Bab 03 -Bunga Pernikahan-

Takdir mempertemukan kita dengan cara yang indah dan tidak terlupakan.


Sinar mentari menghujani bumi dengan lembut. Cicit burung terkalahkan suara sibuk manusia yang memulai hari. Pagi di panti asuhan tetap seperti biasanya. Sibuk, riang gembira, terkadang menyedihkan. Seorang gadis menggelung rambut ikalnya dengan asal. Menuangkan susu hangat ke dalam tiap-tiap gelas yang terjejer rapi. Ia sudah melakukan aktivitas ini selama hampir tiga belas tahun. Tak lama berselang seorang wanita paruh baya membawakan baki berisi piring-piring. Lalu diletakkan bersebelahan dengan gelas yang terisi susu.

Gadis itu menyeka keringat, tetapi semangatnya memaksa raga untuk tidak merasa lelah. Ia bergegas menuju bangunan belakang. Di mana semua anak-anak lelaki sedang mandi di bawah jejeran pancuran air. Riang gembira saling melempar busa sabun. Ia mendekati mereka, memasang tampang seram sembari berkacak pinggang.

"Woi, Mbak Astrid!" seru salah satu anak memberi aba-aba.

Netra gadis itu mendelik. "Sudah mandinya?" Serempak semuanya mengangguk setuju lalu satu-persatu pergi meraih handuk menyisakan rasa geli tertahan di dada gadis itu.

Tugasnya belum usai. Sekarang giliran kamar para gadis cilik yang harus diperiksa. Namun, tidak perlu berpura-pura masam. Sedikit saja membuka pintu kamar dan tampak mereka saling menyisir rambut. Gadis itu kembali ke ruang makan. Dilihatnya sang bunda tampak menyuapi anak-anak balita ditemani beberapa relawan. Ada kejanggalan dalam raut wajah wanita yang amat dicintai. Dengan cepat ia mendekatinya. "Bun?" Wanita itu menoleh lalu tersenyum. Memberikan sendok kecil juga mangkuk berisi bubur bayi pada gadis itu.

"Besok lusa ... Windi sama Jeinal dijemput sama orang tua asuh mereka. Berkas-berkas sudah selesai,” lirih Yuli sembari menyendok nasi goreng ke setiap piring.

Gadis itu terdiam. Sulit melepaskan para malaikat kecil. Namun, rasanya terlalu egois dan tentu saja mereka akan mendapatkan penghidupan lebih layak daripada tinggal di panti. Setidaknya, hidup dengan pelukan hangat orang tua. Mudah-mudahan saja semuanya mendapat kasih sayang seperti itu.

Sulit menanggapi keresahan wanita paruh baya yang bernama lengkap Yuli Triyani. Beliau adalah pemilik yayasan panti asuhan Permata Hati. Sepeninggal suaminya, beliau bertekad serius untuk mengurus beberapa anak-anak yatim-piatu juga anak kurang beruntung yang ditinggalkan tanpa harapan. Berbekal surat resmi dari pemerintah setempat. Tanpa terasa, hampir dua puluh tahun Yuli menjalankan amanah mendiang suaminya. Meneruskan mimpi tanpa pernah terputus.

Anak-anak berhamburan keluar dari kamar asrama. Duduk tertib, menunggu aba-aba Yuli untuk membaca doa lalu mulai menikmati hangatnya susu juga sepiring nasi goreng lengkap dengan ayam kecap buatan gadis itu. Semuanya berjalan seperti biasa. Makan dengan tenang. Sesekali bersenda gurau, tawa riang anak-anak di pagi hari membakar semangat para pengurus panti. Pupil netra gadis itu tiba-tiba membulat, senyum sempurna terlukis di wajahnya.

“Alhamdulillah, toko kita ramai. Bunda rasa, kamu harus berhenti dari salah satu kerjaan sambilan kamu. Takutnya, kuliah kamu jadi terganggu,” Yuli menatap cemas Astrid.

“Insya Allah, aku masih bisa bagi waktu, Bun,” sanggahnya.

Suara deru mobil makin mendekat, ia bangkit dari kursinya. Tampak tersipu malu lalu meminta anak-anak segera menandaskan sarapan lalu bergegas ke pintu depan. Ia pergi menyusul sembari membawa kotak berisi makanan.

"Hai!" sapa seorang pemuda yang sibuk membantu anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu tersipu sambil menyodorkan kotak warna merah. Pemuda itu juga balas tersenyum. "Terima kasih," ucapnya ketika kotak itu sudah berpindah tangan.

Ia merapikan rambut-rambut halus di sekitar wajahnya. Takut kalau pemuda itu kesulitan menangkap raut wajah bahagia yang terpancar. Sesekali juga merapikan pakaian, memastikan tidak ada noda kecap atau pengganggu lain. Ia harus tampil sesempurna mungkin di hadapan dia.
Gadis dengan pipi kemerahan itu bernama Astrid Kirania, usianya tahun ini genap dua puluh dua tahun.

Pemuda mendekatkan wajahnya pada Astrid yang tersipu. "Setiap hari kamu semakin cantik saja. Kami berangkat dulu, ya?" pamitnya sembari masuk ke dalam mobil.

Toyota hitam itu sudah tidak terlihat, tetapi Astrid masih menatap jalanan yang mulai ramai. Hatinya berpagut pada pemuda itu hampir sembilan tahun lamanya. Mengharapkan sebuah pertalian kasih indah yang akan abadi. Saling bersandar tanpa ada rasa khawatir.

"Astrid?" Yuli dengan lembut menepuk pundak Astrid. "Tian sudah pergi?" tanyanya lagi.

Astrid mengangguk pelan. Pemuda itu. Christian Eduardus. Seseorang yang tanpa sengaja menemaninya sedari sekolah menengah pertama. Serta yang diharapkan menjadi pelabuhan terakhir.

"Kamu yakin seperti ini saja cukup?" Pertanyaan Yuli menggoreskan sejuta kepedihan dalam hati. Astrid tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Yuli. "Astrid, akan lebih baik bila kalian mulai memikirkan apa yang harus kalian putuskan. Christian adalah pemuda yang baik, tetapi kalau seperti ini terus, apa mungkin dia yang akan menjadi pemuda yang akan menemanimu hingga akhir?" tanyanya lagi.

Astrid menatap pilu punggung Yuli yang menghilang pergi sembari menggandeng beberapa anak menuju taman kanak-kanak di ujung gang sana. Entahlah, rasanya jurang pemisah itu semakin lama memang semakin melebar.


***


Kehangatan juga dirasakan dalam udara yang mengisi setiap jengkal kediaman Winoto. Mereka sudah duduk saling berhadapan. Widyastuti menyendok nasi goreng yang masih mengepul untuk Hadi. Sesekali melirik putra sulungnya yang termenung. Ditepuknya perlahan pundak Bagas.

"Makan!" tuturnya.

Bagas tersenyum lalu mulai melahap sepotong roti isi selai kacang kesukaannya.

"Bu, Mas Bagas ini masih kepikiran omongan Bibi Roro!" seloroh Sekar yang memicu tatapan sinis Bagas tertuju padanya. Sekar mencebikkan bibir. Berharap kakaknya mau berwajah lebih ceria.

Hadi tertawa. Ia kembali melipat koran harian yang sedang dibaca. Ditatapnya lekat-lekat wajah Bagas. "Kenapa, Nak? Takut Ayah jodohkan?" Pertanyaannya membuat jantung Bagas berdebar kencang. Ia menggeleng dengan cepat, berpura-pura menikmati susu hangat yang tersaji.

"Ayah sama Ibu itu dijodohkan, loh!" Bagas tersedak mendengar pernyataan Widyastuti. Semua orang tertawa kecuali si kecil Danu yang spontan menepuk-nepuk punggung Bagas.

"Tapi, bukan berarti dulu, Ayah sama Ibu enggak pendekatan. Ya, kita masih dikasih waktu untuk saling mengenal, iya, kan, Bu?" timpal Hadi mengharapkan dukungan.

Widyastuti mengangguk. "Kamu belajar saja dulu, enggak perlu pikirkan hal yang lain!” imbuhnya.
Bagas mengangguk-angguk. Satu hal yang terpikir, yaitu setidaknya sebelum perjodohan itu benar-benar terjadi, ia harus merasakan apa yang namanya pacaran! Mungkin, Wulan bisa jadi kandidat pertama. Masalahnya hanya satu, bagaimana cara memulainya?

"Bu, akhir minggu ini ada pesta pernikahan. Sepertinya Ayah enggak bisa datang, Ibu bisa datang mewakili Ayah?" tanya Hadi, "enggak enak kalau tidak ada yang datang!” tambahnya lagi.

"Oh, ya sudah, nanti Sekar saja yang teman—"

"Aku! Aku! Aku saja yang temani Ibu!!" potong Bagas.

Senyum Bagas merekah. Otaknya bekerja dengan cepat ketika mendengar kata pernikahan! Mungkin, ucapan Arif ada benarnya! Soal melati pengantin.


***


Semua tamu undangan menatap kebaktian pernikahan dengan khidmat. Astrid sedikit melirik Christian yang juga menatap kedua pengantin sembari tersenyum bahagia. Tanpa sadar tangannya sudah menggenggam erat tangan Christian.

"Kenapa?" tanya Christian.

Astrid tersenyum lembut kemudian menyenderkan kepala di pundak Christian. "Menurutmu, apa hubungan kita bisa sampai di tahap itu?" bisik Astrid.

Christian tersenyum perih. "Jika Tuhan mengizinkan, apa pun bisa terjadi!" jawabnya.
"Insya Allah, amin!" timpal Astrid. Tian tiba-tiba saja menggenggam erat kalung salib di lehernya. Rasanya sulit mewujudkan impian mereka.

Bagas menatap takzim ke sekeliling tempat pemberkatan pernikahan. Tempat ini dipenuhi bunga. Namun, melati tidak tampak. Netranya kembali menyoroti kedua mempelai yang sedang mengucapkan janji suci di hadapan pendeta. Melati itu juga tampak pada kedua mempelai. Bagas berbisik pada Widyastuti, menanyakan perihal melati yang tidak tersemat pada kedua mempelai. Dia menjawabnya dengan tawa lalu kembali menikmati rangkaian acara. Meninggalkan Bagas dengan sejuta tanda tanya di benaknya.

Netra Bagas terpaku pada si Mempelai Pria yang mencium mesra mempelai wanita. Wajahnya merona kemerahan. Ia berusaha memalingkan wajah, tetapi kembali lagi menatap ciuman pertama suami istri tersebut. Widyastuti menepuk tangan Bagas. Memintanya untuk ikut bangun sembari bertepuk tangan.

Sementara tidak jauh dari tempatnya berada. Astrid terhanyut dalam kemesraan pengantin baru itu. Sampai tiba-tiba saja ia berlari mengikut para gadis lain berdiri rapi tepat di belakang mempelai wanita.

Bagas kembali berbisik pada Widyastuti. Sembari menatap kerumunan gadis yang berdesak-desakan berdiri tidak jauh di belakang mempelai wanita ia bertanya untuk apa para gadis itu rela melakukan hal 'aneh' itu.

"Oh, itu, katanya kalau berhasil menangkap bunga yang dilempar mempelai wanita, maka akan mendapatkan jodoh, begitu, Nak!" jawab Widyastuti.

Bagas terdiam sejenak lalu senyum mengambang sempurna di wajahnya. "Bu, Ibu mau bunganya enggak? Mau, kan? Tunggu di sini ya, Bu?" ujar Bagas yang langsung berlari tanpa bisa dicegah.

Tanpa merasa malu, Bagas ikut berdesak-desakan. Postur tubuhnya yang paling jangkung di antara gadis lain membuatnya makin percaya diri walaupun berada di deretan paling belakang.

Astrid menatap curiga seorang pemuda yang tiba-tiba saja berdiri di sebelahnya. Tampak dengan jelas kalau dia berhasrat mendapatkan buket bunga pengantin! Oh, tidak hari ini, Bocah, batinnya.

Mempelai wanita mulai menghitung.

Satu ... dua ... tiga ....

Buket itu dilempar sang pengantin. Astrid menutup netra lalu melompat bersamaan dengan Bagas.

"ALHAMDULILLAH!!"

Astrid membuka netra, tangannya kosong.
Suara derai tawa menggema ke penjuru ruangan. Ditatapnya Bagas tersenyum semringah dengan buket yang sudah tergenggam erat di tangan. Ia tersenyum, melambai-lambaikan bunga itu pada Widyastuti yang tertawa melihat polah tingkah putra kebanggaan. Semua kembali bersiap menuju ruang perjamuan, meninggalkan seorang gadis yang kecewa dan seorang pemuda yang bergembira.

"Tunggu!" Astrid menarik tangan Bagas.

Nerta mereka bertemu untuk pertama kalinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top