6

      Sebagai anak baru tentu bukan hal yang mudah agar cepat berbaur dengan lingkungan kerja yang baru. Jam istirahat sudah berjalan sepuluh menit, tapi aku masih duduk di kubikelku menatap layar komputer, mau pulang ke rumah kos tapi rasanya malas sekali harus bolak-balik.

"Ra, Lunch bareng?" muncul wajah yang sudah hampir seminggu ini mengganggu hari damaiku. Namanya Alya, tapi dia lebih mirip ikan Dori, bawel, berisik banget.

Dan, seperti beberapa hari kemarin, Alya pasti mengajakku untuk makan siang bersama.

Aku mengangguk menyetujui, sudahlah, mumpung ada teman. Aku langsung merapikan meja yang berantakan, mengambil ponsel dan juga dompet.

"Gue pusing deh, pelanggan mulutnya pada jahat banget, padahalkan mereka yang punya utang, tapi galakan mereka," keluh Alya saat kami dalam perjalanan menuju kantin.

Aku tertawa pelan, aku pun merasakan hal yang sama, seminggu ini otak, dan hatiku kacau sekali cuma urusan pelanggan doang. "Orang Indonesia emang gitu, kan? Yang manut mau bayar juga menang untung aja kita, itu juga kalo mereka beneran bayar," Aku menyahut.

Keadaan kantin yang ramai langsung menyambut kami yang baru saja sampai. "Yah, penuh, Ra." kata Alya lagi, Aku memutar pandangan, semua meja terisi, mau ngajak Alya ke rumah kos tapi aku masih belum yakin, ya, namanya juga baru dekat masa iya main ajak ke rumah aja, sih.

"Kalian datengnya telat, gabung di meja gue aja, mau?" dari arah samping kananku, tepatnya disamping Alya seorang pria jangkung menghampiri kami, menawarkan hal yang ingin langsung aku tol-

"Wah, boleh nih, Bang? Yuk, Ra, Gue udah laper nih," belum aku setuju tanganku sudah ditarik oleh Alya, si Pria itu justru tertawa.

Kami langsung memesan makan yang ada dikantin, sepuluh menit kemudian kami sudah memegang makan masing-masing, pria jangkung ini tetap menunggu kami selama memesan makan tadi. Baik sekali.

Kami jalan kearah kantin dibagian yang agak pojok, hanya ada 4 meja disana, agak sepi, untung saja.

"Widih, Refan, ngambil makan sekalian dapet cewek, dua lagi. Hahahahaha," Ini yang ngomong orang yang sama saat briefing pagi tadi, tapi kenapa aku jadi lupa namanya sih.

"Kasian, Mo, mau makan tapi pada penuh semua mejanya." itu kata si ... Siapa sih tadi namanya, ah, iya Refan.

"Halah, bilang aja modus, cakep semua lagi." Nah, ini juga ada tadi pas briefing.

"Ngaco lo, Tang. Hahahaha," si Refan tertawa.

Alya sudah ikut tertawa bersama, malah sudah berbincang akrab dengan dua orang teman si Refan itu, Aku hanya menampilkan senyum tipis, lalu mulai makan, tahu gitu lebih baik aku makan di kos saja.

Ya ampun. Aku akan menjalani hari penuh kebisingan oleh mereka semua?

Kuat kan? Kuat, ya, harus kuat. Huhu.

****

"Woy! Kebiasaan bengong sore-sore," Bang Bintang tiba-tiba datang ke kubikelku, menarik kursi, itu tanda ia akan mengajakku ngobrol dalam waktu yang agak lama, biasanya.

Aku menatap Bang Bintang sinis. "Ngapain lo? Gue sibuk nih," Aku langsung mengalihkan pandangan ke layar komputer, bersiap memakai headphone, namun ditahan oleh Bang Bintang.

"Yakin gak penasaran soal Refan?" tanyanya dengan raut jenaka, Apaan sih ini orang, gak asik banget.

"Enggak, sana deh. Gue mau kerja."

Bang Bintang tertawa ngakak, emang sialan dia, tahu banget kalau aku sebenarnya kepo, emang suka bikin perkara ini orang.

"Lo mau cerita sekarang atau gue bilangin Dori soal yan- "

Bang Bintang langsung memotong ucapanku, "Heh! Itu mulut gue plintir ya, berisik banget sih, samanya lo kayak Dori, iye gue cerita. Kepo sih, bikin emosi orang." Lucu banget dia kalau marah gitu, kocak mukanya, hahahaha.

"Jadi, Ra, sebenernya itu si Ibu Susan gak pernah ada, cicilan tagihan dia itu emang bener di beli, tapi Refan beli untuk pembantunya dirumah, Bi Emi, tau kan lo?" tanyanya yang langsung Aku angguki, lalu dilanjut kembali, "Semua emang sengaja dibuat sama si Refan, mulai dari cicilan hp ello, bayarnya nunggak, eh, tapi dia bener ke luar negeri bokapnya sakit, dan yaudah ngalir aja semua dalam sistem BI." Bang Bintang mengambil permen diatas mejaku, membuka bungkusnya lalu dimakan, tanpa izin sama yang punya, Aku.

Aku menatapnya mau marah, "Yaelah, bagi satu doang, Ra. Pelit bener lo," Cibir Bang Bintang dengan tampang sengaknya.

"Buruan lanjut."

"Dan yaudah, otak kampretnya jalan tuh dia, nyuruh lo kerumah dengan dalih seolah dia diperlakukan istimewa sambil pura-pura jadi manusia gaptek di bumi. Sengaja, buat mancing lo. Nah, disitu deh gue, sama Ramo maen peran, buat lo yakin dan emang dasarnya lo bego, jadi kena umpan. Dan yaudah terjadi deh kemarin." tuntas Bang Bintang, sambil senyum yang kata dia itu senyum termanisnya. Huek!

Aku termenung, oke, aku tidak mau membohongi perasaanku, hampir satu setengah tahun ditinggal tanpa kabar, perasaanku tidak berubah terhadapnya, dan dia kembali, seolah membuatku yakin lagi dengan tingkahnya kemarin, atau dia sengaja ingin membuatku jatuh lagi, seperti saat itu?

"Gue juga gak sebego itu kok, Ra. Sebagai seorang laki-laki gue tau dengan jelas kalo Refan ada maksud ke elo, bahkan dari awal kita semua deket. Tapi, emang dasar si Refan bego aja, dia takut lo ga suka sama dia, jadi anak alay dia dua tahun kemarin tuh, sampe lo ketemu dia kemarin dan berubah drastis."

Aku tidak tahu mau merespon apa. "Takut kenapa, emang gue setan? Lagian Bang, ngapain juga dia segala insecure gitu," Aku menanggapi, berusaha bercanda sebetulnya tapi gagal deh, Bang Bintang diam saja.

Ia memajukan tempat duduknya sedikit, "Yaelah lah, Ra. Lo cantik, semua laki yang ada disini tuh demen ama lo. Kecuali gue ya. Emang dasar lo nya aja yang kebangetan cuek, jadi bocah laki pada deketin gebetan gue." kata Bang Bintang, ini orang apaan sih, ngeselin banget.

Aku menatapnya kesal, dia tuh nyebelin banget tiap cerita, pasti ngejatohin terus. So ganteng banget lagi.

"Sialan lo, Bang."

Ia tertawa, "Tapi emang bener, Ra. Semua yang disini suka sama lo, dan menurut gue, kandidat terbaik ya cuma Refan." katanya dengan senyum jahilnya.

"Dori juga banyak yang suka bang, sayang disini gak ada kandidat yang tepat buat dia." gantian Aku yang meledeknya.

"Sialan!"

Aku tertawa ngakak, siapa suruh ngeledek aku terus, giliran di balas kesal sendiri.

"Ra, gue serius. Baik-baik ya sama Refan, semoga dia cepet sadarnya. Kasian anak gue ini, di gantungin dua tahun, begonya mau aja lagi di giniin" kan, mancing terus emang ini manusia.

"Gue juga serius, Bang. Dori udah punya doi baru, anaknya royal banget. Kalah jauh deh lo," Ribet banget emang kalau suka sama rekan kerja, banyak sekali cobaannya, di hina kayak gini contohnya.

Bang Bintang menatapku kesal, "Serius, Ra? Ya Allah, hamba baru mau berjuang, masa udah kalah sebelum perang gini," ujarnya sambil menatap ku sedih.

Ampun! Aku puas sekali melihatnya begini.

****

Pukul 21.05

Shift siang sudah bersiap untuk pulang. Aku, Dori, dan Bang Bintang yang paling akhir turun ke lobi, dari obrolanku tadi sore sudah bisa menebak kan, iya, Bang Bintang naksir sama Dori, tapi dasarnya Dori yang gak pekaan orangnya jadi sampai saat ini ia juga tidak tahu, Bang Bintang juga memintaku untuk diam, ya sudah, terserah dia saja. Aku tidak mau ikut campur, nanti kalau stres juga nyamperin Aku.

"Di jemput, Dor?" Aku sengaja menanyakan hal ini, mau lihat pergerakan Bang Bintang saja. Hehe.

Dori mengangguk, "Sama Ajun, dia udah sampe nih, gue duluan ya, Ra, Bang." pamit Dori langsung menuju depan lobi, Aku dan Bang Bintang diam. Mau ketawa ngakak tapi kasihan, jadi kita hitung saja deh, kita liat si gila ini mau bertingkah apa.

1

...

2

...

Mobil yang membawa Dori pergi sudah menjauh dari lobi, ku tengok kesamping kiri, melihat wajah Bang Bintang, duh, pengen ketawa ini.

3

"Fliraaa! Itu gebetan Dori yang baru? Yang kayak gitu?!"

"HAHAHA!" Aku sambut dengan ketawa ngakak, kasian banget Bang Bintang, mukanya jelek banget, ih makin pengen nabok.

"Halah, percaya sama gue, Ra! Dori bakal jadinya sama gue, liat aja nanti." tekan Bang Bintang dengan semangat.

Aku mencibir, "Ogah percaya sama lo, gak bakal bener." Aku meninggalkannya jalan lebih dulu.

Bang Bintang mengejar langkahku, "Yeee, lo liat ya nanti, tunggu satu sampai dua tahun ke depan." janji seorang Bang Bintang.

"Iye, kita liat." ini karena kasihan ngelihat muka Bang Bintang, yang waras ngalah kan?

"Gue balik ya, Ra. Tiati lo." pamit Bang Bintang sambil memakai helm motornya.

"Lo yang hati-hati, Bang."

Kami berdua tertawa pelan. Bang Bintang sudah menjauh dari lobi, Aku kembali melanjutkan langkah menuju rumah kosku, sampai aku jadi merasa curiga karena ada orang yang duduk didepan teras dengan menekuk lutut dan menaruh wajah disana sebagai topangan.

Postur tubuh yang kelihatan tegap, rambut sudah mulai berantakan, kemeja yang digulung hingga siku sudah mulai kusut, sepatu pantofel yang dilepas menyisakan pergelangan kaki yang diselimuti kaos kaki warna hitam, celana bahan khas orang kantoran.

Aku tidak asing lagi dengan postur tubuhnya, tapi, masa iya ia kesini, mau ngapain coba?

Aku mendekati orang itu, terdengar dengkuran halus, ini orang numpang tidur diteras?

"Andra ... " gumamku pelan.

Oke, menebak yang sudah pasti betul jawabannya, jelas sekali kalau ini Andra, ngapain sih malam-malam kesini?

"Ndra, bangun ... " Aku menyentuh bahunya, menggoyangkan pelan, tak lama ia bergerek, seolah terusik tidur nyenyak nya.

Tatapan Andra langsung ke mataku, ia kaget, langsung berdiri, "Rara, duh, maaf ya, jadi ketiduran gini," katanya tak enak.

Aku mengangguk, "Ada apa, Ndra kesini malem-malem?" aku bertanya penasaran.

Ia terlihat gelisah, "Boleh numpang ke toilet gak, Ra? Kebelet," menatapku dengan raut wajah segan.

Aku tersenyum tipis, mengambil kunci kos lalu membuka pintu perlahan, lampu langsung ku hidupkan, "Gih, sana." kataku sambil meletakan tas.

Lima menit kemudian Andra keluar, sudah cuci muka, jadi terlihat lebih segar. "Makasih ya, Ra." katanya lagi sambil berjalan kearah pintu.

"Ada apa, Ndra?" tanyaku lagi.

Ini sudah jam setengah sepuluh, Aku mau istirahat, jadi maaf kalau kesannya kurang menyambut baik seorang tamu.

"Maaf ya, kesini malem-malem, tadi abis dari Kemang, terus malah belok kesini, hehe." Andra nyengir.

Aku mengambil dua gelas, menyeduh teh manis hangat, mengajak Andra untuk agak masuk kedalam, karena di luar udara cukup dingin.

"Kemarin pas pulang, Aku lupa minta nomor kamu," ucap Andra pelan.

Aku menatapnya terkejut, kayaknya Andra memang pas ku sebut manusia gaptek, memang ponsel dia tidak ada kuota internetnya? Kan, bisa minta ke Bang Ramo, atau Bang Bintang.

"Kan, bisa minta sama Bang Ramo atau Bang Bintang, Ndra, gak perlu ke sini," kataku pelan,

Andra menyesap tehnya sebentar, lalu menampilkan senyum kikuknya. "Gak kepikiran, Ra. Lagian, sekalian main, udah lama gak kesini juga, kangen." katanya sambil memberikan ponselnya padaku, meminta untuk aku menaruh nomor telepon di kontaknya.

Kami justru saling diam, bingung juga harus bersikap apa, canggung sekali, sudah lama ia tidak kesini, malam hari pula.

"Mau langsung pulang?" tanyaku, sudah mau jam sebelas malam, aku lelah, tapi tidak enak juga kalau nyuruh Andra pulang.

"Nginep boleh?"

Aku menatapnya jengkel, ngajak bercanda jam segini, gak pas banget.

"Hahaha, bercanda Ra, yaudah Aku pulang dulu, ya. Jangan bergadang." pesan Andra sambil bangun dari duduknya setelah menghabiskan teh hangat yang ku buat.

Aku mengantarnya sampai depan pintu, "Kamu bawa motor apa mobil? Parkir dimana?" aku baru menyadari tidak ada motor atau mobil yang terparkir di depan rumah kos ku.

Tin tin

"Woy, pacaran mulu!" suara pekikan orang dari ujung gang.

"Tuh, nebeng sama Bintang." Andra sudah ketawa ngakak pas ngasih tahu, kampret!

Aku meringis, sudah tahu pasti besok aku akan jadi gosip hangat di divisi.

"Balik ya, Ra. Assalamualaikum." tangan Andra langsung menuju puncak kepalaku mengacaknya pelan, sambil memasang senyum manis miliknya.

"Waalaikumsalam, hati-hati, Ndra."

Aku langsung masuk kedalam rumah, menutup pintu lalu menguncinya.

Hah. Jantung gue!!!

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top