Bab 08 -Hai, Tambatan hati-

Bertindak tanpa mengikuti keinginan hati, itu bodoh atau pengorbanan?


Jodoh impiannya  adalah seorang lelaki yang bisa bersama hingga akhir. Dia harus selalu ada dan bisa saling berpegangan hingga maut memisahkan. Satu yang tidak bisa dipenuhi Christian, yaitu menyempurnakan sisi keimanan. Iman yang sama.

Ditatapnya lekat-lekat wajah Astrid dari sela kardus berisi tepung terigu yang tersusun di rak-rak panjang toko.

“Bagaimana kabar toko juga persiapan kuliah kamu?” tanya Christian.

“Alhamdulillah, lancar. Mungkin lusa aku ke rumah sakit buat urus beberapa tes kesehatan. Mas, aku masih kepikiran soal bunda juga panti. Maksud aku, setelah selesai kuliah, aku, ‘kan harus tinggal di sana minimal dua tahun. Menurut kamu gimana, Mas?”

“Kamu bingung soal apa? Dana? Ada aku, 'kan?”

“Mas, aku serius. Aku enggak bisa andalkan kamu terus. Di jalan Kapitan sana, ada ruko yang disewakan. Bagaimana kalau aku buka agen beras atau telur. Bagaimana menurut kamu?” tanya Astrid sembari mengutak-atik kalkulator. “Ya, uang tabungan aku sepertinya masih cukup untuk sewa setahun, kalau untuk barang-barang, bisa diatur nanti,” tambahnya.

“Yang di dekat Pasar Agung?” timpal Christian sementara netranya masih mencuri pandang wajah Astrid.

“Iya, dekat perempatan  lampu merah. Dekat sekolah Bina Surya, kamu tahu?” Christian menghampiri Astrid, duduk menyandarkan kepala di punggung Astrid.

“Bagus, rukonya lumayan besar. Kenapa harus sewa? Beli saja,” timpal Christian.

“Beli? Uangku belum cukup, Mas,”

“Kan ada aku. Pakai uangku dulu, bagaimana?” tawar Christian, “anggap saja aku tanam saham di sana, oke?”

Entahlah,” Ide Christian nantinya hanya akan menanamkan hutang budi dan lainnya.

“Atau, kamu cicil saja setelah selesai kuliah, bagaimana? Apa kamu enggak yakin sama prospek bisnisnya? Biasanya kamu selalu terperinci memikirkan semuanya,” goda Christian.

“Semua pasti punya risiko, ‘kan?” timpal Astrid.

“Ya makanya. Nanti uang kamu bisa dipakai untuk isi ruko. Bagaimana?” tawar Christian.

“Aku pikirkan dulu,” tegas Astrid.

Sejenak Christian memejamkan netra lalu bertanya, “Lalu bagaimana dengan hidupmu?”

Astrid bangkit lantas menatap Christian. “Hidupku? Baik-baik saja. Bunda dan anak-anak dan kamu sehat, aku baik-baik saja, sungguh,” seru Astrid.

Christian berkali-kali menelan ludah lalu memberikan ponselnya pada Astrid. Entah dia harus bersikap seperti apa saat menatap  potret Christian merangkul mesra seorang gadis berambut pendek. Christian terus memperhatikan raut wajah Astrid, tahu benar kalau dia masih memiliki rasa yang sama. Namun, cukup.

“Namanya Grace. Bagaimana menurutmu?” tanya Christian berusaha meyakinkan Astrid untuk berkomentar.

“Siapa dia? Pacarmu?” lirihnya.

Christian menarik napas panjang lalu mengangguk. “Sudah waktunya untuk kita memikirkan hal itu, 'kan?”

Astrid berusaha meredam hati, menenangkan teriakan batinnya. “Cantik, kenapa enggak pernah cerita sama aku, Mas?”

Christian memaksakan tawa. “Aku malu. Ah, sudahlah, jangan dibahas. Sepertinya kamu harus mulai memikirkan mencari pasangan hidup,” sarannya.

Astrid berusaha melengkungkan senyum. “Insyaallah, Mas. Semoga, jodohku sedang dipersiapkan dengan baik.”

***

“Mas, dicari sama Ibu, tuh!” goda Ana yang masuk ke kamar Bagas tanpa permisi.

“Ada apa? Mas masih sibuk,” tuturnya tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor.

“Ada Bibi Roro di luar ... ajak ... cewek!” tambah Ana kemudian tertawa puas.

Bagas menurunkan pandangan lalu menatap Ana. “Siapa?” tanya Bagas mulai penasaran.

Ana mendekati Bagas lalu berbisik, “Anindita Laksmono.”

Jantung Bagas berdetak lebih cepat lima kali lipat dari biasanya. Cepat-cepat kembali menatap layar monitor, berpura-pura lebih sibuk dari sebelumnya.

“Mas!” Ana memukul pelan lengan Bagas.

“Mas sibuk!!”

“Sibuk apa, sih, Bagas?” sindir Roro yang masuk secara tiba-tiba.

Ana dan Bagas saling berpandangan, sementara Roro tersenyum penuh kemenangan lalu menarik tangan Bagas keluar dari kamarnya. Memaksanya duduk manis di ruang tamu, tepat di sebelah gadis itu. Bagas menunduk, sesekali menatap Widyastuti, berharap dapat pertolongan.

Bukan hanya Bagas yang merasa gelisah. Widyastuti memang khawatir karena Bagas selama ini tidak pernah memperkenalkan seorang gadis, tetapi ia tetap berharap Bagas bisa menemukan sendiri belahan jiwanya. “Kamu sudah lulus kuliah?” tanya Widyastuti mencoba memulai pembicaraan.

“Sudah, Bu. Alhamdullilah,” jawabnya sembari mencuri pandang menatap Bagas.

“Ya sudah, Mbakyu! Dita itu lulusan terbaik! Apa itu namanya, ya? Kum apa itu ya?”

“Cum Laude, Bi!” jawab Ana sambil berusaha menahan tawa.

“Ah, iya! Dita ini, cantik, baik, pintar! Cocok banget buat, Bagas!” seru Roro.

Bagas hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar saran Roro. Diam-diam ikut mencuri pandang Anindita. Gadis itu miliki bentuk wajah mungil, hidung bangir, bulu mata lentik, rambut sehitam malam. Tubuhnya yang ramping. Bagas segera menampik pikirannya. Beristigfar dalam hati.

Netra mereka tidak sengaja bertemu.

“Mas? Kamu ... lebih tampan dari foto,” puji Anindita sembari tersipu.

Roro tertawa mendengar pujian Anindita. Lagi-lagi menyanjung betapa idealnya Anindita untuk dijadikan menantu keluarga Winoto.

***

Bagas menatap potret lawas Anindita yang dulu diberikan Roro.

Wajah Dita masih tetap cantik, tidak banyak berubah, pikir Bagas.

“Ah! Apa, sih!” desah Bagas sembari bangkit dari peraduan kemudian berjalan menuju jendela, menarik pengait lalu membuka daun jendela lebar-lebar.

Udara malam terasa membelai wajah. Ditatapnya sang langir, kelam tanpa bintang. Setelah penolakan dari Wulan, Bagas tidak pernah memikirkan untuk memulai kisah romansa. Padahal ia dianugerahi paras yang membuat semua gadis berebut. Ia ingin memilih satu saja gadis yang akan menemaninya hingga akhir.  Gadis itu ... entah berada di mana.

Astrid menatap langit Jakarta dari ayunan halaman belakang. Suara riang anak-anak masih terdengar. Mereka masih sibuk bermain, juga merasa bahagia tanpa memikirkan hal rumit. Namun, pikiran juga hatinya selalu saja seperti benang kusut ketika mengingat kembali potret yang diperlihatkan Christian. Rasanya hampir mustahil menerima kenyataan lelaki itu sudah melupakan dirinya.

“Mas Tian,” desahnya. Seharusnya ... ia merasa tenang karena Christian bisa menemukan sosok lain untuk mengisi hari-harinya. Andai saja, semua bisa berpihak pada mereka. Astrid menghempaskan pemikiran sedih. Ia bangkit, lalu tersenyum lebar sembari menatap langit. “Hei! Aku juga akan mendapatkan imam yang terbaik! Cepatlah datang! Jemput aku!!” teriaknya pada malam.

Bagas kembali membuka daun jendela, terasa ada yang memanggilnya. Ia kembali menatap langit. Entah mengapa tersenyum lebar. Satu bintang terlihat bersembunyi di balik awan. Siapa pun dia, gadis itu juga pasti menatap bintang itu.

***

Hari berganti. Terik matahari menembus pakaian yang dikenakan Christian. Ia memandang ruko berlantai tiga itu sampai tiba-tiba Astrid sedikit menarik lengan kemejanya.

“Mas, kamu yakin?”

Christian tersenyum lalu menarik tangan Astrid masuk ke dalam ruko. Seorang pria tambun berkemeja biru menyambut kedatangan mereka. Ia memperlihatkan semua sudut bangunan juga menerangkan keuntungan bila menyewa ruko ini.

“Maaf, saya belum berani kalau harganya di atas seratus lima puluh juta setahun,” aku Astrid.

“Itu sudah harga termurah dibandingkan ruko lain, Bu,” tutur pria itu.

“Kami akan segera menghubungi Bapak lagi, saya sedang terburu-buru juga,” tutur Christian lalu mengulurkan tangannya. Pria itu menyambut dengan ramah. “Astrid, ayo,” ajak Christian.

Christian membukakan pintu Toyota-nya untuk Astrid. Mengatakan bahwa mereka harus segera pergi makan siang. Astrid hanya bisa mengangguk lalu menatap bangunan-bangunan yang dilewatinya. Sekali lagi memikirkan semuanya, apa harus memilih berhutang pada Christian?

Mereka memilih bangku yang saling berhadapan di pojok restoran. Seorang pramusaji menghampiri. Astrid membiarkan Christian memesankan makanan. Sekali lagi memikirkan apa harus lelaki itu berkorban banyak untuknya?

Berkali-kali Christian menatap arloji, tetapi yang ditunggu tidak juga datang. Tekadnya sudah bulat. Ia sudah beberapa kali memikirkan hal ini. Rasanya sudah sangat tepat! Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar.

“Kamu enggak makan, Mas?” tanya Astrid.
“Aku masih menunggu seseorang,” akunya.
Alis Astrid bertemu. “Siapa?”

“Pembicaraan kita dengan makelar ruko itu alot sekali,” tutur Christian.

“Lalu? Kita baru pertama kali ketemu, Mas,” sergah Astrid.

“Sepertinya akan alot sekali!” elak Christian.

“Jadi?”

“Jadi, aku sudah meminta seorang kawan yang bisa membantu kita menegosiasikan masalah ini!”

“Si Penerus Winoto Grup?” tebak Astrid. Christian terdiam sesaat, napasnya seakan putus. “Kenapa, Mas? Tebakan aku benar, ya? Ah, aku sudah bilang! Aku alergi sama orang gedongan! Belum lagi namanya yang ningrat! Kita bisa tangani sendiri masalah ruko itu! Kamu lupa, ya? Kalau aku itu juga seorang negosiator andal!” imbuhnya.

“Aku sudah susah payah ajak dia untuk meluangkan waktunya sebentar buat kamu, loh,”

“Mas, aku enggak minta, loh!” sindir Astrid.

“Eh! Itu dia!”

Astrid mengikuti gerak telunjuk Christian. Netranya  menangkap sosok yang baru saja memasuki restoran. Memakai celana katun warna hitam, kemeja putih dengan garis merah di kerahnya, lengkap dengan dasi abu-abu. Senyuman mengambang di wajahnya. Astrid menutup mulut yang tiba-tiba saja terbuka lebar. Netranya membulat. Hati bergumam, “Si Bocah?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top