5

Entah sudah berapa kali aku mengumpat, menahan segala amarah yang sudah dipuncaknya. Emosiku di pagi hari yang menurut Dori cerah ini sangat amat parah, emosi seorang Flira ada di titik paling atas, tinggal sedikit lagi di senggol, auto bacok.

Setelah kejadian hari jumat kemarin, di hari senin ini aku sudah bersiap menuju rumah si gaptek itu, iya, Refan, hari sabtu dan minggu kemarin aku habiskan dengan adu argumen dengan Bang Ramo dan Bang Bintang, yang hasilnya tetap saja aku kalah.

Bang Ramo langsung menunjukan bukti pesan singkat dirinya dengan si Refan ini, dan lagi orang kantor BI juga ikut-ikutan dalam hal ini, daripada semakin melebar urusannya dan aku nanti bisa-bisa di kenal oleh seluruh rekan BI mau tak mau aku menyetujuinya, dengan catatan hanya sekali aku kerumahnya, menyelesaikan segala urusan tagihan, lalu pulang. Sudah, begitu.

Pukul 10.45

Aku sudah dalam perjalanan menuju daerah Jakarta Barat, menggunakan Emon-motor kesayanganku- Outfitku pun tidak terlalu berlebihan saat bersiap tadi, hanya celana bahan berwarna abu, lalu dipadukan dengan kemeja berwarna putih, memakai flat shoes berwarna hitam, dan sling bag yang juga berwarna senada dengan sepatu, simpel, tapi tetap menonjolkan nilai kesopanan, dan kesan formal dalam bekerja, dan juga aku memakai make up yang tetap terlihat natural.

Hampir satu jam melewati arus macet di beberapa titik, akhirnya aku sampai di depan rumah Refan Atmadja, daerah perumahan yang cukup sepi, dan terlihat sekali kalau ia ini orang banyak uang. Jadi untuk apa ia mempunyai tagihan di BI? Itu yang masih aku pikirkan, tidak masuk akal sekali, bukan.

Aku mengambil ponsel, memberitahukan Bang Ramo kalau aku sudah sampai dirumah si gaptek ini, kemudian aku menghampiri pos security yang ada di pojok gerbang hitam tinggi yang ada di hadapanku.

"Selamat Siang, benar ini rumah Bapak Refan Atmadja?" Aku menampilkan senyum tipis.

Si Bapak security pun mengangguk, "Ada yang bisa dibantu, mbak?" tanyanya dengan sopan.

"Saya Flira Giwani, dari PT. Brily Indonesia, sudah membuat janji temu dengan Pak Refan siang ini, Pak." aku memperkenalkan diri, masih mempertahankan senyum tipis milikku.

Si Bapak menarik senyum, sambil mengangguk ia berkata, "Oh, iya. Silahkan masuk, sudah ditunggu sama den Refan, mbak." tuturnya lagi, kemudian mendorong gerbang hitam tinggi ini dengan perlahan.

Aku pun kembali berjalan ke arah motor, menghidupkannya lalu membawa masuk ke rumah yang luar biasa megah ini, semakin menambah rasa jengkelku.

Ini orang mampu, buat apa sih ngutang?!

"Silahkan mbak, masuk." itu kata si Bapak security sebelum membukakan pintu lalu muncul seorang wanita yang sudah berumur, ku tebak ini pembantu dirumah si Refan.

Bibi itu pun tersenyum menyuruhku untuk duduk, lalu menawarkan minum, dan setelah menjawab, aku pun duduk disofa ruang tamu ini.

Fyi, rumah megah, orang berduit, jadi buat apa sih, dia ngutang? Astaga, bikin emosi banget ini orang!

Aku menatap keseluruh ruangan, sepi, tidak ada tanda kehidupan banyak orang disini, kasian banget kayaknya si bibi tadi, bersihin rumah sebesar ini.

Selang sepuluh menit si bibi kembali membawa dua cangkir minum ada teh juga kopi, dan beberapa cemilan, setelah aku mengucapkan terima kasih ia pamit kembali ke dapur.

Aku masih menunggu wujud si Bapak Refan ini, manusia gaptek yang aku yakin dia gak gaptek-gaptek amat, orang kaya, masa iya senorak itu sama teknologi, gak mungkin!

Langkah kaki terdengar dari lantai dua, menuruni tangga dengan gerakan santai. Itu dia wujud Bapak Refan Atmadja. Ganteng kok gaptek sih? Sengaja kali ya dia, mau bikin repot doang. Dengan memakai kemeja berwarna hitam dan celana panjang chinos berwarna khaki, ah, terlewat sedikit, wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus disana.

Aku otomatis berdiri, menampilkan senyum seadanya, mulai berspekulasi, kalau ini memang akal-akalan si Refan saja.

Bapak Refan itu pun membalas senyumku, sedikit lebar, ya ampun! Ngeselin banget senyumnya.

Ia pun menghampiriku, mengulurkan tangan lalu berkata, "Selamat siang, Saya Refan, maaf sudah membuat mbak Flira menunggu." sambil kembali menyuruhku untuk duduk.

Aku menganggukan kepala. "Nggak pa-pa, Pak. Jadi bisa langsung dimulai saja?" tanyaku yang ingin cepat ini semua segera selesai.

Si Refan tertawa pelan, aish! Manis sekali.

"Kesini naik apa tadi mbak, tidak susah kan mencari alamatnya?" Refan ini bertanya lagi, duh, malas banget kalo sengaja di ulur waktu begini.

Aku tersenyum tipis, "Saya naik motor tadi, mudah, kan sudah dikasih alamatnya juga. Kalau gak tau jalan ya tinggal liat maps atau tanya sama warga sekitar aja." Aku menjawab dengan mendetail, biar tidak makin panjang basa-basi ini.

Ia mengangguk paham, lalu mulai mengeluarkan ponselnya yang ... Deuh! Ini keluaran terbaru, kan! Apa aku bilang? Sengaja dia tuh.

"Sebelumnya saya akan menjelaskan dulu, Bapak memiliki tagihan pembayaran hp Ello 2019 dengan tagihan perbulannya empat ratus lima puluh tiga ribu rupiah, sudah tiga bulan terakhir bapak belum juga membayarnya, jadi total yang harus bapak bayar sampai bulan ini satu juta tiga ratus lima puluh sembilan ribu rupiah," Aku menjeda ucapanku karena sedari tadi tatapan dari si Refan ini membuatku kikuk, aku seperti mengenal mata hitam kecoklatan itu.

"Saya sudah membayarnya, mbak, Lima belas menit yang lalu."

Hah?

Udah bayar?

Lah, terus?

Aku menatapnya sinis, menahan geraman. "Maksud bapak apa, ya? Kalau sudah mengerti cara pembayarannya tidak perlu meminta tim kami untuk ke rumah bapak." Oke, maaf, aku melanggar COC BI.

Refan menarik senyum keatas, aku kenal senyum itu, tapi siapa?

"Rara, kamu lupa sama aku?" suara itu melembut, Aku ... Aku kenal suara itu.

Aku menatapnya dengan mata sendu, astaga! Kenapa Aku bisa sebodoh itu sampai lupa Refan Atmadja.

Refan menarik lagi senyumnya semakin lebar, Aku merindukan senyum ini.

"Andra..." gumamku pelan.

Iya, Refandra Atmadja, kami dulu bersahabat dekat di BI, hanya enam bulan saat aku baru bergabung di BI dan dia tiba-tiba pergi, menghilang begitu saja.

"Rara, i miss you so much."

Air mataku menetes, Andraku kembali, orang yang dulu begitu berarti dalam hidupku.

Tapi, kenapa sekarang dia berubah sekali? Badannya dulu tidak sebagus sekarang, agak gemuk dengan pipi chubby, jangan lupakan kaca mata kuda miliknya, sekarang dia setampan ini? Secepat itu bisa jadi tampannya?

Aku menyeka air mataku, pusing dikepalaku tiba-tiba menyerang, tadi perasaan aku sehat-sehat saja, sekarang kenapa sakit begini, sih.

"Maaf, aku gak pernah cerita soal kehidupanku dulu sama kamu, intinya sekarang, Andranya Rara sudah kembali, Andranya Rara disini, akan kembali menjaga Rara."

Ia menghampiriku, langsung memeluk tubuhku dengan erat, seolah meluapkan rindu yang sudah lama dipendam. "Say something, Ra. Im here." Andra mengelus rambutku dengan penuh sayang, air mataku kembali jatuh, kedua tanganku terangkat, ikut juga memeluknya, dengan sama erat.

"Aku juga kangen kamu, Ndra. Banget."

****

Aku masih tidak mengerti atas semua yang terjadi, Refan, atau Andra aku memanggilnya, masih terus asik berceloteh tentang banyak hal, yang aku tangkap, ia ternyata setahun lalu itu melanjutkan usaha keluarganya yang sempat terbengkalai karena Ayahnya sakit saat itu, dan baru bisa kembali hari sabtu kemarin, dan bekerja di BI untuk belajar, Ah, orang kaya mah bebas. "Tadinya aku udah minta buat Ramo nyuruh kamu kesini hari sabtu, tapi dia gak ngebolehin, gara-gara kamu masih sakit. Kenapa bisa sakit sih, Ra, bergadang lagi?" katanya sambil menggenggam tanganku erat.

Aku tersenyum kecil, "Sekarang udah mendingan, kok." Aku mengelus punggung tangannya pelan, menyakinkan kalau aku baik-baik saja sekarang.

Ia menatapku sangsi, lalu mengangguk pasrah, "Laper gak? Makan yuk." Ajaknya dengan nada yang ... ini tidak mimpikan? Andraku kembali.

Aku mengangguk saja mengiyakan, dari berangkat tadi Aku hanya makan roti, karena takut kena macet dijalan.

"Mana kunci motor kamu? Aku kangen sama emon, hehehe."

"Hah?"

Andra kebanyakan senyum dari tadi, bikin salting deh. "Kita makan diluar aja gapapa, kan? Aku pengen jalan berdua lagi sama kamu, bareng emon." Aku mengangguk, lalu tanganku ditarik oleh Andra.

Perumahan rumah Andra masih seperti yang sebelumnya Aku jelaskan, sepi, hanya beberapa pengendara motor dan mobil yang lewat, "Makan di rumah kos kamu gimana, Ra?" tanya Andra sambil melirik kaca spion motor.

Sinting! Jakarta Barat ke Selatan dibawah terik matahari begini, ogah banget. "Jauh, Ndra, jangan ngada-ngada deh." Aku menolak, tentu saja.

"Yaudah, balik lagi deh ke rumah, makan disana aja, bibi tadi udah masak." kata Andra lalu memutar arah, membawa kami kembali ke arah rumahnya.

Aku menepuk pundaknya keras, apaan sih dia, makin gak jelas aja.

"Terus ngapain kita naik motor gini, panas banget ini tuh, Ndra!"

Andra tertawa, "Takut item? Kamu tuh gak bisa item, Ra. Kulitmu begitu aja, mau kayak gimana juga kamu tetep cantik, kok." katanya tulus.

Aku tertawa pelan, receh banget dia.

Lima belas menit kemudian, kami sudah sampai kembali dirumahnya, Andra langsung mengajakku ke ruang makan, makanan sudah tersedia, "Yuk makan, Bi, panggil Mang Ali, kita makan siang bareng aja." ajak Andra yang langsung diangguki oleh si bibi.

Setelah semua berkumpul kami langsung memulai acara makan siang ini. Andra masih tetap sama, begitu hangat kepada semua orang, sopan dan santu sekali kepada para pekerjanya, beberapa kali Andra dan Mang Ali ini terlibat beberapa lelucon, yang membuat acara makan kali ini terasa begitu hangat.

"Den Andra sengaja, Neng, nyuruh saya nyebut dia den Refan, biar keren katanya. Dia juga baru pertama kali ini ngajak awewe kesini," adu Mang Ali, sambil tertawa bareng Bibi Emi.

Aku tersedak, awewe itu dalam bahasa indonesianya perempuan kan? ucapan Mang Ali saat aku sedang menyuap makanan, sama sekali tidak tepat.

Andra langsung memberikan gelas yang berisi air putih kepadaku, "Mang Ali, jail banget. Rara jadi kesedak kan, tuh," Andra kembali mengajak Mang Ali bercanda.

"Hampura atuh, Neng. Mamang gak maksud begitu." Mang Ali terlihat menyesal.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis, "Gak pa-pa kok, Mang." kami pun kembali melanjutkan makan.

Tanpa terasa mengobrol bareng Andra, Mang Ali, dan Bibi Emi menghabiskan waktu kami hingga menjelang sore begini, aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah jam empat sore, aku harus segera pulang, tidak mau aku harus menghabiskan magrib dijalan.

Mang Ali, dan Bibi Emi sudah pamit melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. Tersisa aku dan Andra di ruang keluarga miliknya. "Aku pulang ya, Ndra. Udah sore." kataku sambil mengambil sling bag milikku.

Andra terlihat kecewa, "Aku masih kangen, Ra." katanya pelan.

Aku tersenyum tipis, "Kan bisa ketemu lagi nanti." kataku mengajaknya untuk kedepan rumah, kalau tidak begini aku yakin, pasti bisa lebih lama bertahan dirumahnya.

"Aku pulang dulu, ya. Makasih untuk hari ini." ucapku tulus.

Andra mengangkat tanganya, mengacak rambutku pelan, lalu menarik tubuhku kembali untuk masuk kedalam pelukannya. "Aku yang harusnya makasih, kamu udah mau kesini. Hati-hati pulangnya." perlahan pelukan itu terlepas.

Aku mengangguk.

"Aku anter kamu aja deh, ya?" tawarnya.

"Gak usah, kan aku bawa motor, tenang aja, Ndra."

Andra tersenyum tak rela, tapi aku meyakinkan dirinya. Lalu meninggalkannya didepan rumah, memakai helm kemudian menghidupkan motor.

"Hati-hati ya. Ra."

Aku mengangguk, membunyikan klakson lalu meninggalkan pekarangan rumah Andra dengan senyuman lepas.

Percayalah, pelukan Andra tidak pernah berubah, masih nyaman seperti dulu.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top