Aku Ingin Berenang di Angkasa
Aku menatap cakrawala gelap ditemani bulan bintang ketika tubuhku sedang melayang di atas air, melakukan renang gaya punggung dengan santai. Aku menyelesaikan latihan renangku malam ini, namun rasanya aku ingin terus berenang. Apalagi langit sedang terang berbintang. Padahal teman-temanku sesama perenang sudah pergi dari kolam.
"Erza, kau tidak mau pulang?" tanya seorang temanku yang duduk di pinggir kolam. Olesa namanya. Jika dalam kompetisi renang putra, dia adalah sainganku.
"Nanti."
"Malam makin dingin. Aku mau ke kamar mandi. Mereka menyediakan air hangat, loh."
Aku buru-buru naik dari kolam. Aku ingin mandi air hangat. Dinginnya air dan udara yang bertiup membuatku kedinginan. Maka air hangat adalah solusinya.
Aku menyelesaikan mandiku. Setelahnya aku berjalan menuju rumah bersama Olesa. Kediamannya searah denganku dan tidak terlalu jauh dari kolam. Jadi kami sudah biasa pulang dari kolam tempat klub renang kami berlatih dengan berjalan kaki.
"Oh ya. Sebentar lagi kita lulus. Kau sudah tau mau lanjut ke mana?" tanya Olesa.
Tahun ini aku akan lulus dari Sekolah Menengah Atas. Maka itu aku harus menentukan masa depanku. Aku memang seorang atlet renang semi-profesional. Tapi bekal untuk masa depanku harusnya tidak hanya kemampuan berenang saja.
"Belum," jawabku. "Kau sendiri?"
"Aku ingin menjadi pelatih. Aku ingin berkuliah di benua lain, tentunya karena aku bisa menemukan banyak gadis cantik di sana," ucapnya sembari tertawa kecil.
Berkuliah di daratan seberang memanglah keren. Apalagi jika ingin menjadi pelatih, akan sangat mudah untuk dapat lisensi profesional tingkat A. Tapi jika keinginannya hanya karena gadis cantik, itu bodoh sekali. Setidaknya Olesa sudah menentukan tujuannya.
"Bagaimana jika kau jadi peneliti. Seperti bapakmu yang bekerja untuk Serikat. Serikat apa ya namanya, aku lupa." Olesa tiba-tiba memberiku saran.
"Serikat Sistem Independen?" Aku meluruskan.
"Nah, itu dia. Aku terlalu malas untuk mengingat hal yang kurang penting."
"Jangan begitu. Mereka membuat penduduk planet ini bisa berinteraksi dengan planet lain. Bahkan kalau tidak ada mereka, kita tidak akan bicara Bahasa Galaktik."
Aku memberi pandanganku tentang Serikat Sistem Independen. Sebuah organisasi yang terdiri dari planet-planet yang tidak terikat dalam pemerintahan Republik Antarbintang. Apa yang aku bilang memang benar. Mereka lah yang telah memperkenalkan teknologi yang jauh lebih canggih dari pada teknologi yang dihasilkan penduduk planet ini, Planet Muvulea.
Kami berjalan tanpa melanjutkan obrolan kami. Lagian masing-masing dari kami sudah tahu jawaban masing-masing. Aku yang tidak tahu arah masa depan, dan Olesa yang ingin kuliah di benua seberang karena gadis-gadis cantik.
Aku berjalan smebari menatap langit malam. Bagi orang lain mungkin hanya hal yang dilakukan ketika jalan kaki. Namun untukku, menatap langit malam memberiku ketenangan. Langit yang gelap selalu terlihat tenang dan sunyi. Membuat udara yang aku hirup malam ini jadi lebih menyejukkan. Aku sangat suka suasana ini.
"Aku tau!" seruku. "Aku ingin berenang di angkasa."
Olesa menghentikan langkahnya. "Berenang di angkasa? Kau gila?"
"Tentu tidak. Bayangkan saja, melayang-layang di ruang angkasa lepas. Bisa melihat bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung. Mengasyikkan bukan?"
Olesa kembali melanjutkan jalannya. Meninggalkanku beberapa langkah. "SUdah benar saranku tadi. Lebih baik kau jadi peneliti saja sana."
"Tentu. Terima kasih sarannya. Aku akan pulang." Aku berbelok di persimpangan karena jalan menuju rumah Olesa seharusnya lurus. Aku pun berlari menuju rumahku yang jaraknya tidak jauh lagi.
Sesampainya di kediamanku, aku langsung menuju kamar. Aku mengeset alarmku pagi-pagi sekali lalu berbaring di atas tempat tidur. Aku ingin cepat-cepat besok. Karena besok adalah waktu yang tepat untukku mengabulkan keinginanku. Aku akan pergi dan berenang di angkasa besok.
*****
Alarm berbunyi. Membuat tubuhku yang semula terbaring kini terduduk di atas tempat tidur. Tubuhku masih lemas. Aku pun melihat jam dan menyadari esok telah tiba.
Aku yang semula lemas tiba-tiba bersemangat. Aku bersiap rapi-rapi untuk mewujudkan keinginan gilaku. Sebenarnya ini sudah ku rencanakan dari lama, namun aku rasa sekarang waktu yang tepat. Aku memasukkan beberapa buku yang berada di mejaku ke dalam tas untuk kubawa. Meskipun buku-buku ini masih terbuat dari kertas, buku-buku ini adalah buku edisi terbaru.
Setelahnya, aku meninggalkan kediamanku. Tadinya aku pamit untuk bermain dengan teman-teman. Padahal sebenarnya aku ingin pergi ke kantor ayahku, Pusat Penelitian Antariksa yang tempatnya tidak jauh di kota ini. Di sana terdapat bandariksa dan pesawat-pesawat luar angkasa.
Aku berlari. Saking lamanya aku tidak menyadari aku sudah berlari cukup lama sembari membawa tas yang cukup berat. Berlari bukan masalah buatku, karena aku seorang atlet meskipun aku bukan atlet lari.
Itu dia, tempat megah yang ingin aku datangi hari ini. Pusat Penelitian Antariksa milik Serikat SIstem Independen. Tempat ini memiliki area luas dan gedung yang tinggi. Aku segera memikirkan bagaimana cara masuk ke areal tempat itu.
Aku berjalan menuju bagian belakang bangunan. Seingatku ada kawat pagar yang diblongi. Aku pun tiba lalu masuk ke dalam melewati lubang dan harus merangkak. Akhirnya aku bisa masuk. Aku berada di area bandariksa. Pesawat-pesawat antariksa terparkir di beberapa lokasi dengan megahnya.
Bagian dari rencanaku adalah menyusup ke salah satu pesawat lalu menerbangkannya. Terdengar gila namun aku sudah persiapkan semuanya. Pagi ini, para petugas keamanan belum terlihat mondar-mandir. Maka itu aku datang pagi-pagi sekali.
Aku berjalan menuju sebuah pesawat. Aku merahasiakan identitasku dengan mengenakan masker hitam yang menutupi mulut dan hidungku, serta kacamata hitam. Memang petugas keamanan masih terlalu malas untuk bekerja sepagi ini. Jadi rencana awalku bisa dibilang lancar.
Aku mendekati sebuah pesawat. Pesawat yang cukup besar. Dari salah satu buku yang aku pernah baca, pesawat ini adalah tipe pesawat cargo. Biasanya digunakan untuk membawa suplai untuk para peneliti di tempat lain yang jaraknya bertahun-tahun cahaya.
Aku masuk melalui pintu belakang lalu menuju kokpit. Pemandangan di kokpit sama persis dengan yang aku pernah lihat di buku. Aku sudah mempelajarinya meskipun aku belum punya sertifikat penerbang. Aku pun duduk di kursi pilot dan mulai menyalakan pesawat.
Luar biasa! Tepat seperti apa yang buku ajarkan kepadaku. Tiba-tiba sabuk pengaman melintang di tubuhku, membuatku kaget. Kini aku mulai mengendalikan pesawat ini agar lepas landas. Akhirnya pesawat ini benar-benar melayang. Luar biasa!
Aku mengendalikan pesawat untuk terbang meninggi. Lalu aku menaikkan kecepatan agar aku bisa mencapai titik nol gravitasi lebih cepat. Luar biasa! Aku benar-benar menerbangkan sebuah pesawat.
"Woo hoo!!"
Pesawatku terbang dengan cepatnya. Melawan gravitasi untuk keluar dari zona atmosfer Planet Muvulea tempatku tinggal. Langit lama kelamaan berubah menjadi gelap layaknya langit malam. Tujuanku menjadi semakin dekat.
Butuh waktu yang lama untuk pesawat ini terbang ke angkasa lepas meskipun ini adalah pesawat canggih. Aku menyaksikan langit hitam gelap dengan bintik-bintik putih terang di sekitar. Bapakku curang. Ia bekerja sebagai peneliti antariksa tapi tak pernah membawaku melihat pemandangan ruang angkasa.
"Keren sekali!" seruku. Aku melepaskan sabuk pengaman lalu beranjak dari kursi. Kalau aku menonaktifkan mode gravitasi buatan, pasti aku sudah melayang-layang seperti yang ada di video jurnal peneliti.
Aku pergi menuju kabin pesawat. Benar saja, di kabin terdapat baju peneliti seperti yang aku lihat di buku. Bajunya berwarna putih dengan perangkat tabung oksigen di belakangnya dan helm seperti mangkuk ikan berwarna bening.
Aku segera mengenakannya. Baju ini akan membantuku untuk berenang di angkasa. Jika tidak mengenakan baju ini, aku tidak akan bertahan di ruang hampa tak terbatas ini meski hanya sedetik.
Aku pergi ke pintu samping. Aku memastikan bagian pintu dalam mengunci udara di pesawat ini. Lalu pintu luar terbuka, membuatku bisa melihat pemandangan luar angkasa secara langsung.
Aku segera melompat ke lautan hitam tanpa dasar. Aku benar-benar berenang di angkasa. Muvulea terlihat di bawah, membuatku sadar aku berada di ketinggian. Di sini hanya ada aku, benda langit yang tak terhitung jumlahnya, dan kesunyian yang tak ada usainya.
"YAAAA!" Aku berteriak di tengah sunyinya ruang langit. Tidak ada satupun suara yang bisa kudengar selain suaraku.
Tubuhku terus bergerak ketika melayang di angkasa. Berenang di angkasa sangat mengasyikkan. Ternyata ruang angkasa lebih sunyi dan tenang dari pada yang kukira. Aku merasa sendiri di tengah ruang maha luas ini. Tapi aku merasa senang!
Tanpa kusadari, aku malah bergerak semakin jauh dari pesawatku yang terhenti. Aku berusaha untuk menggunakan teknik renang yang aku kuasai. Tapi yang ada, tubuhku makin bergerak jauh. Aku lupa aku sedang tidak berenang di air, melainkan lautan hampa.
Apakah aku akan berada di daftar orang hilang?
Aku baru ingat. Aku pernah baca di sebuah buku. Baju peneliti memliki sebuah perangkat seperti kabel untuk menjangkau benda yang jauh. Singkatnya seperti jaring manusia laba-laba. Perangkat itu berada di pergelangan tangan kanan. Aku pun mengaktifkannya.
Cara kerja perangkat ini adalah, kita harus mengarahkan pergelangan tangan kita menuju benda yang ingin kita capai. Setelahnya kita perlu menembakkan bagian ujung kabel yang dapat menempel. Aku pun mengarahkan tanganku menuju dinding eksterior pesawat. Aku mencoba percobaan pertama, ternyata meleset. Ini tak semudah yang kukira.
Aku mencoba lagi yang kedua kalinya, namun tetap tidak tepat sasaran. Kabel yang kutembakkan tak kunjung menempel kepada baja yang berada di lapisan luar pesawat.
"Peringatan, oksigen hampir habis. Peringatan, oksigen hampir habis."
Aku mendengar peringatan, bersamaan dengan tulisan yang ditampilkan di kaca helm mangkuk ikan. Aku pun mencoba yang ketiga kalinya. Di film-film, percobaan ketiga selalu berhasil. Aku menjadi optimis lalu kembali mengarahkan perangkat ini. Tangan kiriku menekan tombol di atas perangkat penembak kabel yang menempel. Benar saja, percobaan ketigaku berhasil.
Kabel sudah menempel. Aku pun mendekati pesawat dengan cara menarik kabel yang sudah tertaut. Sedikit lagi aku sampai ke pintu luar pesawat. Tiba-tiba peringatan oksigen menipis kembali muncul. Aku pun menahan napasku sekuat tenaga sembari terus menarik kabel agar bisa kembali ke pesawat. Buatku, menahan napas bukanlah hal yang sulit karena aku seorang atlet renang.
Aku akan sampai sebentar lagi, namun napasku rasanya hampir habis. Aku mengembuskan napas lalu menarik lagi dalam-dalam dan menahannya. Akhirnya aku sampai di pintu samping pesawat.
Aku melepaskan ujung kabel, lalu masuk ke dalam pesawat dan menutup pintu. Aku kembali menyalakan kunci udara lalu melepas mangkuk ikan yang melindungi kepalaku sedari tadi. Aku tertawa kecil, mengingat aku hampir membuat diriku menghilang di lautan hampa sunyi. Pengalaman ini takkan aku lupakan.
Aku menuju kokpit setelah menanggalkan pakaian peneliti. Lalu, pesan suara tiba-tiba masuk.
"Pesawat kargo unit LC-1458, kami perintahkan untuk tidak bergerak. Anda melanggar undang-undang karena telah melakukan penerbangan tanpa izin."
Tidak! Aku akan dihukum!
[]
*****
Cerita ini diikutsertakan dalam event Written In Action Indonesia yang bertajuk "If The World Went Silent".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top