Bab 13 -Pengakuan (palsu)!-

Jangan bermain-main dengan hati.


Astrid menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Berkali-kali merutuk sembari memukul kepala. Sesekali menyentuh bibir lalu mengingat kejadian tadi pagi. “Bodoh!! Bodoh! Bodoh!!” jeritnya berulang-ulang.

Sementara itu, di tempat lain, ada hati yang juga tidak bisa berhenti berdebar kencang.

“Mas? Masih lama di toiletnya? Ponsel Ana ketinggalan di dalam, Ana, buka, ya?” tanya Ana di depan pintu. Sedetik kemudian, pintu terbuka, Bagas keluar sembari menunduk, tangannya terlihat menutupi bibir. “Mas? Kenapa?” tanya Ana keheranan, tetapi Bagas tetap diam seribu bahasa lalu masuk ke dalam kamarnya. “Aneh,” gumam Ayu lalu masuk ke toilet, meraih ponselnya yang berada di tepian wastafel. “ASTAGFIRULLAH!” pekik Ana karena Bagas sudah ada di sampingnya saat hendak membalikkan badan. “Mas?”

Bagas terdiam, kembali berdiri di depan cermin, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya terdiam sembari menyentuh bibir. Ana tidak mau lagi banyak bertanya. Ia memilih kabur menuju ruang makan.

“Loh, Masmu mana?” tanya Widyastuti ketika Ana bergabung di ruang makan.

Ana mengangkat kedua bahunya. “Entah,” jawabnya datar.

“Loh, bukannya tadi dia di kamar mandi?” cecar Widyastuti.

“Mas Bagas aneh, Ana takut,” seru Ana.

“Iya, dari sepulang kantor, enggak berhenti ngaca di kamar mandi,” timpal Sekar.

“Tadi pagi dia terlambat ke kantor. Mungkin, Ayah terlalu keras menegur dia,” sesal Hadi.

“Iya, dia juga belum bicara apa-apa sama Ibu. Bagas! Makan, Nak, ayo, sini!” panggil Widyastuti. Bagas keluar dari kamar mandi, sejenak menatap seluruh keluarga yang sudah duduk di ruang makan. “Ayo, makan malam,” ulang Widyastuti.

Bagas mengangguk lalu duduk berseberangan dengan Hadi.

Widyastuti meraih piring yang disodorkan Bagas.
“Dimakan, Mas,” Seketika Bagas menoleh, ditatapnya Astrid yang tersenyum semringah. “Ayo, dimakan, Mas, apa mau aku suapi? Buka mulutnya, Mas,” bujuk Astrid sembari menyodorkan sendok pada Bagas. “Aaaaa ....”

Wajah Bagas bersemu kemerahan, mulutnya dibuka lebar, siap menerima suapan dari Astrid.

“Bagas? Bagas!” Guncangan tangan Widyastuti membuyarkan bayang Astrid. “Kamu kenapa?” tanyanya lagi.

Bagas menatap semua yang tercengang melihat ulah si Sulung. Dengan cepat ia menarik piring yang disodorkan Widyastuti lalu makan dengan tergesa.

Hadi berdeham—memberi aba-aba supaya semua kembali menikmati makan malam. “Jadi, gimana sekolah kamu, Danu?” tanya Hadi berusaha mengalihkan perhatian semua orang pada Bagas.

“Alhamdulillah, lancar, Ayah! Minggu depan Danu izin mau main sama teman, ya? Cari buku,” ucap Danu.

“Cari buku, apa pacaran?” goda Ana.

“Ih, Mbak, cari bukulah!” seru Danu yang dijawab tawa semuanya.

“Bagas?” Widyastuti menatap cemas putranya. “Kamu lagi sariawan? Dari tadi bibirnya dipegangin terus, kenapa? Ibu ada madu, mau?” tawarnya.

“Enggak, kok, Bagas enggak sakit,” tolak Bagas.

“Terus kenapa itu, bibirnya dipegangi terus?” desak Widyastuti.

Bagas diam, wajahnya bersemu kemerahan.

“Habis dicium cewek, Bu!” celoteh Dany, tawanya menghilang kala tersadar akan suasana yang mendadak hening. “Kenapa? Liatin–aku–kaya gitu?” tanya Danu ketakutan.

“Bagas, ke kamar dulu!” tegas Bagas.

“Loh, eh, Bagas!” Bagas mengacuhkan panggilan Widyastuti, memilih percepat langkahnya menuju kamar sembari tertunduk.

Di antara dua hati yang bersemu malu. Tetap ada dia yang menahan amarah juga rasa benci. Diteguk hingga tandas wiski dalam seloki. Lampu kamarnya sengaja tidak dihidupkan. Suara ponsel yang sedari tadi tidak berhenti berdering seakan menambah kalut pikirannya.

Christian kembali meraih botol wiski, dituangnya perlahan ke dalam seloki. Berulang-ulang hingga cairan keemasan itu tandas. Sejenak ia tertawa saat menatap botol kosong wiski lalu kembali menatap langit-langit kamarnya.

“Astrid,” lirihnya tanpa bisa menahan air mata. Kilatan kejadian itu kembali terbayang. Kecupan itu, wajah Astrid. Bibirnya yang indah .... “SIAL!!” jeritnya sembari melemparkan botol itu ke jendela kamar.

Christian menekuk lutut, membenamkan wajah di antara kedua lutut. Berulang kali menjerit. Rasa pedih, sakit dan air mata berderai tanpa bisa dicegah. Ia yang takut mati, tetapi tetap melangkahkan kaki menuju lubang maut.

***

Sinar mentari pagi menerangi dua wajah manusia yang bersemu kemerahan. Mereka sama-sama berusaha tidak saling menatap. Hanya saling melirik kikuk. Astrid menahan gejolak dalam dada, ingin meminta maaf, semua hanya emosi sesaat. Akan tetapi, menatap Bagas saja ia tidak mampu.

“Hari ini ... kamu mau aku antar ke mana?” tanya Bagas sembari melonggarkan dasi.

“Ruko,” jawab Astrid dengan cepat.

Bagas memperlambat laju Honda-nya. Jantung dalam dada berdentum-dentum tidak karuan. “Kita, dengar radio saja, ya? Biar enggak sepi?” ujar Bagas yang dijawab anggukan kepala oleh Astrid.

Bagas menekan tombol di kompartemen dasbornya. Berharap suara musik bisa meredam rasa canggung mereka.

“Selamat pagi para pendengar setia Jakarta Morning FM! Wah, sudah dekat di penghujung minggu, nih! Sudah siap-siap buat malam mingguan, belum? Buat seru-seruan hari ini, kita bahas soal first kiss! Yuk, ceritain pengalaman ciuman pertama kalian, pastinya su—”

Bagas dengan cepat menekan tombol lain di antara deretan tombol itu. Wajahnya sudah bersemu kemerahan. Ia sedikit menghela napas kala mendengar suara alunan merdu musik.

'So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me that you never let me go'

Bagas kembali mencoba menekan tombol lain, tetapi malah semakin membesarkan volume radio itu.

Astrid memijat kasar kening lalu menekan tombol off di tengah kompartemen. “Berisik!” keluhnya.
“Oke,”

Mereka sama-sama terdiam. Sesekali Astrid menatap bibir Bagas. Menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan oleh bocah itu. Bagaimanapun, itu adalah ciuman pertamanya. Jangan sampai Bagas mengira kalau ia murahan! “Bodoh,” gumamnya sembari memukul kepala.

“Kamu ngomong sesuatu?” tanya Bagas yang memutar kemudinya.

“Enggak!”

“Oh,” Bagas melengkungkan senyum. Sekali lagi ditatapnya bibir merah Astrid. Sungguh, tidak sanggup meredakan debaran jantung.

Honda Bagas berhenti di halaman ruko. Tiba-tiba saja Astrid memegang tangan Bagas. “Bagas? Bisa kita pergi dari sini?” pintanya saat Christian terlihat keluar dari mobil.

“Ada apa?”

“Udah! Pokoknya, ayo!”

Ketukan di jendela mobil memaksa Bian membuka pintu Honda-nya. “Mas Tian?”

“Astrid, kita perlu bicara!” tegas Christian.

“Bicara saja! Aku enggak mau turun dari mobil!” timpal Astrid.

“Astrid! Kita perlu bicara! Berdua saja!” lanjut Christian.

Astrid terdiam kemudian keluar dari mobil, ia malas lama-lama berurusan dengan Christian. “Katakanlah!” tantang Astrid saat Bagas sudah berdiri di sampingnya.

“Berdua saja,” ucap Christian sembari menatap Bagas.

Bagas melirik arlojinya. “Oh, oke, aku juga sudah terlambat. Aku pergi dulu,” pamit Bagas.

“Tunggu!” cegah Astrid sembari menarik tangan Bagas. “Tetap di sini,” pinta Astrid setengah memelas.

Bagas menatap Christian, hatinya mendadak curiga. Entah apa yang terjadi di antara kedua sahabat ini, pikirnya.

“Kita perlu bicara, berdua saja!” ulang Christian.

“Katakanlah! Pacarku harus tahu semuanya! Iya, kan, Mas?” tanya Astrid sembari menatap Bagas yang kebingungan. “Kami sudah berpacaran! Seminggu yang lalu!” aku Astrid.

Suara gesekan gigi Christian terdengar saling beradu. Sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Astrid. Baru saja dia katakan kalau tidak bisa mencintai lelaki selain dirinya, tetapi kemudian dia mencium lelaki lain dan sekarang tiba-tiba saja mengikrarkan diri telah memiliki pasangan. Tentu saja itu tidak bisa diterima.

Christian menarik kasar tangan Astrid. “Ikut aku!” desaknya.

“Sakit, Mas! Lepasin!”

Bagas menampik tangan Christian, dengan berani menarik kembali tangan Astrid serta memintanya diam berada di belakang punggung Bagas. “Sebenarnya, apa masalahmu?” tantang Bagas.

Napas Christian terengah-engah, persis seperti seseorang yang sudah melakukan lari maraton. “Itu bukan urusanmu!” balas Christian.

“Tentu saja itu urusanku karena Astrid adalah calon istriku!” tegas Bagas

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top