Chap 4 : Bait-bait Syair

Musi menorehkan satu kisah yang pernah tenggelam pada bait-bait syair yang ditulis oleh Tuan Surya. Surya menenggelamkan cintanya pada selembar kertas yang benar-benar hanyut dibawa oleh Musi. Dengan bisu Musi kekalkan kisah cinta itu. Siapa yang menyangka?

Akhirnya harus kusudahi dayung ini,
Sebelum aku terlalu jauh harus berlabuh,
Dari lepas tangkap,
menyusuri sebuah perasaan yang aku rasa damai,
Tepimu amat meneduhkan duniaku,
Membuat jiwa makin melaju untuk ke situ,
Desirmu makin merambati hidupku,
Bukan karena apapun,
Beberapa kali ku coba menjauh dari debur ombak di jiwa ini,
Perasaan yang terus terkayuh, tanpa mengenal batas waktu
Akupun makin tak kuasa saat cermin itu berubah menjadi wajahmu,
Saat mimpiku mulai terusik oleh kehadiranmu,
Adakah semburat rasa itu juga sama pada hatimu?
Akukah yang terlalu merasa tinggi dengan semua caramu?
Atau kaukah yang terlalu percaya padaku?

Kadang ... kau juga menjelma menjadi  matahari bagiku,
Bagaimana ini? Kau bersinar begitu terang,
Meski hangatmu di pagi hari menyejukkan,
tapi tetap saja aku tak berani transparan untuk menampakkannya,
Berlindung di balik sikapku yang acuh,
Setiap hari kau datang, menebar energi untuk kehidupan,
Tapi diam-diam aku berharap mendung tiba,
Menutupi sinarmu yang begitu menyesakkan,
Bagaimana ini? Meski aku di dalam ruangan,
Tapi kilaumu masih bisa kurasakan.
Duhai Senja,
Bawalah matahariku,
Tapi besok saat pagi akan datang, kembalikan dia padaku.

Itulah bait syair yang dibuang oleh Tuan Surya saat kembali dari memenuhi undangan Raja Dapunta. Dari surat undangan itu Raja Dapunta bercerita bahwa kedua anaknya yaitu, Putri Hanifa dan Dayang Gendis yang sudah dianggapnya anak sendiri amat menyukai bait syair yang ia tulis. Undangan itu tidaklah sebentar. Satu bulan penuh Surya berada di sana, menemani Putri Hanifa yang selalu ditemani oleh Gendis. Mereka bertukar kisah dari tiap kisah syair yang ia tulis.

Sehari setelah menyambut Tuan Surya. Pagi-pagi sekali, Putri Hanifa menemui Gendis yang masih istirahat karena kelelahan dari perjalanan yang panjang, bahkan lewat lima hari dari perkiraan mereka.

“Bagaimana apa kau menemukan bapakmu?” tanya Putri Hanifa tanpa basa-basi mulai tak sabar, menanyakan laki-laki yang menjadinya alasan untuk Gendis ke ibu kota. Gendis menggeleng pelan wajah kecewanya tak bisa disembunyikan.

“Aku menemui Ibuku,” ujar Gendis sesaat mereka terdiam sebentar.

“Bagaimana makamnya?” Putri Hanifa bertanya sedikit takut. Ucapan itu menggantung di udara.

“Ada bunga Asoka tumbuh di dekatnya,” Gendis merekuh gelang hijau di tangannya. Matanya terasa perih, mata Gendis mulai penuh oleh danau. Ia langsung membelakangi Putri Hanifa.

“Gendis. Ada aku. Kita adalah keluarga,” Putri Hanifa berbisik pelan. Gendis langsung berbalik ke arahnya, dan mulai menyusuri pundak Putri Hanifa. Tempat ternyaman untuk ia menumpahkan air mata. Bening yang dimiliki Gendis terus menetes setiap kali mereka membicarakan kedua orang tuanya. Gendis hanya memiliki Ibu, dibesarkan di ibu kota. Ibunya berjuang seorang diri merawat dan membesarkan Gendis.

Sampai satu hari Ibu Gendis sakit-sakitan. Saat itulah Bapak Gendis datang. Selepas Ibu Gendis tutup usia, mau tidak mau Gendis harus ikut bapakya. Satu-satunya keluarga yang ia kenal. Namun, bukan kasih sayang seorang bapak yang tentram ia dapatkan. Malah Gendis diajarkan untuk mencuri di pasar. Gendis tidak pernah bisa melakukan pencurian itu, setiap kali ia pulang dengan tangan kosong Gendis selalu hendak dipukul, tapi tangan bapaknya selalu terhenti di udara. Tidak pernah. Ayahnya selalu tidak bisa memukulnya, karena setiap kali melihat tatapan Gendis yang sayu, hatinya selalu tergoncang akan sesuatu. Ayahnya jadi tidak berdaya.

Sampai satu hari saat Gendis disuruh mencuri lagi di pasar, ia melihat bahwa pusaka Raja Dapunta hendak dicuri oleh orang. Saat itu Raja Dapunta sedang berkunjung ke ibu kota. Tanpa pikir panjang Gendis berteriak dan memberitahu Raja tentang pencuri itu. Raja yang merasa tertolong akhirnya mengajak Gendis ke kerajaannya. Menampung Gendis dan menjadikan Gendis Dayang pribadi Putri Hanifa, sengaja Raja memutuskan begitu karena usia mereka sama.

Sejak itulah Gendis hidup nyaman di kerajaan ini dan meninggalkan bapaknya. Meski Gendis butuh waktu yang lama untuk bisa menyesuaikan diri pada suasana kerajaan, tapi sosok Putri Hanifa yang tidak jenuh mendekati dirinya mampu meluluhkan sikap Gendis yang beku. Dan Gendis memtuskan untuk Tidak akan pernah kembali pada Bapaknya. Tapi akhir-akhir ini setelah sepuluh tahun berlalu, ada rasa yang sulit Gendis jelaskan. Perasaan rindu tapi juga takut untuk kembali bertemu. Perasaan yang membuat Gendis jadi menatap lama gelang hijaunya, yang dulu dipakai Ibunya dan diberikan oleh bapaknya padanya.

“Mau Putri apakan Tuan Surya itu?” Gendis bertanya dengan nada jahil di sela tangisnya yang sudah reda. Putri Hanifa tampak kelabakan mendengar pertanyaan Gendis yang tiba-tiba. Gendis tidak tahu, semalaman Putri Hanifa berguling-guling tidak jelas di kasurnya. Mencari beberapa tema, yang kira-kira bisa membuat Surya tidak dapat membaca perasaannya. Harus Putri Hanifa akui, bahwa ia wanita biasa juga. Yang bisa bergetar saat menatap Surya saat penyambutan kemarin, bahkan getaran itu sudah ada jauh sebelum mereka bertemu.

“Kau harus ikut juga. Aku hanya akan menyuruhnya bercerita tetang syair-syair yang ia buat,” Putri Hanifa mengguncang sedikit lengan Gendis.

“Bukankah Dayang pribadi memang harus ikut kemanapun Putrinya pergi?” Ucap Gendis tanda setuju.

Surya sudah membawa sekerambang kertas berisi syair di tangannya. Putri Hanifa menyuruh seorang penjaga memanggil Surya, untuk pergi menemuinya ke taman kerajaan belakang.

Putri Hanifa melihat Surya yang repot membawa banyak kertas itu memberikan tatapan bingung. Merasa tahu kebingungan itu Surya menjelaskan.

“Gendis bilang, Putri dan semua Dayang di sini menyukai semua karya-karyaku. Makanya aku membawa semua kertas ini, ingin kubacakan semuanya pada Putri.”

Putri Hanifa langsung menoleh pada Gendis, alisnya meninggi seperti bertanya apa saja yang kau ceritakan tentang aku padanya? Gendis yang mengerti isyarat itu, memberikan simpul senyum yang seolah bisa di baca oleh Putri tenang saja aku tidak menceritakan hal yang buruk, malah aku menyanjungmu tinggi.  

“Baiklah bacakan satu untukku, aku penasaran dengan kisah dibalik semua karya-karyamu,” Sahut Putri Hanifa mulai duduk di batu yang ada di taman.

Postur tubuh Surya sangat jelas menunjukkan dia seorang prajurit yang terlatih, tubuh yang besar dan tinggi, lengan yang tangkas, tatapan mata yang hanya melihat satu arah seakan sudah terlihat bahwa dia memang dilatih dari sejak kecil untuk fokus pada satu hal, alis yang tebal, rahangnya yang kokoh mengeluarkan suara tegas khas statusnya prajurit di kerajaan, hati Putri Hanifa berdayun-dayun geli menikmati bunyi yang keluar dari tenggorokan Surya.

“Ternyata kau lebih baik menjadi seorang penulis bukan pembaca,” sela Gendis pedas mendengar suara Surya yang tidak bisa menghayati sama sekali. Memang begitu nyatanya, kadang orang ahli dalam satu hal, tapi ia tak bisa benar-benar mahir pada bidang yang lain. Bukankah itulah salah satu alasan kenapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Karena mereka saling membutuhkan.

“Maafkan aku, Putri. Aku belum pernah membacakan syair pada siapapun. Semalaman aku berlatih agar tidak menghasilkan hasil seperti ini. Maaf Putri, apa anda kecewa?” Surya terlihat sangat kaku.

“Tidak ... tidak apa-apa. Kau tidak harus membacakannya, aku hanya ingin mendengarkan kisah dibaliknya. Iya, itu sudah cukup. Karena yang berkomentarpun belum tentu bisa membacakan lebih baik darimu,” Sindir Putri Hanifa tanpa melihat Gendis yang akan protes dalam sekejap.

Melihat keakraban Gendis dan Putri Hanifa Surya terkekeh tertawa, situasi pun menjadi cair. Kegugupan Surya memudar hilang. Tunggu dulu! Surya semalaman berlatih untuk membacakan ini? Mengingat itu Putri Hanifa seperti tersengatan listrik yang bervolume rendah, ada sesuatu yang mendesirkan hatinya. Melihat Surya tidak malu-malu lagi bercerita, berbalik arah sekarang Putri Hanifalah yang gugup. Jantungnya bertalu-talu. Surya tidak mendengar degupan ini kan? Putri Hanifa tampak salah tingkah.

***
(Bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top