Bab 1 : Asing

“Kau sudah bangun Nona?”

Sebuah pertanyaan terlontar dari seseorang. Segera aku bangkit dari tidur. “Aww ...,” keluhku sambil memegang kepala yang terasa sakit. Aku hanya bisa mengerjapkan mata  berusaha mencari siapa yang sedang bertanya tadi.

“Jangan bangun dulu, kamu masih lemah. Tunggulah beberapa saat lagi. Obat yang kau minum belum sepenuhnya sempurna terserap ditubuhmu,” ucapnya lagi.

Aku memutari pandangan ke seluruh ruangan. Mencari tahu asal suara. Namun aku tidak menemukan seseorang. Ruangan ini tidak terlalu luas tapi terlihat nyaman. Remang cahaya biru bersinar dari dalam benda terbuat dari kaca, yang cukup terang menerangi seisi ruangan. Ranjang yang kutiduri juga cukup unik dengan ukiran kayu. Sebelah kanan terlihat jendela berbentuk bulat pipih berhias kaca pelangi. Tapi aku tidak menemukan siapapun di ruangan ini. Lalu darimana asal suara tadi? “Si-apa kau?” tanyaku tergagap.

“Hei, aku di sini! Di sebelahmu.”

Refleks mataku langsung mengarah sebelah kiri, ke arah meja bulat kecil yang berhias pot bunga dengan Bunga Daisy putih di dalamnya. Tunggu, apa itu? Benda kecil berbulu dengan benda panjang berwarna pink muda, lalu terlihat dua warna biru bersinar dan ... mengedip? “Pergi, pergii ... jangan dekat-dekat!” teriakku takut sambil melempar bantal.

“Hei! Hampir saja,” teriaknya kesal sambil melompati menghindar bantal yang kulempar. “Tenang! Aku tidak menyakitimu!”

Aku terdiam. Memandangi makhluk kecil yang memiliki telinga panjang dengan tubuhnya yang membulat dan berbulu halus. Warnanya seputih salju. Dengan empat kaki kecil yang menompang tubuh mungilnya. Menggemaskan. Apa dia yang berbicara tadi? Pikirku mengamatinya dalam diam. Bingung dengan semua ini. Terbangun di tempat asing dengan makhluk aneh di dekatku. Aku berusaha bangkit dan ingin meninggalkan tempat ini. Jangan-jangan dia ingin menawan, lalu memakanku! Pikirku panik.

“Nona, kamu mau ke mana?” teriaknya sambil melompat mendekatiku.

“Jangan mendekat! Jangan coba-coba mendekat!” teriakku ketakutan ke arahnya yang melompat mengarahku.
Dia pun berhenti. Matanya yang bulat memandangku aneh. Kini dia berdiri menjauhiku. Seolah mengerti apa yang kuucapkan. Lama kami terdiam di posisi masing-masing. Tanganku mencoba meraih ganggang pintu, namun mataku tak lepas melihatnya. Saatku berhasil meraih ganggang, tiba-tiba aku dikejutkan kembali dengan sesuatu yang mendahuluiku membuka pintu.

“Ada apa Mouw, kenapa berisik sekali?!” tanya seseorang yang kini berada di depanku. Wanita muda bermata violet senada dengan rambutnya yang tergerai sebahu. Sebuah kacamata tak berbingkai menghiasi wajah mungilnya. Gaun berwarna putih dengann list biru muda. Kepalanya memiliki mahkota bertelinga panjang, “Mouw, ada apa?” tanyanya kembali.

“Mana ku tahu? Tanyakan pada Nona itu kenapa berisik sekali.”

Seketika wanita itu memandang ke arahku. Aku mundur beberapa langkah menghindarinya. Dia tersenyum ramah. “Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?”

“Siapa kalian?” hentakku kebingungan.

“Hmm ... mendengar suaramu yang begitu nyaring, sepertinya kau baik-baik saja,” ucapnya ramah. Dia berjalan memasuki ruangan dan duduk di tepi ranjang. “Meski begitu aku harus memastikannya. Kemarilah,” perintahnya sambil menepuk tepian ranjang di sebelahnya.

Aku hanya diam. Tak bergeming. Meski dia terlihat ramah, tidak salahnya aku berhati-hati. Lagi pula dimana ini. Apa aku berhasil keluar dari gua itu. Mataku beralih ke arah Makhluk kecil yang di panggil Mouw, dia melompat ke atas kepala wanita itu dan duduk berlipat seakan menggulung. Kini dia terlihat seperti gumpalan putih yang memiliki mata yang indah. Aku seakan terpukau melihatnya begitu terlihat nyaman.

“Kemarilah, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” ujarnya kembali.

Entah keberanian darimana membuatku mendekatinya, perlahan aku duduk di sampingnya. “Jangan takut, aku vegetarian,” ujarnya seraya berbisik lalu tertawa. Membuatku ikut tertawa kecil mendengarnya.

“Sekarang berikan tanganmu?” ujarnya kembali sembari mengulurkan telapak tangan. Aku melihat sebuah gambar kecil berbentuk bunga di pergelangan tangannya. Dengan ragu aku mengangkat tanganku ke arahnya. Tanpa menunggu dia langsung menyambut tanganku. Secara ajaib sebuah sinar perlahan menyelimuti tangan kemudian perlahan sinar itu menjalari seluruh tubuhku. Aku yang kembali takut berusaha menarik tanganku, namun tak bisa. Seakan antara aku dan dia terikat.

“Jangan takut, aku hanya mengecek tubuhmu,” ujarnya lembut seakan tahu apa yang aku pikirkan.

Perlahan sinar itu memuai dan hilang. Aku hanya mengeryitkan dahiku tak mengerti. Takjub dengan semua yang ku alami tadi. Akupun bisa merasakan tubuhku tampak lebih enak. Rasa sakit di kepalaku yang tadinya masih terasa hilang sekejab.

“Selesai. Ternyata semuanya baik-baik saja. Tidak ada luka yang tersisa di tubuhmu. Aman,” ujarnya semangat.

“Cahaya apa tadi?” tanyaku penasaran tak mengindahkan ucapannya.

“Oh, tadi? Aku hanya menegeluarkan sedikit kemampuanku untuk menyembuhkanmu. Kau tahu? Kami menemukan dirimu terluka cukup parah di dalam hutan kegelapan,” ceritanya semangat sambil menunjuk diriku.

“Hutan ... kegelapan? Apa maksudmu hutan, aku hanya terjatuh ke dalam gua dan tak nampak apapun di sana. Bahkan tak ada satupun pohon yang terlihat,” ujarku tak percaya.

“Siapa bilang hutan harus ditumbuhi pepohonan, hutan kegelapan adalah tempat mimpi buruk yang tertinggal. Di sana berkumpul makhluk-makhluk para penebar mimpi. Semua yang terjebak di sana terkurung pada dunia ketakutan khayalan mereka. Apa yang kau takuti, itu yang kau rasakan. Itulah dinamakan Hutan Kegelapan. Aku penasaran, kenapa kau bisa terjebak di sana?” tanyanya penasaran memandangku.

Aku diam, mencerna tiap kalimat yang ia ucapkan. Penebar mimpi buruk. Hutan kegelapan. Hutan tanpa pohon? Bagaimana bisa! Apa dia sedang bercanda?

“Hei, kenapa kau malah terlihat bingung?”

“Ah, tidak, hanya saja apa yang kamu bicarakan itu terdengar ... tidak masuk akal,” ucapku jujur.

“Hmm ...,” aku melihat ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ia tampak berpikir seperti hendak mengatakan sesuatu. Lalu melihatku dengan pandangan tidak kumengerti.

“Dia manusia atas Vhe, sudah kubilang kau tak percaya,” ujar Mouw yang kembali bersuara.

“Kau benar Mouw, hanya saja aku tak percaya kenapa manusia atas bisa berada di sini.”

“Tunggu dulu! Apa maksud kalian berkata seperti itu? Manusia atas? Apalagi itu?” ujarku bertubi-tubi. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Sudahlah, biar kujelaskan semuanya nanti. Sekarang mari kita berkenalan satu sama lain. Hai Nona, namaku Vheranta, dan kelinci di atasku ini bernama Mouw. Sebelum aku menjelaskan semuanya, bisakah kau katakan siapa namamu terlebih dahulu?” papar Vhe menatapku lekat.

Aku membuang napas pasrah. Mau, tidak mau, aku harus mengikuti permainannya. “Aku Embun,” jawabku singkat.

“Embun, namamu indah,” ujarnya sambil berdiri. “Baiklah Embun, aku kira kau sudah kuat. Ayo ikut kami, akan kutunjukkan dunia kami padamu,” ujarnya bersemangat.

Akupun berjalan pelan mengikuti mereka dari belakang. Sungguh di otak ini memiliki banyak pertanyaan yang menuntut jawaban. Satu-satunya cara saat ini mengikuti mereka untuk mengetahui jawabannya. Sekalian mencaritahu bagaimana caranya aku bisa pulang. Sungguh aku sudah sangat merindukan semuanya.


***

Yang mampir baca, jangan lupa bubuhkan  vote dan comment ya ^^ ah, iya, yang di MulMed di atas Vhe dan Mouw ya ^^ cerita ini sedikit terinspirasi dari game Toram Online yg akhir-akhir ini aku mainkan. (Hanya character ya, alur cerita dan lainnya berbeda kok)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top