Bab 01 -Keluarga Winoto-
Alasan masa remaja disebut sebagai yang terindah.
"Tumben, pagi-pagi begini bertamu!” keluh Ana sembari sedikit membuka tirai menuju ruang tengah.
Ia mengamati dia yang berbincang cukup serius dengan ayahnya. Wanita dengan gaya rambut cepol khas menteri itu terlihat sangat bersemangat. Mengenakan brokat hitam berleher rendah, rok selutut serta kalung berlian menggantung indah di leher. Ana mulai menerka-nerka barang mewah apa lagi yang akan dipamerkan.
Ana kembali menyipitkan netra, memasang telinga lebih lebar saat wanita itu lagi-lagi tergelak sembari memukul-mukul lengan ayahnya. Tingkah Ana memancing rasa penasaran kakak perempuannya yang sedang asyik menyuapi si bungsu—Danu. Dia kemudian ikut bergumul di balik tirai—menguping semua pembicaraan.
Wanita itu kini membuka tas lalu mengeluarkan sesuatu berwarna putih. Kedua kakak-beradik yang menguping terperanjat kaget saat pundak mereka ditepuk. Pemuda itu lantas melipat kedua tangan di dada, mereka hanya terkekeh dan enggan meninggalkan kegiatan seperti yang diisyaratkan.
“Sebentar, Mas. Tanggung,” elak Ana kembali memasang telinga.
Pemuda itu menarik napas panjang. Berderap mendekati pojok dapur, membuka laci lantas mengeluarkan cangkir juga piring. Ia mulai berkhotbah. Menasihati kedua adik perempuannya. Tidak baik ikut campur urusan orang lain.
Widyastuti hanya mampu senyum-senyum menatap putra sulungnya menuang air panas ke dalam cangkir berisi kantung teh juga beberapa sendok gula pasir. Tugas sebagai pendidik di rumah itu terbantu oleh pemuda berhidung bangir yang kerap dipanggil dengan sebutan Bagas.
Bagas mengeluarkan kue dari stoples, menatanya di piring. Netra jernihnya kembali menatap Ana dan Sekar. Sesekali tangan Bagas mengibas rambut hitamnya yang masih basah. Lesung pipi tercetak di kedua pipi kala ia tersenyum. Bagas menjawil ujung hidung Danu lantas meraih piring yang ditinggalkan Sekar.
Terdengar derai tawa dari ruang tengah. Suara ayah mereka mulai terdengar mengomentari ucapan wanita itu. "Jadi, datang pagi-pagi, hanya untuk memberikan kartu undangan dan foto ini sama Mas?" tanya Hadi sembari menahan tawa.
Wanita itu mendelik. Susah payah menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Kakak iparnya ini tidak seperti suaminya. Sulit dikalahkan. Dia juga yang dulu menolak saat wanita yang bernama Roro ini hendak menyematkan nama Winoto di belakang namanya. Memang menyebalkan, tetapi hal ini harus dilakukan! Lagi pula, bila ia berhasil menjodohkan Bagas dengan Anindita, selain mendapat pujian, Roro juga bisa merapatkan hubungannya dengan keluarga Laksmono.
"Mas, semuanya harus dipikirkan sebelum Bagas mengenal apa namanya cinta! Jodohnya harus diberikan sesuai dengan derajat kita! Bibit, bebet, bobot! Semuanya harus tanpa cela! Ini masalah serius, loh, Mas!" bela Roro.
“Manusia itu fitrahnya salah. Tidak ada yang sempurna,” elak Hadi.
Roro tersenyum kecut sembari memutar-mutar cincin berlian yang melingkari jari manis. Hatinya tidak sabar untuk memamerkan kilauan indah perhiasan pada Widyastuti.
Hadi meraih selembar potret yang diletakkan Roro. Gadis dalam potret itu berparas khas Jawa. Rambutnya sekelam malam, bibirnya tampak penuh dengan tatapan cerah. Hadi mengangguk-angguk. Setuju dengan kecantikan yang disebutkan Roro.
"Namanya Anindita, dari keluarga Laksmono. Mas, kenal jendral yang namanya kesohor itu, kan? Nih, kalau kita berbesan sama keluarga Laksmono. Mesti, ya, Mas, semua urusan bisnis kita lancar jaya. Enggak perlu lagi pusing memikirkan ketentuan-ketentuan pemerintah untuk bisnis kita!" bujuk Narti penuh semangat.
Alis Hadi bertemu. “Mas tidak bermain kotor, Roro!” marahnya.
“Bukan begitu, Mas. Pokoknya enggak ada ruginya kalau Bagas bisa berjodoh dengan Dita!” lanjut Roro.
"Hmm ... begitu ya? Anak ini cantik, tetapi apa Bagas suka?" terka Hadi.
Roro kembali tergelak. Ikan besar itu sudah menciumi umpan. Bagus. "Ya pasti sukalah! Dijamin!" Roro tersenyum gembira. Sudah membayangkan apa yang akan terjadi bila keluarga Winoto dan Laksmono berbesan. Pasti untung.
"Ah, masa? Lagian, Bagas itu masih kecil, kencing saja belum lurus!" Ana juga Sekar menahan tawa mendengar ucapan ayah mereka.
Ana segera mengalihkan pandangan. Ekor netranya mengikuti setiap gerakan pemuda itu.
"Mas, memangnya kalau kencing masih belok-belok kaya Danu?" sindir Sekar pada kakaknya yang sibuk menyuapi Danu.
"Apaan?" Ia menyeka kedua telapak tangannya lalu ikut mengintip. "Kenapa jadi aku yang dibawa-bawa?" protesnya.
Sekar serta Ana saling bertukar tatapan lalu tertawa pelan. "Itu, Bibi Roro mau comblangi, Mas!” Dia tertegun mendengar ucapan Sekar. Bila itu sungguh diterima ayahnya, maka mau tidak mau, Bagas akan menurut.
Kali ini Widyastuti berdeham. Seakan ikut merasakan kegelisahan dari gerak-gerik putranya. Mulai memerintahkan untuk mereka bersiap berangkat sekolah. Lalu melenggang pergi menuju ruang tamu dengan baki berisi camilan juga teh manis hangat. Widyastuti menarik napas panjang sebelum ikut duduk bersama mereka. Hubungannya dengan Roro tidak begitu baik. Terlebih karena sifat mereka yang bertolak belakang. Sering kali perdebatan sengit tidak bisa terhindarkan bila keluarga besar Winoto berkumpul di Solo.
"Repot-repot, Mbakyu," ucap Roro berbasa-basi.
Roro segera membusungkan dada juga mengipasi wajahnya dengan jemari yang dilingkari cincin. Kemilau bandul berlian terlihat makin sempurna ketika diterpa sinar mentari. Namun, orang yang diharapkan berkomentar malah terkesan tidak peduli.
Baru saja duduk, Ia sudah merasakan aura tidak menyenangkan dari Roro. Widyastuti tersenyum lembut lantas meraih potret yang disodorkan Hadi. Gadis itu cantik. Sepertinya berasal dari keluarga baik-baik. Namun, mudah-mudahan saja suaminya tidak terpancing dalam ide konyol Roro.
"Bagaimana menurutmu, Bu?" tanya Hadi.
"Cantik, tetapi belum tentu Bagas setuju," jawabnya sembari menyerahkan kembali potret itu pada suaminya.
Hadi kembali mengangguk-angguk. Setuju dengan pendapat istrinya, lalu tersenyum saat Widyastuti bergeser—memilih duduk agak jauh dari Roro. Hadi berusaha memahami sikap Widyastuti. Toh, ia juga tidak begitu menyukai sikap adik iparnya itu. Hadi kembali menatap potret itu lalu memanggil pemuda yang hatinya gemetar.
"Mas, dipanggil Ayah, tuh," goda Ana sembari meletakkan beberapa potong ayam goreng di kotak bekal makan siang.
Ia sedikit menggigit bibir, hatinya ragu. Baru saja berpikir untuk memasuki dunia romansa, tetapi malah dijodohkan seperti ini. Miris!
"Bagas!" panggil Hadi lagi.
"Mas, itu dipanggil Ayah," seru Sekar sembari merapikan seragam sekolah adik bungsunya.
Pemuda berkulit kecokelatan itu bernama lengkap Bagas Adisatya Winoto. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum bergegas menuju ruang tengah. Netra mereka bertemu. Senyum cerah Roro membuatnya mual. Awal hari yang buruk.
"Masya Allah, makin ganteng!” puji Roro menatap keponakan kesayangannya yang tersenyum kecut saat menyalami dirinya lalu menyelempangkan tas di bahu.
"Iya, Bagas telat ini, Yah!" Hadi tersenyum mendengar alasan Bagas. Sebagai seorang lelaki, paham kalau putranya pasti resah mendengar pembicaraan ini. Namun, Roro tidak bisa berhenti sebelum Bagas memberi keputusan.
"Sebentar, coba kamu lihat ini, menurut kamu bagaimana?" tanya Hadi.
Bagas meraih potret itu. Menimbang-nimbang kalimat apa yang cocok untuk mengomentari potret seorang gadis tersenyum manis dengan dua lesung pipi, hidung mancung, juga netranya yang lembut. "Cantik," imbuh Bagas.
Senyum sempurna dilengkungkan Roro. Hidungnya kembang-kempis menahan gejolak kegembiraan. "Alhamdulillah! Cocok! Minggu depan kita atur pertemuan keluarga, ya, Mas?" seru Roro membuat Bagas panik juga salah tingkah.
Widyastuti sedikit menggigit bibir lalu menatap Bagas yang pucat kesi. Perjodohan ini terdengar aneh. Lagi pula, tidak ada yang boleh mengatur jalan hidup putra-putrinya. Semua akan berjalan sesuai kehendak yang memiliki takdir. Ia juga yakin kalau suaminya akan berpikiran hal yang sama. "Bukannya menolak, Bagas masih kecil. Masih belum bisa membedakan mana yang baik juga salah. Kalau menurut aku, biarkan Bagas menemukan jalannya sendiri," ucap Widyastuti berusaha menenangkan hati putranya.
Hadi mengangguk-angguk. "Ya, dia masih harus banyak belajar!" katanya seolah membenarkan ucapan Widyastuti.
Bagas mengelus-elus dada, berusaha menstabilkan degup jantung. Widyastuti membalas senyuman Bagas. Tidak ada yang boleh mendikte hidup putranya. Bahkan termasuk dirinya sendiri! Putra-putrinya adalah manusia merdeka. Widyastuti memberikan kebebasan penuh tanggung jawab.
Roro menatap nyalang Widyastuti. Walau sungkan terhadap Hadinata Winoto. Namun, statusnya dengan Widyastuti seimbang. Sama-sama menantu dalam keluarga Winoto. Perjodohan ini harus berhasil! Apa pun rintangannya! Toh, yang akan dijodohkan dengan Bagas adalah gadis baik-baik! Kelak mereka juga akan berterima kasih padaku, batin Roro.
"Ya harus diarahkan! Dibimbing! Sebagai orang tua itu harus mengarahkan pada kebaikan! Kesempurnaan hidupnya kelak!" sanggah Roro.
Widyastuti mengangguk. Ia tidak gentar menghadapi Roro. Ditatapnya wanita yang sedang memainkan bandul berlian itu. Paham betul tujuannya datang bukan sekadar membicarakan hal bodoh ini. Wanita itu senang memamerkan kekayaan. "Sempurna belum tentu baik, baik sudah pasti sempurna. Bagas, akan belajar untuk memilih sendiri apa yang baik untuk bisa menyempurnakan hidupnya kelak," tambah Widyastuti.
Hadi tersenyum puas mendengar ucapan Widyastuti lalu meraih cangkir. Perlahan menyesap manis teh. Pandangannya kembali tertuju pada Roro. Perdebatan ini masih seimbang. Istrinya juga bukan seseorang yang bisa dikalahkan dengan mudah. Ikut dalam perdebatan dengan cara berkelas.
Widyastuti bukanlah wanita sembarangan. Walau akhirnya memilih karier sebagai ibu rumah tangga. Namun, ia adalah salah satu wanita paling berpengaruh di Solo. Lulus sebagai mahasiswi terbaik di salah satu Universitas Negeri terkemuka dan memenangkan salah satu kompetensi bergengsi dan dinobatkan sebagai Putri Solo. Widyastuti tentu bukanlah lawan yang bisa dikalahkan Roro yang dulu bermodalkan paras menarik saja.
"Mbakyu, banyak banget contoh keluarga yang melarat lantaran membiarkan anak-anaknya memilih sendiri jodohnya! Ikut cinta buta!" sergah Roro tidak mau kalah.
"Banyak juga yang ternyata tidak bahagia karena dijodohkan.” Widyastuti berhasil menampik semua tanpa menaikkan nada suaranya.
Yusuf tertawa. "Sudah, tidak akan ada habisnya. Bagas, cepat berangkat," titahnya.
Bagas tersenyum lega, menyalami kedua orang tuanya juga Roro lantas berlari pergi.
"Bagas diantar sopir?" tanya Roro sembari mengipasi wajah. Padahal hatinya yang terbakar.
"Enggak, naik angkutan umum," jawab Widyastuti.
R
oro tersenyum mengejek. "Oalah, Mas. Enggak kasihan sama anak! Bagas harus sumpel-sumpelan di angkot! Lagi pula, kapan, Mas sama Mbakyu mau pindah dari perumahan sempit kaya begini! Mbakyu, juga aneh! Apa Mas Hadi enggak mampu bayar pembantu? Sampai-sampai semua dikerjakan sendiri, sampai kasar tangannya!" cibir Roro sembari melirik Widyastuti.
Hadi menatap istrinya. Tersenyum lembut lalu mengangguk pelan. Ia mengerti bahwa ucapan Roro menyakitkan, tetapi bila membalasnya lagi, tentu akan terasa sama bobrok. "Nanti dipertimbangkan lagi. Lain kali kalau mau bertamu jangan terlalu pagi. Semua bersiap untuk bekerja juga sekolah,” tutur Hadi.
"Ya, makanya punya pembantu! Jadinya, enggak repot! Lagi pula, Mas ini presiden direktur! Memang ada yang protes kalau telat! Aku pulang dulu! Assalamualaikum!" pamitnya sembari menyalami Hadi dan Widyastuti lantas bergegas pergi.
"Astagfirullah!" Widyastuti mengusap-usap dada.
"Sudah, biar saja! Ayo, bersiap antar anak-anak sekolah," bujuk Hadi.
Widyastuti mengangguk setuju, lalu pergi meninggalkan Hadi. Hatinya masih geram. Kali ini Roro pasti akan lebih sering datang. Ia harus pandai-pandai menenangkan hati.
Hadi kembali meraih potret Dita. Ia memang mendapatkan Widyastuti dari perjodohan dan tidak menyesali keputusan itu. Namun, seiring tahun berlalu, zaman sudah berubah.
L Dibandingkan dengan masa remajanya dahulu, masa remaja Bagas jelas jauh berbeda. Tentu saja sebagai seorang ayah, Hadi tidak ingin putranya salah memilih pasangan hidup. Akan tetapi, rasanya tidak adil bila harus memaksa sesuatu yang tidak dihendaki Bagas.
Kebebasan berpendapat adalah salah satu landasan hidup yang dijunjung setinggi langit di keluarga Winoto. Hadi dan Widyastuti tidak pernah sekalipun memaksakan kehendak. Semua anak-anak bebas menentukan jalan hidup selama tidak menabrak norma kesusilaan yang berlaku.
Roro membanting pintu mobil. Kibasan tangannya makin kencang hingga gelang-gelang di pergelangan tangan beradu. Hatinya masih mengumpat. “Cih, munafik!” makinya. Roro meraih ponsel dari tasnya, mencari nama seseorang yang hendak dibujuk. “Halo, Jeng. Alhamdulillah, Bagas suka. Iya, lancar pokoknya! Jadi, minggu ini ... bisa ya, aku yang narik arisan! Okelah, aku ke sana, sekarang, oke, Jeng! Sampai ketemu.” Roro memasukkan kembali ponselnya. Sekali lagi menatap ambang pintu rumah Hadinata Winoto. Kelak, kalau perjodohan ini berhasil, kalian pasti enggak bisa mendebat aku lagi, batin Roro.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top