Bab 07 -Dalam Sujud-
Ada hubungan yang tercipta jauh lebih dalam dari pertalian darah. Namun, darah tetaplah lebih kental daripada air.
Handuk terselempang di pundak kirinya. Astrid mengangkat ember berisi pakaian yang hendak dijemur. Ia sudah terbiasa bangun lebih pagi, bahkan mengalahkan kokok ayam jago yang kadang merasa iri. Selepas salat Subuh, ia bergegas membersihkan lantai seluruh ruangan, memasak sarapan termasuk menyiapkan bekal untuk anak-anak. Semuanya terasa mudah karena telah terbiasa.
Sudah ditinggalkan kedua orang tua saat usianya masih sangat muda, Astrid belajar untuk bekerja keras juga membalas kebaikan adik ibunya yang mau merawat Astrid sampai detik ini.
“Bun,” panggilnya sembari meletakkan amplop cokelat di meja. Yuli menghentikan kegiatannya kemudian duduk di sebelah Astrid. “Bun, aku ada sedikit rezeki, bisa buat anak-anak beli pakaian atau mainan,” tambahnya.
Yuli mengusap punggung tangan Astrid. “Nak, cukup. Simpanlah untuk rumah tanggamu nanti.” Senyum Astrid hilang saat Yuli menyebutkan kalimat itu. Rasanya sudah terlalu banyak yang Astrid berikan untuk panti. “Bagaimana persiapan kuliah kamu? Astrid, Bunda khawatir. Kamu yakin mau ninggalin Bunda ke Belanda sana?” lirihnya.
“London, Bun. Astrid enggak lama ke sana,” elaknya berusaha meyakinkan.
“Astrid, kamu yakin? Kamu sampai harus berhenti kerja untuk ambil beasiswa ini. Bunda khawatir,”
“Bun, kesempatan ini enggak datang berkali-kali soalnya,” bujuk Astrid.
Yuli menghela napas panjang. Akan sulit untuk memenangkan percakapan ini. “Astrid, Bunda khawatir. Apalagi nanti setelah selesai kuliah, kamu harus menetap di sana selama dua tahun. Bunda takut,” tambahnya lagi.
“Bun, semuanya sudah hampir selesai. Soal tinggal di sana, Bunda ‘kan sudah tahu sebelumnya. Bun, Astrid akan baik-baik aja, sungguh,” ucapnya berusaha meyakinkan
Yuli kembali menarik napas. “Bunda hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu. Tapi tolong kamu tenangkan hati Bunda juga,” ujar Yuli sembari tersenyum.
“Apa?”
“Pergilah bersama seseorang yang akan menjadi imam kamu saat salat di sana, yang bisa jaga kamu,” lanjutnya.
Astrid hanya mampu tertunduk.Tidak ada yang bisa ia ucapkan. Bagaimanapun kepergiannya ke London adalah untuk melupakan Christian. Satu cinta yang masih disimpan rapi dalam bagian hati paling dalam.
***
Bagas membolak-balik beberapa lembar kertas yang ada di meja, kemudian memijat lembut kening. Ia masih berjuang keras mempelajari kontrak kerja sama dengan beberapa penyuplai juga hal lainnya.
Kesehariannya makin terasa berat. Namun, dalam kamus Bagas Adisatya Winoto tidak ada kata menyerah.
Seorang gadis berpakaian rapi warna abu-abu memasuki ruangan Bagas. Rambutnya dikucir kuda, berkacamata hitam, cocok sekali dengan wajah orientalnya yang kental. Namanya Jean Fahrani, seorang gadis yang dipilih Bagas untuk menjadi sekretaris.
“Maaf, Pak. Ada Bapak Christian dari Jaya Konstruksi. Katanya sudah ada janji dengan Bapak jam sepuluh pagi ini,” tuturnya sembari melirik arloji di pergelangan tangannya.
Bagas tersenyum. “Oh, ya, persilakan masuk!” jawabnya.
Jean balas tersenyum lalu mengangguk. Tak lama. Christian muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja warna biru lembut, ia menyambut uluran tangan Bagas dengan penuh senyum.
Pembicaraan mereka terjalin penuh keakraban. Baik Bagas ataupun Christian sama-sama menumbuhkan rasa kagum. Bagas salut akan pemikiran positif Christian, sedangkan Christian, tentu saja mengagumi pemuda yang memiliki pemikiran begitu membangun.
Christian memperhatikan Bagas yang dengan baik menjelaskan secara rinci beberapa rencana kerja sama dengan perusahaannya. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan penerus perusahaan besar dan percakapan itu lebih mirip sebagai ajang menyombongkan diri, tetapi itu tidak berlaku bagi Bagas. Dia selalu merendah.
Di akhir pertemuan, mereka saling bertukar nomor telepon pribadi. Berharap bisa menjalin sebuah hubungan relasi sebagai satu nama pertemanan.
Bagas adalah calon pemimpin besar yang tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya karenanya Christian tentu ingin merebut kepercayaan Bagas dengan sebuah undangan makan siang.
***
“Kamu sudah makan siang? Hari ini bisa jemput anak-anak, memang kamu enggak sibuk?” tanya Astrid kala Christian keluar dari mobil kemudian menghampirinya.
Chistian mengamati penampilan Astrid, berbisik dalam hati, betapa cantiknya gadis yang ada di hadapannya.
“Belum sempat,” jawab Christian.
“Tumben, kamu sibuk sekali sampai lupa makan,” tutur Astrid.
“Tadi aku ketemu sama seseorang yang hebat sekali pemikirannya!” seru Christian lalu duduk di bangku depan panti.
“Siapa? Penerus Winoto Grup lagi? Belum bosan membicarakan dia?” tebak Astrid mulai jengah mendengar hal yang berkaitan dengan pemuda itu.
Christian tergelak. “Kamu harus bertemu dengan dia. Dia masih muda, tetapi aku belum pernah menemui pemuda yang memiliki pemikiran seperti itu!” tutur Christian bersemangat.
“Ya, nanti. Aku ke dalam dulu, ya? Bantu bunda masak sekalian siapin makan siang buat kamu, oke? Kamu tunggu, oke?” Christian mengangguk setuju. Astrid berlalu pergi.
Ditatapnya pekarangan panti. Tampak rapi, juga indah. Ia yakin kalau Astrid juga ikut andil menata pot-pot bunga itu. Andai saja, ya, ia terlalu takut untuk berandai-andai lagi. Namun, kesempurnaan hidup akan seutuhnya didapatkan bila Astrid bisa dimiliki selamanya.
Christian menepuk ujung sepatu lalu memasuki panti. Beberapa anak-anak menyambut kedatangannya kemudian ia berjalan ke arah dapur.
“Christian kasih minum dulu, kasihan. Nanti dia makan siang di sini?” tanya Yuli sembari mengupas kulit jagung.
Christian tersenyum saat namanya disebut kemudian merapatkan tubuhnya ke dinding pembatas menuju dapur.
“Iya, Bun. Makan di sini. Alhamdulillah, Mas Tian masih mau bantu antar jemput anak-anak,” jawab Astrid.
Yuli membalas senyuman Astrid. Namun, hatinya enggan untuk ikut tersenyum. Ia cemas lebih dari yang Astrid kira. Hubungan Astrid dengan Christian ibaratkan pisau bermata dua yang akan menyakiti keduanya.
“Nak, mau sampai kapan kalian seperti ini?” Sejenak Astrid berhenti memotong wortel kemudian menatap Yuli. “Bunda, senang kalian tetap bersilaturahmi, tetapi Bunda khawatir, itu hanya alasan untuk enggak melanjutkan hidup,” lirihnya.
Christian menunduk. Bagaimanapun yang Yuli katakan benar adanya. Ia pernah berjanji pada Yuli untuk memutuskan hubungannya dengan Astrid. Itu sudah dilakukan, tetapi bagian dari menjauhi Astrid ... itu lain cerita.
“Astrid, menikah akan menyempurnakan agama. Hidup akan terus berjalan, harus tetap berjalan. Sepahit apa pun. Kalian harus berhenti lalu menatap orang lain yang memang tercipta dari bagian rusuk kalian,” tambah Yuli.
Astrid tersenyum sendu lalu mengangguk setuju. Ia memang tidak bermaksud untuk melarikan diri dan terus sendirian seperti ini. Hanya saja, memang belum mampu jauh tanpa dia. Lebih tepatnya tidak mau jauh darinya.
“Nak, kamu belum pernah mencoba membuka hati pada yang lain. Berikan kesempatan padamu juga Tian untuk benar-benar menuliskan lembaran baru.” Astrid kembali mengangguk.
Setelah hari itu terlewati, hati Christian dipenuhi rasa bersalah. Tidak bermaksud mengikat Astrid dengan hubungan yang semu. Walaupun munafik rasanya bila berkata sanggup hidup tanpa menatap wajah Astrid.
“Mohon maaf, sudah waktunya salat magrib. Mari kita lanjutkan pembicaraan ini setelah menunaikan salat,” pinta Bagas sembari menutup laptop.
Christian terbangun dari lamunan saat semua orang mulai beranjak pergi. Ia mengamati serius Bagas lalu mengangguk padanya saat hendak pergi. Diikutinya pemuda yang berjalan menuju sebuah musala. Diam-diam mengamati Bagas mulai membasuh wajah, lengan, kepala dan kaki dengan air keran, setelah itu dia menyalami beberapa orang di dalam Musala.
Seketika jantung Christian berdentum kencang saat menatap bayang Astrid seakan nyata hadir di hadapannya.
Air matanya berderai hebat. Sungguh dalam penglihatannya kini, hanya Bagas dan Astrid yang sedang menunaikan kewajiban mereka sebagai umat yang taat.
Christian berkali-kali menyeka air mata. Dadanya masih sesak seakan diimpit batu besar. Haruskah ia benar-benar merelakan Astrid bersama lelaki lain? Apakah lelaki bisa mencintai Astrid? Apakah rela melihat Astrid bersama dengan yang lain?
Bagas yang menepuk lembut pundak Christian, sedikit terkejut mendapati wajahnya sembab.
“Ayo, kita kembali lagi ke ruang pertemuan,” ajak Bagas. Christian mengangguk setuju serta mempersilakan Bagas untuk lebih dulu berjalan.
Christian mengamati punggung Bagas. Lelaki itu, apakah Bagas? Apakah dia orangnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top