Bab 06 -Kawan-

Ada hal yang tidak bisa dihentikan, yaitu waktu. Ada juga yang sulit dihentikan, walaupun sebenarnya masih bisa berhenti, yaitu kebiasaan.


Tahun-tahun berlalu. Pagi di panti asuhan Permata Hati tetap seperti biasa. Hanya saja, anak-anak sudah memiliki tempat lebih layak untuk ditinggali. Tidur dengan kasur empuk tanpa harus berebut, minum susu hangat setiap hari tanpa dijatah, juga bisa makan daging tanpa harus menunggu Iduladha. Silih berganti duka kemudian tangis perpisahan bahagia kala mereka dijemput oleh keluarga baru.

Astrid?

Tetap sama. Hanya lebih menenggelamkan diri pada topeng kesibukan. Seolah mencari satu alasan untuk menyembunyikan rasa rindu pada Christian. Harapan itu masih ada, ia tetap berdoa semoga akan satu jalan yang menyatukan mereka.

Pagi ini anak-anak begitu lahap menyantap sarapan. Astrid sudah selesai memasukkan bekal makan siang ke semua tas sekolah. Sejenak ia terdiam ketika mendengar bunyi klakson mobil di depan panti. Tergesa-gesa Astrid menuruni dua undakan anak tangga kemudian membuka daun pintu.

“Pagi!” sapa Christian.

Astrid hanya mampu membalas senyuman Christian dengan anggukan kepala sembari menetralkan deru napas. Tanpa dikomando anak-anak berlari melewati Astrid yang masih terpaku. Mereka berebut masuk ke dalam mobil Christian.

“Jangan melamun,” bisik Yuli sembari menepuk pelan pundak Astrid.

Astrid berusaha membalas senyum Yuli.

“Astrid, kamu jadi ikut?” tanya Christian setengah berteriak.

Astrid mengangguk dengan cepat kemudian berlari meraih tas juga beberapa tumpuk dokumen di atas meja. “Bun, aku berangkat, ya? Nanti aku ada orientasi beasiswa, mungkin pulang terlambat. Assalamualaikum,” pamitnya.

“Alaikum salam, hati-hati, Nak,” balas Yuli. Hatinya pedih melihat Astrid juga Christian tetap berkubang dalam perasaan terpendam mereka.

Langkah Astrid sempat terhenti saat menatap Christian. Sekali lagi ia coba untuk tersenyum. “Pagi, Pak Dirut merangkap Sopir Jemputan!” goda Astrid sembari memasang sabuk mobil dengan susah payah. Christian tertawa "Ayo? Tunggu apalagi? Jangan liatin aku kaya, gitu. Kalau makin cinta, berabe, 'kan?” tambahnya lagi.

Tawa Christian makin kuat. Ia mengakui kalau rasa cintanya memang makin tumbuh subur di dalam hati.

Toyota-nya mulai melaju. Christian sengaja melambatkan laju kendaraannya, mmilih jalan agak memutar untuk tiba di Sekolah Dasar Negeri 01 Jakarta Selatan. Berharap bisa diam-diam lebih lama bersama dengan Astrid.

Astrid berkali-kali menyeka keringat di dahi menggunakan lengan kemeja. Hari masih sejuk, tetapi karena berada di dekat Christian, suhu tubuh gadis itu naik tajam.

Semua yang ada pada Christian membuatnya malu sendiri. Cara Christian memperhatikan jalanan, membunyikan klakson, memutar kemudi mobil, bahkan cara Christian berkedip pun tidak luput dari perhatian Astrid.

Memesona, pikirnya.

“Jangan lap keringat pakai lengan kemeja. Nanti jadi kebiasaan,” tegur Christian.

Astrid tersenyum kecut. “Iya, refleks saja. Oia, hari ini kamu rapi sekali, ada rapat penting?” tanyanya menatap Christian yang memakai kemeja biru muda dengan dasi corak garis tipis warna senada.

“Enggak juga. Aku diundang rapat perkenalan penerus Winoto Grup,” jawabnya singkat.

“Winoto Grup?” Astrid kembali bertanya, alisnya bertaut.

"Sejak kapan kamu tertarik pada dunia properti? Mereka adalah orang-orang hebat yang patut dikagumi,” lanjutnya.

“Kenapa?” tanya Astrid penasaran.

“Hebat tapi enggak merasa hebat, sederhana tapi bisa menyejajarkan diri dengan yang lain. Hadinata Winoto adalah sosok yang patut jadi panutan. Anaknya memang baru lulus kuliah, tapi aku dengar dia sudah berhasil menjual puluhan unit rumah mewah dalam tiga bulan. Kata orang, dia berhasil menegosiasikan hal yang selama ini sulit ditembus oleh ayahnya,” tutur Christian.

“Wah, kedengarannya hebat,” timpal Astrid.

“Memang, kalau saja kamu mau bergabung denganku. Mungkin ada saingan buat si Negosiator Andal itu," sindir Christian.

“Aku terlalu sibuk di kantor, toko, belum lagi persiapan kuliah, sibuk, Mas,”

“Ya, sibuk, itu nama tengah kamu. Sudah lima tahun berlalu, kamu tetap konsisten dengan toko, karir kamu. Dengan semua yang hal sulit yang sudah dilewati, aku rasa kamu lebih hebat dari si Penerus Winoto itu," puji Christian.

“Ah, sudahlah, jangan memuji terlalu berlebihan. Semua ini karena bantuanmu juga, Aku hanya tidak ingin panti hidup dari uluran tangan penderma. Itu saja, kok,” timpalnya.

Christian tersenyum lalu mengangguk-angguk. Astrid memang benci disanjung seperti itu. Biarpun jasanya dalam mengubah kehidupan panti menjadi lebih baik teramat besar, ia tetap rendah hati dan menganggap semua usahanya bukan apa-apa. Benar-benar intan yang berharga.

***

Christian tiba di kantor Winoto Grup lebih awal hampir lima belas menit. Ia menunggu sambil membaca beberapa majalah di lobi. Netranya mengikuti langkah beberapa orang yang baru saja masuk.

“Mereka pasti yang sedang ditunggu,” gumam Christian.

Tampak seorang pemuda mengenakan kemeja putih bergaris hijau lembut mengikuti langkah Hadinata Winoto. Pemuda itu dinilai cukup menarik. Tulang rahang dan sorot netranya tegas, mirip sekali dengan ayahnya.

Dialah Bagas Adisatya Winoto.

Hari ini resmi sudah penobatan Bagas sebagai penerus takhta Winoto Grup. Ia harus mulai belajar sebelum kembali melanjutkan kuliah (entah kapan).

N

ilai akademis yang mampu Bagas capai tidaklah terlampau menakjubkan. Namun, itu tidak mengurangi kriteria seorang pemimpin yang cakap menurut Hadinata Winoto. Ilmu bisa dipelajari, tetapi etika juga norma kehidupan adalah yang lebih utama.

Bagas dirasa sudah pantas untuk belajar etika bisnis dan sebagainya. Hadi akan menjadi tameng pelindung untuknya. Walaupun usia Bagas terbilang paling muda di antara orang-orang hebat yang berkumpul di ruangan rapat, tetapi ia tetap percaya diri kalau putranya paling cakap.

Bagas berdiri, menatap semua yang sudah hadir. “Nama saya Bagas Adisatya Winoto, mohon bantuan dan kerja samanya. Jangan sungkan menegur saya bila salah.” Bagas membungkukkan badan, memberi penghormatan tertinggi pada setiap yang hadir.

Tepuk tangan Christian mengundang tepuk tangan lainnya. Bagas menoleh pada Christian. Mereka saling membalas senyum. Rasa kagum Christian seketika terbangun pada sosok pemuda itu. Keduanya berjabat tangan. Takdir juga mengikat satu tali hitam di antara keduanya.

***

Bagas mengikuti langkah Hadi. Netranya tetap terpaku pada beberapa lembar dokumen di tangan. Ia harus bisa membuktikan bahwa keputusan ayahnya tidak salah. Beberapa pendapat buruk itu akan segera tergantikan dengan kalimat-kalimat yang setuju dengan pendapat Hadinata Winoto kalau Bagas pantas menggantikannya kelak.

“Pak Bagas!” Bagas menoleh, mereka bertemu lagi. Christian mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Christian Eduardus,”

Bagas tersenyum lalu menyambut jabat tangan itu.

“Dia adalah direktur utama Jaya Konstruksi. Seorang pebisnis muda yang pantas menjadi contoh,” puji Hadi sembari menepuk pundak Christian. “kalian mengobrol saja dahulu,” Hadi pergi meninggalkan mereka yang saling tersenyum.

“Bapak Hadi selalu berlebihan memuji saya," tutur Christian.

Bagas sedikit membungkuk. “Mohon bantuannya kelak,” ujar Bagas.

Christian menepuk pundak Bagas. “Tidak perlu sampai membungkuk seperti itu. Jadi, kapan kita bisa berbincang sebagai teman?”

Bagas tersenyum. Sikap ramah Christian membuatnya nyaman. Tidak pernah ada prasangka juga dugaan takdir akan menjungkirbalikkan keadaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top