Chapter 10 - I'm stupid


Lututku yang ikut bergetar sekarang terasa melemas, tubuhku meluncur terduduk di samping tempat tidur. Tangisku pecah di dalam gelap kamar. Aku berusaha menahan isakanku hingga membuat dadaku semakin menyesak, sangat sesak hingga aku ingin berteriak keras, namun tetap tertahan.

Handphoneku berdering lagi, kali ini sebuah telepon masuk. Aku tidak perduli, siapapun itu. Tanganku sudah terlalu sibuk menyeka air yang terus mengalir di pipiku.

Sakit! Nyesek! Gue salah apa?!

Tiba-tiba pintu kamar yang tepat berada di hadapanku terbuka, sebuah bayangan yang dipancarkan dari cahaya luar membentuk siluet seorang wanita, mama.

"Nes, tadi Kayra nelpon. Dia nanyak kenapa kamu gak angkat-" Kalimat mama terhenti ketika mendapatiku dalam kondisi yang tidak wajar.

Aku masih terduduk di lantai meringkuk memeluk lututku, rambutku yang masih basah tergerai berantakan di depan wajah, sementara punggungku naik turun karena sesenggukan.

"Nessa." tangan Mama langsung mencari saklar di samping pintu untuk menyalakan lampu. "Kamu kenapa sayang?!"

"Lampunya jangan dinyalain, Ma. Biarin mati aja," kataku di sela isakanku.

Mama mengangguk paham kemudian menghampiriku yang bersandar di tepi tempat tidur. Tangan mama langsung membungkus tubuhku dengan pelukannya, akupun langsung hanyut di pangkuan mama. Tidak sepantasnya aku terlihat semenyedihkan ini di depan mama.

"Kenapa sayang? Cerita sama mama!"

Aku mengatur napas. "Ferro jahat, Ma," jelasku singkat dilanjutkan dengan isakan lagi. Aku rasa kalimat itu cukup membuat mama mengerti. Telapak tangan mama mengusap punggungku dengan lemah.

Pintu kamarku terbuka lagi, kali ini dengan sedikit membanting. Aku mengintip dari balik geraian rambutku yang berantakan, siluet Gio yang muncul di sana.

"Ferro tadi datang, tapi langsung gue usir." Kalimatnya refleks membuatku mengangkat kepala, dari kalimatnya sepertinya Gio sudah tau tentang semuanya. "Tadi gue ngerasa bersalah karena ngusir dia, tapi liat kondisi lo kayak gini gue nyesel gak nonjok mukanya." Tanpa menunggu responku dia melanjutkan, "Nes, gue tau lo gak terlalu pintar. Tapi jangan buat diri lo jadi makin bego dengan nangisin cowok berengsek kayak dia." Kalimatnya membuatku terdiam, kalimat Gio seperti menyetrum di aliran jantungku yang tadi terasa sesak.

"Gio ...," ucap mama memperingatinya.

Gio melangkah lagi keluar kamar. Aku tidak tau kenapa berita itu begitu cepat menyebar bahkan sampai ke telinga bocah cuek seperti Gio.

Aku tidak tau anak itu sedang menasihatiku atau menghiburku tapi sementara itu tangisku pecah lagi tak mampu kutahan. Tak lama suara Gio terdengar lagi dari luar kamar, "mending lo sisain air mata lo buat berantem sama gue," lanjutnya.

Aku mengatur napas lagi untuk menyudahi tangisku.

Enggak, Nes. Lo gak sebego itu! Lo gak boleh dikatain bego sama bocah kayak Gio! Sadar, Nes!!

Aku melepaskan diriku dari pelukan mama. "Ma, bisa tinggalin Nessa sendiri gak? Nessa udah gakpapa, Nessa lagi pengen sendiri," jelasku.

Mama menatapku lemah, aku tau mama tidak akan percaya dengan kalimat ku yang mengatakan aku tidak apa-apa. Terlebih lagi mataku yang membengkak sekarang tidak mungkin bohong kalau aku masih ingin menangis, tapi tidak di depan mama.

Mama mengangguk pelan menyetujui permintaanku. Mama keluar kamar, sebelumnya dia sempat mengecup dahiku yang selalu bisa mengalirkan energi positif ke sekujur tubuhku.

Aku kembali sendiri di kamar ku yang gelap dan sunyi hingga aku masih bisa mendengar isakanku yang tersisa. Aku membenamkan wajahku ke bantal, memejamkan mataku dengan paksa berharap aku bisa tertidur, dan saat besok pagi aku terbangun aku tersadar apa yang terjadi malam ini hanya mimpi. Andai itu benar, tapi nyatanya tidak. Perih di hatiku ini tidak mungkin hanya sekedar mimpi, kalau memang ini mimpi aku harap orang lain tidak akan pernah merasakannya karena ini terlalu menyiksa.

Pintu kamar terbuka lagi. "Ada Ken di bawah nyariin lo, mau gue usir juga atau gimana?" Gio muncul lagi di depan pintu.

Aku bangkit dari tempat tidur dan menatap Gio dengan mataku yang terasa berat karena masih sembap. "Dia bilang ada yang mau dia kasih,"lanjutnya.

Mau apa lagi anak itu? Kenapa selalu datang di saat yang gak tepat sih.

"Muka lo menyedihkan banget sih, yaudah deh, gue suruh pulang aja ya."

"Gak usah lebay deh lo. Bilang sama dia tunggu, bentar lagi gue turun."

Aku merapikan rambutku yang belum kering betul dan membiarkannya tergerai, setidaknya aku tidak terlalu terlihat menyedihkan seperti yang Gio katakan, kemudian turun ke bawah untuk menemui Ken.

"Hai, Nes." sapanya seperti biasa.

"Mau apa?" Tanya ku begitu mendapatinya di teras.

Bukannya menjawab dia malah menatapi wajahku secara tak wajar. Aku sudah menebak dari awal kalau reaksinya akan seperti ini, "lo abis nangis?" tanyanya hampir tertawa.

"Langsung aja bilang, lo mau apa!"

"Lo beneran abis nangis? Atau abis ditonjok orang sekomplek sampek mata lo bengkak gitu."

Entah lah, sekarang aku menyesal kenapa mau menemuinya.

"Dia habis diputusin," ledek Gio dari ruang tamu, yang membuatku hampir melemparnya dengan pot bunga milik mama di teras.

Aku mendengkus keras kemudian menggigit ujung bibirku, aku merasa sangat menyedihkan sekarang, mungkin aku akan menangis lagi kalau Ken ikut menertawaiku seperti Gio.

Tapi tidak, tawanya tadi lenyap dan Ken malah terdiam menatapiku, tatapannya berubah prihatin seperti mengasihaniku, dan ini tidak lebih baik dari tatapannya sebelumnya, karena aku benci dikasihani. "Bener, Nes?"

Aku mengalihkan pandangan tak ingin menjawab pertanyaan itu. "Tadi lo mau apa nemuin gue?"

"Ini flashdisk yang lo beli tadi ketinggalan ketinggalan di tas gue." Ken memberikan kantong plastik putih kecil berisi flashdisk yang aku beli saat di Mall tadi.

"Oh iya, thanks. Gue masuk lagi ya," kataku kemudian berbalik untuk masuk kembali ke dalam rumah.

"Eh, Nes, bentar," ucapnya menghentikan langkahku. "Lo gakpapa?"

"Gue bohong kalo bilang gue gakpapa."

"Ikut gue yuk!"

"Kemana?"

"Ke rumah gue."

"Ngapain?"

"Eeem ... having fun aja. Muka lo kusut banget."

Aku menimbang-nimbang tawarannya. "Emang di rumah lo ada apaan? Dangdutan?"

"Dangdutan gak ada sih? Tapi lo bisa karoke kalau lo mau, atau nonton film? Gue punya banyak DVD baru. Di rumah gue juga ada wifi."

"Serius di rumah lo ada wifi?" tanyaku membuatnya mengangguk. "Oke, ayo kita ke rumah lo."

Wifi satu hal yang paling aku butuhkan di dunia ini setelah makan. Apalagi kalau gratis, itu seperti satu hal yang tidak boleh ku sia-siakan bahkan sedetikpun. Karena hanya dalam waktu satu jam aku sudah bisa download 2 judul drama korea full episode yang satu judulnya sekitar 16-20 episode.

Aku membawa laptop merahku mengikuti langkah Ken memasuki rumahnya, terakhir kali aku kesini hanya sampai depan terasnya saja ketika mengantarnya pulang waktu hujan saat itu.

"Btw, udah hampir 9 tahun gue tinggal di komplek ini, cuma rumah ini yang belum pernah gue datengin," kataku kemudian duduk di sofa ruang tengah yang di atasnya dilengkapi lampu hias yang cantik.

Masih sangat segar diingatanku, ketika pertama kali pindah ke komplek ini ketika aku masih SD, semuanya masih sepi tidak seramai sekarang. Keluarga kami termasuk warga terlama yang tinggal di sini. Rumah-rumah di komplek Griya Sempurna- tempat kami tinggal ini semuanya mengusung konsep minimasil, namun memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda tiap rumahnya. Rumah yang ditinggali Ken termasuk salah satu yang besar, bahkan ruang tengahnya 2 kali lebar ruang tengah di rumahku.

"Jadi ini pertama kalinya lo masuk ke rumah ini? Emang lo gak kenal sama penghuni sebelumnya?"

"Rumah lo ini dulu dihuni sama bandar narkoba."

"Eh, serius lo?"

"Iya. Tapi itu sekitar setahun yang lalu sih. Pelakunya ketangkep juga karena penghuni yang tinggal di depan rumah lo."

"Oh. Kak Reva sama kak Dyo? Gue ngefans sama mereka, baru lulus kuliah udah langsung punya anak. Keren ya, lo gak mau gitu?"

"Apaan sih lo." Aku membuka laptopku untuk memulai pemburuanku. "Nyokap bokap lo mana?"

"Tiap weekend mereka ke rumah Oma, Oma lagi sakit soalnya. Dan gue gak ikut karena harus jaga rumah."

Aku hanya ber-oh ria menanggapi ceritanya, kemudian fokus lagi ke download-an ku.

"Lo kelihatan beda malam ini, Nes."

"Maksud lo?"

"Rambut lo digerai gak kayak biasanya lo ikat. Kenapa gak gini aja sih, kan lebih cantik."

"Gue abis keramas, tadi rambut gue basah, jadi gak gue ikat."

"Tapi gue lebih suka diikat sih, lebih enak nariknya," godanya. Aku hanya memutar bola mata tak berniat menanggapi. "Katanya cewek yang rambutnya sering diikat artinya anaknya tertutup ya? emang bener gitu?"

"Gue gak tau soal itu dan gue gak percaya sama gituan, emang ada peneliti yang bikin penelitian tentang itu? Gak usah sok tau deh lo. Gue ikat rambut karena gue suka, gak ada alasan lain."

Ken mengangguk, pembahasan selesai. Aku melanjutakan pemburuan drama koreaku.

"Lo gak mau cerita apa gitu ke gue?" pertanyaan Ken sukses membuat mataku beralih dari laptop ke dirinya yang duduk di sampingku.

"Kenapa harus dibahas lagi sih? Lo bilang cuma mau having fun."

"Gue kasihan sama hati lo yang mendam masalah itu sendiri, gue khawatir nanti dia lelah dan bisa mati."

Aku tidak pernah berpikir untuk membagi masalahku tentang Ferro ke orang lain, bahkan ke Kayra atau mama, dua orang yang paling aku percaya, apalagi kepada Ken, orang yang baru kukenal beberapa hari yang lalu.

"Kalo lo gak mau cerita gakpapa sih, tapi kalo lo mau nangis silahkan aja, gue bisa pura-pura gak liat. Tapi jangan kenceng-kenceng ya, gak enak di denger tetangga. Ntar kita malah di arak keliling komplek," guraunya membuat kutersenyum miring.

"Gue gak mau nangis lagi. Gue dikatain bego sama Gio kalau gue nangis lagi."

Ken tertawa mendengar kalimatku. "Jadi lo mau gimana sekarang? Yang gue tau nangis emang gak bakal nyelesaiin masalah lo, tapi setidaknya itu bikin dada lo lega dan gak sesak lagi."

"Gue gak tau, Ken, rasanya kayak gue udah dicampakkan sama popularitas Ferro."

Ken terdiam sejenak, manik matanya menjurus ke bola mataku, perlaham senyum terukir di bibirnya. "Lo mau gue bantu?"

"Maksud lo?"

"Lo bolot atau gimana sih? Tiap kali gue ngomong selalu gak paham?"

"Ha? Maksud lo?"

"Nah gitu, lo selalu bilang 'maksud lo?' emang bahasa gue susah lo pahami ya? Atau IQ lo yang terlalu jongkok?"

"Apaan sih lo? Gak lucu tau gak!"

"Yaudah, tentang gue yang mau bantu lo kita bahas besok. Yang pasti lo sekarang harus lihat jam!" ujarnya kemudian bangkit dari sofa. "Pulang gih!"

Mataku langsung melirik jam digital di ujung layar laptopku, "Anjir! Udah jam 10. Mampus, mama pasti nyariin, mana gue gak bawa handphone lagi." Waktu berjalan tanpa ku sadari sudah hampir 2 jam aku di rumah Ken, aku baru sadar ketika datang kemari jam masih menunjukkan angkah 8. Aku langsung menutup laptop dan bergegas pulang padahal drama yang aku download belum rampung.

"Bentar, biar gue anter."

Sebenarnya aku tidak harus diantar pulang, mengingat rumah kami yang hanya berjarak 2 rumah saja tidak lantas membuatku takut pulang sendiri meskipun sudah larut malam. Tapi aku tidak menolak tawaran Ken untuk mengantar ku pulang, setidaknya dia bisa membantuku mencari alasan jika aku dihujani pertanyaan kenapa baru pulang jam segini.

Aku memasuki halaman rumahku yang tidak berpagar diikuti oleh Ken dan berjalan terus ke depan pintu, aku sedikit ragu kalau-kalau mama akan berpikir macam-macam tentang aku dan Ken.

Aku mencoba membuka pintu secara perlahan berharap tidak ada yang dengar. "Sial, udah dikunci," ucapku pelan kepada Ken.

"Nyokap lo gak tau lo belum pulang?"

"Mungkin mama pikir gue udah tidur, soalnya tadi mama taunya gue lagi nangis di kamar. Lagian gue tadi keluar gak pamit."

"Assalamualaikum." Ken mengucap salam dengan sengaja sedikit berteriak dan refleks membuatku memukul lengan kirinya. "Auu ... kok lo malah mukul sih?" rintihnya sambil mengelus lengan kirinya yang sepertinya kupukul terlalu keras.

Aku mendesah menyesali keputusanku mau diantar pulang olehnya. "Lo mau masuk kan? Yaudah, emang salah gue ngucap salam? Biar orang rumah lo tau, emang lo mau tidur di luar atau lo mau tidur di rumah berduaan sama gue?"

"Udah diem deh lo, berisik!"

Tiba-tiba pintu putih di hadapanku terbuka membuat tubukku sontak mematung. Seorang pria bertubuh subur dan tinggi dengan kulit sawo matang sepertiku sudah berdiri di depan pintu.

Mampus! Papa ... Kelar hidup gue!

Seketika alasan yang sudah aku buat untuk membuat mama percaya tadi aku hapus dari pikiranku dan mencari-cari kalimat yang pas untuk membuat alasan yang lebih logis untuk papa, karena membuat papa percaya 10 kali lebih sulit daripada kepada mama.

"Malam, Om, " sapa Ken tanpa basa-basi di sela-sela keteganganku.

Papa hanya mengangguk menanggapinya. "Kamu dari mana? Kok baru pulang?" Suara berat milik papa tertuju padaku.

"Ea ... ini, Pa, tadi Nessa ke rumah Ken buat numpang Wifi-an. Iya, Pa, soalnya Nessa mau ngerjain tugas tapi- ee itu paket internet Nessa abis, jadi Nessa ke rumah Ken. I-iya gitu, Pa," jelasku perlahan.

Papa melirik laptop yang kupegang tanpa ada komentar lebih lanjut.

"Yaudah kamu masuk! Udah malam," perintah papa.

Aku meninggalkan dua pria itu di depan pintu. Mungkin aku harus sujud syukur sekarang karena papa bisa mempercayain kebohongan kejiku, tapi menurutku itu lebih baik daripada aku harus jujur kalau aku lagi galau karena baru diputusin Ferro, karena aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi pada Ferro jika papa tau masalah ini. Kalau Gio berani mengusir Ferro, aku tidak yakin dengan papa, mungkin akan lebih parah, seleding mungkin?


-----------------------------------------
Chapter 10 🎉🎉🎉🎉🎉

Note:
Mungkin rada bingungin pas bagian Ken sama Nessa ngomongin tentang bandar narkoba, Dyo, dan Reva ya ?? Wkwkw maaf maaf 😊.. Tapi kalo kalian baca work aku sebelumnya pasti pada paham deh hehe..
Promo dikit ya, kalo penasaran silahkan mampir ke work aku yang judulnya "DyVa" ... Aseekk..
Udah itu ajaa..

Thanks for reading 😘
24 Dec 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top