Chap 5 : Degub Jantung, Cinta 'kah?
Gulungan-gulungan awan ikut berkumpul seolah ingin mendengarkan kisah Musi juga.
Kini perhatian Ayla tertuju pada perahu kecil yang sedang menepi, jaraknya lumayan jauh dari Ayla duduk. Tapi cukup membuat kepala Ayla memutar ke kanan mengikuti gerakan perahu itu sampai ke pesisir, tatapan Ayla tidak berhenti sampai tiga orang di perahu itu turun.
"Mereka pasti dari melihat pagoda di pulau kecil itu. Hari ini memang sungguh indah untuk jalan-jalan," Ayla bergumam pelan.
"Cuacanya cerah bukan?" tanya Musi saling membenturkan ombaknya kecil. Ayla mengangguk sambil memanjangkan kakinya. Duduk beralaskan pinggir sungai.
"Seperti hati Putri Hanifa, cerah ceria. Sejak kedatangan Surya hatinya diselimuti perasaan yang berbeda. Akibat dari seorang laki-laki yang baru pertama kali dekat dengannya. Membuatnya lebih sering menyisir rambut yang tergerai panjang dengan tangannya sendiri, ketika angin mencoba untuk memberantaki. Sebelum keluar kamar beberapa kali berkaca hanya sekedar memastikan penataan bajunya cocok dan tidak terlihat seperti jemuran berjalan, atau seperti warna yang dipaksa bertabrakan hingga terlihat tidak jelas. Dan Putri Hanifa sering sekali berdehem untuk mengatur suaranya agar tidak terdengar aneh, bahkan saat tertawa kecil sekalipun. Benarlah kata orang. Jatuh cinta bisa membuatmu jadi cantik. Hal sekecil apapun pasti akan diperhatikan sebegitu detailnya. Tapi Putri Hanifa tahu, ada yang mengganjal di tatapan Surya. Seperti ada jurang antara dia dan Surya. Ekspresinya tak pernah bisa terbaca, kadang misterius. Kenapa? Dan ada apa?" Ujar Musi berhasil memancing Ayla dengan tatapan tak sabar kembali. Tatapan itu keluar dengan sendirinya karena mencari jawaban yang Ayla tanyakan di awal, ketika mengadukan kegundahannya pada Musi. Apa itu cinta?
Mata dan perasaan Ayla seakan melekat erat pada gambar yang disajikan oleh Musi. Terbawa suasana. Aylapun menikmati kisah ini, entah yang ke berapa kalinya, Musi berhasil menghilangkan gangguan perasaan Ayla pada keadaan apapun yang ditemuinya jika itu tidak ia suka, termasuk pada yang menimpa Kak Ulfa. Tidak ada lagi napas yang memburu kesal, dan segumpal sesak di dalam dada. Riak-riak air sungai Musi dingin menggerumuti kaki Ayla. Angin bergerumbulan menerpa tubuh Ayla, serbuan angin itu menciptakan hawa sejuk baginya. Tak lama kemudian kisah Putri Hanifa dan Gendis tergambar dengan jelas seketika.
***
"Putri, aku merasa kalian terlalu baik sampai berbagi rahasia yang kalian simpan sejak kecil padaku." Surya menyeka keringat di dahi. Matanya mengawasi sekitar. Tingkahnya seperti akan menemukan harta karun yang banyak, kemudian menyebabkan perang dunia yang hebat. Karena Gendis dan Putri Hanifa bilang ini adalah rahasia besar mereka.
"Kau jangan terkejut jika Putri yang anggun ini memanjat—" Putri Hanifa buru-buru menyikut Gendis, dan menggelengkan wajah pelan. Keningnya bergurat menyatukan alisnya menjadi satu. Gendis langsung membungkam mulutnya, dan memberi isyarat menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada seraya minta maaf. Sejak kapan Gendis jadi gadis bocor seperti ini? Pikir Putri Hanifa sebal.
"Ada apa dengan Putri Hanifa?" tanya Surya menatap mereka berdua.
"Jangan ke arah kanan, lewat kiri saja. Di kanan ada sarang tawon," buru-buru Putri Hanifa mengambil alih pembicaraan dan jadi penunjuk jalan. Sambil menuntun obrolan yang aman baginya. Ya, setidaknya aman untuk pendeskripsian jika itu tentang dirinya.
Untuk menemukan Danau Raya mereka akan melewati hutan yang lebat, beberapa akar pohon menimbul dari tanah, rantai-rantai pohon sampai menjulang ke bawah membuat Surya sigap memotongnya dengan pedang. Hutan ini amat sejuk, meski begitu rimbun karena tak terurus. Dalil bahwa ada Naga di sana mungkin itu cara yang baik, dan bisa di terapkan di zaman sekarang agar menjadi alasan untuk kesejukan tidak hilang di bumi. Tidak seperti sekarang, bahkan sejauh mata memandang hanyalah ada bangunan. Pikir Ayla dalam hati, sambil memandangi adegan di sungai Musi, menonton Putri Hanifa, Gendis, dan Surya berjalan cukup jauh. Untuk memenuhi rasa penasaran Surya dan juga ia sekaligus merasa terhormat karena sudah dibagi rahasia ini.
"Kalian tidak takut kalau tiba-tiba ada ular?" tanya Surya sambil tatapannya liar memandangi ke bawah, berjaga-jaga. Di tengah hutan yang lebat tidak mungkin tidak ada binatang liar bukan? Pikirnya sederhana.
"Tenang saja jika ada ular, kita punya pawangnya," Ucap Putri Hanifa sambil melirik ke arah Gendis.
"Kalau aku lebih takut pada kemarahan Putri Hanifa jika keinginananya tidak diwujudkan. Karena kemarahan Putri Hanifa lebih berbisa dari ular," erang Gendis sambil menahan tawa.
"Tapi kurasa racun Putri Hanifa tidaklah mematikan. Malah membius seseorang untuk membuat suatu kehidupan yang baru, membuka lembar cerita yang indah dan lebih berwarna," Surya berucap sambil menatap Gendis. Mendengar sanjungan itu Putri Hanifa tak jadi membalas, malah pandangannya jatuh ke bumi, menyembunyikan wajahnya yang merah merona. Mengatur detak ritme jantung yang tiba-tiba berdegup kencang kembali. Menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah karena mulai terasa memanas. Putri Hanifa makin jatuh pada kesekian kali, setelah mendengar ungkapan Surya tadi.
"Kenapa rakyat dan Raja berpikir kalau Danau itu dijaga oleh Naga?" tanya Surya ketika mereka setengah jalan menuju Danau Raya.
"Aku pernah mendengar legendanya dari orang-orang; bahwa ada sesuatu yang dijaga oleh Naga. Tapi tak ada yang tahu apa itu," Putri Hanifa menimpali, sambil menaikkan sedikit rok panjangnya karena akan melewati dahan ranting yang menghalangi jalan mereka.
"Pasti itu sesuatu yang berharga sampai ia menjaganya," ujar Surya, kali ini matanya bertemu dengan Putri Hanifa. Surya memperhatikan Putri Hanifa dengan seksama, seakan siap kapan saja untuk membantu Putri Hanifa melewati dahan-dahan ranting di depan. Sadar mendapatkan tatapan intens itu. Putri Hanifa buru-buru membuang pandangan ke depan. Dan tentu Putri Hanifa lebih hapal bagaimana harus melewati ranting-ranting ini. Dengan mudah ia meloncatinya, dan kembali menyusuri jalan. Setelah Surya kembali menatap ilalang dan pohon di sekeliling mereka, mata Putri Hanifa tampak berbinar dan diam-diam menyembunyikan simpul senyumnya.
"Kau percaya pada legenda itu?" Kali ini Gendis yang bertanya pada Surya. Bagi Gendis yang memandang dunia dengan realita, itu tidak mungkin ada. Naga hanya ada di cerita yang diciptakan oleh manusia. Itulah alasan kenapa Gendis dulu menyutujui permintaan Putri Hanifa ingin menemukan Danau Raya yang saat itu menjadi buah bibir di desa mereka.
"Antara percaya atau tidak. Tapi aku yakin kisah itu dibuat pasti karena ada satu alasan yang kuat. Mungkin orang yang menciptakan kisah itu karena hendak menjaga Danau dan Pohon rambutan juga, sama seperti kalian yang merahasiakannya bukan?" Surya memberikan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Gendis, dan Putri Hanifa.
"Kami merahasiakannya karena takut nanti Raja marah," ucap Gendis polos. Sambil menggarut tekuk lehernya yang tidak gatal.
Putri Hanifa memandang bingung. Sejak kapan Gendis jadi banyak bicara pula? pikir Putri Hanifa lagi, namun tidak berkomentar apa-apa.
Sampailah mereka pada tempat yang dituju, perjalanan yang panjang dan cukup menguras tenaga. Sinar matahari sungguh menyilaukan mata Putri Hanifa. Gendis langsung berlari membasuh muka untuk menghilangkan keringatnya. Disusul oleh Surya. Langkah Putri Hanifa jadi terhenti memandangi punggung Surya. Sepersekian waktu seolah berhenti. Punggung yang kuat itu telah menghipnotis sendi hati Putri Hanifa dengan sebuah harapan. Meski dia tahu, status mereka berbeda jauh. Putri Hanifa menghela napas berat. Perasaannya hanya bisa tersekat di tenggorokan. Takkan pernah mampu keluar.
"Air ini sungguh jernih," Surya memandang dengan terpesona. Gendis langsung sigap ingin memanjat pohon rambutan, kebiasaan yang mereka lakukan setiap kali ke sini. Namun dengan cepat Putri Hanifa menahannya dan memberikan kode untuk tidak melakukannya. Meskipun sedikit tidak suka Gendispun menurut.
Sejak kapan Gendis jadi wanita yang amat terbuka pada orang lain? Putri Hanifa mengacuhkan pertanyaan yang muncul di benaknya. Mereka bertiga hanya bermain di Danau Raya.
***
Cerita inipun hilang seketika saat Musi sadar bahwa ada seseorang yang meneriaki nama Ayla dari kejauhan. Ayla menoleh sambil menyipitkan mata, melihat sosok wanita yang di kenalnya tengah berlari mendekati Ayla. Dia adalah Poni.
"Ayla, Bang Taro pulang!" Poni dengan nada putus-putus karena napas yang tersengal membawa berita ini pada Ayla. Ayla masih diam di tempat lagi mencerna ucapan Poni yang baru saja ia dengar. Empat detik kemudian Ayla berdiri kaget dari tempatnya duduk. Matanya membesar dan mengguncang tubuh Poni keras yang masih sibuk menghirup oksigen di sekitar mereka.
"Apa katamu tadi, Poni? Siapa yang pulang?"
***
(bersambung)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top