Chap 6 : Endapan Rindu

"Ayla, Bang Taro pulang," Poni tetangga Ayla mendatanginya, saat sedang duduk di tepi sungai Musi. Mendengar itu Ayla seperti tak percaya.

"Ia diantar oleh Pak Polisi. Pulanglah dulu, rumahmu sedang gaduh karena Kak Ulfa," sambung Poni kembali. Seperti sebuah intruksi yang hebat Ayla langsung berdiri dan berlari menuju rumah.

Guratan senyum Ayla mengembang. Ayla memacu kakinya lebih kencang menuju rumah yang langsung tersambung dengan toko kue bapaknya. Seketika bayangan Ayla menyelam ke sudut ruang kamar Kak Ulfa. Ingatan yang sering membuatnya tertegun, kenapa Kak Ulfa tidak lelah menunggu, laki-laki yang bahkan secara agama sudah dinyatakan mereka telah talaq 1. Di sudut kamar itulah hati Ayla menjadi beku, memandangi Kak Ulfa yang diam-diam memegangi bingkai poto, melihat lama pada gambar Bang Taro dan dirinya saat Bian hadir membahagiakan keadaan. Tak jarang selepas memandangi bingkai itu, hidung Kak Ulfa memerah. Deras tangisnya tak akan ditunjukkan pada siapapun. Wajah sesungguhnya yang sering bersembunyi di balik ketegarannya.   

Sesampai di rumah, Ayla masuk tanpa pemberitahuan. Kakinya beriring pelan tidak lagi sekencang tadi. Dilihatnya ada Bang Taro dengan tubuh yang lebih berisi. Kak Ulfa sedang duduk di seberang Bang Taro. Ayla menyaksikan kembali tatapan pilu Kak Ulfa, mata Kak Ulfa terpaku mengerjap karena pengap akan rindu yang mengendap begitu lama. Terlalu lama bahkan isak tak bisa lagi menghilangkan sesaknya. Rindu itu tenggelam dalam kubangan kalbunya sampai ia lupa bagaimana indahnya pertemuan dan leganya sebuah beban jika dibagi bersama.

Ayla diam tak berani mendekat, ia bisa lihat dengan jelas bening milik Kak Ulfa sudah tak tertahankan lagi, sedetik kemudian bendungan itu pecah dengan sesenggukan. Di balik air mata Kak Ulfa Ayla melihat ada senja sebening himalaya memancarkan rasa syukur di sela-sela tangisnya.   

"Bang Taro hilang ingatan," bisik Poni pelan di samping Ayla, agar tidak makin memperkeruh keadaan.

Ayla terkejut langsung menoleh pada Poni seakan bicara jangan bercanda, ini tidak lucu! Tapi ternyata tatapan Poni lebih serius dari Ayla. Mempertegas dengan kuat bahwa bisikan itu tidaklah mengandung lelucon sedikitpun.

Bang Taro diam saja tanpa mengucapkan sepatah kata, ibu melihat Kak Ulfa, kemudian menatap Bang Taro dengan tatapan luka. Ayla tahu Ibu seperti dirinya yang seakan merasa sakit. Sakit karena ia tahu betul Kak Ulfa kadang tak napsu makan karena terus memikirkaaan keadaan Bang Taro yang tidak pernah mengontak sama sekali.

Setelah tiga bulan tak ada kabar angin tentang Bang Taro, Ayla sekeluarga mengabarkan ke kantor polisi. Lalu menyebarkan berita kehilangan. Berita itu sudah di mana-mana, media cetak, media elektronik, dan media sosial. Internet sekarang amat luas. Bahkan sampai dengan saat ini, handphone Kak Ulfa dan Ayla tak pernah absen dari kuota. Mereka pun tak berniat mengganti nomor. Setiap hari sebelum tidur, dan ketika bangun pagi mereka akan menyempatkan diri menyebarkan berita kehilangan Bang Taro. Karena setelah pergi Bang Taro hilang seolah raib di telan alam. Ayla sakit menyaksikan penantian panjang Kak Ulfa ternyata berakhir dengan Bang Taro tidak lagi mengenalnya.

Bapak Ayla sedang berbincang dengan Pak Kasman yaitu Polisi yang membawa Bang Taro pulang. Katanya ada yang menemukan Bang Taro di desa Gir Pasang kampung terpencil di Lereng Gunung Merapi Yogyakarta. Orang itu sedang mengadakan penelitian di sana. Karena pernah merasa melihat poto Bang Taro di media sosial ia jadi menghampirinya, lalu penduduk di sana bilang bahwa Bang Taro adalah laki-laki berjalan tak tentu arah di hutan yang tidak ingat apa-apa tentang jati diri dan kehidupannya, kemudian ditolong oleh keluarga bernama Bapak Abhimata.

Akhirnya orang itu menitipkan pada polisi. Setelah mendapat data yang akurat bahwa Bang Taro memang orang yang dinyatakan hilang. Barulah Bang Taro diantar pulang ke Palembang. Dengan mengucapkan banyak terimakasih Bapak Ayla memberikan sekantong berukuran sedang pada Pak Kasman, yang berisi kuenya yang dijual. Pak Kasman pulang dan kini, suasana menjadi haru melihat Kak Ulfa yang pipinya sudah banyak di sebrangi oleh air mata.

"Kau pasti lelah, istirahat lah dulu, Bang," ucap Kak Ulfa menuntun Bang Taro ke kamar.

Sepulang Bang Taro, Ayla menjadi orang paling sibuk di rumah. "Kak aku pergi dulu ya," Ayla pamit. Berjalan melewati derasnya angin menerpa, matanya sudah menatap bangunan biru dekat dengan jembatan merah yang menjadi penghubung antara kawasan ilir dan ulu di Palembang. Sesekali Ayla tersenyum menyapa deburan ombak musi menggelombang di sampingnya. Ayla melirik ke belakang sudah ada Bang Taro mengekorinya. Beginilah setelah pulang sekolah, Ayla harus membawa Bang Taro ke rumah Pak Hantari untuk belajar bahasa Palembang.

Delapan tahun tinggal di Yogyakarta membuat bahasa yang digunakan Bang Taro adalah bahasa Jawa. Di rumah tak ada yang mengerti bahasa Jawa, tak ada yang keturunan Jawa. Untung Pak Hantari yang berasal dari Jawa pemilik bengkel dekat dengan Ampera mau membantu suka rela mengajarkan Bang Taro bahasa Palembang. Sudah hampir dua bulan Ayla menemani Bang Taro.

***

"Bang, kowe lagi ngapa?" (Bang, kamu sedang apa?) sapa Ayla melihat Bang Taro di teras rumah mereka.

"Aku lagi nandur kembang ki. Aku njalu tulung gawako pot kembang sing ning kana kae mrena, isa ora?" (aku lagi menanam bunga ini. Tolong bawakan pot bunga yang di sana itu ke sini, bisa tidak?) Jawab Bang Taro. Sedetik kemudian Bang Taro melihat Ayla dengan bingung. Lalu di detik berikutnya Bang Taro kembali meneruskan beberapa pekerjaannya dengan bunga yang dipegang.

"Sejak kapan kamu bisa bahasa jawa, Ay?" Kak Ulfa datang membawa buku dan pena. Mendengar percakapan Ayla dan Bang Taro tadi.

"Ini yang Abang pinta tadi?" Kak Ulfa memberikan pena dan buku yang dipegangnya pada Bang Taro. Bang Taro mengangguk sambil memegangnya.

"Bisa dikit gara-gara nemani Bang Taro belajar bahasa Palembang dengan Pak Hantari, Kak," jawab Ayla sambil mengambil pot bunga yang diminta Bang Taro tadi.

"Jadi, kamu tahu yang diucapkan Bang Taro barusan?" tanya Kak Ulfa sambil duduk memandangi.

"Gak tahu sepenuhnya Kak. Karena Bang Taro lagi pegang bunga itu, pasti yang dimaksudnya pot ini," Ayla menjelaskan dengan logika.

Kak Ulfa memperhatikan Bang Taro dengan seksama. Meski sudah pulang ke sini dua bulan, tapi Kak Ulfa hanya bisa menemui senyum Bang Taro di dalam ilusinya, dalam angan yang ia raba pada bayangan. Seakan tak cukup dengan setumpuk rindu delapan tahun membelenggu, kini Kak Ulfa harus pasrah dicabik dengan diamnya Bang Taro karena merasa sudah tak lagi mengenalinya. Hati Ayla terkuras lelah melihat Kak Ulfa, mengerti sekali bagaimana mungkin kata akan terbit dari rasa yang tiada, dari interaksi yang berjauhan, bahkan dari komunikasi yang berbeda?

"Sudah sore, kakak harus masak nasi dulu Ay. Tolong panggil Bian pulang, dia pasti main sepak bola dengan teman-temannya di lapangan," Kak Ulfa pergi ke belakang.

Ayla meninggalkan Bang Taro yang kini sudah beralih pada buku dan penanya. Sedang menulis sesuatu yang tidak bisa Ayla lihat. Sudah dua bulan memang Bang Taro belajar dengan Pak Hantari, dan sudah dua bulan satu minggu juga ikrar janji suci itu diucapkan kembali di hadapan penghulu dan saksi. Tapi Bang Taro yang sekarang bukan Bang Taro yang mereka kenal dulu. Tampak asing, bukan karena kata-katanya yang terdengar tidak dimengerti tapi sikapnya, ia benar-benar tidak mengenal kak Ulfa. Bahkan pada Bian dia tidak mencoba untuk mendekatkan diri sedikitpun.

Semua tentang kehidupannya dan masa lalunya, sudah dijelaskan oleh Pak Hantari sewaktu Ayla dan Bang Taro ke tempatnya. Entah apa karena tidak percaya atau karena masih belum terbiasa. Bang Taro tetap seperti itu sama seperti saat dia diantar Pak Polisi, menampakkan wajah acuh tidak mempedulikan apapun di sekitarnya. Bang Taro berbicara sesekali jika diajak bicara dengan bahasa Jawa, selebihnya dia menggunakan bahasa isyarat dan banyak juga diam.

Gurata gusar Ayla bisa dibaca oleh Musi sepanjang perjalanan menjemput Bian.

"Musi, hari minggu nanti, ceritakan kembali tentang Putri Hanifa," ujar Ayla sambil menjauhkan diri ke arah lapangan tempat Bian main sepak bola. Musi mendesir pelan, hari minggu berarti dua hari lagi.

***

Maaf ya karena sibuk promosi buku The Silent Eyes. Jadi gak update Deburan Ombak Musi.  Alhamdulillah The Silent Eyes sudah dicetak, tinggal nunggu paketnya sampai ke sini untuk siap disebar kepada yang sudah memesan ^_^

Kabar gembiranya lagi Author sudah bertekad insyaAllaah setiap hari sabtu dan Rabu Author akan Update Deburan Ombak Musi ( doakan sehat terus yaa ^_____^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top