Chap 2 : Pertemuan

"Ayla, maukah kau mendengar satu cerita? Kisah cinta yang pernah kusaksikan?" tanya Musi.

Ayla mulai menegakkan kepala dari memeluk lututnya. Antusias Ayla tersimpan rapi dibalik binar mata yang memancarkan harapan. Tanpa menunggu jawaban Ayla, Musi mulai bercerita.

"Kisah ini terjadi ketika tahun 1656. Masa Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa di Palembang adalah Pangeran Aria." Ungkap Musi mengawali kisahnya.

"Jadi kau akan bercerita tentang Pangeran Aria itu? Tentang kisah cintanya?"

"Tentu tidak. Kisah cinta itu sudah banyak orang tahu. Aku akan bercerita tentang Putri Hanifa dan Dayangnya Gendis. Sepupunya Pangeran Aria. Putri Hanifa tidak tinggal di kota, namun di pelosoknya. Tempat bernaung Danau Raya yaitu daerah Lubuk Linggau. Dulu ada Kerajaan Gading yang dipimpin oleh Raja Dapunta Indrawarman dan Ratu Asma di Lubuk Linggau. Meski itu kerajaan kecil tapi rakyatnya hidup dengan tentram. Mereka memiliki empat orang anak, dan anak ketiganya adalah Putri Hanifa. Nama panjangnya Nyimas Hanifa Kenjani. Ia seorang putri yang patuh, dan memiliki paras yang jelita."

"Hanifa memiliki seorang dayang pribadi sekaligus teman sepermainan dari kecil, dayang itu bernama Gendis. Kisah cinta ini dimulai ketika Hanifah mendengar nama Surya, semua dayang di kerajaan menyebut-nyebut nama itu. Hingga terusiklah hati Putri Hanifa, Surya laki-laki yang seperti apa? Kenapa semua dayang membicarakannya?"

***

Pagi itu terasa lebih ramai dari biasanya. Langit tampak cerah ditemani awan, matahari makin naik ke puncak menyinari bumi dan seisinya. Putri Hanifa duduk santai di taman bunga yang berada di halaman belakang kerajaan, memandangi bunga-bunga yang indah namun dipagari beberapa bambu di sekelilingnya. Putri Hanifa sedikit menghirup aroma kedamaian. Tak jauh dari Putri Hanifa, ada Gendis tengah menemani.

"Gendis, lihatlah bunga ini. Alangkah beruntungnya ia. Dengan kelopak berwarna kuning, mekar indah, dan dilindungi oleh pagar bambu supaya ia tetap terjaga," puji Putri Hanifa sambil menyentuh ujung-ujung putik bunga Asoka, yang tumbuh subur dari beberapa hari yang lalu.

"Begitukah?" sela Gendis sambil memandangi Putri Hanifa, lalu terdengar gelak tawanya yang ditahan. Putri Hanifa langsung menoleh memberikan tatapan hendak bertanya kenapa?

"Tapi aku pikir, bambu itulah yang merasa beruntung. Karena Bunga Asoka ada, sehingga sang bambu jadi punya alasan untuk tetap bertahan hidup, yaitu sebagai pagar yang akan melindunginya," Gendis memulai perdebatan nakal, yang biasa mereka lakukan dari sejak kecil.

"Oh, ya? Kurasa kau salah Gendis. Karena tanpa pagar, Asoka itu takkan bisa bertahan hidup, cobalah kau lepaskan pagar itu. Karena sekarang kakiku sudah siap untuk menginjaknya," tantang Putri Hanifa tak mau kalah dengan perdebatan yang sudah Gendis kibarkan.

"Aku takkan bisa mencabut pagar itu Putri. Maafkan aku. Lihatlah. Bambu itu tertanam kuat, ia bertahan hebat agar Asoka tetap bisa hidup. Meski ia harus merelakan dirinya nanti satu hari tergantikan oleh pagar yang lain."

"Aih, menyebalkan! Tak bisakah kau pura-pura kalah dariku sekali saja?" Putri Hanifa melayangkan satu kali pukulan ke lengan Gendis tanpa menyakitinya, karena mulai merasa kalah. Meski Gendis adalah dayang pribadinya. Namun seluruh isi kerajaan tahu mereka berteman dari sejak kecil, bahkan jika Gendis iseng menjahili Putri Hanifa, Raja dan Ratupun hanya menikmati tanpa menghentikan mereka. Mereka tahu Putri Hanifa tampak bahagia setiap kali habis bergurau dengan Gendis.

"Gendis. Ceritakan padaku kenapa dayang-dayang di kerajaan ini terus membicarakan laki-laki bernama Surya?" nada Putri Hanifa hendak menyelidiki.

"Sejak kapan Putri jadi tertarik dengan pria? Apa karena Ratu sudah mulai menyuruhmu memiliki kerajaan sendiri?" goda Gendis sambil sedikit menjauh takut-takut nanti Putri Hanifa memukulnya lagi. Putri Hanifa hanya mendesis tak suka.

"O-ow ... aku sudah menggali kuburanku sendiri rupanya," Gendis tertawa renyah karena wajah Putri Hanifa makin tak suka dan kali ini sudah siap untuk mengejarnya.

"Ini semua bermula dari pementas hari minggu lalu," Gendis mulai menjelaskan, karena jika Putri Hanifa mengejarnya maka tak akan ada ampun baginya.

"Ada apa dengan pementasan minggu lalu?" Putri Hanifa jelas tidak tahu apa-apa karena dia tak diizinkan keluar istana untuk menonton pementasan itu, karena Putri Hanifa sedang belajar seni merajut hiasan di kain.

"Orang yang biasa mementaskan wayang itu sakit. Lalu digantikan oleh orang lain, namun dia tidaklah mementaskan wayang. Dia membacakan syair-syair yang indah. Dan yang menulis syair itu adalah Surya. Salah satu prajurit di Ibu kota. Dari kabar burung yang kudengar Surya adalah anak dari Perdana Menteri yang bekerja di Kerajaan Sriwijaya."

"Lalu menurutmu bagaimana, apakah syair itu indah?"

"Ya, setelah mendengar tulisannya, aku seperti mengerti apa yang sedang laki-laki itu rasakan," Ujar Gendis sambil menampakkan mata yang berkilau, membuat Putri Hanifa yakin bahwa tulisan laki-laki bernama Surya itu pastilah indah. Hingga bisa membuat mata jahil Gendis, dalam sedetik berubah jadi menawan.

"Baiklah kalau begitu, minta seorang penjaga mencari laki-laki yang membacakan syair tersebut. Aku ingin mendengarnya."

Mendengar tihtah itu, Gendis memanggil seorang penjaga dan memberikan intruksi sesuai dengan yang Putri Hanifa katakan padanya. Saat itu tanpa Putri Hanifa sadari ada kilatan cinta yang akan segera tiba di antara mereka, cinta itu mengatas namakan ruang dan waktu. Karena Putri Hanifa sedang mengawali sebuah pertemuan yang akan mengawali segala bentuk teka-teki rasa. Suatu perasaan yang belum pernah ia rasakan pada siapapun juga.

***

"Putri Hanifa yang kau tampilkan itu sungguh anggun perawakannya. Cantik sekali, Musi," ucap Ayla menyela cerita Musi mengomentari bayangan yang ia lihat mengapung di sungai dengan tenang. Ayla seperti menonton sebuah televisi, namun bedanya gambar yang di sana bukanlah artis, malah seseorang yang pernah hidup ratusan tahun silam di Desa Kecil di Sumatera Selatan.

Seketika Musi tersenyum ramah, hanyut dengan gemuruh angin kemudian memainkan hempasan ombak kecil yang ia ciptakan.

"Ceritakan selanjutnya!" Pinta Ayla makin mendekat pada tepi sungai Musi, membuat jarak lebih dekat dengan gambar yang akan ditampakan selanjutnya. Ayla menyilangkan kaki mengambil posisi duduk senyaman mungkin, ia mulai hanyut menikmati kisah yang Musi taburkan. Matanya mencari rekaan adegan selanjutnya yang akan Musi tunjukkan pada Ayla. Tanpa berlama-lama kemudian tepat di hadapan Ayla Musi memberikan potongan gambar selanjutnya.

***

Ketika sakit makin tak terjangkau oleh dada
Tangan kokoh meraih memberi setitik embun di tanah yang gersang
Tapi, mata yang tidak selaras dengan rasa
Jadilah pincang, merangkak penuh ampunan
Wahai angin, masihkan cinta membelai dunia?

Selaksa riuh penuh dengan tawa
Menaburkan banyak tanya pada satu masa silam
Bisakah aku memaksa?
Atau malah selanjutnya terperangkap dengan banyaknya ketidak mampuan
Mungkin, kejayaan akan datang pada kabar yang harusnya hilang
Lalu raib bersama kegelapan
Wahai angin, masihkan cinta membelai dunia?

Suara bising jalanan. Di sini kutemui tanda-tanda kehidupan.
Kupu-Kupu tak sudah-sudah membentang sayap perjuangannya.
Yang akan segera mengayun menembus segala kemarahan pada potret masa lalu.
Biarkan. Biarkan laut tetap terjaga dalam rahasia.
Pada pantai yang mengatas namakan perdamaian.
Matahari dan bulan adalah suatu pertanda.
Wahai angin, masihkan cinta membelai dunia?

Suara seorang laki-laki bergurat wajah tiga puluhan membacakan kembali syair-syair yang ia sampaikan pada pementasan minggu lalu, kini disampaikannya di hadapan Putri Hanifa yang menatap lantai dengan hening.

"Gendis, syair ini sangat menggugah," ujar Putri Hanifa. Gendis menemukan mata Putri Hanifa sudah tergenang oleh air yang siap menetes kapanpun juga. Laki-laki itu membacakan penuh dengan penghayatan. Siapapun yang mendengarnya akan runtuh seketika, Putri Hanifa yakin itu. Karena syair pertama yang menyapa sudah membuat ujung hatinya menghangat.

Sejak saat itu, Putri Hanifa mengundang Pak Martani setiap minggu secara pribadi untuk membacakan syair-syair yang ditulis oleh Surya. Ditemani Gendis, Putri Hanifa tampak antusias mendengarkan penuturannya. Meski tak bisa membaca, Putri Hanifa menyimpan semua tulisan-tulisan itu setiap kali Pak Martani sudah membacakan untuknya.

"Surya, bagaimana laki-laki itu? Aku penasaran," ungkap Putri Hanifa berteduh di bawah pohon ceri, yang tampak rindang untuk beberapa saat ia dan Gendis berlindung di sana, karena gerimis sehabis hujan tiba-tiba datang. Tadi mereka sedang menyusuri jalanan Lubuk Linggau berdua.

"Apakah karena syair kemarin tentang hujan, hingga Putri terbayang nama Surya?" tanya Gendis yang berada di samping Putri Hanifa dengan bertanya sopan tanpa ada godaan apa-apa.

"Tentu saja tidak. Aku hanya penasaran, aku ingin tahu cerita dibalik syair-syair miliknya." Putri Hanifa buru-buru membuang pandangan ke arah tanah yang basah oleh jejak hujan. Air yang tergenang, jalanan yang becek lebih menarik untuk ia pandang dari pada mata Gendis yang selalu bisa menebak apapun yang sedang ia pikirkan. Dan Gendis pun tidak bertanya apa-apa lagi.

"Gendis, kapan terakhir kita menari-nari di bawah rinai hujan?" Suara Putri Hanifa memecahkan hening di antara mereka, dan sedetik kemudian Gendis menoleh lalu menggeleng cepat memberi tanda bahwa itu tak boleh mereka lakukan.

"Ayolah, ini cuma gerimis. Bukan hujan lebat. Aku rindu tarian ubur-uburmu," pekik Putri Hanifa sambil menjauh dari pohon ceri dan menikmati rintikan kecil, meski kecil tapi mereka datang dengan ribuan dan cepat. Membuat Gendis khawatir.

"Sekarang ini sedang musim hujan. Cuaca akan sangat dingin bahkan di siang hari sekalipun, apalagi di malam hari kita seakan membeku. Berhentilah Putri!" teriak Gendis karena Putri Hanifa makin menjauh darinya dan tak mendengarkan sama sekali. Ia malah berputar-putar di bawah gerimis. Sikap keras kepala Putri Hanifa jika bersangkut paut dengan hujan, tidak ada yang bisa menangani. Akhirnya Gendis menyerah dan menarik lengan Putri Hanifa untuk berteduh kembali di bawah pohon ceri. Tapi, Putri Hanifa dengan mudah menghempaskan tangan Gendis pertanda ia tidak mau menurut.

"Kumohon, sekali ini saja," Putri Hanifa membujuk Gendis dengan sedikit menunjukan tarian ubur-ubur mereka ketika kecil. Mau tidak mau, gelak tawapun tak bisa ditahan pada wajah Gendis. Siapapun yang melihat tarian ubur-ubur mereka pasti akan terpingkal-pingkal seperti dulu saat Gendis menangis dan dihibur oleh Putri Hanifa. Akhirnya Gendis kecilpun ikut menari bersama. Sejak saat itu mereka memproklamasikan bahwa tarian ubur-ubur itu menjadi hak paten milik mereka berdua.

Setelah gerimis reda, Gendis segera mengajak Putri Hanifa pulang ke kerajaan. Namun saat mereka kembali, Ratu Asma menyambut mereka dengan tatapan sinis pada Putri Hanifa.

"Pasti Gendis sudah dirayu olehmu," ucap Ratu Asma menyadari baju mereka basah karena hujan. Ia sangat hapal watak Putri Hanifa dan Gendis. Dan Ratu Asma sangat tahu bahwa putrinya itu sangat keras kepala jika keinginannya mandi hujan mulai menggroroti benaknya. Mendengar sambutan itu, Putri Hanifa hanya tertawa kecil karena merasa tertangkap basah.

"Gendis besok kau akan berangkat, jadi sekarang istirahatlah," Ratu Asma menyampaikan pesan yang harusnya disampaikan oleh Raja Dapunta, namun karena satu sebab Ratu Asmalah yang menyampaikan.

"Maaf Ratu, besok aku harus berangkat ke mana?" Gendis memberikan tatapan bingung, penuh banyak tanya.

"Besok kau akan ke ibu kota menjemput Tuan Surya. Apa kau belum diberitahu oleh Putri Hanifa?" Jelas Ratu Asma, sekarang ribuan pertanyaan Gendis berubah haluan ke arah Putri Hanifa, ia meminta penjelasan.

"Jadi, Tuan Surya membalas permohonanku?" Putri Hanifa tak menghiraukan tatapan bingung Gendis, ia memberikan pertanyaan untuk lebih meyakinkan yang ia dengar. Ratu Asma mengangguk pelan, sambil tersenyum senang melihat putrinya yang memancarkan rona bahagia. Putri Hanifa tak pernah minta apapun pada mereka, dan untuk pertama kalinya ia meminta, tentu Raja dan Ratu akan membantu permintaan itu untuk terwujud.

Setelah Ratu Asma pergi meninggalkan mereka, Gendis menahan lengan Putri Hanifa dengan guratan bingung, dan kesal menjadi satu.

"I-iya akan kujelaskan," Nada Putri Hanifa ragu karena berhasil membaca ekspresi Gendis yang menuntut penjelasan tak hanya sekedar sepata atau dua pata kata, tapi lebih detail dari itu semua.

***

(Bersambung)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top