka tidak sungkan untuk saling bercengkerama atau meminta bantuan. Setiap senyman itu kini mulai melibatkan hati.

Sementara itu tetap ada menatap iri akan hubungan mereka. Hati yang terkadang merasa ingin menangis lalu berubah membenci, bahagia serta hal lain yang sulit untuk diutarakan. Christian terbakar oleh rencananya sendiri.

Terkadang kenangan akan Christian begitu memeluk erat batin Astrid. Semakin berusaha melepaskan, maka cengkeramannya terasa makin menyayat hati. Sebuah asa tercipta saat ia juga menatap Bagas. Walau berulang kali menyangkal, tetap saja hatinya pernah berdebar kencang untuk pemuda konyol itu.

Hubungan yang pernah terjalin selama bertahun-tahun memang terasa hampir mustahil untuk bisa ditepis dengan cepat, tetapi hati bisa saja berbelok tanpa pernah bisa dijelaskan mengapa bisa seperti itu. Terkadang Astrid menatap tanpa bisa berkedip setiap garis yang membentuk wajah rupawan Bagas. Lengkungan senyum itu sekarang selalu terbayang-bayang. Suaranya mulai menemani mimpi Astrid.

Bagas mengeluarkan bungkusan plastik merah dari kompartemen dasbor. "Kamu tunggu di sini, sebentar," titah Bagas pada Astrid yang sedang memasang seat belt.

Belum sempat Astrid menjawab, Bagas sudah terlebih dahulu menyeberangi zebra cross lalu menghampiri pengamen cilik yang sedang beristirahat di sekitar lampu merah. Mereka terlihat akrab, anak-anak itu berebut memeluk Bagas yang salah tingkah. Bagas kembali setelah memberikan bungkusan itu pada anak berbaju kumal warna abu.

"Kenapa? Kamu kenal mereka?" tanya Astrid setelah Bagas masuk ke dalam mobil.

"Itu Lutfi, Riski dan yang paling kecil itu Andi," jawab Bagas sembari menunjuk anak-anak yang terlihat gembira membuka bungkusan dari Bagas. "Mereka belum punya kesempatan untuk sekolah, kemarin bilang sama aku ingin beli buku, tetapi belum ada uangnya," lanjut Bagas sembari mengeluarkan uang receh berjumlah lima ribu rupiah.

"Kamu jual buku sama mereka?" tuduh Astrid.

"Kalau aku beri dengan percuma, mereka enggak bisa belajar menabung dan yang terpenting adalah belajar bagaimana sulitnya mendapatkan sesuatu yang diimpikan," tegas Bagas.

Asteid terdiam, sedikit banyak setuju dengan pendapat Bagas. Ia kembali menatap anak-anak itu. Sudah beberapa kali ia memang meminta anak-anak itu tinggal di panti, berharap mereka mendapatkan penghidupan yang lebih layak atau setidaknya tidak dipaksa bekerja seperti itu. "Kamu lihat lelaki yang berdiri di sana?" ujar Astrid.

Bagas memicingkan netra, menatap sesosok pria berbadan kekar yang sedang memarkirkan mobil di Pasar Agung.

"Namanya Jaka, orang-orang sini panggil dia Bang Codet. Dia yang mengendalikan hampir seluruh pengamen juga pengemis di sekitar sini," lanjut Astrid.

"Oh, ya? Bagus kalau begitu, ada yang bertanggungjawab atas mereka. Aku bisa bantu mereka melalui Bang Jaka," seru Bagas sembari tersenyum.

"Bagas, dia enggak bisa diajak bernegosiasi seperti yang kamu pikirkan! Aku sudah berkali-kali membujuknya untuk memberikan anak-anak itu kesempatan belajar gratis di panti," ungkap Astrid, "dia berbahaya, Bagas!" tambahnya.

"Kamu khawatir sama aku?" goda Bagas.

"Cih! Kamu menyebalkan!" umpat Astrid.

"Mungkin kalau aku yang mencoba, akan berakhir baik. Kita enggak tahu apakah anak-anak itu akan menjadi seseorang yang bisa membangun bangsa dengan lebih baik," tutur Bagas.

"Keras kepala! Sok idealis!" cibir Astrid.

"Prinsip! Berpikir positif!" sergah Bagas.

Astrid tertawa. "Aku akan bantu sebisaku, biasanya kalau pagi anak-anak itu pasti datang ke ruko untuk sarapan," pungkas Astrid.

"Aku berjanji akan membawa buku baru lusa nanti, temani aku beli bukunya, ya?" pinta Bagas.

"Kapan? Besok saja bagaimana?" tanya Astrid.

Besok adalah hari Sabtu, malam sakral untuk para pencinta berkumpul. "Aku jemput selepas magrib, ya?" ujar Bagas.

"Oke,"

***

Sedari pagi, Bagas sangat gelisah. Sesekali menatap jam dinding, berharap bisa lebih cepat berputar. Ia kembali membuka lemari pakaian, mengeluarkan kemeja warna hijau lembut juga celana katun terbaik yang dimiliki.

Sekarang, menurut pengamatannya, ia sudah sangat tampan, rambut tersisir rapi, kemejanya juga rapi. Bagas menyemprotkan parfum lalu tersenyum lebar, memasukkan dompet ke saku meluruskan dasi lalu keluar dari kamar.

"Mas, mau ke mana? Ke kantor?" tanya Sekar saat berpapasan dengan Bagas di depan kamarnya.

"Rapi amat, Mas," timpal Ana sembari menggelayut manja di lengan Sekar.

"Mas kelihatan kaya mau ke kantor ya?" tanya Bagas putus asa.

Sekar dan Ana serempak mengangguk.

Bagas kembali masuk ke kamar. Membuka setiap laci lemari pakaian. Keringat dingin mulai membasahi kening. Belum pernah ia merasa sesulit ini memilih pakaian yang pantas.

"Bagas? Ada pengajian di mana?" Komentar Widyastuti membuat Bagas kembali berlari memasuki kamarnya.

"Sial!" umpatnya sembari becermin di depan nakas. Ia melepaskan satu per satu kancing baju koko hitam miliknya lalu merebahkan diri di kasur. "Ah! Terserahlah!" Bagas kembali membuka lemari pakaian, meraih kaos lengan pendek warna abu juga celana jin.

Bagas meraih kunci mobil di samping rak televisi lalu pergi ke panti. Hatinya berdebar tidak menentu saat melihat Astrid sudah menunggu di depan pagar. Terlihat cantik seperti biasanya.

***

Astrid mulai risi dengan beberapa pasang netra yang menatap kagum Bagas. Penampilan Bagas tampak jauh berbeda. Walaupun hanya mengenakan kaos juga celana jin, tetapi sungguh saat mereka bersebelahan, Astrid merasa memang lebih pantas menjadi kakak Bagas.

Mereka bergegas menuju toko buku. Sesekali Bagas melirik tangan Astrid. Hatinya berbisik, meminta untuk menggenggam tangan dia. Sekali lagi Bagas memperhatikan Astrid. Binar jernih netranya membuat jantung Bagas berdegup tak menentu.

"Bagas, kamu lihat itu?" Pertanyaan Astrid membuatnya terkejut. Astrid tampak seperti anak kecil yang kegirangan karena melihat penjual gulali. "Ayo, Bagas!!" Astrid menarik tangan Bagas yang kegirangan karena akhirnya tangannya menyatu dengan tangan Astrid.

Wajah riang gembira Astrid ... tidak akan pernah Bagas lupakan. Dia yang berkata sangat senang bisa kembali mencicipi makanan saat kecil dulu.

Mereka kembali berjalan di lorong pusat perbelanjaan. Bagas memberanikan diri menggenggam berat tangan Astrid dan entah mengapa Astrid malah tersenyum serta menikmati hangatnya tangan Bagas.

Bagas kembali menarik tangan Astrid, memaksanya untuk ikut bermain di pusat permainan keluarga. Keduanya akhirnya bisa menikmati setiap permainan yang ada. Berebut tombol serta bola di mesin permainan. Kadang saling memberengut kesal saat kalah bermain. Mereka sudah berada dalam jaring asmara.

***

Bagas menelisik satu per satu buku-buku bacaan anak yang berderet di rak, sementara Astrid ikut membantu walau sesekali hanya berakhir dengan memandangi wajah Bagas yang tampak serius.

Astrid meraih satu buku dongeng anak-anak yang dulu sering kali Yuli bacakan menjelang tidur. Kisah tentang putri yang bertemu pangeran tampan. Putri yang akhirnya bisa bahagia setelah sekian lama menderita.

"Kamu suka yang seperti itu?" tanya Bagas yang sudah berdiri di sampingnya. "Pangeran Tampan Titipan Peri." Astrid segera mengembalikan buku itu dalam rak saat Bagas membaca judulnya.

"Ah, lupakan! Jadi, kamu sudah selesai?" tanya Astrid, "aku periksa lorong sebelah sana, ya?" tegasnya sembari berlari pergi meninggalkan Bagas.

Bagas meraih buku dongeng yang tadi dikembalikan Astrid, tersenyum sendirian, berharap Astrid menganggapnya sebagai pangeran terakhir.

"Loh? Mas Bagas?" panggil Anindita.

"Dita?" Bagas berdiri mematung menatap Anindita yang berlari menghampirinya

"Kamu ngapain di sini, Mas?" tanya Anindita sembari tersipu menatap Bagas.

"Aku beli buku. Kamu?"

Anindita tersenyum. "Sama, Mas."

Astrid berjalan menghampiri mereka yang tampak sangat akrab. Diperhatikan dengan sangat teliti gadis yang berulang kali menyentuh pundak Bagas. Mendadak ia merasa tidak nyaman melihat kedekatan mereka.

"Bagas!" panggil Astird. Entah mengapa Bagas merasa sangat terancam. Berkali-kali ia menelan ludah, tetapi kerongkongannya masih kering kerontang. "Bagas, dia siapa?" tanya Astrid.

Anindita mengamati Astrid dari ujung kelapa hingga kaki lalu kembali menatap Bagas yang memucat. Jantungnya berdebar hebat. Ia merasa ada sesuatu di antara mereka. Terlebih gadis itu terlihat seperti sedang cemburu.

"Astrid, dengarkan aku dulu," bujuk Bagas.

"Apa?" sentak Astrid.

Tiba-tiba saja Anindita mengulurkan tangannya lalu berkata, "Kenalkan, Anindita Laksmono, tunangannya Mas Bagas."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top