Bab 02 -Gadis Impian-

Jadilah sempurna untukku karena aku akan berusaha sempurna untukmu.


"Bagas!" Seketika ia menoleh. Senyuman terlukis di wajah Bagas yang melambaikan tangan pada pemuda yang baru saja turun dari bus.

Pemuda itu menyelempangkan tali tas hitam. Sedikit berlari riang mendekati Bagas. Dia bernama Arif Setiawan. Iris netra cokelat, rambut lurus, dicukur hampir cepak seperti tentara. Keduanya memiliki garis rahang tegas serta bentuk hidungnya bagus. Bila mereka jalan beriringan maka seluruh hati para gadis akan meleleh.

Bagas menepuk pundak Arif yang masih berusaha menetralkan deru napas. Ia tiba-tiba menarik tangan Bagas. Menjauh dari gerbang sambil sesekali menoleh untuk melirik guru piket yang berdiri sembari mencengkeram erat penggaris kayu panjang. Entah mengapa Bagas menurut saja. Ia hampir berteriak saat Arif membuka sedikit tas sembari menyeringai. Benda hitam pipih itu terselip di antara buku. Arif membusungkan dada, mengusap penuh bangga benda itu. Ponsel keluaran terbaru.

"Mau disita? Nekat bawa ginian ke sekolah!" ejek Bagas menatap sahabatnya yang memang kadang minus moral juga gemar menabrak semua peraturan.

Senyum Arif membuat Bagas gugup. Secepat kilat ia memasukkan ponsel itu ke saku Bagas dan berkata, “Titip! Lo itu anak kesayangan Ibu Dewi, jadi enggak mungkin disita! Oke! Duluan!"

Umpatan Bagas tidak menghentikan langkah seribu Arif. Ia bergegas memasukkan ponsel Arif ke dalam tas. Sesekali netranya melirik ke kanan dan kiri seakan sedang diawasi oleh ribuan netra. Dengan jantung berdentum-dentum kembali mendekati Dewi. Si Petugas Piket.

"Pagi, Bu," sapa Bagas sembari membuka tasnya.

"Pagi Bagas, itu kapan mau dicukur rambutnya?"

Dewi biasanya berteriak lantang, tetapi kini bersuara lemah lembut. Berbeda cerita bila murid lain yang terlihat berambut panjang. Tidak ada lagi teguran, gunting berbicara. Senyuman Dewi menghilang. Ia meraih ponsel dari dalam tas Bagas. Hendak marah, tetapi kembali melengkungkan senyum. Kali ini sungguh membenci tugasnya sebagai penjaga piket.

"Ah, itu, tadi kata ayah aku, beliau mau telepon. Makanya, aku bawa ke sekolah, maaf ya, Bu?" elaknya sembari menggaruk-garuk kepala padahal tidak terasa gatal.

"Oh, ya sudah, enggak apa-apa! Ayo masuk, cepat!" ucapnya dengan senyum memaksa sembari memasukkan ponsel itu ke dalam tas Bagas.

Bagas meninggalkan murid lain yang menatap iri. Sebenarnya ia lelah dengan semua perlakuan istimewa. Perlakuan bak pangeran kesayangan setelah Hadi menjadi donatur untuk peremajaan beberapa fasilitas sekolah. Ditambah lagi niatan sang ayah membangun gedung baru di sekolahnya. Bagas membenci perlakuan itu!

Ia berjalan di lorong. Sesekali membalas sapaan siswa lain. Targetnya adalah Arif. Sahabat menyebalkan! Dia tampak bercengkerama di ujung lorong. Duduk di bangku panjang, tepat di depan kelas. Riang gembira seperti tidak ada masalah.

"Nih!" dengkus Bagas.

Arif tersenyum semringah menerima ponselnya kembali. "Terima kasih, loh!”

Bagas tersenyum kecut. Ia sungguh tidak menyukai bayang Hadinata Winoto. Hal ini sering dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk menabrak batas aturan. Terlebih Bagas tidak bisa menolak permintaan atas dasar solidaritas tanpa batas. Selama ini ia berusaha keras untuk menepis nama besar Winoto. Walaupun pada akhirnya tetap harus bekerja mengurus perusahaan Winoto grup, Bagas tetap berharap suatu saat nanti, semua orang akan merasa bangga dengan semua kerja kerasnya. Bukan lagi karena nama belakang keluarga.

Awal yang buruk untuk memulai hari. Bagas tidak bisa ikut bercengkerama dengan lainnya. Tepukan tangan Arif membuyarkan lamunan Bagas. "Ikut, yuk!” ajaknya.

Bagas mengangguk setuju. Pupil netranya melebar ketika Arif melangkahkan kaki menuju lantai dua. Arif tersenyum licik lalu mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Netra Bagas memicing saat menatap benda di telapak tangan Arif.

"Melati?" tanyanya. Bagas menatap Arif curiga sekaligus penasaran apa yang ada di benak pemuda tujuh belas tahun dengan melati yang hampir menguning itu.

Arif merapatkan tubuhnya pada Bagas. "Ini bukan sembarang melati! Ini melati pengantin! Kemarin, gue ikut ke pernikahan kakak sepupu gue! Nah, kata orang kalau bisa mencuri melati pengantin, bakalan dapat jodoh!" ungkapnya berapi-api.

"Terus, apa hubungannya sama—“

"Ada! Gue mau nembak Laila! Melati pengantin ini, pasti bawa hoki! Bawa jodoh! Hubungannya sama lu, nanti di kelas Laila, pasti ada Wulan! Nah, lu bisa pura-pura ngobrol sama dia!” Arif menarik tangan Bagas ketika sahabatnya itu hendak melarikan diri.

"Lepas, Rif!" pinta Bagas setengah memelas.

"Ya elah, penakut amat sama cewek! Ayo!"

Arif bisa dengan baik menahan tangan Bagas saat dia coba memberontak. Mirip seperti penggembala yang memaksa kerbaunya masuk ke dalam air. Arif menyeret-nyeret Bagas yang sudah pucat. Tidak memedulikan seberapa memelas wajah Bagas. Sampai akhirnya mereka tiba di kelas lalu menatap dua orang siswi yang duduk asyik mengobrol.

Salah satu siswi tersipu saat netranya bertemu dengan Bagas. Tanpa sadar ia menyampirkan rambut yang menutupi alis. Berharap bisa menatap lebih leluasa. Gadis itu balas mencuri pandang. Pikatan aura Bagas tidak sanggup untuk diacuhkan. Kilauan parasnya membuat semua hati gadis berlompatan tak karuan.

"Oi!” sapa Arif sembari mendekati keduanya. Sedangkan Bagas sudah pucat kesi, berjalan seperti menyeret tubuh sambil sesekali menyeka keringat yang sudah membanjiri kening. "Laila, ikut aku sebentar, yuk?" ajak Arif.

"Ke mana?" tanyanya curiga.

"Sebentar, ayo!" Tanpa basa-basi Arif menarik tangan Laila. Meninggalkan si Kerbau yang merasa terancam!

Wulan kembali melengkungkan senyum saat tanpa sengaja Bagas menatapnya. Mereka berdua saling mengangguk lalu Wulan menepuk-nepuk kursi di sampingnya—berharap Bagas mau duduk. Hatinya bermimpi pemuda itu mau mengajaknya pergi berkencan atau sebagainya.

“Hari ini, kamu tampan sekali!” pujinya sembari tersipu.

Darah seakan hilang dari wajah Bagas. Tanpa banyak bicara, ia malah berlari pergi dengan jantung yang lebih dahulu berdentum-dentum! Kabur! Bagas bukanlah seseorang yang mudah kelu karena gugup. Bukan juga seseorang yang bisa kehabisan kata dalam suatu adu pendapat. Hal itu sudah menjadi sifat naluriah darah Winoto. Namun, berbeda bila harus berhadapan dengan para gadis. Bagas bisa mendadak bisu.

Kini Bagas tafakur sendirian di kelas.  Menyesali sikapnya yang tidak bisa jujur pada Wulan. Hanya berkata ‘aku suka kamu'. Sulit sekali. Sungguh! Ia menatap nyalang sang sahabat saat Arif berlari mendekati Bagas dengan wajah semringah, sembari mengatur deru napas, dia tersenyum lebar. "Diterima!!" serunya.

Bagas tersenyum kecut. Bukan tidak suka, ia juga tahu kalau Arif pasti berhasil. Bagas hanya kesal. Pada dirinya sendiri.

"Eh, tadi kenapa lari?" tanyanya penasaran. Bagas diam. Namun, Arif mengangguk-angguk, tahu betul kalau sahabatnya menutupi kegelisahan. Ia mengeluarkan bunga yang dianggapnya keramat. "Nih, lo harus cari melati pengantin kaya gini!" sarannya.

"Ah, takhayul!" jawabnya kejam.

Arif membusungkan dada. "Bukti nyata! Sudah tidak jomlo!" Bangganya sembari memukul dada layaknya seorang jagoan. Bagas kembali diam. Yang pasti, melati itu bukan penyebab Laila menerima cinta Arif! Titik! "Lagian, enggak bosan, cuma lirik-lirikan doang sama Wulan? Dia juga sebenarnya suka sama lo, cuma tunggu lo gerak duluan!" bisik Arif, “gimana? Kalian itu cocok! Ganteng, cantik, pas!" bujuknya lagi memberi suntikan semangat.

"Bukan cantik yang dicari ...,” ujar Bagas.

Alis hitam Arif menyatu. "Terus?" tanyanya karena Bagas tidak juga meneruskan kalimatnya.
Bagas menatap helai daun bugenvil yang menari dibelai angin. Ia tiba-tiba tersenyum seakan ada yang membuatnya ikut berbahagia. "Aku, cari gadis yang pintar!”

Astrid membuka buku tebal yang beberapa hari ini menjadi bantal tidurnya. Dengan cekatan membaca kalimat demi kalimat sambil sesekali mangut-mangut memahami yang tertulis. Ia juga menyalin beberapa catatan kecil tentang segala sesuatu yang akan dipelajari hari ini. Sekilas ia menatap tulisan-tulisan kecil warna merah di kalender. Sebentar lagi, hanya butuh waktu sedikit saja untuk bisa menggapai gelar sarjana.

"Mencari gadis yang sayang keluarga!”

Di tengah kekhusyukannya, terdengar suara tangis anak-anak. Ia menutup buku lalu berlari menatap kedua adiknya yang berebut mainan. Salah satu di antaranya menangis tersedu-sedu. Astrid tersenyum, lalu menggendong kedua anak itu. Mencoba mencari lelucon yang mengundang tawa. Berpura-pura menjadi seorang badut. Menjanjikan beberapa kotak permen di akhir minggu.

"Pekerja keras dan mandiri!”

Diturunkannya kedua anak itu karena mendengar suara deru mobil kian mendekat. Tergopoh-gopoh Astrid berlari keluar rumah. Senyum mengambang di wajahnya ketika melihat kotak-kotak berisi sembako mulai diturunkan dari mobil lalu mengucapkan hamdalah dalam hati karena besok tokonya sudah bisa buka.

"Yang seperti itu!” Bagas mengakhiri kalimatnya sembari menatap Arif.

Arif terbahak-bahak mendengar penjelasan Bagas. "Cari pacar atau cari istri?" godanya.

"Pacar yang akan jadi istri!" jawab Bagas pasti.
Arif menggeleng pelan sambil menepuk-nepuk punggung Bagas. Sementara Bagas malah asyik mengkhayalkan keberadaan gadis impiannya itu. Seorang gadis yang juga menantikan dirinya untuk datang menjemput.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top