9

      Aku tidak mengerti, bangun dari tidur perasaan tidak tenang justru menyerangku, ini bukan soal semalam, iya aku sih, senang akhirnya waktu menungguku selama dua tahun tidak sia-sia, tapi bukan itu yang buat hatiku tidak tenang, perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan, kenapa harus disaat seperti ini kembali kurasa.

Aku ... Rindu keluargaku.

Aku, tidak mengerti, setelah lima tahun aku pergi dari rumah, meninggalkan Ayah dan juga Doni, kenapa justru baru sekarang aku merindukan mereka, rindu saat dulu kami masih tinggal bersama.

Ponselku bergetar pelan, tanda satu pesan masuk, mengalihkanku dari lamunan pagi ini.

Doni G

Kak, Doni kangen.

Aku terdiam menatap layar ponselku, pikiranku buyar, baru saja aku memikirkan mereka, baru saja aku bilang merindukan mereka yang kupikir tidak akan mungkin mereka juga merindukan ku, tapi justru Doni bilang ia juga rindu, walaupun aku tidak tahu apakah Ayah juga merindukanku, tapi yang jelas rinduku terbalaskan.

Air mataku menetes mengenai layar ponsel yang sudah menggelap, tanpa membuang waktu lagi, aku langsung menelpon Doni, video call untuk mengurangi rasa rindu ini. Dering ke tiga langsung diangkatnya, senyum yang sudah lama aku rindukan langsung terlihat.

Air mataku kembali menetes, "Doni ...." gumamku.

Doni merapikan rambutnya yang agak berantakan, seperti habis mandi terlihat masih basah. "Assalamualaikum, Kak." salam Doni yang melebarkan senyumnya.

Doni sudah besar, adikku sudah tumbuh dengan wajah yang sangat tampan, aku rindu sekali kepadanya. "Waalaikumsalam, Doni, apa kabar? Kakak kangen banget sama kalian," jawabku sambil menyeka air mata yang tiada hentinya menetes.

Semenjak kepergianku lima tahun lalu, ini adalah panggilan video kami yang kedua, terakhir dua tahun lalu saat Doni kelulusan SMPnya, sekarang aku tidak tahu ada kabar apa di sana.

"Baik, Ayah juga baik, Kakak disana gimana, kapan pulang ke sini?" dari yang aku lihat Doni sepertinya sudah tidak duduk di kursi roda lagi, iya, seperti kata Bibi Arum waktu itu, Doni sudah mengalami kemajuan, ia sudah tidak lagi duduk di kursi roda, dia sekarang menggunakan kruk, Aku senang, terlihat Doni memang ingin sekali cepat sembuh.

Pulang, ya? Aku ... Belum tahu kapan bisa pulang, karena Ayah kan belum memberikan izin.

Aku tersenyum, "Insyaallah ya, Kakak gak bisa janji, disini masih banyak kerjaan," aku mengatur kata supaya tidak menyakiti hati Doni, setiap aku atau ia menelpon, bertukar pesan selalu menanyakan hal yang sama, dan aku akan menjawab seperti ini terus.

Doni menghela napas pelan, "Kakak udah pergi terlalu lama, kak. Semua yang ada disini kangen sama kakak,"

"Termasuk, Ayah?"

Doni tersenyum tipis, seakan berhasil memancingku untuk bertanya tentang Ayah. "Ayah sibuk banget sama kerja, kak. Tiap hari selalu pulang larut, sekalinya libur malah ngurung diri dikamar, persis banget kayak kakak dulu masih sekolah, hahaha." cerita Doni padaku.

Ayah ...

Waktu itu juga Bibi Arum bilang, kalau Ayah sibuk dengan bisnisnya, sedikit mengabaikan Doni, untung sepupu kami rajin berkunjung kerumah, "Bilangin sama Ayah, jangan kerja terus, uangnya kan udah banyak, mau buat apa lagi," Aku bergurau, tapi gagal, Doni diam saja aku berucap begitu.

Aku rindu sekali sama Ayah, aku rindu suasana rumah, walau penuh ketegangan tapi aku rindu sosoknya, aku rindu dimarahinya, aku rindu tentang semua hal yang ada pada dirinya.

Ayah ...

Saat kami saling berdiam, aku mendengar suara berat dari telpon, suara yang sudah lama sekali tidak aku dengar, Doni terlihat gusar, mungkin bingung juga harus berbuat apa, disaat keluarga yang lain mungkin akan menyapa dengan hangat salah satu keluarganya yang sedang pergi jauh dari mereka, justru keluarga kami sebaliknya.

"Aku tutup dulu ya, kak. Kita sambung lagi nanti, Assalamualaikum." tutur Doni yang langsung memutus panggilan, sebelum aku menjawab salamnya.

Sesak di dadaku terasa, rinduku belum terbayarkan, aku masih merindukan sosok yang lain, aku masih ingin mendengar suara itu, harus berapa lama lagi aku menunggu? Aku tidak sanggup harus bertahan seperti ini terus.

****

      Setelah puas menangis, aku langsung tertidur, bangun dengan keadaan mata sembab, dan sesak yang masih membekas. Kegiatan dihari libur yang tertunda ini harus aku kerjakan sekarang, karena nanti jam lima sore Andra mau ngajak jalan, hahaha. Ini adalah ngedate pertama kami setelah resmi berpacaran.

Aku langsung mengikat rambutku, bersiap mengambil gagang sapu, dan lap pel, sudah seminggu aku tidak membersihkan rumah kosku, pasti jorok sekali.

Huh.

Satu jam kemudian aku sudah selesai, mengecek ponsel, karena tadi bergetar seperti satu notifikasi pesan masuk.

Andra A

Aku udh djln ya, Ra. 30 menit lg smpe.

Aku tidak membalas, hanya membaca, aku berjalan kearah lemari, mencari pakaian yang sekiranya pantas untuk nanti jalan sama Andra, aku meneliti satu persatu baju yang kumiliki.

Ampun! Setelah sekian lama aku tidak jalan sama cowok, aku jadi kebingungan sendiri memilih baju, padahal bajuku ada banyak, kenapa jadi bingung milih begini, sih.

Karena aku dan Andra sama-sama menyukai tampilan yang casual dan tidak bikin ribet, pilihanku jatuh kepada t-shirt berwarna coklat susu yang tercetak sablon bertuliskan kata Home, celana jeans, dan slingbag berwana hitam, tentu juga sneakers addidas berwarna putih kesayanganku.

Lima belas menit kemudian aku sudah berpakaian lengkap, tinggal mengeringkan rambut dengan hair dryer, dan memakai make up.

Tepat pukul lima sore Andra mengetuk pintu rumah kosku, selesai pula aku berdandan, menatap sekali lagi penampilanku dicermin, memastikan apakah sudah sesuai dengan yang aku inginkan, tersenyum tipis lalu menganggukan kepala, oke, siap berangkat.

Aku membuka pintu, langsung disambut dengan senyum manis milik Andra, "Assalamualaikum, Cantik." gombalnya.

Aku terkekeh, "Waalaikumsalam, Yuk."

Aku heran, gang rumah kos yang biasanya sepi tidak mengenal waktu, ini kenapa jadi ramai sekali. "Rame banget, Ra, sekarang. Dulu sepi deh," kata Andra.

Aku mengangkat bahu, "Gak tau, biasanya juga sepi, tumbenan banget rame begini,"

"Oh, mereka ini nyambut orang ganteng, Ra." Andra berkata sambil manggut-manggut.

Aku menatapnya penasaran, "Siapa? Gak ada orang ganteng disini."

Andra menampilkan senyum tengilnya. "Aku, ganteng. Hahahahaha." kelakar Andra.
Ih... Apaan sih dia, jadi lebay gini. Hahahaha.

Aku ikut tertawa, duh, malu begini jadinya di tengah gang yang ramai kami jalan ditatap oleh warga sekitar.

"Tapi, Ra, selain ganteng, ceweknya juga cantik, banget malah." kan, gombal lagi, hahahaha.

Aku menyikut badannya, "Apaan sih, gombal banget kamu."

Aku menunduk, sial! Jangan sampai pipiku yang memerah ini terlihat olehnya.

"Ih, gemes banget, sih, Ra. Hahahaha," Ucap Andra yang langsung mengacak rambutku pelan, tangan yang lainnya meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat.

Jam-jam pulang kantor yang setiap hari membuat macet jalanan sepertinya hari ini tidak berlaku, karena mobil yang dikendarai Andra melaju dengan lancar ke tempat tujuan kami.

Andra menghidupkan radio, memecahkan keheningan yang justru membuatku nyaman. Lagu I Like You So Much You'll Know It langsung mengalun dengan manis di gendang telingaku, Aku melirik ke arah Andra, tidak pernah mengecewakan penampilan ia yang sekarang, dengan memakai hoodie berwarna hitam dipadukan jam tangan Seven Friday, dan jangan lupakan sneakers nike warna putih miliknya.

"Kenapa, Ra? Ngeliatinnya gitu banget," kata Andra menatapku penasaran.

Aku menggeleng, "Gapapa, kita jadi nya ke Blok M Square atau Plaza nya?" tanyaku.

"Yang deket gultik mana? Aku kangen banget makan disana," kata Andra kembali memfokuskan diri ke depan.

"Plaza, tinggal jalan dikit,"

Andra mengangguk, "Yaudah, Plaza aja."

Tiga puluh menit kemudian kami sudah sampai di Blok M Plaza, rencana pertama kami ingin menonton film terlebih dahulu, tiket sudah lebih dulu aku pesan lewat aplikasi, kami tadi menyempatkan untuk melaksanakan kewajiban dulu, sepuluh menit kemudian kami sudah tiba di bioskop, aku berjalan ke arah pencetak tiket, sedangkan Andra memesan popcorn dan soft drink.

Pemberitahuan film yang akan kami tonton sudah terdengar, kami langsung berjalan ke studio, mencari tempat duduk, "Ini ntar ada terusannya gak, Ra?"

Aku menatapnya, sambil minum soft drink yang tadi dibeli oleh Andra, "Katanya sih ada, tapi gak tau juga, deh."

****

Pukul 21.04

Kami sudah sampai di Gultiknya Blok M, kalau kata orang, ke Jakarta belum afdol rasanya kalau kita tidak makan di Gulai Tikungan Blok M ini, aku dan Andra yang sama-sama suka makan pinggir jalan begini, tentu sudah tidak asing saat melihat ramainya penjual serta pengunjung yang datang.

Gulai Tikungan ini, ada disekitar kawasan Blok M Plaza tepatnya di sepanjang jalan di depan SMA 6 Jakarta atau belakang GOR Bulungan, Jakarta Selatan, nah, sepanjang jalan tikungan itu, pasti banyak deh yang jual Gultik tidak akan sulit mencarinya.

Kami pun, mencari kedai milik Pak Suardi, yang lagi-lagi kami memiliki kesamaan dalam hal makanan. "Ya anpun, Aku kangen banget makan disini, untung gak terlalu rame, ya, Ra."

Aku mengangguk, Gultik di jalan Bulungan ini, bakal ramai kalau sudah menjelang weekend, hari biasa sih, tidak terlalu ramai, "Pak, beli dua ya," kata Andra, sambil mengambil tempat duduk yang nyaman untuk kami.

Gultik atau Gulai Tikungan ini memiliki porsi makan yang tidak terlalu banyak, tapi juga kurang kalau makan hanya satu porsi, nasi yang disiram dengan panasnya kuah gulai, serta daging kambing, lalu ditambahkan dengan kerupuk membuatku meringis, nikmat banget ini, tuh.

Setelah sampai makanannya, Andra langsung mengambil sate, lalu menambahkan sambal ke dalam piringnya, aku mengikuti, gemas sekali melihat Andra makan dengan lahap, dan ia berakhir menghabiskan empat piring gultik seorang diri.

"Parah, Ra. Rasanya gak pernah berubah, enak banget," kata Andra sambil menyeka keringat yang muncul dipelipisnya.

Aku tersenyum, "Emang udah berapa lama sih, gak nyobain gultik?"

Andra terlihat berpikir, "Semenjak aku pergi ke Brunei, dulu aku sering banget ke sini bareng Ramo sama Bintang," katanya, lalu menandaskan teh manis hangat.

Ya, Gultik memang tidak bisa di lupakan begitu saja, ini ke lima kali nya aku ke sini, rata-rata yang kesini itu orang kantoran, dan ramai pada saat jam sembilan sampai sepuluh malam, Gultik atau gulai tikungan itu rasanya mirip seperti tongseng, pedas tapi ada manisnya gitu, bedanya tidak ada sayuran seperti kol dan tomat. Dan untuk urusan harga, jajanan legendaris sudah pasti ramah di kantong, seporsi hanya sepuluh sampai lima belas ribu rupiah, biasanya buka mulai pukul lima sore sampai pukul dua dini hari.

Setelah puas dengan empat porsi gultik untuk Andra dan dua porsi gultik untukku, kami memutuskan untuk pulang, "Ra, mampir ke mcd dulu ya, pengen ngemil lagi deh," fakta yang kembali aku ketahui, Andra doyan banget makan.

Aku menatapanya heran, tapi tetap mengangguk, "Drive thru apa makan di tempat?" tanyaku sambil melirik jam yang ada dipergelangan tanganku.

"Aku pengennya makan disana, boleh?" tanya Andra sambil membelokan stir memasuki tempat parkir, kami sudah sampai rupanya.

Aku mengangguk, masih jam sebelas, tidak apa deh, mumpung besok masuk siang.

"Mau apa, Ra?" tanya Andra menatap ke layar menu yang ada didepannya.

"Aku mau Mc Fllury Oreo, sama kentang aja, deh."

Andra mengangguk, "Mau ayamnya satu yang spicy sama float manggo dua, mc fllury oreo sama kentangnya yang Large." Andra berkata sambil memberikan uang pecahan seratus ribu rupiah, keadaan yang tidak terlalu ramai, membuat pesanan kami sudah tersedia dalam waktu lima menit, kami pun langsung mencari tempat duduk dilantai dua.

"Masih gak kenyang juga tadi empat piring gultik, sekarang makan ayam?" Aku meledek, melihat Andra yang langsung lahap memakan daging ayamnya.

Andra terkekeh, "Kebiasaan, Ra, hehehe."

Aku tersenyum, "Tapi perut kamu aman-aman aja tuh, gak keliatan banjir lemak," Nah, setelah yang Andra ucapkan barusan, membuatku paham kenapa dia bisa segemuk itu dulu, dan aku yakin selama dia di Brunei satu tahun kemarin pasti melakukan segala cara agar bisa segagah sekarang.

"Makanya kenapa kamu sampe gak bisa ngenalin aku waktu itu, ya karena aku berjuang supaya pantes buat kamu, aku juga ngerasa beda banget setahun sebelum ke Brunei sama setelah balik lagi ke Indonesia."

Aku menatapnya tidak enak, meraih tangannya yang tidak kotor, menggenggamnya erat, "Makasih, untuk semua yang udah kamu lakuin buat aku," ujarku tulus.

Andra tersenyum lebar, mengelus punggung tanganku, "Makasih juga, udah nunggu aku selama ini."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top