Chap 7 : Kata yang Tersimpan Rapat
Selepas makan malam, setelah Bian tidur Ayla menemukan Kak Ulfa duduk di teras rumah dengan beralaskan kursi panjang yang terbuat dari kayu.
"Kakak belum tidur?" tanya Ayla sambil duduk di sebelahnya
"Belum bisa tidur,"
"Bang Taro tadi kenapa minta buku kak?"
"Entahlah. Dia tidak menunjukkannya padaku,"
"Kakak menyesal dengan penantian panjang delapan tahun ini?"
Tatapan Ulfa kelam. Mendengar pertanyaan itu, Ulfa menahan napas. Pertanyaan berat itu sungguh menggetarkan hatinya, akar ini masih kuat tertanam di jiwa. Karena rindu yang menggantung, membuatnya seakan tak ada waktu untuk memikirkan penyesalan. Ah, terlalu bodohkah? Yang ia tahu akad adalah perjanjian yang sakral. Tidak akan mudah untuk memutuskan berpisah. Sejak pergi delapan tahun yang lalu, Bang Taro selalu dekat dengan kata aamiin yang tak pernah ia lelah gumamkan.
"Setidaknya...," Ucapan Ulfa menggantung di udara.
"Setidaknya dia ada di dekatku sekarang. Dia punya alasan yang kuat kenapa tidak pernah ada kabar selama ini. Setidaknya, dia tidak memberontak dengan mengetahui kenyataan bahwa dia sudah punya istri dan anak. Dia mau pulang ke sini. Setidaknya, sesekali aku bisa menangkap basah dia sedang memandangku saat aku sedang menjemur pakaian. Atau saat aku sedang memasak nasi di dapur. Atau juga saat aku pulang setelah menjemput Bian dari sekolah, Ay."
Mendengar jawaban Kak Ulfa Ayla merasa pengab, sulit sekali untuk bernapas. Kenapa pertahanan Kak Ulfa seakan tak pernah terkikis? Kini sudut mata Kak Ulfa sudah berkilau dengan air mata, walaupun bibirnya tersenyum indah. Ayla tak bisa lagi berkata apa-apa. Dari dulu, seberat apapun menyiksa batin Kak Ulfa untuk suatu keputusan yang ia ambil, ia akan menerima segala resiko tanpa menyesalinya. Suatu prinsip yang ia pegang sampai dengan sekarang. Meski Ayla tahu Kak Ulfa sering melihat Bang Taro dengan pandangan yang amat pekat. Terlalu pekat sampai tak bisa lagi melihat di depannya adalah jalan yang lurus atau jurang kehampaan.
***
Hari ini minggu pagi. Kak Ulfa berencana mengajak Bian, dan Bang Taro pergi ke Pulau Kemaru. Membawa bekal makanan persediaan untuk makan siang. Tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, yang pasti itu dilakukan karena Bian yang terus merengek ingin pergi ke sana. Ayla berjalan menuju tepi sungai Musi yang sudah dua bulan ini ia hanya menyapa sebentar lalu pergi lagi dengan berbagai kesibukan yang sudah menunggunya.
"Kenapa tak ikut mereka?" Musi bertanya sambil memainkan aliran sungainya. Ayla menggeleng pelan.
"Bagaimana, apa Bang Taro sudah ingat sedikit?" tanya Musi sambil bercengkrama dengan gurawan angin.
"Tidak ada. Tidak ada yang diingatnya sama sekali," jawab Ayla sambil mengambil beberapa batu lalu melemparkannya ke arah Musi, membuat pantulan wajahnya memudar.
"Kenapa kau ke sini? Masih ingin mendengar kisah Putri Hanifa?"
"Iya, bagaimana selanjutnya apakah seperti kisah romance yang selama ini kudengar? Putri Hanifa jadian dengan Surya, lalu mereka hidup bahagia? Atau karena status Surya yang bukan seorang pangeran akhirnya mereka lari dari kerajaan bersama?" Musi mendapati nada antusias Ayla di bawah cahaya matahari menyeruak. Merangkak naik ke persinggahannya. Baju Ayla melambai ke arah kiri dibawa oleh terpaan angin.
"Tidak akan seru jika ku katakan langsung, saksikanlah sendiri," Musi menyuguhkan gambar Putri Hanifa lagi. Tapi di gambar itu angin tidak membawa hembusan keceriaan dengan riang seperti biasa. Kesejukan di wajah Putri Hanifa terlihat lenyap, menyisahkan raungan tangis dengan isak yang tersendat-sendat.
"Pangeran Kusuma akan datang berkunjung dua bulan lagi, itu yang tertulis di surat ini," Raja memanggil Putri Hanifa untuk menjelaskan tentang seorang kaki-laki yang akan menikah dengannya. Kabar itu sama terhentaknya seperti yang didengar Putri Hanifa setengah tahun yang lalu, ia tidak terima dijodohkan dengan Pangeran yang terkenal dengan sifat dingin. Karena kabar dan pemberitahuan itulah Putri Hanifa menangis dan tertidur di pohon rambutan dulu.
Meski tak bisa membantah apa-apa, dan Putri Hanifa tidak mengeluarkan suara pertanda tidak setuju. Sesungguhnya, hatinya makin tak terima karena kini sudah bertahtah satu nama yaitu Surya. Laki-laki Yang hampir satu bulan ini sudah menemaninya.
"Putri hanya perlu bicara pada Raja, jika Putri tidak mau," Ujar Gendis sambil menangkap nada ketakutan disela tangis Putri Hanifa. Mereka sedang duduk di samping Danau Raya dan beralaskan rumput dengan bebas.
"Gendis, aku harus bicara pada Surya," Mata basah Putri Hanifa kini mengungkapkan kejujuran isi hatinya. Gendis seperti terperanjat ia melihat satu rahasia di balik permintaan Putri Hanifa.
"Putri menyukai Tuan Surya?" Gendis bertanya dengan wajah yang kecut. Putri Hanifa mengangguk, matanya menatap lembut pada gendis menyimpan sesuatu hal indah yang ia harapkan.
"Ternyata aku benar, Putri dan Gendis ada di sini, aku membawa syair yang baru saja selesai kutulis," Surya datang di balik semak-semak sesudah melewati hutan menuju Danau Raya. Putri Hanifa dan Gendis tertegun dengan kehadirannya.
"Aku akan meninggalkan kalian berdua, bicaralah padanya Putri," Gendis beranjak pergi hendak meninggalkan Putri Hanifa bersama Surya untuk berdua.
"Surya aku ada urusan. Tolong temani Putri Hanifa di sini," Gendis berbicara lantang membuat Surya sedikit merasa aneh. Beberapa menit kemudian Surya sudah duduk di samping Putri Hanifa, suasana menjadi canggung. Membuat detak jantung Putri Hanifa tidak tentu arah.
"Surya ada yang ingin kusampaikan," Putri Hanifa berucap sambil menatap pada bayangan Surya yang ada di Danau.
"Sebelum itu Putri, izinkan aku membacakan bait syair yang baru sudah kutulis. Aku ingin meminta pendapatmu," Ujar Surya tanpa basa-basi, sambil memandangi Putri Hanifa, sedangkan yang ditatap hampir tidak bisa bernapas.
"Oh. Baiklah," Putri Hanifa membalas tatapan Surya sejenak. Sejenak itu pula ia melupakan rasa sedihnya dengan berita dari Raja Dapunta.
Akhirnya harus kusudahi dayung ini,
Sebelum aku terlalu jauh, aku harus berlabuh,
Dari lepas tangkap,
menyusuri sebuah perasaan yang dirasa damai,
Tepimu amat meneduhkan duniaku,
Membuat jiwa makin melaju untuk ke situ,
Desirmu makin merambati hidupku,
Bukan karena apapun,
Beberapa kali ku coba menjauh dari debur ombak di jiwa ini,
Perasaan yang terus terkayuh, tanpa mengenal batas waktu
Akupun makin tak kuasa saat cermin itu berubah menjadi wajahmu,
Saat mimpiku mulai terusik oleh kehadiranmu,
Adakah semburat rasa itu juga sama pada hatimu?
Akukah yang terlalu merasa tinggi dengan semua caramu?
Atau kaukah yang terlalu percaya padaku?
Kadang ... kau juga menjelma menjadi matahari bagiku,
Bagaimana ini? Kau bersinar begitu terang,
Meski hangatmu di pagi hari menyejukkan,
tapi tetap saja aku tak berani transparan untuk menampakkannya,
Berlindung di balik sikapku yang acuh,
Setiap hari kau datang, menebar energi untuk kehidupan,
Tapi diam-diam aku berharap mendung tiba,
Menutupi sinarmu yang begitu menyesakkan,
Bagaimana ini? Meski aku di dalam ruangan,
Tapi kilaumu masih bisa ku rasakan.
Duhai Senja,
Bawalah matahariku,
Tapi besok saat pagi akan datang, kembalikan dia padaku.
Mendengar bait syair itu entah mengapa Putri Hanifa merasa hatinya seperti dielus lembut oleh rangkaian nada Surya. Nada itu sampai ke hati Putri Hanifa, membuatnya kini berani menatap dengan penuh tanya "Akukah yang kau maksud, Surya?" tanya Putri Hanifa dalam hati.
"Ini bagus, sangat indah," yang diungkapkan Putri Hanifa berlawanan dengan pertanyaan di hatinya.
"Sekarang apa yang hendak ingin Putri katakan padaku?" Surya melipat bait kertas itu, mulai mendongak menyampingkan arah pandangannya ke kiri tempat Putri Hanifa berada.
"Aku...," Sesaat semilir angin membersamai mereka berdua. Putri Hanifa mulai menyisir rambutnya dengan jari-jari takut angin bisa memberantaki rambutnya.
"Aku ingin mendengar pendapatmu," Putri Hanifa diam sebentar. Berbagai kata terdesak hanya menyumpal di tenggorokannya. Rasanya sesak. Rasa ragu tapi ingin melanjutkan kini menjadi satu. Haruskah aku mengatakannya?
"Tentang apa Putri? Jika berkenan sampaikanlah,"
"Surya, aku akan dijodohkan dengan Pangeran Kusuma," akhirnya keluarlah kata-kata itu. Setelah menatanya dengan begitu susah, tersimpan rapi di otak dan pikirannya, akhirnya terucap juga. Namun kini Putri Hanifa makin tegang, menunggu reaksi Surya. Bahkan Ia tak berani memandang Surya meski lewat bayangan yang ada di pantulan danau.
***
Yuhuuu. Akhirnya chapter ini selesai. Rada-rada takut karena laptop harus diinstal. Untuk konsisten setiap rabu dan sabtu update itu sesuatu yang benar-benar harus diperjuangkan :D Seperti sekarang ngetik sambil merekap orderan buku The Silent Eyes ^^ yang mesan di Palembang tempat kami tinggal sudah gak sabar bacanya :) Aih ... makasih ya sudah mau bersabar menunggu ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top