Seburuk-buruk Pilhan
"Lalu bagaimana dengan Gendis?” Ayla bertanya dengan memegang air sungai Musi, sambil mengingat percakapan Putri Hanifa tadi; tentang menggenggam air. Sekelumit kemudian sosok Kak Ulfa hadir. Memenuhi pikiran Ayla, bagaimana setianya Kak Ulfa pada Bang Taro meski ada laki-laki lain yang datang, namun yang Kak Ulfa lihat hanyalah Bang Taro. Rela menunggu bertahun-tahun, melewati hari yang panjang hanya untuk menuggu Bang Taro seorang. Apakah Bang Taro adalah tangan yang pas bagi Kak Ulfa? Ayla membuka kembali memory masa lalu saat Bang Taro dan Kak Ulfa berada di atas pelaminan bersama, saat itu dua belas tahun yang lalu. Empat tahun Kak Ulfa dan Bang Taro melewati suka dan duka bersama sebelum hadir Bian diantara mereka. Sampai tawaran sahabat Bang Taro dari pulau Jawa datang, menjanjikan hal yang tak bisa di dapat di Kota Palembang. Karena yakinlah, apa yang menjadi milikmu, tak akan menjadi milik orang lain. Semua sudah tercatat di Lauh Manfuznya. Suara Kak Ulfa ketika setelah beberapa hari pernikahan bersama Bang Taro.
“Mari kita lihat sekarang di mana Gendis, Ay,” dengan panas yang tidak terlalu terik siang itu Musi memperlihatkan wujud Gendis di suatu tempat yang belum pernah dilihat oleh Ayla selama ini.
“Di mana itu Musi?”
“Itu di kabupaten Lahat, Ay. Di sanalah aku menyaksikan Gendis. Lihat rambutnya sudah panjang bisa kau bayangkan berapa tahun Gendis mengasingkan diri di sana?”
“Setahun?”
“Tidak Ay, tapi tiga tahun. Usia Gendis saat ini sudah dua puluh satu tahun,”
“Tinggal dengan siapa Gendis selama ini? Apakah Surya tak berhasil menemukannya?”
Karena cabang-cabang tanya sudah begitu banyak di kepala Ayla. Musi akhirnya diam, dan membiarkan Ayla menikmati kisah yang akan ia suguhkan.
Tubuh Gendis lebih tinggi dari sebelumnya. Gendis sedang mencuci di sungai Lematang. Ia memilas pakaian yang cukup banyak, memerasnya kuat-kuat agar air itu bisa keluar dari sela-sela baju yang ia cuci tadi.
“Sari,” panggil seorang ibu paru baya
“Bapak sudah menunggumu di kedai, biar Ibu saja yang melanjutkannya,”
“Tidak Bu, ini tinggal di jemur. Sudah menjemur ini Sari akan ke kedai Bapak,”
“Cepatlah Sari, Bapak kewalahan. Tahu sendiri sakit kaki Ibu sudah tak kuat untuk berjalan ke satu meja ke meja lain,”
“Tenang Bu, Sari akan menggunakan jurus tangan seribu,” Senyum nakalnya menyungging pelan. Setelah urusannya dengan pakaian selesai. Sari sigap untuk datang ke Kedai membantu Bapak di kedai.
“Apa Bapak merindukanku?” Sari bertanya sambil mengganggu bapaknya yang sedang menyuguhkan air kedalam cangkir. Membuat kopi pesanan pelanggan mereka.
“Sari, kau semangat sekali hari ini?” Ungkap Bapak Sambil membiarkan Sari mengambil alih penyuguhan air itu. Dan sejurus kemudian Sari mengambil nampan untuk mengantarkan Kopi itu pada pelanggan.
“Antar itu kemeja nomor sepuluh anakku,” Suara bapak terdengar parau sambil mengeraskan intonasi kata –anakku-. Sari berlalu sambil mencari meja nomor sepuluh. Dan hanya ada satu orang pria di sana.
“Ini pesanannya, Pak,” Sari meletakkan Kopi tadi ke meja nomor sepuluh dengan nada yang ramah. Sari kembali menghadap belakang niat hati hendak menuju ke tempat Bapaknya lagi.
“Gendis,” langkah Sari tertahan. Dengan pelan ia menghadap ke sumber suara pria yang memanggilnya dengan nama ‘Gendis’ tadi. Nama yang sudah lama dibuangnya semenjak ia memutuskan pergi dari Lubuk Linggau. Setelah berjalan berhari-hari meninggalkan tempat yang memberikan banyak kebahagiaan untuknya. Beberapa kali ia berhasil selamat dari prajurit yang mencarinya dulu. Siapa yang tidak tahu sayembara yang dilakukan oleh Raja Dapunta? Sayembara yang sangat terkenal keseluruh desa, bahkan sampai ke Ibu Kota. Hampir seluruh orang bersemangat menjalankan sayembara itu. Dilihatnya pria itu adalah Surya. Gendis sejenak terperangah karena Surya memandangnya dengan tatapan lega. Gendis justru terdorong untuk menggeleng, buru-buru membalikkan badan dan enyah dari hadapan Surya.
Dulu Setelah Gendis terjatuh lunglai di kebun kopi Lahat milik Bapak dan Ibu pemilik kedai kopi tempat Gendis tinggal sekarang, mereka merawat Gendis penuh cinta. Kehadiran Gendis seolah obat bagi kerinduan mereka pada sosok buah hati yang sudah lama dinanti-nanti. Bapak dan Ibu itu juga tahu tentang sayembara Gendis, tapi ketika melihat Gendis memohon untuk tidak dikembalikan. Akhirnya mereka sepakat mengganti Gendis dengan nama Sari sebagai anak dari saudara mereka di Ibu Kota. Saat itu Gendis mengurung diri di dalam rumah agar tidak dapat ditemukan siapapun. Setelah dua tahun pencarian Gendis redah, Perawakannya diubah sampai tak akan ada yang mengenalinya. Rambutnya di potong pendek mirip dengan laki-laki. Hingga Gendis bisa keluar rumah sebagai Sari. Anak angkat Bapak dan Ibu pemilik kedai kopi.
Gendis langsung menjauh dari Surya dan menuju tempat Bapaknya. Namun sesampainya Bapak malah memberikan tatapan yang berbeda. Gendis tahu maksud tatapan itu, dia menggeleng pelan.
“Tidak Pak, aku adalah Sari anak kalian,” Suaranya tercekat dan semakin lirih. Ada segumpal rasa sakit memandangi wajah bapak. Kemudian Bapak datang dan merangkuhnya dengan tangan yang besar.
“Selesaikanlah masalahmu Nak, Bapak dan Ibu selalu menerima kapanpun kau ingin kembali Pulang,” Bapaknya berbisik lembut. Gendis terdiam barang sejenak. Mendengar kata-kata itu tubuhnya terasa kaku, membuat otaknya menjadi kacau.
“Aku ingin di sini Pak, bersama kalian,” Ucap Gendis dengan nada ngilu.
“Surya sudah menceritakan semuanya pada kami. Putri Hanifa sampai sekarang masih terus memikirkanmu. Bahkan Raja Dapunta dan Ratu Asma masih terus bertanya tentang keberadaanmu. Bagaimanapun mereka juga keluargamu, Nak. Kalau bisa Bapak memang ingin kau di sini. Tapi, jika Bapak adalah Raja Dapunta, lalu Ibu adalah Ratu Asma sungguh tersiksanya batin kami harus kehilangan dirimu tanpa tahu apa kau baik-baik saja di sini. Bapak juga tahu, meski kau bahagia di sini. Tapi, kau selalu ingin pulang. Bapak jadi tahu, kenapa kau ingin berlama-lama di meja pelanggan jika pelanggan itu menceritakan tentang Lubuk Linggau. Bapak ingat kau juga terlihat berbeda ketika mendengar pernikahan Putri Hanifa dan Pangeran Kusumah. Sebenarnya kau ingin tahu bagaimana keadaan Putri Hanifa bukan? Dari cerita Tuan Surya Bapak bisa membayangkan betapa dekatnya kalian berdua,”
Mendengar itu pertahanan Gendis jadi runtuh. Ada beragam emosi yang dirasakannya. Hingga senyum Bapak memberikan keyakinan. Menjadi isyarat, bahwa ia tak boleh lagi lari, Karena meninggalkan masalah adalah seburuk-buruknya pilihan.
“Ibu bagaimana Pak?” nada Gendis menelusur jauh dalam kebimbangan, meremas hatinya sendiri.
“Ibulah yang menyuruh bapak mengatakan ini. Apa lagi dia ingat, saat kami memberimu nama Sari Pati dengan kerasnya kau ingin menambahkan nama Raya di belakang. Sehingga menjadi Sari Pati Raya. Meski sangat tidak nyambung nama itu nak, tapi melihat keinginanmu yang amat kuat membuat kami menyutujuinya. Karena nama itulah Ibumu membujuk Bapak, kau masih sangat mencintai perbatasan Lubuk Linggau, tempat adanya Danau Raya dan pohon rambutan. Itu adalah tempat rahasiamu bersama Putri Hanifa, kan? Dan tiga minggu yang lalu kau mencari bibit bunga asoka. Kalau Surya tidak menceritakan semuanya, tentu kami tidak akan tahu apa-apa. Kami tak ingin kau menanggung beban itu, pulanglah nak. Sebelum terlambat. Kami selalu menerimamu di sini. Bagi kami sampai kapanpun kau adalah Sari kami. Bapak dan Ibu akan menunggumu di sini,” Sinar mata Bapak semakin berkilau. Sebutir air menetes pelan dipipinya, Gendis menatap mata bapak dengan genangan air di mata. Wanita memang pandai mengelabui rasa sakit, tapi laki-laki biasanya jauh lebih kuat. Gendis bergeming, tak secuilpun kata ia hamburkan. Ia menatap mata Bapak dengan lengang. Mata itu yang dulu sudi membawanya pulang. Mata itulah yang menghilangkan rasa sakit. Dingin. Kepedihan. Kehilangan. Ketakutan. Dan semua rasa gelap dalam kehidupan Gendis setelah ia merasa tak pantas menerima kebaikan Putri Hanifa lagi. Lalu mata itu kini menyuruhnya pergi dengan damai.
“Pak, Sari pasti pulang,” sekali lagi Gendis memeluknya sambil berkata lirih “Sari tak bisa ketemu Ibu pak, mungkin Sari tidak akan jadi pergi jika bertemu dengan Ibu saat ini. Sari akan terus mendoakan kalian, teruslah sehat sampai Sari kembali pulang,” Bapak hanya mengangguk pelan sambil memberikan senyuman yang tulus padanya.
Gendis menoleh ke belakang sudah ada Surya di sana. Surya menyaksikan semua adegan itu. Surya dan Gendis mencium tangan bapak dengan takzim, kemudian mereka pamit pergi ke Ibu Kota. Kereta kuda dan Dayang Miya sudah menunggu mereka di depan kedai kopi.
“Gendis,” panggil Surya sebelum Gendis naik ke kereta kuda.
“A-aku .. Eh…,” Nada Surya nyaris tenggelam oleh keramaian. Gendis menunggu
“Sudahlah, lupakan saja, tak terlalu penting,” Ujar Surya kemudian diam, dan guratan wajah Gendis menampakkan kecewa.
***
Ceritanya ngebosenin yaaa? Ada yang bisa kasih comment dan sarannya :') ditunggu vote dan kritik nya yaaa 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top