Bab 11 -Investigasi-

Aku tidak ingat, sejak kapan mulai mencintaimu?



Azan berkumandang hampir tiga puluh menit yang lalu. Bagas sudah melaksanakan kewajibannya dan sekarang duduk diam dalam mobil. Mengamati salah satu rumah berlantai dua dengan pekarangannya yang dipenuhi berbagai pot beragam ukuran, terisi bunga mawar, geranium, juga kacapiring.

Sesekali Bagas menengok arloji. Menurut info terpercaya maka targetnya akan terlihat beberapa detik lagi, tepat saat seorang tukang sayur berhenti di halaman depan rumah itu. Seketika wajahnya memucat ketika seseorang keluar dengan terburu-buru. Ia mengamati setiap gerak-gerik gadis yang bercengkerama dengan si Penjual Sayur-mayur juga beberapa ibu yang ikut berkumpul.

Bagas menatapnya lekat-lekat ketika ada seorang anak kecil berlari menghampiri gadis itu. Anak kecil itu merengek-rengek, dipeluknya penuh rasa sayang lalu mereka berdua kembali ke dalam rumah. Bagas tersenyum puas saat mendapati salah satu ucapan Christian benar. Ditatapnya kembali plang papan yang berada persis di halaman rumah. Bertuliskan Yayasan Permata Hati.

Hatinya mendadak berdebar tanpa sebab. Diamati lagi dia yang keluar membawa gembor, wajahnya tersorot cahaya matahari. Seakan menyempurnakan paras jelita Astrid Kirania. Sebuah pelita ikut menyinari hati Bagas.

Hari-hari yang kemudian dijalani Bagas lebih mirip sebagai seorang penguntit sejati. Setelah salat subuh ia sudah terdiam mengamati Astrid memulai aktivitas. Mulai dari berbelanja sayuran, menyiram tanaman, mengantar anak-anak sekolah.

Pagi ini seperti biasanya, setelah mengamati aktivitas Astrid, untuk sejenak Bagas menyandarkan kepala ke jok sembari memejamkan netra.

Baru saja ia hampir terlelap, tetapi ketukan di jendela mobil, membuatnya kembali terjaga. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Bagas, bahkan ia tak sanggup menutupi ketakutan saat menatap Astrid memelototinya.

***

Bagas duduk tertunduk di hadapan Astrid juga Yuli.

“Jangan diam saja! Jelaskan! Buat apa kamu buntutin aku selama hampir dua minggu!” marah Astrid.

“A-anu, itu—“

“Apa?” sentak Astrid.

“Sabar dulu, biarkan dia menjelaskan,” tutur Yuli.

Bagas menggigit-gigit bibir. Ia belum mempersiapkan diri bila hal ini akan terjadi, tetapi darah seorang Winoto mengalir dalam tubuhnya. Ia pasti bisa memenangkan permasalahan ini. Bagas menatap Astrid tanpa keraguan.

“Apa liat-liat!!” sentak Astrid.

Seluruh keberaniannya runtuh. Bagas kembali menunduk lebih dalam.

“Ish, Astrid! Cepat ambilkan minum dulu,” titah Yuli. Astrid mendengkus kesal lalu pergi menuruti perintah Yuli. “Maaf, ya, Astrid itu sebenarnya gadis yang lembut, hanya saja, memang kami ketakutan karena beberapa hari belakangan dia dibuntuti seseorang. Jadi, ada yang bisa dijelaskan?” tanya Yuli. Bagas menatap Yuli, tetapi setiap kata yang ingin diucapkan seakan hilang ditelan angin, ia tampak seperti ikan yang kehabisan udara. Yuli menyentuh lembut tangan Bagas. “Pelan-pelan. Jadi, siapa nama kamu?”

“Bagas,” jawabnya pelan.

“Lalu?”

Bagas memutar pandangan. Menatap semua sudut rumah, berharap ada ide brilian yang seketika muncul. “Begini, Bu,” ucap Bagas.

“Alah, paling cuma alasan saja!” pekik Astrid yang datang membawa segelas air putih. “Jelaskan! Hanya karena kamu udah baik sama aku, bukan berarti kamu bisa kuntit aku kaya gini!!” murkanya.

“Sabar, Astrid! Ini hanya air putih saja? Di dapur ada kue, kamu ambilkan, ya?” pinta Yuli.

“Enggak perlu, Bun! Dia mau pergi! Iya, kan? Bagas?” sindir Astrid.

Bagas menyeka keringat di dahi, meraih gelas lalu menenggak isinya hingga tandas. “Aku pamit, Bu,” ucap Bagas.

“Tunggu, Nak. Mari ikut kami sarapan dahulu,” cegat Yuli.

***

Astrid memberengut kesal, tetapi tidak berani membantah setiap ucapan Yuli. Diambilnya piring yang sudah disodorkan Bagas.

“Ayo, dimakan,” tawar Yuli setelah Astrid mengembalikkan piring itu pada Bagas. “Jadi, kamu teman Astrid?”

“Kita cuma kenalan aja, Bun! Enggak lebih!!” tegas Astrid.

“Astrid, pelankan suaranya. Ayo, Nak Bagas, dimakan.”

Bagas mengangguk setuju lalu mulai menyantap sepiring nasi goreng di hadapannya. Hatinya berdecak ketika mulai mengunyah. Wajahnya berbinar-binar. Belum pernah menikmati nasi goreng selezat ini.

“Dihabiskan, Nak. Masih banyak, ini,” tutur Yuli. Hatinya tahu apa maksud pemuda ini membuntuti Astrid. Sekaligus merasa lega, mungkin ada kesempatan untuknya bisa menjauhkan bayang Christian dari hidup Astrid.

“Enak sekali, siapa yang masak?” tanya Bagas.

“Aku! Kenapa?!” sentak Astrid sembari mengacungkan garpu.

Bagaikan keong yang disentuh, Bagas kembali masuk ke dalam cangkang amannya.

“Enak, ya? Astrid ini memang pintar masak,” puji Yuli, “jadi, kamu mau mendaftar jadi volunter di panti?” tanya Yuli.

Netra Astrid membulat, sementara senyum mengembang di sudut bibir Bagas. “Bun!” protes Astrid.

“Kita perlu sopir untuk antar jemput anak-anak. Belum lagi buat pekerjaan berat, Tian, 'kan bilang enggak bisa lagi sering-sering datang ke panti karena sibuk dan Bunda juga belum bisa gaji seseorang untuk jadi tukang atau sopir,” ungkap Yuli.

“Aku mau! Ya!” jawab Bagas bersemangat. Ini satu-satunya cara untuk bisa lebih dekat dengan seseorang yang membuatnya penasaran.

“Alhamdulillah, nanti kamu kasih tahu aja sama Astrid kalau tiba-tiba enggak bisa antar jemput anak-anak, oke?” lanjutnya.

“Bun, aku masih bisa lakuin itu, kok!” sergah Astrid.

“Kamu itu sibuk. Belum lagi persiapan kamu pergi ke Belanda, kamu harus fokus, Astrid!” debat Yuli.

“London, Bun!”

Sejenak Bagas terdiam. Ia tidak mungkin bertanya-tanya lagi tenang apa yang didengarnya, lalu kembali memalingkan wajah dari tatapan sadis Astrid.

***

Bagas sudah menghubungi Jean untuk menyusun ulang semua jadwal pertemuan dan lainnya. Ia memang bisa habis-habisan dimarahi Hadi bila diam-diam mempunyai kegiatan yang kemungkinan akan memecah konsentrasi Bagas di kantor. Namun, tentu saja Hadi akan mendukung putranya untuk bisa mencari belahan hati.

“Tanda tangan di sini!” titah Astrid sembari menunjuk kolom di dokumen itu.

Bagas menurut, tugasnya hanya mengantar anak-anak pukul enam pagi, menjemput bertepatan dengan jadwal makan siang, lalu bila diperlukan, ia bisa berkunjung ke panti.

Astrid merebut kertas-kertas itu setelah ditandatangani Bagas lalu menyerahkan kartu identitas bertuliskan relawan dengan tali warna merah. Ia tidak bisa membantah Yuli, sekaligus kesal terhadap Christian yang tiba-tiba sibuk oleh kekasih barunya. Menyebalkan.

Bagas melaksanakan tugas pertamanya. Honda Bagas berhenti tepat di halaman Sekolah Dasar Negeri 01 Jakarta Selatan. Anak-anak berebutan mencium tangan Bagas yang kikuk sampai tiba-tiba saja tanpa sadar ia memberikan tangannya pada Astrid.

“Ngapain?” bentaknya.

“Ah, enggak, ini pegal!” elak Bagas sembari menggoyangkan tangannya.

Astrid kembali menatap jalanan. Ia juga tidak mengerti kenapa sekesal itu pada Bagas padahal ada beberapa tingkah aneh yang kadang membuatnya ingin tertawa.

Bocah sok tahu itu sekarang duduk di sampingnya. Dia yang diam-diam melirik menikmati setiap jengkal wajahnya.

“Kamu bisa enggak, fokus ke depan! Jangan lirik-lirik aku!” protes Astrid.

“Ah, iya! Maaf, Bu,” jawab Bagas.

“Jangan panggil ibu! Aku belum punya suami! Pacar aja enggak ada!”

“Iya, Mbak,” jawab Bagas.

Astrid kini menatap Bagas. “Mbak? Eh, Bocah!”

“Ya, jadi aku harus panggil apa?” sergah Bagas. Sejenak Astrid terdiam. “Sayang, boleh?” celetuk Bagas.

Astrid melebarkan netra, mendelik tidak suka pada senyuman Bagas. “Jangan mimpi! Bocah!” seru Astrid.

Bagas tertawa pelan. Astrid memalingkan wajah, menahan diri untuk tidak ikut tertawa. Sebenarnya ia ingin ikut bercengkerama sekaligus bertanya, apakah Bagas ingat perjumpaan pertama mereka? Apakah ingat senja indah dan hujan itu? Apa ingat akan jaket hitamnya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari pakaian Astrid?

Bagas mengantarkan Astrid tepat di halaman sebuah ruko di dekat Pasar Agung. Seketika Bagas teringat akan ucapan Christian yang waktu itu meminta saran padanya tentang seorang teman yang memiliki saran tentang properti. Sepertinya memang Astrid yang dimaksud Christian, terlebih waktu awal perkenalan, memang pernah membahas hal ini dengannya.

Bagas mengikuti langkah Astrid yang turun dari mobil. Diamatinya ruko bertingkat tiga itu. Juga tempat di sekelilingnya yang ramai.
Tempat ini strategis sekali, pikir Bagas.

“Eh, Bocah! Udah, sana pergi! Aku ada urusan! Enggak perlu ditunggu!” titah Astrid.

Bagas mengangguk dengan cepat lalu kembali masuk ke dalam mobil. Ditatapnya Astrid memasuki ruko, terlihat sedang berbincang dengan lelaki bertubuh tambun yang mempersilakan Astrid duduk. Sesekali Astrid terlihat tertawa lalu lelaki itu merapatkan kursi di samping Astrid yang tiba-tiba berwajah muram lalu keluar dari ruko.

Astrid menarik napas panjang lalu berjalan lesu menuju halte.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top