15
Sudah memasuki hari ke tiga aku ada di Wonogiri, kondisi Ayah sudah jauh lebih baik. Kata dokter hari ini Ayah diperbolehkan untuk pulang, dengan catatan harus banyak istirahat.
Tiga hari juga aku terus mengunjungi Ayah dirumah sakit, walaupun berujung penolakan, aku tidak gentar, dulu aku sudah merasakan hal paling menyakitkan jadi kalau di usir begini, belum ada apa-apanya. Artinya waktuku di Wonogiri tinggal dua hari lagi, dan aku harus menyelesaikan semuanya, aku tidak mau ini terus berlarut.
Tiga hari berdekatan dengan Doni membuat emosiku naik turun, ternyata dia bisa menjadi anak penurut kalau aku sedang sedih saja, selebihnya dia begitu menyebalkan.
Fakta yang baru ku ketahui sekarang, dia tidur bagai orang mati, melebihi aku! Makan apalagi macam kuli, mirip banget kayak Andra dan Ayah.
Bicara soal Andra, awalnya dia marah padaku, tapi sekarang sudah baikan kok, lagian mana bisa dia marah sama aku lama-lama, hehe.
Pagi menjelang siang ini aku sedang berkunjung ke rumah Paman Eko, oiya, Ayah itu tiga bersaudara dan Ayah anak tertua, Paman Eko yang kedua, dan terakhir Bibi Arum. Sedangkan Ibu ... beliau anak tunggal, jadi ya begitu lah.
Paman Eko mempunyai dua orang anak, yang satu baru lulus SMA yang satunya lagi baru mau masuk SMP, tadinya aku mau langsung ke rumah sakit, tapi di ajak Doni ke rumah Paman Eko dulu sebentar, yaudah, mumpung lagi di Wonogiri.
"Gimana, kerja di Jakarta? Enak?" Tanya Bibi Reni-istri Paman Eko-yang asli orang Jakarta ini tengah menatapku dengan sayang.
Aku tersenyum, "Di enakin aja, Bi. Hehehe. Doni gimana, disini? Bandel ya, Bi?" kataku saat melihat Doni begitu akrab dengan Rini-anak kedua dari Bibi Reni-yang tengah asik menonton tv.
Bibi Reni tertawa kecil, "Gak bandel kok, cuma dia tuh bilang katanya nanti lulus sekolah mau kuliah atau cari kerja di Jakarta aja, katanya biar bisa jagain Kakaknya," kata Bibi Reni yang membuat hatiku menghangat.
Baiklah, semoga semua yang diharapkan bisa kami wujudkan nanti. Amin.
Tak lama, Paman Eko menghampiri kami, "Yuk, Ayah pulang kan hari ini?" katanya sambil mengacak rambut Rini dengan sayang yang justru membuat si anak menjerit kesal.
Aku tersenyum simpul melihat kehangatan keluarga Paman Eko, aku merindukan masa itu. Dimana Ayah begitu sayang kepadaku, hah, aku sangat berharap akan terulang kembali.
Setelah berpamitan kami pun langsung bersiap menuju rumah sakit, disana sudah ada Bibi Arum dan Paman Adi. Selama perjalanan aku tidak banyak bicara, Paman Eko juga lebih banyak diam, kalau Doni tidak usah ditanya, ngegame terus dia.
Tiga puluh menit kemudian kami sampai di parkiran, aku berulang kali menghembuskan napas. Entahlah, rasanya hari ini agak berat untuk aku lalui.
Kembali ke rumah sakit yang banyak orang katakan tempat yang paling malas untuk di kunjungi, ya, aku juga merasakan hal itu. Kondisi yang banyak penuh kepiluan disini, aroma yang menyengat, dan lalu lalang orang yang saling tidak mengenal, ah, bikin pusing saja.
Tepat di depan kami, ruangan Ayah ada beberapa orang disana, dua di antaranya ada Bibi dan Paman, dua orang lagi aku tidak kenal, tapi mereka terlihat cukup akrab.
Kami pun bergegas menghampiri, perbincangan mereka berempat terhenti oleh kehadiran kami. "Wah, saya kira siapa tadi, kok kayak kenal, rupanya Pak Dion, dan istri," kata Paman Eko yang langsung menyalami dua orang tadi dengan hormat, Doni dan aku pun mengikuti.
"Sudah lama sekali saya tidak kesini, ini ...," jeda Pak Dion menatap aku dan Doni penuh tanya.
"Ah, iya. Ini anak Kakak saya, Doni dan Flira. Nak, ini teman Ayah kalian, Pak Doni dan Ibu Ratih," sahut Bibi Arum.
Aku dan Doni kompak tersenyum, saat mata Pak Doni terlihat terkejut aku seperti mengenali tatapan itu, siapa ya?
"Kamu Flira?" tanya Pak Doni dengan lembut.
Aku mengangguk, saat ingin berbicara kembali ponsel dari Ibu Ratih berdering, beliau menjawab panggilan tersebut.
Aku dan Doni langsung pamit untuk masuk kedalam, membantu membereskan perlengkapan untuk Ayah pulang.
Saat masuk kedalam, suasana yang awalnya hangat mendadak dingin, tatapan Ayah langsung menghujamku begitu saja. Aku membeku, perlahan tangan Doni menarikku untuk mendekat ke arah Ayah.
Aku tersenyum kaku, Doni masih terus menggenggam tanganku. "Udah boleh pulang kan, Yah? Yuk beberes sekarang," kata Doni dengan ceria.
Ayah tak bergeming diatas bangkar, menatapku dengan tangan yang mengepal, aku menghembuskan napas pelan, astaga, kenapa jadi rumit begini.
"A-ayah, ayo kita bersiap untuk pul-"
"Untuk apa kamu masih kemari, berapa kali harus saya katakan, saya tidak butuh kehadiran kamu disini." potong Ayah langsung.
Doni tersentak kaget, aku pun sama.
"Ayah, ngomong apa sih?" sahut Doni kesal.
Aku mundur perlahan, dadaku sesak, kapan ini akan segera selesai.
"Lira cuma mau bantuin Ayah untuk pulang hari ini. Boleh?" Aku mengatur napas perlahan, emosiku tidak boleh memuncak, ini Ayahku dan aku harus sabar menghadapinya.
"Keluar kamu, Doni. Ada yang mau Ayah omongin sama Kakak kamu." titah Ayah langsung.
Doni menatap Ayah hendak protes, ku tahan dengan menyentuh tangannya, mengisyaratkan kalau aku akan baik-baik saja.
****
Lima belas menit berlalu, tapi ayah belum juga bersuara, aku juga bingung harus bersikap bagaimana, canggung sekali.
Aku menatap wajah Ayah, "Ada yang mau Ayah sampaikan ke Flira?" tanyaku pelan.
Ayah masih diam, perlahan kedua kakinya berpindah turun kebawah, hingga ia duduk tepat menghadapku, aku mundur sedikit, memberi jarak.
Perlahan kedua tangan Ayah hinggap dibahuku, lagi, aku terkejut. Air mataku sudah siap untuk turun saat tatapan Ayah masih saja datar, dan dengan perlahan Ayah menarik tubuhku masuk kedalam pelukannya.
Aku membeku. Detak jantung yang sedari tadi bertalu mendadak berhenti. Pelukan ini .... yang aku nantikan lebih dari dua belas tahun.
Tangan Ayah yang lain mengelus rambut dan punggungku dengan sayang, dingin yang tadi aku rasakan langsung berubah menjadi hangat yang menenangkan.
Astaga. Air mataku langsung jatuh, kedua tanganku kontan membalas pelukan Ayah yang tidak kalah eratnya.
"Maafkan, Ayah," ujar Ayah dengan pelan.
Perlahan senyumku terukir, "Ayah ...." Aku menatap wajah Ayah, terlihat dikedua matanya ada bulir air yang siap untuk turun.
Ayah mengecup keningku lembut, aku memejamkan mata, kenapa rasanya begitu indah, seperti mimpi ....
"Kenapa, Nak? Kenapa kamu masih mau ke sini, menemui Ayah yang jelas sudah menyakiti kamu? Dua belas tahun Ayah memperlakukanmu dengan jahat. maafkan kesalahan Ayah selama ini, ya. Ayah tidak bisa menerima atas semua yang telah terjadi, ini semua salah Ayah, kalau saja saat itu Ayah tidak mengajak kalian ke taman pasti semua tidak akan terjadi. Maafkan Ayah, maafkan semua kesalahan Ayah .... Ayah malu, ayah merasa gagal sebagai orang tua, Ayah .... gak tau harus bagaimana waktu itu, semua datang tiba-tiba ke keluarga kita, dan Ayah tidak siap untuk menerima semuanya. Maafin ayah." Ujar Ayah dengan raut penuh dengan penyesalan, aku melonggarkan pelukan tepat dengan jatuhnya air mata Ayah.
Aku berulang kali menggeleng, menampik akan semua yang Ayah katakan, aku ... tidak tega melihat Ayah seperti ini. Bukan Ayah sekali yang terlihat lemah. Ayah tidak pernah menunjukan kelemahannya kepada kami, dan aku tidak suka melihat Ayah seperti ini.
"Enggak, Yah. Ini bukan salah Ayah, semua ...., yang terjadi sudah jadi takdir yang harus kita hadapi, Yah. Kita gak boleh terus-terusan begini, Ayah, aku, Doni tidak bisa memungkiri atas semua takdir yang sudah terjadi, Yah. Lira sudah menerima semuanya, Ayah berbuat seperti itu juga pasti ada alasannya dan Lira tidak mempermasalahkan atas semuanya. Lira sudah memaafkan Ayah," kataku sembari menghapus jejak air mata Ayah yang perlahan turun.
Aku tersenyum, ini senyum yang paling lepas. Senyum yang akan aku ingat karena menjadi alasan semua bebanku terangkat.
Ayah merengkuh tubuhku kembali dalam pelukannya, berulang kali puncak kepalaku dikecup dengan hangat olehnya, aku terkekeh, kenapa rasanya selega ini?
Kepengapan yang aku rasakan dua belas tahun lebih seolah hilang berganti dengan rasa lega yang luar biasa.
Ibu .... Ibu lihat ini kan? Ibu sudah menyaksikan semuanya kan?
"Maafkan Ayah. Ibu pasti sudah senang sekarang," gumam Ayah lagi, kali ini Ayah menghapus jejak air mataku.
Aku mengangguk, "Ibu pasti senang sekarang." kataku yang kembali memeluk Ayah dengan erat.
Tak lama ketukkan dipintu terdengar, tapi aku tidak ingin melepaskan pelukan yang paling nyaman ini. Ayah terkekeh melihat tingkahku, tak lama pintu pun terbuka, aku langsung membenamkan wajahku dalam-dalam agar Doni atau siapapun tidak dapat melihat wajahku ini.
Aduh, kenapa jadi malu, hahaha.
"Wah, ada apa ini? Pake acara pelukan segala," Ledek Paman Adi, yang lain ikut tertawa.
Aku masih tidak ingin melepas pelukan Ayah, beliau justru tertawa sambil mengacak pelan rambutku.
"Kak, udah kali pelukannya, malu diliatin sama pacarnya ini," Ledek Doni.
Apaan sih, kok jadi pacar?
Andra kan ada di Jakar-
"Hahahaha, Doni jail banget, ngeledekin terus dari tadi,"
Eh!
Tunggu. Itu kan ....
Aku langsung melepas pelukan Ayah, melihat ke arah sebrang
Astaga. Andra! Kok dia bisa ada disini sih?
Aku menatap semua orang yang ada diruangan Ayah.
Kenapa jadi ramai sekali?
"Duh, jadi ramai begini. Refan pacarnya Lira, toh?" sahut Ayah dengan senyum tulus.
Andra mengangguk dengan semangat. Duh, kenapa gemes banget sih dia.
Aku langsung menghapus jejak air mata yang tersisa, merapihkan rambut yang agak berantakan. Astaga, malu sekali.
"Ini pas banget sih, Om. Papa, Mama saya ada disini, sekalian aja gimana?" Goda Andra menatapku jenaka.
Eh! Nyebelin banget sih dia.
Aku menatapnya galak, yang lain justru menanggapi dengan tertawa.
"Ndra, kita keluar dulu, yuk." Ajak Om Dion kepada Andra yang langsung diangguki olehnya.
Tersisa aku, Ayah, Doni, Paman Eko dan Adi, juga Bibi Arum.
"Gimana? Lega kan?" Sahut Paman Eko memecahkan kecanggungan yang datang.
Ayah langsung terkekeh, "Sangat, terima kasih sudah membuatku sadar," Kata Ayah dengan senyum tulus menatap ke kami semua.
Doni langsung memelukku dengan erat. "Jadi, Doni kuliah di Jakarta boleh, kan, Yah?" Doni menatap Ayah dengan tampang memelas.
"Usaha terus ya, hahaha," Goda Bibi Arum.
Kalau di tebak, sepertinya Ayah tidak mengizinkan Doni untuk kuliah di Jakarta.
"Terima kasih, Paman, Bibi. Aku sayang kalian semua." ucapku tulus.
****
"Lihat, Rani. Aku sudah berhasil." Sapaan yang Ayah lontarkan tepat didepan makam Ibu.
Jadi setelah diizinkan pulang, kami semua langsung ke makam Ibu, air mataku sepertinya tidak ada habisnya, karena saat aku sampai di makam Ibu, tangisku kembali pecah.
Makam yang terawat dengan baik, bahkan ada taburan bunga yang baru saja mengering, aku yakin salah satu dari keluargaku baru saja berkunjung kesini.
"Ibu, ini Lira, Ibu disana udah bahagiakan? Lira disini selalu bahagia," ujarku sambil mengelus pelan nisan Ibu.
Doni langsung menggenggam tanganku dengan erat, Ayah merangkulku dengan sayang. Begini ya, rasanya disayang dengan tulus, oleh keluarga sendiri?
"Assalamualaikum, Tante Rani. Ini Andra, calon suami Lira." kata Andra yang ikut berjongkok tepat disebrangku.
Heh?! Dasar sinting!
Ayah langsung menatap Andra tajam, Doni hanya tertawa kecil, sedangkan Om Dion mencubit lengan Andra.
Andra meringis menatapku seakan meminta pertolongan. Aku hanya mampu menggelengkan kepala.
Kenapa aku bisa cinta sama orang macam Andra begini sih?!
Setelah memanjat doa, dan merapikan makam Ibu, kami pun bersiap untuk pulang.
Ayah dan Doni sudah lebih dulu berjalan dengan Om Dion dan Tante Ratih, diikuti oleh Paman Adi, Paman Eko dan juga Bibi Arum, sedangkan Aku dan Andra ada dibelakang.
"Kamu kok bisa ada disini sih?" Pertanyaan yang sedari tadi ingin sekali aku tanyakan kepada Andra.
Andra tertawa sambil menggenggam tanganku dengan lembut.
"Kita beneran jodoh, Ra. Orang tua aku temen lama keluarga kamu, cocok banget gak tuh?" sahutnya bercanda.
Aku langsung melepas genggeman tangannya. Sinting banget deh.
"Ih ngambek, hahaha. Bercanda sayang." Ujar Andra yang kembali meraih tanganku, mengecup punggung tanganku dengan lembut.
Ya Tuhan!!!
Sekarang aku sadar, tidak semua hal yang menyakitkan akan sembuh dalam waktu singkat, butuh perjuangan, butuh kesakitan, butuh keikhlasan yang tidak mudah, dan butuh waktu yang tidak sebentar.
Aku mengerti, semua yang aku alami selama ini memberikan banyak sekali pelajaran. Dan aku, sangat menikmati semua prosesnya.
Ibu .... bahagialah disana. Aku, Doni dan Ayah sudah berdamai akan semua yang terjadi.
Dan untuk Andra, terima kasih sudah ada untukku, semua yang kamu harapakan, aku ikut mengaminkan.
Selesai.
****
Whaaaa!!! Finishhhhhhh.
Akhirnya, satu bulan aku menyelesaikan cerita ini.
Masih banyak kekurangan yang ada, masih banyak kesalahan yang aku ciptakan. Semoga kalian berkenan untuk memberikan kritik dan saran. Dan semoga bisa mengambil pesan baik dari ceritaku ini, terima kasih buat semuanya.
Terima kasih untuk CreaWiLi Aku akan mencoba produktif lagi setelah ini.
Salam dari pemeran Debt Call.
Wassalamualaikum.
Nop
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top