Bab 05 -Kenangan pertama-

Bagian terpenting dan terlupakan kadang menjadi bagian yang ditanyakan pada takdir.


Ketika mereka berjalan di lorong sekolah, sayup-sayup terdengar celoteh para siswi yang menatap kagum keduanya. Arif tersenyum menggoda pada rombongan itu, netranya berkedip sebelah hingga membuat para bidadari itu tersipu-sipu.

Bagas menepuk kepala Arif. Dia hanya terkekeh mendengar peringatan sahabatnya kemudian menengok sedikit ke belakang. Mereka masih terbius sengatan aura tampan Arif.

“Lo masih ingat sama semua rencana kita, 'kan?” tanya Arif sembari melayangkan pandang pada gerombolan siswi lain yang baru saja keluar dari perpustakaan.

Bagas sedikit mengikut lengan Arif. Ia benar-benar tidak ingin Arif menyakiti hati seorang gadis baik-baik, yaitu Laila. “Ya, nanti di taman, kamu sama Laila pura-pura mau beli makanan ninggalin aku sama Wulan berduaan! Gitu, 'kan?” Arif tersenyum, menepuk-nepuk pundak Bagas.

“Bagus, dia pasti terima lo! Taman di dekat Universitas agak ramai kalau sore, jadi lo harus tahan kalau mau menangis karena ditolak sama Wulan!” Arif kembali meringis karena kembali mendapat sikutan Bagas.

Hal itu tidak mungkin terjadi. Bagas sangat percaya diri. Ditepuk pelan-pelan tasnya. Hari ini ia membawa buket itu.

Barang pembawa hoki.

***

Sorot matahari makin condong ke barat. Astrid menatap setangkai mawar terlaminating yang terselip di antara bukunya kemudian mendongak untuk menatap cakrawala. Hari ini, semuanya berjalan lancar seperti biasanya. Urusan anak-anak panti, kampus, serta toko sembako berjalan mulus tanpa hambatan berarti.

“Astrid!”

Ia menoleh kemudian membalas lambaian tangan sang kekasih dengan tambahan senyum cerah.Hidupnya akan terasa makin sempurna bila bisa berdampingan dengan Christian.

“Lama?” tanya Christian.

“Enggak, aku juga baru saja sampai!” jawabnya terpaksa bohong karena tidak ingin membuat Christian merasa bersalah.

“Maaf, urusan sama Pak Wisnu jadi lama. Puji Tuhan, semuanya baik, skripsinya diterima, enggak ada yang perlu direvisi lagi!” ujarnya penuh semangat.

“Alhamdulillah, semoga target kita lulus tahun ini bisa terlaksana!” timpalnya.

Christian tersenyum lembut, dibelainya rambut Astrid. Ia tidak bisa membohongi hati. Sulit melepaskan dia, tetapi ini harus tetap dilakukan demi kebahagiaan bersama.

Sebenarnya ada beberapa kalimat yang sudah dipersiapkan Christian, tetapi saat kembali menatap langit cerah di sore ini, semuanya seakan tertahan di pangkal kerongkongan.

Christian sadar betul hubungannya dengan Astrid harus menemui titik kejelasan. Selain itu, ia harus mulai memikirkan karier serta membiarkan Astrid untuk  mulai membuka hati pada lelaki lain. Christian sadar, bila terus dilanjutkan maka hubungan mereka akan menyakiti banyak orang.

“Astrid, coba lihat awan itu,” pinta Christian. Astrid menatap awan yang ditunjuk Christian. “Menurutmu, ke mana akhirnya dia akan pergi?” lanjutnya.

“Berubah jadi hujan, lalu bermuara di laut," Christian tersenyum puas mendengar jawaban Astrid.

“Lalu, menurutmu, akan ke mana burung-burung itu pergi?” tanya Christian lagi ketika gerombolan burung gereja terbang melintas di atas kepala mereka.

Kali ini Astrid tidak langsung menjawab. Satu kegelisahan sudah menyelimutinya, terlebih setelah ia juga mengingat pembicaraan Christian dengan Yuli yang tidak sengaja terdengar.

"Ih, kamu apaan, sih! Dari tadi nanyain hal aneh terus!” protes Astrid.

“Mereka punya tujuan, bukan? Semua yang ada di sini pasti punya tujuan, kamu juga punya tujuan dalam hidup, 'kan?”

Astrid terdiam cepat-cepat ia memalingkan wajahnya, tetapi Christian dengan perlahan membimbing ujung dagu Astrid untuk kembali menatapnya.

“Sayangnya, hubungan kita enggak akan pernah bisa berlabuh pada tujuan,” lirih Christian.

Tangis Astrid seketika pecah. “Mas, aku ....” Kalimat itu tertahan di kerongkongan. Ia tidak meragukan kesungguhan Christian. Hanya saja, terlalu banyak kata tetapi dalam hubungan ini.

“Aku mencintaimu. Semua yang kita lewati ... semuanya begitu indah. Mana mungkin aku bisa melupakan itu, tetapi aku enggak bisa menahanmu untuk bisa menjadi utuh. Maaf, kita harus mengakhiri semuanya. Pergilah Astrid, berjalanlah terus tanpa genggaman tanganku.” Astrid mendekap erat Christian. Menenggelamkan dirinya dalam dada Christian yang naik turun menahan tangis sekaligus perih.

“Eh, lihat, deh!” ujar Arif pada Bagas sembari menunjuk sepasang kekasih yang sedang berpelukan. Mereka tidak lain adalah Astrid dan Christian. Bagas cepat-cepat memalingkan wajah, berdeham kencang untuk menyembunyikan rasa malu sedangkan Arif terkekeh-kekeh sendirian. “Eh, lihat! Cowoknya pergi!” seru Arif seakan sedang menyaksikan telenovela.

“Kayaknya mereka putus, tuh! Ceweknya nangis, gitu!” timpal Laila.

Seketika Bagas berdiri. “Aku beli minum dulu!” pungkasnya. Arif bergegas bangun, mencegat langkah Bagas.

“Gue yang mau beli! Sama Laila!! Lo tunggu di sini! Sama Wulan! Wulan!” ujarnya kemudian pergi bersama Laila.

Bagas tertegun lalu kembali duduk di bangku taman dengan wajah yang tiba-tiba pucat.

“Kamu sakit?” Pertanyaan Wulan membuat jantung Bagas malah berdegup makin kencang.

“Enggak, kok! Enggak!” jawabnya cepat sambil menyeka bulir peluh sebesar biji jagung yang meluncur deras dari dahi.

Raut wajah gadis itu juga tampak gelisah. Bagas bersorak dalam hati, mungkin Laila sudah memberikan bocoran pada sahabatnya itu kalau ada pemuda tampan akan melamarnya, eh, memintanya menjadi kekasih. Bagas membuka sedikit tas, dilirik si Buket yang sudah layu tak bergairah.

Jantung Bagas hampir copot ketika Wulan tiba-tiba bangun sembari mengentakkan kaki. Namun, terlalu kikuk untuk bertanya.

“Bagas, kamu tahu ke mana Arif beli minuman?” tanyanya garang.

“Eng–enggak, kenapa?” jawabnya terbata.

Wulan kembali melirik arloji merah muda di pergelangan tangan. “Aku udah terlambat, duluan ya? Nanti bilangin Laila sama Arif, maaf aku enggak tunggu mereka, aku pulang dulu, ya?” pamit Wulan.

“Tunggu!!” Entah keberanian apa yang merasuki Bagas hingga ia menarik tangan Wulan.

“Apa?” tanyanya pelan.

“Wulan, itu, aku ....”

Wulan menepis tangan Bagas, lalu kembali melihat arlojinya. “Bagas, bisa cepat, enggak? Soalnya pacar aku kayaknya sudah mau sampai ke rumah aku, deh!”

Deg!

“Bagas?” Wulan melambai-lambaikan tangannya tepat di hadapan Bagas yang mematung. “Aku duluan, ya?” pamitnya berlari pergi meninggalkan seorang pemuda yang merasakan patah hati pertamanya.

Bagas kembali duduk guna mengembalikan semua roh yang sempat hilang dari raga. Rasanya tidak mungkin salah dengar. Wulan sudah punya pacar. Titik! Dilihat kembali isi dalam tas selempang miliknya. “Mungkin karena kamu bukan melati, jadi efeknya hilang,” gumamnya pada diri sendiri.

Ia kembali menatap langit. Arak-arakan awan tampak seperti pasangan yang beriringan. Bagas mendengkus kesal kemudian mengalihkan pandangan pada tempat lain. Sesosok perempuan yang tadi dibicarakan Arif rupanya masih di sana. Dia tampak terrunduk sembari sesekali menyeka air mata. Bagas mengeluarkan buket itu dari tasnya lalu berjalan ragu mendekatinya.

Cicit isaknya sesekali terdengar. Bagas ragu menatapnya yang tertunduk. “Nih!” Bagas meletakkan buket itu di pangkuan Astrid. Netra mereka kembali bertemu. “Eh! Mbak? Yang waktu itu di pernikahan, 'kan?” tebak Bagas. Astrid cepat-cepat menyeka air matanya. Bagas tersenyum lembut. “Sepertinya bunga yang ada sama Mbak juga enggak berguna, ya?” ujar Bagas kemudian duduk di samping Astrid. “Kayaknya, Mbak lebih butuh bunga itu daripada aku, mungkin kalau utuh efeknya akan berbeda. Aku juga baru saja ditolak,” lanjutnya.

Astrid bergantian menatap buket di pangkuannya dengan pemuda konyol yang sedang menasihati dirinya lalu mengembalikan buket itu ke tangan Bagas. “Bocah! Jangan ikut campur!” pekik Astrid sembari tersedu-sedu.

Bagas mengerutkan dahi kemudian mengembalikan buket itu lagi. “Aku enggak perlu bunga itu, orang tuaku akan mencarikan jodoh untukku. Jadi, sepertinya memang Mbak yang lebih memerlukan bunga itu,” tambahnya.

Astrid terkesiap mendengar ucapan bocah sinting, urakan, tidak tahu malu. “Siapa yang kamu sebut butuh bunga untuk dapat jodoh?” cibirnya.

Bagas menangkap sinyal salah paham. “Bukan begitu maksudku! Ah, lupakan, cepatlah pulang! Menangisnya di rumah saja, malu dilihat banyak orang!” lanjutnya.

Astrid kembali menyeka air mata kemudian menatap ke sekeliling taman dan benar saja, beberapa pasang netra tampak mencuri pandang pada dirinya. “Bocah, kenapa menasihati seseorang yang lebih tua? Berapa umurmu?” cibir Astrid.

Bagas sedikit tertawa. Merasa wajar kalau dia tidak malu hal pribadinya dijadikan tontonan. Pemikirannya dangkal!

“Tujuh belas! Lagi pula, saran enggak harus datang dari yang lebih tua saja, 'kan? Umur hanya angka, pemikiran matang bisa didapatkan dari yang lebih muda karena sifat bijaksana juga kecakapan bukan berasal dari usia,” jawabnya penuh percaya diri. Untung saja ia hafal betul kalimat yang sering Hadi ucapkan bila sedang menasihati Widyastuti.

Astrid kembali menunduk. Kalah telak!


Bagas mengulurkan tangan. “Mbak? Oi, sampai ketemu lagi. Sudah sore, aku pulang duluan, ya?” pamitnya.

Sejenak Astrid terdiam lalu menerima uluran tangan Bagas dan membalas senyumannya. Tidak pernah terpikirkan kalau bisa cepat tersenyum setelah berpisah dengan Christian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top