Chap 1 : Satu kata, Takdir.
Awan berarak riang menemani matahari. Palembang sebentar lagi akan memasuki musim hujan. Ayla seorang gadis manis bermata sendu. Karena hari ini Ayla tidak ada jadwal mengajar private matematika anak Ibu Melati yang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Ayla memilih duduk di tepian dekat dengan gelombang, memandangi hamparan air panjang yang terkenal dengan nama kejayaannya dari masa ke masa yaitu Sungai Musi. Ayla menatap kosong gurawan Musi bersama deburan ombaknya. Musi memainkan sisi anak sungai menggoda Ayla, lalu bercengkrama dengan gemuruh angin.
"Hai angin, aku bertemu dengan lembah kesedihan. Lihatlah, genangan air di depannya memantulkan wajah sendu, sesendu hatinya," ujar Musi sambil memainkan air yang memantulkan bayangan Ayla. Memancing kata keluar dari mulut Ayla, karena sudah lama Ayla duduk di sana tapi hanya diam dan sesekali memainkan air Musi. Memericikan air sesuka hatinya, berharap Ayla bisa melupakan kejadian yang baru saja ia saksikan.
"Aku tidak mengerti, apa itu cinta?" Akhirnya Ayla bersuara. Membuka lembaran gulananya pada Musi yang sedang menyisirkan arus sungai.
"Kenapa Kak Ulfa begitu mencintai Bang Taro? Ini adalah tahun ke delapan! Haruskah sampai sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Aku-" suara Ayla tertahan. Matanya terasa pedih, tatapan Ayla kabur. Buru-buru ia menoleh ke arah lain. Akhirnya, Musilah tempat persinggahan Ayla pada ketidaknyamanannya yang ia temui sekarang. Musi tersenyum pelan, ia hanya butuh waktu beberapa saat saja untuk menunggu Ayla memuntahkan segala isi hatinya. Herannya, Musilah yang sering khawatir setiap kali Ayla menuju pinggir sisi sungai ini, lalu dengan bebas membicarakan apapun padanya. Karena Musi dapat menangkap mata-mata itu, seperti saat Ayla berusia lima tahun, saat itu untuk pertama kalinya Ayla menyapa Musi.
Berawal dari kekuatan Musi yang sedang berbaur dengan ikan-ikan di bawahnya. Saat itu mereka sedang melakukan ritual hari Grabitazio. Grabitazio adalah hari yang terjadi sekali dalam seribu tahun, di mana semua alam semesta mengeluarkan unsur-unsur sel kekuatan yang mereka miliki, untuk menunjukkan kepada Malaikat Penjaga Keseimbangan Alam di dunia; bahwa mereka masih berjalan sesuai dengan garis edar yang sudah ditentukan. Tidak melanggar takdir, tidak juga melupakan tugas mereka sebagai alam yang sedang membantu kelangsungan hidup manusia. Namun hari itu, di pinggir tepi Musi tempat Ayla tinggal bersama keluarga.
Ayla yang berumur lima tahun berlari menuju pinggiran sungai Musi, karena kelalaian ibunya dalam menjaga Ayla, hingga saat lepas dari pandangan, Ayla kecil berlari mengejar kapal yang Kak Ulfa tumpangi bersama teman-temannya sejam yang lalu.
Ayla tenggelam, lalu tanpa sengaja menghirup sel-sel kekuatan yang sedang Musi keluarkan. Ibu Ayla yang sadar anak bungsunya tenggelam. Panik. Hingga langsung berenang menolong Ayla. Saat itu, sekejap saja dengan memandang binar kelopak mata Ayla. Musi sadar sel-sel kekuatan yang Ayla hirup menjadikan Ayla anak yang Istimewa. Karena Ayla bisa melihat sesuatu yang tidak bisa orang lain lihat.
Namun tidak dengan orang-orang yang ada di sekeliling Ayla, mereka tidak bisa melihat keistimewaan yang ada pada diri Ayla. Mereka menatap Ayla dengan rasa takut, bahkan Ibu dan Bapak Ayla sering menghentikan cerita Ayla yang mengatakan Sungai Musi adalah ombak seperti manusia. Bisa bicara, melihat, dan mendengar. Hanya Kak Ulfa yang menerima cerita tak masuk akal itu, kata Kak Ulfa "Ayla adalah calon Sutradara yang hebat." Meski akal Kak Ulfa tidak mempercayai setiap cerita Ayla, tapi ia mau mendengarkan.
Musi bisa lihat, Kak Ulfa tidak mau menghentikan wajah Ayla yang berseri-seri setiap kali habis mendengarkan kisah yang didapatnya dari Musi. Satu kisah seperti dongeng mungkin bagi orang lain, tapi tidak bagi Ayla. Ia yakin kisah-kisah yang dituturkan oleh Musi adalah kisah nyata, kisah yang pernah ada di Kota Sriwijaya.
"Ceritakan padaku saja apapun tentang Sungai Musimu itu, tapi jangan pada orang lain," ujar Kak Ulfa dulu. Membuat Ayla sadar hanya dia yang melihat Sungai Musi seperti dengan caranya sedangkan orang lain melihat Musi hanya sebagai hamparan sungai yang bergelombang luas dan panjang. Ya, sebatas itu, tidaklah lebih.
"Ada apa dengan Kakakmu?" tanya Musi setelah Ayla diam tak melanjutkan ucapannya, sambil mengeluarkan buih hingga sampai pada pipi Ayla. Musi sangat hapal jika sudah berurusan dengan masalah Kak Ulfa, Ayla bisa resah berkepanjangan, bahkan berminggu-minggu lamanya. Karena ikatan mereka yang amat kuat. Seperti satu tahun yang lalu, Ayla yang mudah tersesat, dan bingung karena untuk pertama kalinya jarak dari rumah ke sekolahnya jauh, bahkan harus dua kali berganti angkutan umum. Kak Ulfalah yang selama satu bulan mengantar jemput Ayla karena baru memasuki Sekolah Menengah Atas. Pun ketika Bian dulu lahir, Kak Ulfa dan Ayla bahu membahu bergantian mengasuh Bian, hal itu terjadi seakan tak mengenal waktu, baik matahari mulai mau menampakkan diri atau sudah terbenam lama. Mereka saling berbagi beban kehidupan.
"Aku-" Ayla kembali diam. Musi tahu, Ayla menjadi saksi akan penantian panjang Kak Ulfa. Nada Ayla meringis. Ungkapan Ayla bukan karena dia marah, tapi lebih tepatnya Ayla tidak tahu harus mendukung siapa. Ayla mengerti pilihan Kak Ulfa benar, tapi di sisi lain ia memberontak. Karena Bian. Bian menjadi alasan Ibu Ayla untuk mempertemukan Kak Ulfa pada laki-laki lain, namun Bian juga menjadi alasan Kak Ulfa untuk tetap bertahan menunggu Bang Taro.
Gelombang Musi mendesir pelan. Musi mengerti maksud Ayla, ia menyaksikan semuanya; detik-detik di mana Bang Taro harus rela meninggalkan Ulfa dan jagoan kecilnya di pinggir Musi ini. Saat itu Bian baru 36 hari hadir ke bumi, Bang Taro belum genap puluhan kali menggendongnya, bahkan dia belum bisa membawa Bian terbang di atas angin oleh ayunan tangannya. Dan Bang Taro terpaksa harus puas begitu saja, dan siap meninggalkan keluarga kecilnya oleh tawaran sahabatnya di Pulau Jawa.
"Kak Zul laki-laki yang baik-" Pujian itu terhenti sampai di sana, kata selanjutnya seolah tercekat di tenggorakan, dan tak mau keluar. Saat bersamaan bayangan Bang Taro hadir di pelupuk mata Ayla. Apa yang dulu pernah dilakukan oleh Bang Taro tergambar jelas dipantulan Sungai Musi yang kini sedang Ayla pandang. Ketika itu Bang Taro berusaha keras menghilangkan sangketa keluarga, antara Bapak Ayla dengan Pak Rumis tetangganya karena sama-sama membuka toko kue.
Bapak Ayla yang menjual kue tradisional merasa tersaingi oleh Pak Rumis yang menjual kue modern masa kini. Permasalahan sama-sama mencari nafkah menjadi alasan untuk menyalakan api permusuhan di hati keduanya. Bang Taro hadir bagai serdadu kuat menghancurkan dinding konstatinopel, merontokkan bayang-bayang permusuhan yang ada saat itu. Ia mampu mendamaikan permusuhan yang sudah berjalan selama lima tahun, Bang Taro menawarkan kerjasama pada keduanya. Kemudian memberikan bagi hasil yang sama-sama menguntungkan, membuat Bapak Ayla dan Pak Rumis bisa melihat peluang lebih besar untuk sukses ke depannya. Tentu situasi itu mempengaruhi bagi Ayla dan Poni, sebab dulu mereka tidak boleh berteman dan bertemu satu sama lain, kini bisa dengan riang kemana-mana berdua tanpa takut dicegah oleh bapak-bapak mereka lagi.
Cuma Bang Taro yang bisa melakukan itu, cuma Bang Taro. Karena Ayla dan Kak Ulfa anaknya saja tak didengarkan oleh Bapak. Terus Ibu, meski Ibu menangis karena malu dengan perbuatan Bapak yang bertengkar seperti anak kecil, percuma saja sebab air mata ibu tak cukup untuk meluluhkan hati Bapak. Tapi, saat Bang Taro mencoba menyelesaikan sengketan itu dengan berbagai perhitungan dan bukti yang nyata akhirnya masalah itu selesai, dan menemukan titik terang jalan keluar. Cuma Bang Taro yang bisa menaklukan hati Bapak. Cuma Bang Taro seorang.
Hanya Bang Taro yang bisa menguatkan Kak Ulfa, saat Kak Ulfa di vonis tak bisa melahirkan karena ternyata rahim Kak Ulfa tak kuat untuk mengandung. Hanya Bang Taro yang bisa menenangkan Kak Ulfa, meski Ayla sadar Bang Taro sendiri butuh dikuatkan karena ia bisa lihat Bang Taro harap-harap takut dan cemas. Takut kalau janin itu membahayakan istrinya, dan cemas kalau sampai Kak Ulfa harus kecewa jika nanti Bayi itu tak bisa dipertahankan. Ternyata kekuatan hati mereka jauh lebih besar dari rasa takut itu. Hingga akhirnya Bang Taro bisa bernapas lega, ketika bisa mengadzani Bian yang lahir ke dunia dengan kondisi sehat tanpa kekurangan apapun. Kak Ulfa juga bisa pulang dengan bahagia.
Berangsur-asur semburat mentari mulai tenggelam, seberangsurannya perasaan Ayla yang mulai keluh karena bersalah, ketika hendak mengatakan ada laki-laki lain yang akan menggantikan posisi Bang Taro di rumah mereka. Sejujurnya, Ayla pun tak rela Bang Taro digantikan, sampai dengan saat ini Bang Taro masih menjadi kebanggaan dan nomor satu di hati keluarga mereka. Tapi, kita hidup bukan untuk masa lalu, bukan? Itulah yang dikatakan Ibu saat hendak mengenalkan Kak Zulkarnain pada Kak Ulfa.
"Dia bisa menerima kondisimu, Fa." Bujuk Ibu sambil memegang erat tangan Kak Ulfa, kenang Ayla. Saat Ayla baru pulang dari membantu bapak di toko kue tadi, dan tidak sengaja melihat adegan rayu-merayu Ibunya pada Kak Ulfa.
"Tidak, Bu ... Ulfa yakin, Bang Taro pasti pulang!" Kini Kak Ulfa lebih menusuk ucapannya. Ayla menatap Optimis Kak Ulfa yang kuat, bagai batu karang yang kokoh, meski berulang kali gelombang menerjang hebat. Ia tetap kokoh karena satu alasan; Kak Ulfa yakin pada janji Bang Taro yang diucapkannya saat akad nikah mereka. Ya, Bang Taro bukan laki-laki yang pandai menggombal. Tapi, Bang Taro memegang kuat janjinya pada siapapun, apalagi janji dihadapan para malaikat dan keluarga besar Ayla. Kak Ulfa tahu betul Bang Taro tak mungkin menghianati.
"Mau sampai kapan, Nak? Lihat Bian sudah delapan tahun, sebentar lagi dia akan berusia sembilan tahun, tanpa ada kabar sedikitpun. Bukalah matamu, lihatlah kenyataan yang sekarang." Nada Ibu terdengar seperti gunting yang dengan sekejap mematahkan batang bunga yang selama ini Kak Ulfa dan Bang Taro rawat secara bersamaan. Hingga akhirnya ibu menyerah dan menatap Kak Ulfa dengan sia-sia.
"Bunda, aku ada tugas bercerita di depan kelas tentang orang tua. Aku bisa menceritakan tentang Bunda, tapi Ayah?" Bian datang menghampiri Kak Ulfa setelah makan siang di dapur. Kak Ulfa tertegun mendengar ucapan Bian. Belum selesai ia menguatkan hati menentang tawaran ibu tadi, kini Bian datang seakan menambah desakan itu, mengaduk-aduk emosinya secara bersamaan. Membuatnya lelah harus bertarung sengit dengan batinnya sendiri. Kak Ulfa mengerjapkan mata, menahan agar air yang mulai menggenang itu tetap di sana. Dituntunnya Bian. Kemudian berjalan keluar bersama.
Ayla menggigit bibir. Kalau ia mendekati Kak Ulfa saat itu juga, maka tangisnya akan pecah. Berbeda dengan Kak Ulfa yang masih kokoh, pertahanan Mikayla mulai runtuh melihat itu semua.
***
(Bersambung)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top