Pemungut Debu Bintang

"Hati-hati, benda itu terbang dengan kecepatan tinggi!"

"Aku akan mendapatkannya"

Aku memacu pesawatku. Melintasi ruang angkasa dipenuhi puing-puing berhamburan. Satu-dua bongkahan baja kecil sudah aku dapatkan. Tinggal yang besar, ada di depan, menunggu untuk aku terkam.

"Baiklah, jangan sampai orang lain yang mendapat benda itu," ucapku.

Mengunci target. Benda sebesar sebuah kereta kuda mengapung di angkasa, seperti punya ilmu meringankan diri. Harganya cukup untuk makan berbulan-bulan, kalau aku tidak boros. Aku harus mendapatkannya.

Aku menekan sebuah tombol di setir kemudi. "Tembak!"

Kabel metalik panjang ditembakkan ke sebongkah baja itu. Ujung kabel dirancang dengan perangkat seperti ujung tombak, menusuk bagian luar, lalu mengait dari dalam. Benda itu kini mengikuti laju pesawatku.

"Hei, bocah. Berikan itu padaku!"

"Si bodoh itu lagi, ternyata."

Aku memeriksa radar. "Ya ampun, mereka datang lagi."

Sebagai seorang pemungut puing antariksa, persaingan di kalangan para pekerja sangat terasa nyata. Jika aku tidak bekerja keras dan cerdas, aku tidak akan mendapat bongkahan untuk aku pungut. Maka itu setiap orang berusaha mati-matian demi membersihkan sisa-sisa sampah di ruang angkasa. Contohnya dua pesawat pengangkut puing yang mengejarku. Biasanya ada tujuh atau mungkin sepuluh, aku rasa. Mereka pasti tidak sudi barang incarannya diambil olehku. Yah, padahal siapa cepat dia dapat.

Di depanku, puing-puing berukuran besar yang melayang, hampir dua kali ukuran pesawat pemungutku. Tak memungkinkan untukku atau para pemulung ambil. Biasanya ada banyak robot berukuran kecil yang mempreteli bagian per bagian, lalu membawa bagian-bagian kecil itu menuju sebuah pesawat yang ditugaskan.

Puing-puing besar itu menghalangi jalanku. Aku harus menghindar sekaligus menjauh dari kejaran pemulung lain.

Aku belokkan pesawatku ke kiri-kanan. Satu per satu bongkahan besar aku hindari. Begitu juga dengan dua pesawat di belakangku yang masih tidak mau menyerah.

"Berhenti! Anak kecil sepertimu tidak butuh uang sebanyak itu!"

Seseorang berusaha menghubungiku, suaranya seperti seorang pria berusia empat puluh tahunan.

Aku menaikkan kecepatan, tidak peduli dengan dua orang yang ingin menerkamku. "Tujuan berikutnya, pos daur ulang."

Dua pesawat itu kini tertinggal jauh. Aku langsung menuju ke pos daur ulang yang didirikan di sebuah bulan. Sebenarnya pos itu didirikan untuk sementara, hingga semua sampah-sampah berhasil dikirim ke daratan planet dan tak bersisa di ruang angkasa.

"Petugas nomor 59N, melapor. Meminta izin untuk bongkar muatan."

"Izin diberikan. Pergi ke hangar nomor 14."

Aku terbang menuju tempat yang sudah ditentukan, dengan benda besar melambai-lambai seperti ekor naga di bagian belakang.

Pesawat milikku adalah pesawat yang dirancang khusus untuk mengambil dan mengangkut puing-puing antariksa. Lincah, cepat, tapi bisa memuat banyak barang. Tetapi pesawat ini bukan sepenuhnya milikku. Jika aku tidak bekerja sebagai pemungut puing, aku tidak akan bisa mengendarai pesawat ini.

Aku akhirnya tiba. Pesawatku mendarat di hangar 14 untuk bongkar muatan.

Aku turun dari pesawat dengan dua orang langsung menghampiri. Bukan orang, tepatnya robot. Mereka segera melakukan pembongkaran. Ketika para droid petugas sedang sibuk dengan mainannya, aku menghampiri sebuah pos kecil.

"Aku bisa dapat berapa?" tanyaku kepada seorang pria berkulit gelap dan rambut keriting di pos kecil.

"Biar kulihat hasil kerjamu." Ia menatap sebilah layar hologram. "2500, langsung dikirim ke akunmu."

"Terima kasih. Aku sekalian ingin lapor, waktu kerjaku sudah selesai."

Aku meninggalkan petugas itu sembari melepas jaket seragam.

"Ianer," panggilnya.

Lantas aku menghentikan langkahku yang belum jauh, lalu menoleh ke arah pria itu. "Ada apa?"

"Pemerintah mengadakan beasiswa untuk anak Jesquanian yatim piatu. Kau bisa kembali bersekolah, mendapat asrama tinggal, dan juga uang saku. Tuan Direktur akan mendaftarkanmu jika kau menambah jam kerja dalam dua hari ke depan. Kesempatan bagus buatmu, Nak."

Sepetak layar holografik tiba-tiba muncul dari gelangku, tepatnya perangkat asistenku. Aku membaca tulisan-tulisan yang berisi semua persyaratan dan informasi lainnya tentang beasiswa tersebut. Aku menekan halus gelangku, mematikan layar itu.

"Terima kasih, Pak," balasku sembari meninggalkan pos.

Aku melangkah meninggalkan area hangar yang bising akibat suara mesin angkut dan ramai dengan droid yang lalu-lalang. Setelah berjalan keluar, aku berjalan melalui sebuah lorong menuju halte angkutan menuju daratan planet. Di lorong itu terdapat seseorang bertubuh kekar yang berdiri di tengah.

Pria itu tidak mau memberiku jalan. Aku berhenti melangkah sembari menatap wajahnya. Aku perlu menengadah sebab tubuhnya tinggi.

"Kau orang yang mencuri puing milikku, bukan?" tanya orang itu.

Bulu kudukku langsung merinding, tetapi aku mencoba untuk tetap santai. "A- aku tak tahu siapa Anda."

Pria itu melayangkan tinju ke arah perutku yang membuatku sesak seketika. Aku tertunduk hingga terjatuh ke lantai sembari menahan rasa sakit dan kaget yang muncul bersamaan. Pria itu menghadapkan telapak tangannya ke depan wajahku, entah apa tujuhannya.

"Pengiriman uang berhasil!" Ucapan tersebut terdengar dari notifikasi perangkat asisten milik pria tinggi kekar itu. Aku tidak bisa melawan dan hanya merelakan sebagian uangku diambil olehnya.

Pria itu berjalan menjauhiku. "Asal kau tahu saja, aku punya lima orang untuk diberi makan," ucapnya.

Aku berusaha duduk sembari mengecek saldo uang milikku. Bersisa tinggal setengah dari yang baru aku terima tadi. Yah, meskipun aku rugi besar. Oh ya, aku tidak menyebutkan persaingan dalam pekerjaan mengangkut puing selalu berjalan sehat, bukan?

Akhirnya aku bisa berdiri setelah mendapat hantaman kencang yang hampir membuat isi perutku termuntahkan. Layar hologram dari perangkat asisten tak kunjung padam, pasti sistem mati otomatisnya bermasalah. Aku menepuk-nepuknya berkali-kali, yang muncul malah gambar infografis beasiswa yang aku dapat dari petugas pos tadi.

Tunggu. Aku hanya perlu menambah jam kerja selama dua hari?

Total jam kerjaku untuk dua hari ke depan adalah 12 jam, dan jam tambahan yang harus kulakukan totalnya empat jam. Jika hari ini aku mengerjakan empat jam itu, maka besok dan lusa aku hanya dapat jam kerja reguler.

Aku segera berlari perlahan kembali menuju hangar. Langsung saja aku menghampiri pos yang masih ditempati pria petugas tadi. Aku menggebrak mejanya hingga ia terkaget.

Aku menatapnya serius. "Aku ingin jam kerja tambahan," ucapku.

Pria itu lantas tersenyum dan mengangguk kepadaku.

-----

Aku segera menaiki pesawatku, setelahnya aku menyalakan mesin lalu menerbangkannya. Aku kembali memungut puing-puing antariksa lagi.

Pesawatku sudah lepas landas dari Bulan Jesquan. Pemandangan berubah menjadi langit gelap yang tampak kotor akibat puing-puing logam bertebaran. Percaya atau tidak, dulunya puing-puing ini adalah stasiun ruang angkasa terbesar yang pernah dibangun. Orang-orang menyebutnya Vezenloch.

Aku segera terbang menuju puing pertamaku di jam lembur. Dengan sebuah tangan robotik yang ada di sisi pesawatku, aku memungutnya dan memasukkannya ke dalam kargo.

Lanjut lagi, sebuah bongkahan logam pipih yang luasnya kira-kira seperti sebuah meja besar. Aku langsung memungutnya.

Lagi, lagi, dan lagi. Sejumlah puing-puing berhasil aku pungut. Aku ingin beristirahat sejenak setelah cukup lama berkeliling.

Aku mematikan mesin pesawatku, membuatnya melayang-layang di angkasa. Sambil aku menyandarkan tubuhku di kursi kemudi. Tanganku yang pegal pun aku regangkan sebentar. Memegang tuas kendali selama beberapa belas menit saja sudah terasa melelahkan.

Dulu, terbang di langit saja mustahil bagi Jesquanian. Namun saat setelah kemerdekaan, banyak orang yang mengenal antariksa. Termasuk aku yang berkutat di ruang hampa layaknya tukang sampah di jalanan.

Apakah aku akan melihat dunia lain seperti yang orang bilang?

Telapak tanganku mengarah ke jendela kokpit, seakan ingin memungut semua bintik bintang yang aku lihat.

"Peringatan! Peringatan!"

Suasana santaiku hilang seketika setelah alarm berbunyi. Aku segera mengecek layar, memastikan apa yang tengah terjadi.

"Kepada seluruh pemungut yang sedang bekerja. Ditemukan sebuah puing besar yang kemungkinan akan masuk ke area atmosfer dalam waktu sekitar 25 detik. Akan ada imbalan dua kali lipat untuk yang bisa mengambilnya."

Seorang petugas memberi perintah melalui saluran radio. Aku segera mengecek lokasinya.

Orang lain juga pasti ingin mengejar benda itu, sebab akan dapat imbalan besar, pikirku. Maka itu, aku segera memacu kendaraan antariksa kelas rendah ini, mengejar si puing yang mengarah ke atmosfer.

"Mencapai target dalam tujuh belas detik lagi." Suara khas wanita pemandu navigasi terdengar. Secepatnya aku naikkan tuas kecepatan.

Benda itu lebih besar daripada tangkapanku sebelumnya. Berjalan dengan bebasnya di antariksa sembari berputar hingga tak sadar atmosfer hendak menyedotnya. Puing berbentuk plat baja raksasa melengkung kini sudah berada di jarak tembakku.

Aku tembakkan kabel penjerat. Ujung tombak kabelku menusuk kulit luarnya. Pesawat pemungutku tertaut, tetapi malah terombang-ambing akibat putaran yang benda itu.

"Stabilkan kemudi! Stabilkan kemudi!" seruku kepada diri sendiri.

Aku menarik tuas kemudi ke atas sekuat tenaga, guna menyesuaikan sistem propulsi pesawat untuk bisa terbang ke atas. Akhirnya benda itu berhasil aku tarik.

Aku berhasil memungut benda yang hampir masuk ke area atmosfer lalu membawanya ke stasiun daur ulang. Layaknya sebelum ini, puing yang kuambil melambai-lambai di belakang pesawatku seperti ekor naga. Aku berhasil mendaratkan pesawat pemungut milikku ke hangar.

Langsung saja aku menghampiri petugas pos yang tadi sekali lagi dengan menggebrak mejanya.

Ia menutup layar gawainya yang menampilkan surat kabar terbaru sembari menaruh cangkir kopinya. "Ternyata kau yang dapat. Selamat."

"Apa itu cukup?"

Pria itu terdiam sejenak. "Lebih dari cukup. Kau akan dapat upah dua kali lipat."

"Terima kasih. Aku akan mengakhiri jam tambahan."

Aku segera meninggalkan pos, berjalan menuju ruang tengah stasiun yang berisi pekerja dari berbagai kalangan. Setiap sorot mata dari mereka mewakilkan perasaan iri dan dengki.

"Itu dia si pemungut paling semangat."

"Cih, dia kira akan dapat penghargaan pegawai teladan atau semacamnya?"

"Jangan-jangan itu supaya dia bisa naik gaji."

Satu-dua orang tak ragu membicarakanku ketika aku menyusuri ruang tengah. Di saat para pekerja berbincang satu sama lain, mereka hanya menganggapku sebagai angin lalu. Begitu juga aku yang tak peduli dengan ucapan mereka. Tak apa, pertanda bagiku untuk segera pergi dari lingkungan ini.

Sepetak layar hologram muncul, menampilkan sejumlah uang yang kupunya. Lumayan, untuk membayar sewa rumah dan biaya makan. Aku melangkah keluar area, menuju bus - sebenarnya pesawat transport - yang akan mengantarkan ku menuju daratan Jesquan.

Hari ini melelahkan. Tetapi diriku layaknya diselimuti kobaran api. Terutama setelah harapan untuk kembali bersekolah tampak di depan mata, menunggu untuk aku jemput.

Jika kali ini aku terbang di antariksa sebagai anak pemungut, suatu saat aku percaya aku akan dikenal orang sebagai penjelajah terhebat.[]

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top