Bab 10 -Tipe ideal?-

Jodoh adalah ketentuan Tuhan yang diusahakan.

“Jodoh, kali!” celetuk Arif sembari sibuk mencari sosok yang baru saja terlihat keluar dari kamar mandi.

Bagas tertawa lepas. Ia belum menceritakan bagian bahwa perempuan itu diantarnya ke sekolah untuk menjemput anak. Pembicaraan dengan Arif yang katanya khatam soal gadis ternyata hanya buang-buang energi saja. Tidak ada komentar masuk akal, sama seperti cerita melati jodoh itu.

Arif merapikan rambut ketika sosok itu masuk ke kamar Bagas. Dia meletakkan baki berisi dua gelas es jeruk juga kue yang tampak masih hangat. Sudah setahun belakangan diam-diam mereka menjalin kedekatan. Dia adalah sosok yang membuatnya bisa lurus menatap satu wanita saja.

“Terima kasih, Sayang, eh, Dek!” Arif menggaruk-garuk kepala (salah tingkah) setelah Sekar balas tersipu malu-malu.

Bagas terdiam mendapati Arif beradu pandang mesra dengan salah satu adik perempuannya. Arif tentu adalah pria yang tepat untuk adiknya. Dia adalah seseorang yang bertanggung jawab. Itu yang terpenting.

“Sekar, cepat pergi, sebelum nanti ada yang 'menagih' minta naik status,” sindir Bagas.

Sekar mengangguk cepat lalu pergi menuruti keinginan Bagas. Sesekali dia menoleh, menatap langsung Arif adalah perkara sulit. Jadi, jangan buang kesempatan itu.

“Ye, kenapa? Kita itu harus lebih mengakrabkan diri, tahun ini Sekar selesai kuliah, 'kan? Nah, kita bisa mengakrabkan diri dengan menaikkan status kita sebagai kakak dan adik ipar! Bagaimana?” tawar Arif.

“Sekar enggak bakal diizinkan menikah sebelum aku menikah!” tegas Bagas.

“Nah, itu sebabnya! Harus dipastikan, ikut sama pilihan Bibi Roro atau cewek yang waktu itu rebutan bunga pernikahan sama lo! Atau mau gue kenalin sama teman-teman yang lain? Lo itu ganteng, kaya, pasti banyak yang mau!” seru Arif bersemangat.

“Ngaco! Aku baru saja memulai karier, harus ada yang difokuskan!”

“Nah, justru itu! Istri kita bisa menyemangati, ada dari titik nol! Berjuang bersama-sama! Jangan nanti-nanti! Bisa bulukan gue!” oceh Arif.

Bagas tersenyum kecut. Wajar saja bila Arif ingin segera melangsungkan pernikahan. Tentu saja setelah menjadi seorang perwira di salah satu ketentaraan negara. Ia ingin memiliki pendamping yang akan segera pergi bersamanya dinas ke luar pulau Jawa.

Bagas amat menyetujui hubungan Sekar dengan Arif, hanya saja memang Hadi dan Widyastuti tidak akan rela bila Bagas harus dilangkahi.

Widyastuti tergopoh-gopoh memasuki kamar Bagas. “Bagas, kamu bisa jemput Bibi Roro?” tanyanya cemas.

“Loh, ada apa, Bu?”

“Tadi Bibi Roro telepon, katanya minta jemput di Blok M Plaza, katanya mau pulang tapi enggak ada taksi!” tutur Widyastuti.

Kedua alis Bagas bertemu. Sungguh alasan yang tidak masuk akal. “Maaf, Bu, ada Arif. Masa aku tinggalin tamu, enggak sopan,” tolak Bagas.

“Arif, dia ditunggu sama ayah di bawah! Ayo, Arif! Katanya kamu jago main catur, ya? Ayo! Cepat ganti pakaian Bagas, kasihan Bibi Roro sendirian!” oceh Widyastuti lalu menarik tangan Arif.

***

“Kamu mau jalan ke mana? Sebentar lagi sekakmat!” seru Hadi sembari tertawa puas.

Arif ikut tertawa sembari mencuri pandang pada Sekar yang duduk di samping Hadi. Biarlah mengalah supaya calon mertuanya itu bahagia.

Bagas keluar dari kamar. “Bagas pamit, Bu, Ayah,” ujarnya lemas.

“Iya, hati-hati, jangan pulang malam-malam,” timpal Widyastuti.

“Hati-hati, Bro,” ucap Arif sembari melambaikan tangan.

Bagas tersenyum kecut lalu pergi menuju garasi.
“Kalau enggak begini, anak kita enggak akan punya jodoh,” tutur Widyastuti.

“Kayaknya Mas Bagas enggak suka sama cewek, Bu,” cetus Sekar.

“Astagfirullah! Kamu ngomong sembarangan!” marah Widyastuti.

“Ya, habis, Mas Bagas dari dulu enggak pernah tuh, dekat sama perempuan.”

“Bagas itu pernah suka sama cewek,” ungkap Arif menatap pion-pion catur sembari berpura-pura berpikir.

“Oh, ya? Terus, Mas?” tanya Ana yang tiba-tiba muncul lalu duduk di sebelah Widyastuti.

“Belum bilang apa-apa sudah ditolak, kapok sampai sekarang dia,” lanjut Arif.

“Ingat, Bu. Kita hanya memperkenalkan Bagas pada Dita. Setelah itu, bila Bagas enggak suka, kita enggak boleh memaksa untuk menikah. Jadi, kalian harus menunggu sampai Bagas menikah, lalu boleh menikah!” tegas Hadi sambil memandang Arif yang hanya mampu menelan ludah. “sekakmat!” seru Hadi.

***

Honda Bagas melaju di jalan Panglima Polim, sebentar lagi tiba di tujuan. Berkali-kali merutuk dalam hati, sungguh tidak terima hari Minggu paling berharga terlewati untuk mengerjakan hal sepele.

Ia mencari tempat parkir lalu segera pergi ke salah satu kafe tempat Roro menunggu. Rasanya ingin pergi saat dilihatnya Roro duduk tidak sendirian seperti yang dibicarakan.

“Bagas? Bagas!” panggil Roro.

“Sial!” gumam Bagas ketika Roro berhasil menemukan dirinya di antara kerumunan pengunjung mal.

Bagas berjalan mendekati Roro yang sudah sangat bergembira.

“Sore, Mas,” sapa Anindita.

“Ah, iya, sore,” balas Bagas.

Sejenak Bagas mengamati Anindita. Dia yang tampak manis mengenakan rok selutut tas kecil di genggaman juga kardigan warna senada dengan roknya. Anindita menunduk sembari menyingkap rambut saat menyadari lelaki yang diidamkan juga memperhatikan dirinya.

“Alhamdulillah, kamu mau datang juga, Bibi sudah tunggu dari tadi, loh, Bagas!” keluh Roro.

“Iya, macet sedikit. Jadi, ayo, aku antar pulang,” ajak Bagas tanpa basa-basi.

“Sebentar dong, Bagas. Oia, Bibi ke kamar mandi dulu, ya? Kamu ngobrol dulu aja sama Dita. Oke?” Bagas bahkan tidak sempat untuk protes saat Roro berlari pergi meninggalkannya berdua saja.

“Apa kabar, Mas?” tanya Bagas.

“Alhamdulillah, baik,” jawabnya singkat.

Bukannya Bagas tidak suka dengan gadis ini. Ia hanya merasa bahwa Anindita terlalu menaruh harap. Dia terasa akan menjadi istri yang akan bergantung padanya. Arif selalu mengatakan bahwa itu bagus, tetapi Bagas tidak ingin memiliki istri yang seperti itu. Sebab, bila suatu saat nanti ia dipanggil yang Maha Kuasa terlebih dahulu, maka istrinya akan terpuruk tanpa pernah mencoba untuk bangkit.

Ponsel Bagas bergetar. Dibacanya pesan dari Roro yang bertuliskan, 'Bibi pulang duluan, kamu sama Dita saja, ya?'

“Sudah kuduga,” gumam Bagas.

“Gimana, Mas?” tanya Anindita.

“Ah, enggak!” Sejenak Bagas terdiam. Ditatapnya Anindita lekat-lekat. Dia cantik, senyumnya terlihat tulus. “Dita, kamu ada janji setelah ini?” tanya Bagas.

Anindita menggeleng dengan cepat.
Bagas memaksakan diri untuk tersenyum. “Bisa bantu membeli sesuatu?” Baiklah, beri satu kesempatan untuk saling mengenal.

Senyum cerah tercipta di wajah manis Anindita. Rencana Roro berhasil membuat Bagas mau diajak berjalan sore bersamanya. Anindita mengamati lengan Bagas yang berayun-ayun. Ia ingin merangkulnya. Namun, khawatir Bagas akan menolak. Sudah bertahun lamanya, ia memendam rasa. Setelah menatap wajah Bagas dari potret yang dibawa Roro, hati Anindita berada di genggaman tangan Bagas. Tercengkeram dengan erat.

Mereka berdua berjalan menyusuri setiap toko. Kadang tertawa lalu menemukan banyak kesamaan. Hati Anindita diliputi kegembiraan sedangkan Bagas sudah hampir kehilangan topik pembicaraan. Anindita terkesan sedang menginterogasi, menanyakan banyak hal yang bahkan tidak terpikirkan oleh Bagas.

Seperti hobi, makanan kesukaan, juga lainnya. Bagas bahkan tidak pernah memikirkan hal receh seperti itu.

Hatinya mendadak cerah ketika melihat seseorang yang sedang sibuk memilih kemeja. Dengan sedikit berlari, Bagas menyapa, “Mas Tian?”

“Eh, Bagas?” ujar Christian.

Mereka sama-sama terkejut dengan kehadiran wanita di samping mereka. Terlebih Christian yang hendak menjodohkan Astrid dengan Bagas, ia menenangkan hati, tidak boleh gegabah. “Kenalkan, ini Grace, pacarku,” tutur Christian.

“Halo, Grace,” ucap Grace sembari menjulurkan tangannya.

“Bagas,” jawab Bagas menerima uluran tangan Grace.

“Itu?” Netra Christian menunjuk Anindita yang berada di samping Bagas.

“Oh, kenalkan ini teman. Iya, teman! Namanya Anindita,” ucap Bagas.

Anindita tidak mampu menepis rasa kecewa. Namun, ia tetap harus tetap bersabar. Bagas bukanlah seseorang yang mudah ditaklukkan. Dia berbeda dengan lelaki kebanyakan. Polos atau naif. Tiada beda.

Kehadiran Christian dan Grace bisa membuat suasana kembali hidup. Bagas bisa dengan lepas bernapas. Tidak nyaman bila harus berduaan dengan Anindita.

“Aku kira Ibu Astrid itu istri Mas Tian,” tutur Bagas yang seketika saja membuat Christian tertawa sekaligus meng-amini ucapan Bagas dalam hati.

“Dia sahabat terbaikku, jangan panggil dia ibu! Dia pasti enggak suka,” ungkap Christian

Bagas tersenyum sembari menyesap minumannya. “Jadi, dia belum menikah?” tanya Bagas.

“Belum, kenapa? Kamu mau suka dia?”

Bagas tersenyum lalu mengalihkan pandangan pada Anindita yang sedang memilih-milih tas bersama Grace di dalam toko.

“Dia, gadis yang dijodohkan oleh orang tuaku,” ungkap Bagas.

“Dijodohkan? Tahun berapa ini, Bagas?” ejeknya.

“Dijodohkan bukan berarti dipaksa menikahi dia, Mas. Orang tuaku mungkin khawatir karena anaknya belum pernah memperkenalkan seorang gadis pun pada mereka,” tutur Bagas.

“Memangnya, gadis seperti apa yang harus jadi istrimu kelak?”

Bagas tertawa. “Hanya yang pintar, sayang keluarga, pekerja keras dan mandiri,” ucap Bagas malu-malu.

Christian ikut tertawa lalu membisikkan sesuatu pada Bagas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top