7

      Kegiatan yang sudah rutin dilakukan oleh keluarga Adam Pradja Giwani, setiap hari minggu pagi mereka pasti pergi ke taman. Ayah, Ibu, Flira, dan Doni, keluarga kecil Giwani yang selalu harmonis.

"Ayah, minggu depan kita berenang dong, Lira bosen ke taman terus," Adu gadis berusia 10 tahun itu kepada Ayahnya.

Mereka sedang duduk di bangku taman, keadaan yang ramai, dan banyak pedagang membuat adik dari Flira ingin membeli salah satu dari pedagang yang berjualan di sana.

Ayah, dan Ibu tertawa kecil atas permintaan dari Flira, "Di rumah kan, ada kolam renang sayang," suara yang lembut keluar dari mulut sang Ibu, mengelus rambut Flira dengan penuh kasih sayang.

"Ibu, Doni mau beli itu," akhirnya adik kecil itu menjatuhkan pilihan, setelah melihat banyak berbagai makanan.

"Doni sama Ayah aja, ya. Biar kak Lira sama Ibu yang beli." itu kata sang Ayah, membiarkan dua perempuan yang begitu ia cintanya pergi membeli makanan.

Ibu dan Flira pun langsung bangun, dan berjalan kearah pedagang yang ada di seberang jalan.

"Ibu, jangan lupa, besok Flira kan, mau tampil nari di sekolah." pesan Flira mengingatkan si Ibu yang sekarang tengah berjalan sambil menggandeng tangan kecil miliknya.

"Iya sayang, nanti Ibu, Ayah sama Doni ke sekolah kamu. Pasti anak Ibu yang paling cantik di sana." goda sang Ibu sambil menggelitik badan dari Flira.

"Hahahahaha. Geli, bu, geli." Flira pun langsung lari ke arah pedagang, takut jika nanti di gelitik kembali oleh Ibunya.

Si Ibu yang tanpa sadar berhenti ditengah jalan, membuat Flira terkejut, karena dari arah samping, mobil sedan tengah melaju dengan kencang, belum sempat memanggil Ibunya, mobil tersebut sudah berhasil menghantam tubuh Ibu hingga terpental jauh lalu berakhir menghantam pohon.

"IBUUU!" Flira menjerit dengan keras, mobil sedan yang menabrak sudah menghantam tembok dipersimpangan jalan, ia langsung berlari kearah ibunya.

Sang Ayah yang mendengar jeritan anaknya langsung menengok, melihat di bawah pohon besar ada tubuh istrinya yang sudah penuh bersimbah darah. "RANIII!" Pekik sang Ayah sambil berlari, tanpa memperdulikan anak laki-lakinya yang diam terpaku.

"IBU! IBU BANGUN BU, INI LIRA, IBU BANGUN!!!" Racau gadis kecil itu, warga langsung berkerumun, ingin mencoba menolong namun tak ada yang berani dari mereka, karena mereka yakin si Ibu ini pasti tidak selamat.

"RANIII! BANGUN SAYANG, INI AKU! BANGUN, RANIII!" Adam sudah ada diantara kerumunan, ia langsung memapah tubuh istrinya saat tidak ada pergerakan sama sekali.

"Ayah," tergugu sang gadis saat melihat Ayahnya sama sekali tidak menatap kearahnya. Ayahnya langsung pergi memberhentikan salah satu mobil untuk meminta mengantarkan ke rumah sakit. Meninggalkannya sendirian, ditengah ramainya manusia yang terus membicarakan kejadian tadi.

"Kakak ... " ditengah kerumunan, ia melihat sosok adik kecilnya, meneteskan air mata sambil membawa bola, Flira menghampiri adiknya, memeluknya dengan erat, mengeluarkan tangis yang paling menyedihkan untuk siapa pun yang melihatnya.

1 tahun setelahnya ...

Tidak pernah ada lagi tawa, kebahagian yang menghampiri keluarga Giwani, hanya ada kesedihan, amarah, kekecewaan. Adam menyesal, Adam kecewa atas dirinya sendiri, Adam marah, Adam tidak mengerti kenapa semua bisa terjadi dikeluarganya. Kenapa harus keluarganya?!

"Ayah, ayo kita makan malam," ucap Flira pelan, takut kalau tiba-tiba Ayah akan membentaknya kembali, seperti yang sudah terjadi setahun belakang ini.

Ayahnya diam, menatap tubuh sang anak dengan tatapan yang penuh amarah, "Pergi!" ucap sang Ayah penuh penekanan.

Flira menunduk, Ayahnya harus makan, dari kemarin Ayahnya belum menyentuh nasi sedikitpun. "Tapi, Ayah belum makan dari kemarin," turur Flira tercekat.

"Aku butuh istriku! Lebih baik kamu pergi! Aku tidak butuh kalian."

****

      Aku tidak mengerti, kenapa dari sekian banyak hal yang menyedihkan di bumi ini, aku justru harus merasakan hal yang paling menyakitkan.

Bukan hal yang mudah saat Flira kecil harus merasakan tekanan yang begitu hebat, semua hal menyesakan terjadi dalam hidupnya, hanya dalam kurun waktu lima tahun.

Saat berusia sepuluh tahun, Ibu meninggal, karena kecelakaan tabrak lari, dan Ayah menyalahkan aku.

Lulus SMP, adiknya, jatuh dari pohon hingga tidak dapat berjalan, dan lagi, Ayah kembali menyalahkan diriku.

Sampai akhirnya lulus sekolah pun, aku harus mengubur mimpi untuk bisa ke perguruan tinggi, karena  Ayah tidak mau membiayai.

Dua belas tahun, aku merasakan kesendirian, kekosongan hati yang penuh kerinduan terhadap keluarga, tapi justru yang ada hanya ketakutan, kegelisahan, semua hal buruk yang sama sekali tidak ia inginkan.

Ditinggal Ibu, dicap sebagai anak pembawa sial oleh Ayah, tidak diperdulikan, diusir dari rumah.

Air mata perlahan menetes, seolah menyeruakan sakit hati, besarnya rindu yang sudah lama terpendam.

Menatap diri pada pantulan kaca, kacau sekali, mata sembab, bibir kering, rambut berantakan.

Aku mendesah, hari ini tepat dua belas tahun ibunya pergi, dua belas tahun pula aku di anggap sebagai seorang pembunuh, oleh ayahku sendiri.

Notifikasi pesan masuk dari ponselku.

Bibi Arum

Flira, libur kerja? Bibi dan paman kesana, ya.

Senyum dibibirku tertarik sedikit keatas, dua belas tahun pula hanya Bibi dan Paman yang setia menemaniku setiap memperingati hari berpulang Ibu. Tanpa ayah, adik, pelukan, kehangatan, tangisan haru bersama. Semua tidak akan pernah terjadi. Selamanya.

Flira G

Iya, Bi. Lira tunggu, ya.

Menghembuskan napas berat, menarik senyum dengan lebar, lebih baik aku membersihkan kosku dulu, acara sedihnya dilanjutkan nanti saja.


13.10

Suara motor yang sudah aku kenali lima tahun ini, berhenti didepan rumah kosku, langsung membuka pintu dan menghambur ke pelukan Bibi Arum, aku rindu sekali, sudah lama mereka tidak main kesini.

"Apa kabar, Lira? Sehat kan, sayang?" tanya Bibi Arum yang langsung mengelus puncak kepalaku dengan sayang.

Aku tersenyum, sebelum menjawab aku mengulurkan tangan ke arah Paman Adi, mencium punggung tangannya dengan sopan. "Baik kok, Bi. Masuk dulu yuk, Lira udah masak nih, kesukaan Paman Adi lho," dua jam tadi aku kerja dirumah, dari memberihkan kamar kosku, hingga memasak makanan kesukaan Bibi dan Pamanku ini.

Hidup sendiri hampir 4 tahun, tentu tidak mungkin aku terus bergantung pada aplikasi ojol dan delivery makanan, selain boros, kadang ada juga beberapa makanan yang aku beli kurang enak rasanya, menurutku.

Jadi, mau tidak mau aku belajar masak, sampai malah jadi ketagihan mencoba menu baru, kalau malas masak baru deh, buka ponsel pesan makanan. "Wah, keponakan Bibi makin jago aja nih, kalah deh kayaknya Bibi," goda Bibi Arum.

Aku tersenyum malu, Paman hanya terkekeh melihat aku yang digoda terus oleh istrinya, "Makan yuk, paman juga udah laper nih, lama gak nyobain masakan keponakan paman yang tersayang ini," ajaknya yang langsung mengambil posisi untuk mulai makan.

Seolah lupa dengan segala hal sakit yang terjadi, aku terus menebarkan senyum kepada mereka, dalam hati mengucapkan rasa syukur juga berterima kasih kepada sang pencipta, karenanya aku bisa sampai seperti ini sekarang.

"Gimana kerjaan Lira, lancar kan?" paman memulai sesi tanya jawab kali ini, iya, sudah kebiasaan kami, selesai makan kami pasti akan berbincang seperti ini.

Aku mengangguk sambil memakan cemilan yang dibawa oleh Bibi Arum, "So far so good, Paman, hehe." Aku menjawab seadanya.

Bibi Arum menggenggam tanganku, memintaku untuk menatap kearahnya, "Doni kangen kamu, Sayang." ujarnya pelan.

Aku terdiam, mulut yang tadi asik mengunyah, terpaksa terhenti, setelah lima tahun aku pergi, ini pernyataan yang sudah tidak asing ditelingaku, tapi entah kenapa, belakangan ini otakku terus memikirkan mereka, Ayah dan Doni...

Paman langsung mengelus rambutku pelan, sambil tersenyum, "Menangislah, Paman mengerti yang kamu rasakan, Nak." ujar Paman Adi, sesak didadaku langsung terasa, sakit dihatiku mencuat keluar, air mata sudah aku rasakan, sebentar lagi pasti menetes.

"Maaf, tapi Doni kangen banget sama kamu, Ra. Apa kamu gak mau pulang?" itu kata Bibi Arum, iya, semudah itu ia berkata.

Air mataku langsung terjatuh, pecah sebentar lagi, Aku yakin. "Sebentar lagi Doni bisa berjalan, Ra. Ketangguhan serta kesabaran, kakinya bisa sembuh. Dia senang sekali, berkali-kali pula ia menyebut namamu." Bibi Arum masih melanjutkan.

Bisa tolong berhenti?

Ini sangat menyiksaku, sungguh.

Isakkan lolos keluar dari bibiku. Aku tidak tahu harus bagaimana, kejadian sembilan tahun silam langsung menghantam isi dikepalaku.

"Kamu diam disini, kakak yang akan mengambilkan bola itu untukmu, ya." gadis yang mengaku sebagai seorang kakak itu memberi perintah kepada sang adik.

Adik kecil itu pun menggeleng, "Enggak, Doni mau ikut, nanti kalo kakak jatuh gimana," ucap Adik kecil itu dengan nada khawatir.

Kakaknya hanya tersenyum simpul, susah kalau sudah berurusan dengan adiknya, lebih baik menurut saja. Sambil menuntun sang adik, ia kembali ke arah pohon besar, diatas sana ada bola milik adiknya.

Lima menit hanya memandang ke atas pohon, sampai adiknya sebal karena sang kakak tidak menunjukan pergerakan. "Kakak bisa manjat gak sih, kalo gak bisa, biar Doni aja yang ngambil."

Kakaknya pun tertawa pelan, "Takut, itu tinggi banget, kita minta tolong sama Ayah aja yuk,"

Adiknya memasang tampang bosan. "Kalo gak bisa naik bilang dong dari tadi, Doni capek liatin kakak gak jelas gitu."

Sang adik pun mengambil ancang-ancang untuk memanjat pohon besar di dekat rumahnya, tapi kakaknya menahan. "Hati-hati. Licin, abis ujan," pesan si kakak yang diangguki oleh adiknya.

Perlahan adiknya naik ke atas pohon, bergerak ke atas dengan hati-hati hingga berhasil naik, mengambil bola yang tersangkut disela batang pohon, sekarang waktunya turun, bola sudah ada ditangan sang kakak, beberapa kali agak terpeleset karena licin, kakaknya terus mengawasi dari bawah, agak takut kalau sampai adiknya terjatuh.

"Pelan-pelan, Doni, licin." pesan si kakak lagi, adiknya mengangguk singkat, tapi pada pijakan selanjutnya, kakinya langsung tergelincir, pegangan pada batang pohon yang kurang kuat membuatnya langsung jatuh ke bawah.

Bruk

"Doni!!!" pekik si kakak, ia langsung menghampiri adiknya yang sudah menjerit kesakitan.

"Kak, sakit, kak, sakit banget kaki, Doni gak kuat, ini sakit banget." racau sang adik dengan suara keras, menyebabkan seluruh penghuni rumah langsung menghampiri taman belakang.

"Doni? Apa yang terjadi?!" pekik sang Ayah yang langsung terkejut melihat anak laki-lakinya tengah menahan rasa sakit.

"Do-Doni jatuh, Yah, dari pohon, abis ngambil bola, tadi tersangkut." adu sang kakak dengan suara bergetar.

Ayahnya langsung mengangkat tubuh Doni, segera membawanya pergi ke rumah sakit.

Selama perjalanan Doni terus merintih kesakitan, membuat Ayah dan kakaknya panik.

****

"Setelah, kami melakukan pemeriksaan lewat CT scan, terjadi cedera saraf tulang belakang, Pak. Untungnya tidak terlalu parah, dan proses penyembuhan ini tentu memakan waktu yang lama, kami sudah mengupayakan sebisa kami, untuk saat ini Doni harus memakai kursi roda dulu, nanti Doni akan menjalani terapi untuk penyembuhan kakinya. " pesan sang Dokter didepan keluarga kecil Giwani.

Air mata si kakak langsung jatuh, adiknya -Doni- terpaku, begitu pula Ayahnya yang langsung terdiam dengan mata yang sudah menggelap menahan segala amarah.

Lima bulan setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Giwani semakin berantakan, Ayahnya selalu marah, entah karena hal sepele atau apapun itu, dan objek kemarahannya tentu saja si kakak.

"Dasar anak pembawa sial! Waktu itu istriku, kamu buat dia meninggal, sekarang anak laki-lakiku, kamu buat ia tidak bisa berjalan! Habis ini apa lagi yang akan kamu lakukan?! Siapa lagi yang akan terluka?!" pekik sang Ayah diruang makan, si kakak yang baru saja akan menyuapkan nasi kedalam mulutnya langsung terhenti.

"Aku menyesal! Aku menyesal ada kamu di hidupku! Karena kamu, keluargaku hancur, karena kamu, kehidupanku berantakan!" geram sang Ayah yang langsung melempar piring ke lantai.

Pranggg ...

Pecahan piring menggema dengan kencang, keadaan yang sepi, membuat si adik terkejut, tapi ia juga tidak bisa melakukan apapun, Ayahnya sudah dikuasai oleh amarah, air mata si kakak terus turun dengan deras, ditahannya dengan kuat isakkan yang ingin keluar.

"Maafkan Lira, Ayah. Maaf Lira sudah membuat keluarga ini hancur." gumam si kakak dengan derai air mata.

"Ya! Lebih baik kamu pergi dari sini! Kamu tidak ada gunanya tinggal disini, adanya kamu hanya mendatangkan petaka dalam keluargaku!" ucap sang ayah tajam yang langsung meninggalkan ruang makan.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top